Beranda

Minggu, 18 Februari 2018

EPISTIMOLOGI PARADIGMA ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Secara historis, epistimologi bukanlah permasalahan  pertama yang muncul dalam pikiran manusia. Justru aktivitas filsafat dimulai dalam wilayah metafisika. Apa itu dunia? apa itu jiwa? Dan sebagainya merupakan pertanyaan-pertanyaan pertama yang  mengganggu pikiran manusia yang selanjutnya mereka mencoba menemukan jawabannya. Akan tetapi, mereka mendapati berbagai jawaban tentang hal-hal tersebut beragam dan saling bertentangan. Berangkat dari fakta ini mereka sampai pada dunia luar, tetapi justru mereka arahkan kepada dirinya sendiri tentang apakah intelek manusia mampu menjawab permasalahan-permasalahan tersebut. Pada titik inilah manusia masuk dalam kawasan epistimologi.[1]
Dalam makalah ini, saya akan mencoba memaparkan bagaimanakah konsep epistimologi paradigma islam.

B.     Rumusan Masalah
1.  Apa pengertian epistimologi Paradigma Islam?
2.  Apa sajakah ruang lingkup epistimologi Paradigma islam?    
3. Apa sajakah objek epistimologi Islam?
4. Bagaimana paradigma pemikiran epistemologi para filosof Muslim?
 

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Epistimologi Paradigma Islam
Epistimologi berasal dari Bahasa Yunani kuno, yaitu epistem yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti penjelasan atau ilmu. Jadi secara etimologis, epistimologi adalah ilmu tentang pengetahuan.[2] Sedangkan secara terminologi epistimologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan teori ilmu pengetahuan, sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan itu.[3] Dalam Epistemologi bermaksud mengkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakikat dari pengetahuan manusia, bagaimana pengetahuan itu diperoleh dan diuji kebenarannya.[4] Surajiyo,[5] secara lebih rinci menyatakan bahwa pokok bahasan epistemologi adalah meliputi hakikat dan sumber pengetahuan, metode memperoleh pengetahuan, dan kriteria kesahihan pengetahuan.
Kata Paradigma memiliki beberapa pengertian:
1.      Cara memandang sesuatu
2.      Dalam ilmu pengetahuan : model, pola, ideal. Dari model-model ini fenomena yang dipandang, dijelaskan
3.      Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset. [6]
Paradigma merupakan konstruk berpikir yang mampu menjadi wacana  untuk temuan ilmiah, yang dalam konseptualisasi Kuhn menjadi wacana untuk temuan ilmiah baru.[7] Jadi dapat disimpulkan bahwa paradigma dapat kita gunakan di dalam ilmu sebagai model, contoh, pola yang dapat dijadikan dasar untuk menyeleksi berbagai problem-problem serta pola-pola untuk mencari dan menemukan problem-problem yang ada di dalam ilmu pengetahuan untuk memecahkan problem-problem riset. Jadi secara singkat pengertian paradigma adalah keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai dan teknik yang dimiliki suatu komunitas ilmiah dalam memandang sesuatu (fenomena). Paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus di pelajari, persoalan apa yang harus dijawab dan aturan apa yang harus di ikuti dalam menginterprestasikan jawaban yang diperoleh.
Secara etimologi islam berasal dari bahasa arab, diambil dari kata salima yang berarti selamat sentosa.[8] Menurut Maulana Muhammad Ali, Islam adalah agama yang sebenarnya bagi seluruh umat manusisa.[9] Sedangkan menurut Harun Nasution, Islam adalah Agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada manusia  melalui nabi Muhammad SAW sebagai Rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi berbagai segi dari kehidupan manusia.[10]
Dari pemaparan istilah diatas dapat disimpulkan bahwa Epistimologi Paradigma islam adalah ilmu cabang filsafat yang secara khusus membahas ilmu pengetahuan dengan cara pandang atau konstruk berfikir sehingga menjadi wacana berdasarkan ajaran-ajaran yang diwahyukan Allah kepada nabi Muhammad SAW.

B.     Ruang Lingkup Epistimologi Paradigma Islam
Dalam wacana pemikiran Islam, secara historis para filosof Muslim telah membahas epistemologi yang diawali dengan membahas sumber-sumber pengetahuan yang berupa realitas. Realitas dalam epistemologi Islam tidak hanya terbatas pada realitas fisik, tetapi juga mengakui adanya realitas yang bersifat nonfisik, baik berupa realitas imajinal (mental) maupun realitas metafisika murni.[11] Mengenai alat pencapaian pengetahuan, para pemikir Islam secara umum sepakat ada tiga alat epistemologi yang dimiliki manusia untuk mencapai pengetahuan, yaitu; indera, akal, dan hati. Berdasarkan tiga alat tersebut, maka terdapat tiga metode pencapaian pengetahuan, yaitu: a) metode observasi sebagaimana yang dikenal dalam epistemologi Barat, atau juga disebut metode bayāni yang menggunakan indera sebagai pirantinya, b) metode deduksi logis atau demonstratif (burhāni) dengan menggunakan akal, dan c) metode intuitif atau ‘irfāni dengan menggunakan hati.[12]
Miska M. Amien menyatakan, bahwa epistemologi Islam membahas masalah-masalah epistemologi pada umumnya dan juga secara khusus membicarakan wahyu dan ilham, sebagai sumber pengetahuan dalam Islam.[13] Wahyu hanya diberikan Allah kepada para nabi dan rasul melalui Malaikat Jibril, dan berakhir pada Nabi Muhammad Saw., penutup para nabi dan rasul.[14] Wahyu hanya khusus untuk para nabi, karena ia merupakan konsekwensi kenabian dan kerasulan.[15] Ilham adalah inspirasi atau pancaran ilahi yang ditiupkan ruh suci ke dalam hati nabi atau wali.[16] Inspirasi atau intuisi pada prinsipnya dapat diterima setiap orang.[17] Oleh sebab itu, di satu sisi epistemologi Islam berpusat pada Allah, dalam arti Allah sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran, tetapi di sisi lain, epistemologi Islam berpusat pada manusia, dalam arti manusia sebagai pelaku pencari pengetahuan (kebenaran).
Terkait dengan bahasan epistemologi Islam, Amin Abdullah.[18] menyatakan bahwa dalam wacana filsafat Islam, wilayah metafisika, epistemologi, dan etika menyatu dalam bentuk mistik (mysticism). Aspek yang lebih menarik dikaji lebih dalam dari ketiga ranah tersebut adalah hubungan antara “mistisisme” dan “epistemologi”. Di sinilah urgensi tulisan ini, karena menurut laporan sejarah para filosof dan sufi Muslim secara dinamis dari zaman ke zaman telah melakukan upaya pemaduan atau harmonisasi antara mistisisme dan filsafat dalam rangka mencapai pengetahuan hakiki, sehingga muncul berbagai paradigma dalam epistemologi Islam.
Dalam pembahasan mengenai epistemology paradigma Islam, ada enam poin pokok yaitu :
1.      Islam adalah suatu struktur dimana struktur menurut Webster’s New International Dictionary, kata structure berasal dari kata latin structure yang artinya bangunan, dari kata structus atau stuere yang berarti menyusun.[19] Menurut jean Piaget dalam structuralism ( New York: Harper & Row, Publisher, 1970) menyebut tiga ciri dari struktur, yaitu :[20]
a.       wholeness (keseluruhan)
b.      transformation (perubahan bentuk)
c.       self-regulation ( mengatur diri sendiri)
 2.      Strukturalisme Transendental sebagai metode sesuai dengan keperluan Islam masa kini dan disini. Menurut Kuntowijoyo, strukturalisme transendental akan sangat berguna bagi ilmu alam, kemanusiaan, dan agama, untuk menyadari adanya totalitas Islam dan adanya perubahan-perubahan.[21] Karena kata Kuntowijoyo, soal terbesar dalam Islam adalah bagaimana mengikuti perubahan danpa kehilangan jati dirinya sebagai agama yang kaffah, menyeluruh. Agar agama sesuai dengan perubahan-perubahan, maka diperlukanlah agenda baru supaya unsur muamalahnya (suatu yang dapat berubah) tidak ketinggalan zaman. Dan agenda baru itu dapat menjadi lahan bagi ijtihad. Agenda tersebut terdiri dari enam kesadaran:
a.       Kesadaran adanya perubahan.
b.      Kesadaran kolektif.
c.       Kesadaran sejarah
d.      Kesadaran adanya fakta sosial
e.       Kesadaran adanya masyarakat abstrak
f.       Kesadaran perlunya objektivikasi.
 3.      Islam mempunyai kemampuan untuk mengubah dirinya sendiri (transformasi diri) tanpa kehilangan keutuhannya. 
4.      Tugas umat Islam sekarang ini ialah menyadari perubahan-perubahan di lingkungannya untuk menyesuaikan muamalahnya. 
5.      Gambaran tentang Islam yang kaku, anti-perubahan, dan kuno ternyata tidak benar. 
6.      Kajian masalah-masalah kontenporer dalam bidang sosial, kemanusiaan, filsafat, seni dan tasawuf dari sudut pandang Islam dapat menghilangkan kesan tentang Islam yang garang, melihat segala soal secara legalistik (halal-haram), dan egosentris.

C.    Objek Epistimologi Islam
Dalam konsep filsafat Islam, kajian ilmu adalah ayat-ayat Tuhan itu sendiri yang terkandung dalam kitab suci Al-Qur’an. Ayat tersebut mengkaji tentang tuhan dan firman-Nya, alam dan manusia. Kajian terhadap kitab suci akan melahirkan dimensi ilmu fisika atau ilmu alam, sedangkan kajian dalam manusia akan menimbulkan ilmu antropologi atau ilmu humaniora.
Dalam agama Islam obyek ilmu tidak hanya dalam ilmu agama, tetapi juga dalam alam dan mereka sendiri. Ini berarti manusia dituntut untuk memperoleh pengetahuan dari ayat-ayat Tuhan, alam, maupun dari diri mereka.[22]

D.    Paradigma Pemikiran Epistimologi Filosof Muslim Paripetetik
Sejarah mencatat, bahwa di kalangan filosof Muslim Paripatetik memiliki perhatian yang sangat kuat dalam membahas epistemologi. Filsafat Paripatetik adalah gabungan Aristotelian-Neoplatonis, sebagai corak pertama filsafat Islam yang mencapai kematangannya di tangan Ibn Sina. Dalam tradisi pemikiran Islam dikenal dengan “massya’i”, yang berarti berjalan, karena Aristoteles dalam menyampaikan ajarannya berjalan-jalan di sekitar gedung olah raga di kota Athena yang bernama paripatos.[23]
1.      Konsep Para Filosof Tentang Epistimologi
a.       Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishak Al-Kindi (801-860 M)
Al-Kindi menyebutkan ada tiga macam pengetahuan manusia, yaitu :[24]
1)      Pengetahuan Indrawi
Pengetahun indrawi terjadi secara langsung ketika seseorang mengamati obyek-obyek material, kemudian dalam proses tanpa tenggang waktu dan tanpa berpindah ke imajinasi. Pengetahuan yang diperoleh lewat jalan ini bersifat tidak tetap, tetapi selalu berubah dan bergerak setiap waktu.
2)      Pengetahuan Rasional
Pengetahuan rasional adalah pengetahuan yang diperoleh menggunakan jalan akal yang bersifat universal, tidak parsial dan immaterial. Pengetahuan ini menyelidikinya sampai pada hakikatnya dan sampai pada kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk yang berfikir.
3)      Pengetahuan Isyraqi
Pengetahuan isyraqi merupakan pengetahuan yang datang dan diperoleh langsung dari pancaran Nur Ilahi, puncak pengetahuan dari pengetahuan ini adalah pengetahuan yang diperoleh Nabi untuk membawakan ajaran yang berasal dari wahyu Tuhan. Menurutnya pengetahuan inilah yang mutlak dan benar. Pengetahuan ini hanya dimilki oleh mereka yang berjiwa suci dan dekat dengan Allah.
b.      Abu Nashr Al-Farabi (257-329 H)
Menurut Al-Farabi, manusia memperoleh pengetahuan itu dari daya mengindra, menghayal, dan berfikir. Yang mana ketiga daya ini merujuk pada kedirian manusia, yaitu : jism, nafs, aql.
1)      Mengindra, daya ini memungkinkan manusia untuk menerima rangsangan seperti panas dan dingin. Dengan daya ini manusia dapat mengecap, membau, mendengar suara dan melihat.
2)       Menghayal, memungkinkan manusia untuk memperoleh kesan dari hal-hal yang dirasakan setelah obyek itu lenyap dari jangkauan indra. Daya ini adalah menggabungkan atau memisahkan seluruh kesan-kesan yang ada sehingga menghasilkan potongan-potongan atau kombinasi-kombinasi yang beragam. Hasilnya bisa jadi benar bisa jadi salah.
3)      Berfikir, daya ini memungkinkan manusia memahami berbagai pengertian, sehingga dapat membedakan yang mulia dari yang hina serta menguasai seni dan ilmu.[25]


c.       Ibn Sina (980-1037 M)
Ibn Sina mengemukakan teori al-Rūh al-Muqaddas (ruh yang disucikan), yakni jiwa insani yang merupakan fakultas rasional yang dipersiapkan dari keterjagaan dan berhubungan dengan akal universal, dan kebutuhannya dicukupi dengan ilhām dan wahyu.[26] Sesuai dengan tradisi filsafat Yunani yang universal, Ibn Sina menyatakan bahwa seluruh pengetahuan adalah sejenis abstraksi untuk memahami bentuk sesuatu yang diketahui. Ia berpendapat bahwa pengetahuan yang benar dapat diperoleh lewat akal yang merupakan satu-satunya sarana yang melaluinya, sehingga kita mampu mencapai kebenaran dan membangun kepribadian.[27]

d.      Ibn Rushd (1126-1198 M)
Ibn Rushd yang populer sebagai “Komentator Aristoteles” berpendapat, bahwa jalan untuk mencapai pengetahuan ada dua macam, yaitu indera dan rasio. Ibn Rushd berpendapat, bahwa hanya pengetahuan yang dihasilkan rasio yang bisa dianggap sebagai pengetahuan sejati, sedang pengetahuan hasil indera tidak mencapai derajat tersebut, sebab masih bisa tertipu oleh bayangannya sendiri.[28] Menurut Ibn Rushd, untuk mendapatkan pengetahuan yang benar tentang Pencipta alam ini hanya dengan penalaran yang benar berdasarkan logika. Logika merupakan sarana untuk mendapatkan hakikat kebenaran meyakinkan, yang disebut dengan “metode burhāni” (demonstratif).[29] Akan tetapi Ibn Rushd juga berpendapat bahwa jalan untuk menuju kebenaran tidak hanya melalui refleksi filsafat (burhāni), namun ada jalan lain, yakni melalui analisa mendalam terhadap kitab suci.[30]
e.       Al-Ghazali (1058-1111 M)
Sebagai tokoh sufi filosof, Al-Ghazali juga membahas epistemologi dengan pendapatnya, bahwa manusia memiliki tiga alat untuk memperoleh pengetahuan, yaitu;
1)      Panca indera
Panca Indera menghasilkan pengetahuan inderawi yang tidak meyakinkan karena memiliki berbagai kelemahan, ia bukan merupakan ilmu yang riil.
2)      Akal
Akal sebagai alat berpikir yang menghasilkan pengetahuan, dan dalam proses berpikirnya dibutuhkan indera yang merupakan abdi dan pengikut setia akal. Akal berfungsi mengolah rangsangan inderawi dalam proses memperoleh pengetahuan, sehingga memiliki banyak kelemahan.[31]
3)      Qalbu (hati)
Qolbu sebagai alat memperoleh pengetahuan hakiki yang diistilahkan dengan ilmu ladunni yang berupa ilhām, yaitu ilmu yang masuk secara mendadak ke dalam hati seolah-olah disusupkan tanpa diketahui dari mana datangnya, yang diperoleh tanpa memerlukan usaha dan mengotak-atik argumen.[32]

Berdasarkan uraian ringkas tentang pemikiran epistemologi dari para filosof muslim Paripatetik menunjukkan bahwa akal atau rasiolah yang paling dominan sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan yang benar dengan menggunakan metode demonstratif (burhani). Posisi al-Qur’an dan al-hadis bagi mereka adalah hanya sebagai alat legitimasi, sehingga penerapannya dengan cara memberikan ta’wil yang rasional.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan pada BAB II maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa:
1.      Epistimologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan teori ilmu pengetahuan, sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan itu.
2.      Obyek epistimologi atau pengetahuan islam adalah Tuhan, alam dan manusia.
3.      Konsep para filosof tentang epistimologi, diantaranya :
a.       Al-Kindi menyebutkan ada tiga macam pengetahuan manusia yaitu indrawi, rasional dan isyraqi.
b.      Menurut Al-Farabi menyebutkan tiga macam pengetahuan manusia yaitu mengindera, mengkhayal dan berfikir.
c.       Ibnu Sina berpendapat bahawa pengetahuan yang benar dapat diperoleh lewat akal yang merupakan satu-satunya sarana yang melaluinya, sehingga kita mampu mencapai kebenaran dan membangun kepribadian
d.      Ibnu Rushd berpendapat, bahwa jalan untuk mencapai pengetahuan ada dua macam, yaitu indera dan rasio.
e.       Menurut Al-Ghazali ada tiga akal pengetahuan, yakni dari panca indera, akal dan qalbu.


DAFTAR PUSTAKA

Abudin Nata. 2011. Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Kencana.                     

Ahmad Mustafa.1997.Filsafat Islam.Bandung: Pustaka Setia

Ahmad Zaenul Hamdi.2004.Tujuh Filsuf Muslim.Yogyakarta: Pustaka Pesantren

Amatullah Amstrong.1996.Khazanah Istilah Sufi, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, ter. Nasrullah dan Ahmad Baiquni.Bandung: Mizan,

Asy’ari, Musa, dkk. 1992.Filsafat Islam Kajian Ontologis, Epistimologis, Aksiologis, Historis dan Porspektif, Yogyakarta: RSFI.

Dick Hartoko.1986.Kamus Populer Filsafat.Jakarta: Rajawali Press.

Harun Nasution.1979.Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya.Jakarta: UI Press

Ibn Sina.2009.Ahwāl al-Nafs.ter. M.S. Nasrullah.Bandung: Pustaka Hidayah

Jumantoro dan Syamsul Munir.2005.Kamus Ilmu Tasawuf .Wonosobo: Amza

Lorens Bagus.2002.Kamus Filsafat.Jakarta:Gramedia

M. Amin Abdullah.2006.Islamic Studies di Perguruan Tinggi.Yoyakarta: Pustaka Pelajar

Marzuki. 2015.Islam sebagai Ilmu.Jakarta: Bumi Aksara

Miska M. Amien.1983.Epistemologi Islam.Jakarta: Universitas Indonesia

MM Sharif (ed) 1998. A history of Muslem Philosophy.Delhi: Low Price Publication

Muhajir, Noeng. 2001.Filsafat Ilmu.Yogyakarta: Rakesarasin

Mulyadi Kartanegara. 2002.Panorama Filsafat Islam.Bandung: Mizan

Mustafa, Ahmad.1997 Filsafat Islam.Pustaka Setia.Bandung.

Nasution,Harun. 1973. Filsafat Agama, Bulan Bintang:Jakarta

Sudarminta.J.2002.Epistimologi Dasar, Pengantar Filsafat Pengetahuan.Yogyakarta: Kanisius

Suparman Syukur. 2007.Epistemologi Islam Skolastik.Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Suparman Syukur.1996.Epistemologi dalam Filsafat Ibn Rusyd.Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga
Surajiyo. 2008.Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia.Jakarta:Bumi Aksara

Tafsir, Ahmad. 2007.Filsafat Umum. Bandung: Remaja Rosda Karya

Zainul Hamdi, Ahmad.2004.Tujuh filsuf Muslim pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat dan Modern. Yogyakarta: Pustaka Pesantren





[1] . Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh filusuf Muslim pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat dan Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), Hal. 129
[2]. Ibid, hal. 130-131
[3]. Dr. H. Musa Asy’ari,dkk, Filsafat Islam Kajian Ontologis, Epistimologis, Aksiologis, Historis dan Porspektif, RSFI, Yogyakarta; 1992. Hal. 28
[4]. J. Sudarminta, Epistimologi Dasar, Pengantar Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2002),hal 18.  
[5] . Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia (Jakarta: Bimi Aksara, 2008), hal.26
[6] . Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Cet. III; Jakarta: Gramedia, 2002), h. 779
[7] . Noeng Muhajir, Filsafat Ilmu Edisi II (Cet. I; Yogyakarta: Rakesarasin, 2001), h. 177

[8] . Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif,(Jakarta: Kencana, 2011) hal. 11
[9] . Ibid. hal. 21
[10] . Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI Press,1979), hal, 24
[11] . Mulyadi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2002), 58. 
[12] . Ibid, hal.63
[13] . Miska M. Amien, Epistemologi Islam (Jakarta: Universitas Indonesia, 1983), 10-1  
[14] . Amatullah Amstrong, Khazanah Istilah Sufi, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, ter. Nasrullah dan Ahmad Baiquni (Bandung: Mizan, 1996), 312-3. 
[15] . Mulla Sadra, Iksir al-‘Arifin (Tokyo: Jami’ah Tokyo, 9184), 914. 
[16] . Amstrong, Khazanah Istilah..., 112.  
[17] . Jumantoro dan Syamsul Munir, Kamus Ilmu Tasawuf (Wonosobo: Amza, 2005), 86.  
[18] . M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi (Yoyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 14-5. 
[19] . Marzuki, Islam sebagai Ilmu,(Jakarta: Bumi Aksara, 2015) hal. 29
[20] .Ibid, hal. 29
[21] . Ibid, hal. 39
[22]. Ibid, Hal. 77
[23]. Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat (Jakarta: Rajawali Press, 1986), hal.79. 
[24] . Ahmad Mustafa, Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1997
[25] . Ahmad Zaenul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004),77-9
[26] .Ibn Sina, Ahwāl al-Nafs, ter. M.S. Nasrullah (Bandung: Pustaka Hidayah, 2009), 167-8. 
[27]. MM Sharif (ed), A history of Muslem Philosophy (Delhi: Low Price Publication, 1998), 159 
[28] . Suparman Syukur, Epistemologi dalam Filsafat Ibn Rusyd (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1996), 145. 
[29]. Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 84. 
[30]. Ibid., 86  
[31] . Imam al-Gazali, Ihya ‘ulum al-Din, Jilid 3 (Surabaya: Salim Nabhan, tt), 9. 
[32]. Ibid., 17.