BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Secara historis, epistimologi bukanlah
permasalahan pertama yang muncul dalam pikiran manusia. Justru aktivitas
filsafat dimulai dalam wilayah metafisika. Apa itu dunia? apa itu jiwa? Dan
sebagainya merupakan pertanyaan-pertanyaan pertama yang mengganggu
pikiran manusia yang selanjutnya mereka mencoba menemukan jawabannya. Akan
tetapi, mereka mendapati berbagai jawaban tentang hal-hal tersebut beragam dan
saling bertentangan. Berangkat dari fakta ini mereka sampai pada dunia luar,
tetapi justru mereka arahkan kepada dirinya sendiri tentang apakah intelek
manusia mampu menjawab permasalahan-permasalahan tersebut. Pada titik inilah
manusia masuk dalam kawasan epistimologi.[1]
Dalam makalah ini, saya akan mencoba memaparkan
bagaimanakah konsep epistimologi paradigma islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian epistimologi Paradigma Islam?
2. Apa sajakah ruang lingkup epistimologi Paradigma islam?
3. Apa sajakah
objek epistimologi
Islam?
4. Bagaimana paradigma pemikiran epistemologi para filosof Muslim?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Epistimologi Paradigma Islam
Epistimologi berasal dari Bahasa Yunani
kuno, yaitu epistem yang berarti pengetahuan dan logos yang
berarti penjelasan atau ilmu. Jadi secara etimologis, epistimologi adalah ilmu
tentang pengetahuan.[2]
Sedangkan secara terminologi epistimologi adalah cabang filsafat yang secara
khusus membicarakan teori ilmu pengetahuan, sumber pengetahuan dan bagaimana
cara memperoleh pengetahuan itu.[3]
Dalam Epistemologi
bermaksud mengkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakikat dari
pengetahuan manusia, bagaimana pengetahuan itu diperoleh dan diuji
kebenarannya.[4] Surajiyo,[5]
secara lebih rinci menyatakan bahwa pokok bahasan epistemologi adalah meliputi
hakikat dan sumber pengetahuan, metode memperoleh pengetahuan, dan kriteria
kesahihan pengetahuan.
Kata
Paradigma memiliki beberapa pengertian:
1.
Cara memandang sesuatu
2.
Dalam ilmu pengetahuan : model, pola, ideal.
Dari model-model ini fenomena yang dipandang, dijelaskan
3.
Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola
untuk memecahkan problem-problem riset. [6]
Paradigma
merupakan konstruk berpikir yang mampu menjadi wacana untuk temuan
ilmiah, yang dalam konseptualisasi Kuhn menjadi wacana untuk temuan ilmiah baru.[7]
Jadi dapat disimpulkan bahwa paradigma dapat kita gunakan di dalam ilmu sebagai
model, contoh, pola yang dapat dijadikan dasar untuk menyeleksi berbagai
problem-problem serta pola-pola untuk mencari dan menemukan problem-problem
yang ada di dalam ilmu pengetahuan untuk memecahkan problem-problem riset. Jadi
secara singkat pengertian paradigma adalah keseluruhan konstelasi kepercayaan,
nilai dan teknik yang dimiliki suatu komunitas ilmiah dalam memandang sesuatu
(fenomena). Paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus di pelajari,
persoalan apa yang harus dijawab dan aturan apa yang harus di ikuti dalam
menginterprestasikan jawaban yang diperoleh.
Secara
etimologi islam berasal dari bahasa arab, diambil dari kata salima yang
berarti selamat sentosa.[8]
Menurut Maulana Muhammad Ali, Islam adalah agama yang sebenarnya bagi
seluruh umat manusisa.[9]
Sedangkan menurut Harun Nasution, Islam adalah Agama yang ajaran-ajarannya
diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui
nabi Muhammad SAW sebagai Rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran
yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi berbagai segi dari kehidupan
manusia.[10]
Dari pemaparan istilah diatas dapat disimpulkan
bahwa Epistimologi Paradigma islam adalah ilmu cabang filsafat yang secara
khusus membahas ilmu pengetahuan dengan cara pandang atau konstruk berfikir
sehingga menjadi wacana berdasarkan ajaran-ajaran yang diwahyukan Allah kepada
nabi Muhammad SAW.
B.
Ruang Lingkup Epistimologi Paradigma Islam
Dalam
wacana pemikiran Islam, secara historis para filosof Muslim telah membahas
epistemologi yang diawali dengan membahas sumber-sumber pengetahuan yang berupa
realitas. Realitas dalam epistemologi Islam tidak hanya terbatas pada realitas
fisik, tetapi juga mengakui adanya realitas yang bersifat nonfisik, baik berupa
realitas imajinal (mental) maupun realitas metafisika murni.[11]
Mengenai alat pencapaian pengetahuan, para pemikir Islam secara umum
sepakat ada tiga alat epistemologi yang dimiliki manusia untuk mencapai
pengetahuan, yaitu; indera, akal, dan hati. Berdasarkan tiga alat tersebut,
maka terdapat tiga metode pencapaian pengetahuan, yaitu: a) metode observasi
sebagaimana yang dikenal dalam epistemologi Barat, atau juga disebut metode bayāni
yang menggunakan indera sebagai pirantinya, b) metode deduksi logis atau
demonstratif (burhāni) dengan menggunakan akal, dan c) metode intuitif
atau ‘irfāni dengan menggunakan hati.[12]
Miska
M. Amien menyatakan, bahwa epistemologi Islam membahas masalah-masalah
epistemologi pada umumnya dan juga secara khusus membicarakan wahyu dan ilham,
sebagai sumber pengetahuan dalam Islam.[13]
Wahyu hanya diberikan Allah kepada para nabi dan rasul melalui Malaikat Jibril,
dan berakhir pada Nabi Muhammad Saw., penutup para nabi dan rasul.[14]
Wahyu hanya khusus untuk para nabi, karena ia merupakan konsekwensi
kenabian dan kerasulan.[15]
Ilham adalah inspirasi atau pancaran ilahi yang ditiupkan ruh suci ke dalam
hati nabi atau wali.[16]
Inspirasi atau intuisi pada prinsipnya dapat diterima setiap orang.[17]
Oleh sebab itu, di satu sisi epistemologi Islam berpusat pada Allah, dalam arti
Allah sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran, tetapi di sisi lain,
epistemologi Islam berpusat pada manusia, dalam arti manusia sebagai pelaku
pencari pengetahuan (kebenaran).
Terkait
dengan bahasan epistemologi Islam, Amin Abdullah.[18]
menyatakan bahwa dalam wacana filsafat Islam, wilayah metafisika, epistemologi,
dan etika menyatu dalam bentuk mistik (mysticism). Aspek yang lebih
menarik dikaji lebih dalam dari ketiga ranah tersebut adalah hubungan antara
“mistisisme” dan “epistemologi”. Di sinilah urgensi tulisan ini, karena menurut
laporan sejarah para filosof dan sufi Muslim secara dinamis dari zaman ke zaman
telah melakukan upaya pemaduan atau harmonisasi antara mistisisme dan filsafat
dalam rangka mencapai pengetahuan hakiki, sehingga muncul berbagai paradigma
dalam epistemologi Islam.
Dalam
pembahasan mengenai epistemology paradigma Islam, ada enam poin pokok yaitu :
1.
Islam adalah suatu struktur dimana struktur
menurut Webster’s New International Dictionary, kata structure berasal dari
kata latin structure yang artinya bangunan, dari kata structus atau stuere yang
berarti menyusun.[19]
Menurut jean Piaget dalam structuralism ( New York: Harper & Row,
Publisher, 1970) menyebut tiga ciri dari struktur, yaitu :[20]
a.
wholeness (keseluruhan)
b.
transformation (perubahan bentuk)
c.
self-regulation ( mengatur diri sendiri).
2.
Strukturalisme Transendental sebagai metode
sesuai dengan keperluan Islam masa kini dan disini. Menurut Kuntowijoyo,
strukturalisme transendental akan sangat berguna bagi ilmu alam, kemanusiaan,
dan agama, untuk menyadari adanya totalitas Islam dan adanya
perubahan-perubahan.[21]
Karena kata Kuntowijoyo, soal terbesar dalam Islam adalah bagaimana mengikuti
perubahan danpa kehilangan jati dirinya sebagai agama yang kaffah, menyeluruh.
Agar agama sesuai dengan perubahan-perubahan, maka diperlukanlah agenda baru
supaya unsur muamalahnya (suatu yang dapat berubah) tidak ketinggalan zaman.
Dan agenda baru itu dapat menjadi lahan bagi ijtihad. Agenda tersebut terdiri
dari enam kesadaran:
a.
Kesadaran adanya perubahan.
b.
Kesadaran kolektif.
c.
Kesadaran sejarah
d.
Kesadaran adanya fakta sosial
e.
Kesadaran adanya masyarakat abstrak
f.
Kesadaran perlunya objektivikasi.
3.
Islam mempunyai kemampuan untuk mengubah
dirinya sendiri (transformasi diri) tanpa kehilangan keutuhannya.
4.
Tugas umat Islam sekarang ini ialah menyadari
perubahan-perubahan di lingkungannya untuk menyesuaikan muamalahnya.
5.
Gambaran tentang Islam yang kaku,
anti-perubahan, dan kuno ternyata tidak benar.
6.
Kajian masalah-masalah kontenporer dalam bidang
sosial, kemanusiaan, filsafat, seni dan tasawuf dari sudut pandang Islam dapat menghilangkan
kesan tentang Islam yang garang, melihat segala soal secara legalistik
(halal-haram), dan egosentris.
C.
Objek
Epistimologi Islam
Dalam konsep filsafat Islam, kajian
ilmu adalah ayat-ayat Tuhan itu
sendiri yang
terkandung dalam kitab suci Al-Qur’an. Ayat tersebut mengkaji tentang tuhan dan
firman-Nya, alam dan manusia. Kajian terhadap kitab suci akan melahirkan
dimensi ilmu fisika atau ilmu alam, sedangkan kajian dalam manusia
akan menimbulkan ilmu antropologi atau ilmu humaniora.
Dalam agama Islam obyek ilmu tidak
hanya dalam ilmu agama, tetapi juga dalam alam dan mereka sendiri. Ini berarti
manusia dituntut untuk
memperoleh pengetahuan dari ayat-ayat Tuhan, alam, maupun dari diri mereka.[22]
D.
Paradigma Pemikiran Epistimologi
Filosof Muslim Paripetetik
Sejarah mencatat, bahwa di kalangan filosof Muslim Paripatetik
memiliki perhatian yang sangat kuat dalam membahas epistemologi. Filsafat
Paripatetik adalah gabungan Aristotelian-Neoplatonis, sebagai corak pertama
filsafat Islam yang mencapai kematangannya di tangan Ibn Sina. Dalam tradisi
pemikiran Islam dikenal dengan “massya’i”, yang berarti berjalan, karena
Aristoteles dalam menyampaikan ajarannya berjalan-jalan di sekitar gedung olah
raga di kota Athena yang bernama paripatos.[23]
1.
Konsep Para
Filosof Tentang Epistimologi
a.
Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishak Al-Kindi (801-860 M)
Al-Kindi
menyebutkan ada tiga macam pengetahuan manusia, yaitu :[24]
1) Pengetahuan Indrawi
Pengetahun indrawi terjadi secara langsung ketika
seseorang mengamati obyek-obyek material, kemudian dalam proses tanpa tenggang
waktu dan tanpa berpindah ke imajinasi. Pengetahuan yang diperoleh lewat jalan
ini bersifat tidak tetap, tetapi selalu berubah dan bergerak setiap waktu.
2) Pengetahuan Rasional
Pengetahuan rasional adalah pengetahuan yang diperoleh
menggunakan jalan akal yang bersifat universal, tidak parsial dan immaterial.
Pengetahuan ini menyelidikinya sampai pada hakikatnya dan sampai pada kesimpulan
bahwa manusia adalah makhluk yang berfikir.
3) Pengetahuan Isyraqi
Pengetahuan isyraqi merupakan pengetahuan yang datang dan
diperoleh langsung dari pancaran Nur Ilahi, puncak pengetahuan dari pengetahuan
ini adalah pengetahuan yang diperoleh Nabi untuk membawakan ajaran yang berasal
dari wahyu Tuhan. Menurutnya pengetahuan inilah yang mutlak dan benar.
Pengetahuan ini hanya dimilki oleh mereka yang berjiwa suci dan dekat dengan
Allah.
b.
Abu Nashr Al-Farabi (257-329 H)
Menurut Al-Farabi, manusia memperoleh pengetahuan itu
dari daya mengindra, menghayal, dan berfikir. Yang mana ketiga daya ini merujuk
pada kedirian manusia, yaitu : jism, nafs, aql.
1) Mengindra, daya ini memungkinkan manusia untuk menerima
rangsangan seperti panas dan dingin. Dengan daya ini manusia dapat mengecap,
membau, mendengar suara dan melihat.
2) Menghayal, memungkinkan manusia untuk
memperoleh kesan dari hal-hal yang dirasakan setelah obyek itu lenyap dari
jangkauan indra. Daya ini adalah menggabungkan atau memisahkan seluruh
kesan-kesan yang ada sehingga menghasilkan potongan-potongan atau
kombinasi-kombinasi yang beragam. Hasilnya bisa jadi benar bisa jadi salah.
3) Berfikir, daya ini memungkinkan manusia memahami berbagai
pengertian, sehingga dapat membedakan yang mulia dari yang hina serta menguasai seni dan
ilmu.[25]
c.
Ibn
Sina (980-1037 M)
Ibn Sina mengemukakan teori al-Rūh al-Muqaddas (ruh yang
disucikan), yakni jiwa insani yang merupakan fakultas rasional yang
dipersiapkan dari keterjagaan dan berhubungan dengan akal universal, dan
kebutuhannya dicukupi dengan ilhām dan wahyu.[26]
Sesuai dengan tradisi filsafat Yunani yang universal, Ibn Sina menyatakan bahwa
seluruh pengetahuan adalah sejenis abstraksi untuk memahami bentuk sesuatu yang
diketahui. Ia berpendapat bahwa pengetahuan yang benar dapat diperoleh lewat
akal yang merupakan satu-satunya sarana yang melaluinya, sehingga kita mampu mencapai
kebenaran dan membangun kepribadian.[27]
d.
Ibn
Rushd (1126-1198 M)
Ibn Rushd yang populer sebagai “Komentator Aristoteles”
berpendapat, bahwa jalan untuk mencapai pengetahuan ada dua macam, yaitu indera
dan rasio. Ibn Rushd berpendapat, bahwa hanya pengetahuan yang dihasilkan rasio
yang bisa dianggap sebagai pengetahuan sejati, sedang pengetahuan hasil indera
tidak mencapai derajat tersebut, sebab masih bisa tertipu oleh bayangannya
sendiri.[28]
Menurut Ibn Rushd, untuk mendapatkan pengetahuan yang benar tentang Pencipta
alam ini hanya dengan penalaran yang benar berdasarkan logika. Logika merupakan
sarana untuk mendapatkan hakikat kebenaran meyakinkan, yang disebut dengan
“metode burhāni” (demonstratif).[29]
Akan tetapi Ibn Rushd juga berpendapat bahwa jalan untuk menuju kebenaran tidak
hanya melalui refleksi filsafat (burhāni), namun ada jalan lain, yakni
melalui analisa mendalam terhadap kitab suci.[30]
e.
Al-Ghazali
(1058-1111 M)
Sebagai tokoh sufi filosof, Al-Ghazali juga membahas epistemologi
dengan pendapatnya, bahwa manusia memiliki tiga alat untuk memperoleh
pengetahuan, yaitu;
1) Panca indera
Panca
Indera menghasilkan pengetahuan inderawi yang tidak meyakinkan karena memiliki
berbagai kelemahan, ia bukan merupakan ilmu yang riil.
2) Akal
Akal
sebagai alat berpikir yang menghasilkan pengetahuan, dan dalam proses
berpikirnya dibutuhkan indera yang merupakan abdi dan pengikut setia akal. Akal
berfungsi mengolah rangsangan inderawi dalam proses memperoleh pengetahuan,
sehingga memiliki banyak kelemahan.[31]
3) Qalbu (hati)
Qolbu
sebagai alat memperoleh pengetahuan hakiki yang diistilahkan dengan ilmu ladunni
yang berupa ilhām, yaitu ilmu yang masuk secara mendadak ke dalam
hati seolah-olah disusupkan tanpa diketahui dari mana datangnya, yang diperoleh
tanpa memerlukan usaha dan mengotak-atik argumen.[32]
Berdasarkan uraian ringkas tentang pemikiran epistemologi dari para
filosof muslim Paripatetik menunjukkan bahwa akal atau rasiolah yang paling
dominan sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan yang benar dengan
menggunakan metode demonstratif (burhani). Posisi al-Qur’an dan al-hadis
bagi mereka adalah hanya sebagai alat legitimasi, sehingga penerapannya dengan
cara memberikan ta’wil yang rasional.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan pada BAB II maka dapat diambil sebuah
kesimpulan bahwa:
1. Epistimologi adalah cabang filsafat yang secara khusus
membicarakan teori ilmu pengetahuan, sumber pengetahuan dan bagaimana cara
memperoleh pengetahuan itu.
2. Obyek epistimologi atau pengetahuan islam adalah Tuhan,
alam dan manusia.
3. Konsep para filosof tentang epistimologi, diantaranya :
a.
Al-Kindi
menyebutkan ada tiga macam pengetahuan manusia yaitu indrawi, rasional dan
isyraqi.
b.
Menurut
Al-Farabi menyebutkan tiga macam pengetahuan manusia yaitu mengindera,
mengkhayal dan berfikir.
c.
Ibnu Sina berpendapat bahawa pengetahuan
yang benar dapat diperoleh lewat akal yang merupakan satu-satunya sarana yang
melaluinya, sehingga kita mampu mencapai kebenaran dan membangun kepribadian
d.
Ibnu
Rushd berpendapat, bahwa jalan untuk mencapai pengetahuan ada dua macam, yaitu
indera dan rasio.
e.
Menurut
Al-Ghazali ada tiga akal pengetahuan,
yakni dari panca indera, akal dan qalbu.
DAFTAR PUSTAKA
Abudin Nata. 2011. Studi Islam Komprehensif. Jakarta:
Kencana.
Ahmad Mustafa.1997.Filsafat Islam.Bandung: Pustaka
Setia
Ahmad Zaenul Hamdi.2004.Tujuh Filsuf Muslim.Yogyakarta: Pustaka
Pesantren
Amatullah Amstrong.1996.Khazanah Istilah Sufi, Kunci Memasuki
Dunia Tasawuf, ter. Nasrullah dan Ahmad Baiquni.Bandung: Mizan,
Asy’ari, Musa,
dkk. 1992.Filsafat Islam Kajian Ontologis,
Epistimologis, Aksiologis, Historis dan Porspektif, Yogyakarta: RSFI.
Dick Hartoko.1986.Kamus Populer Filsafat.Jakarta: Rajawali
Press.
Harun Nasution.1979.Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya.Jakarta:
UI Press
Ibn Sina.2009.Ahwāl al-Nafs.ter. M.S. Nasrullah.Bandung:
Pustaka Hidayah
Jumantoro dan Syamsul Munir.2005.Kamus Ilmu Tasawuf .Wonosobo:
Amza
Lorens Bagus.2002.Kamus Filsafat.Jakarta:Gramedia
M. Amin Abdullah.2006.Islamic Studies di Perguruan Tinggi.Yoyakarta:
Pustaka Pelajar
Marzuki. 2015.Islam sebagai Ilmu.Jakarta: Bumi Aksara
Miska M. Amien.1983.Epistemologi Islam.Jakarta: Universitas
Indonesia
MM Sharif (ed) 1998. A history of Muslem Philosophy.Delhi:
Low Price Publication
Muhajir, Noeng. 2001.Filsafat Ilmu.Yogyakarta:
Rakesarasin
Mulyadi Kartanegara. 2002.Panorama Filsafat Islam.Bandung:
Mizan
Mustafa, Ahmad.1997 Filsafat Islam.Pustaka Setia.Bandung.
Nasution,Harun. 1973. Filsafat Agama, Bulan Bintang:Jakarta
Sudarminta.J.2002.Epistimologi Dasar, Pengantar Filsafat
Pengetahuan.Yogyakarta: Kanisius
Suparman Syukur. 2007.Epistemologi Islam Skolastik.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Suparman Syukur.1996.Epistemologi dalam Filsafat Ibn Rusyd.Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga
Surajiyo. 2008.Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia.Jakarta:Bumi
Aksara
Tafsir, Ahmad. 2007.Filsafat Umum. Bandung: Remaja Rosda Karya
Zainul Hamdi,
Ahmad.2004.Tujuh filsuf Muslim pembuka Pintu
Gerbang Filsafat Barat dan Modern. Yogyakarta: Pustaka
Pesantren
[1]
. Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh
filusuf Muslim pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat dan
Modern, (Yogyakarta:
Pustaka Pesantren, 2004), Hal. 129
[3]. Dr. H. Musa Asy’ari,dkk, Filsafat Islam Kajian Ontologis, Epistimologis,
Aksiologis, Historis dan Porspektif, RSFI, Yogyakarta; 1992. Hal. 28
[4]. J. Sudarminta, Epistimologi Dasar, Pengantar Filsafat
Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2002),hal 18.
[5] . Surajiyo, Filsafat
Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia (Jakarta: Bimi Aksara, 2008), hal.26
[6] . Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Cet. III;
Jakarta: Gramedia, 2002), h. 779
[7] . Noeng Muhajir, Filsafat Ilmu Edisi II
(Cet. I; Yogyakarta: Rakesarasin, 2001), h. 177
[8] . Abudin Nata,
Studi Islam Komprehensif,(Jakarta: Kencana, 2011) hal. 11
[9] . Ibid.
hal. 21
[10] . Harun
Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI
Press,1979), hal, 24
[11] . Mulyadi
Kartanegara, Panorama Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2002), 58.
[13] . Miska M.
Amien, Epistemologi Islam (Jakarta: Universitas Indonesia, 1983), 10-1
[14] . Amatullah
Amstrong, Khazanah Istilah Sufi, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, ter.
Nasrullah dan Ahmad Baiquni (Bandung: Mizan, 1996), 312-3.
[15] . Mulla Sadra,
Iksir al-‘Arifin (Tokyo: Jami’ah Tokyo, 9184), 914.
[16] . Amstrong, Khazanah
Istilah..., 112.
[18] . M. Amin
Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi (Yoyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006), 14-5.
[19] . Marzuki, Islam
sebagai Ilmu,(Jakarta: Bumi Aksara, 2015) hal. 29
[20] .Ibid,
hal. 29
[23]. Dick Hartoko,
Kamus Populer Filsafat (Jakarta: Rajawali Press, 1986), hal.79.
[24]
. Ahmad Mustafa, Filsafat Islam,
Pustaka Setia, Bandung, 1997
[26] .Ibn Sina, Ahwāl
al-Nafs, ter. M.S. Nasrullah (Bandung: Pustaka Hidayah, 2009), 167-8.
[27].
MM Sharif (ed),
A history of Muslem Philosophy (Delhi: Low Price Publication, 1998), 159
[28] . Suparman
Syukur, Epistemologi dalam Filsafat Ibn Rusyd (Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga, 1996), 145.
[29]. Suparman
Syukur, Epistemologi Islam Skolastik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007), 84.
[31]
. Imam al-Gazali,
Ihya ‘ulum al-Din, Jilid 3 (Surabaya: Salim Nabhan, tt), 9.