
Pendidikan akhlak di lingkungan pesantren NU tidak bisa dilepaskan dari fondasi ideologisnya, yaitu Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah (Aswaja). Prinsip-prinsip utama Aswaja seperti tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), i'tidal (adil), dan tasamuh (toleran) bukan hanya menjadi materi ajar, tetapi juga menjadi ruh yang menjiwai seluruh proses pendidikan. Tujuannya adalah membentuk pribadi yang saleh secara ritual, sekaligus saleh secara sosial—pribadi yang mampu menempatkan diri dengan bijak di tengah masyarakat yang majemuk.
Untuk mencapai tujuan tersebut, pesantren NU menerapkan beberapa metode khas yang telah teruji oleh waktu:
1. Keteladanan Kiai sebagai Figur Sentral (Uswah Hasanah)
Di pesantren, seorang kiai bukan hanya pengajar, tetapi juga seorang mursyid (pembimbing spiritual) dan figur ayah. Para santri belajar akhlak tidak hanya dari apa yang diucapkan kiai, tetapi dari cara beliau berbicara, berjalan, makan, berinteraksi dengan tamu, hingga cara beliau menyelesaikan masalah. Keteladanan atau uswah hasanah ini menjadi metode internalisasi nilai yang paling efektif. Sikap tawadhu' (rendah hati), wara' (hati-hati), dan ikhlas (tulus) dari seorang kiai menjadi cermin hidup bagi para santri.
2. Kajian Kitab Kuning sebagai Kurikulum Akhlak
Kurikulum utama pendidikan akhlak di pesantren NU bertumpu pada kajian kitab-kitab klasik atau yang dikenal sebagai "kitab kuning". Kitab-kitab spesialis di bidang tasawuf dan akhlak menjadi bacaan wajib. Beberapa di antaranya adalah:
Ta'limul Muta'allim: Kitab dasar yang mengajarkan etika seorang penuntut ilmu, seperti cara menghormati guru, memuliakan ilmu, dan memilih teman.
Bidayatul Hidayah & Ihya Ulumiddin: Karya monumental Imam Al-Ghazali yang mengupas secara mendalam tentang cara menyucikan hati, mengendalikan hawa nafsu, dan menata adab dalam kehidupan sehari-hari.
Al-Hikam: Karya Ibnu Atha'illah As-Sakandari yang berisi kata-kata hikmah untuk memperkuat tauhid dan kebergantungan hanya kepada Allah SWT.
Melalui pengajian kitab ini, santri tidak hanya belajar teori, tetapi juga diajak untuk merenung dan mengaplikasikannya.
3. Kehidupan Asrama sebagai Laboratorium Akhlak
Pesantren adalah miniatur masyarakat. Kehidupan komunal di asrama selama 24 jam menjadi laboratorium nyata bagi para santri untuk mempraktikkan akhlak. Mereka belajar untuk bersabar saat antre, berbagi makanan, menghormati yang lebih tua (senior), menyayangi yang lebih muda (junior), menyelesaikan konflik, dan bekerja sama dalam menjaga kebersihan. Nilai-nilai seperti gotong royong, empati, dan kepedulian sosial tumbuh subur dalam ekosistem ini.
4. Riyadhah Ruhiyah (Latihan Spiritual)
Pendidikan akhlak di pesantren NU juga menekankan pentingnya disiplin spiritual (riyadhah). Amalan seperti puasa sunah, salat tahajud berjamaah, membaca Al-Qur'an, serta mengamalkan wirid dan hizib (rangkaian doa) secara rutin adalah bagian tak terpisahkan. Tujuannya adalah untuk membersihkan hati, mendekatkan diri kepada Allah, dan melatih jiwa agar tidak mudah terpengaruh oleh godaan duniawi. Proses ini diyakini sebagai fondasi utama untuk membangun akhlak yang kokoh.
Relevansi di Era Modern
Di tengah tantangan zaman seperti arus digitalisasi, radikalisme, dan krisis karakter, model pendidikan akhlak pesantren NU menunjukkan relevansinya yang semakin kuat. Pesantren terbukti mampu mencetak individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional dan spiritual. Lulusannya dibekali dengan moralitas yang kuat, sikap toleran, dan kemampuan untuk menjadi penyejuk di tengah masyarakat.
Dengan demikian, pendidikan akhlak di pondok pesantren NU bukan sekadar program, melainkan sebuah ekosistem holistik yang membentuk manusia seutuhnya (insan kamil). Ia adalah warisan berharga yang terus berkontribusi dalam menjaga keadaban dan merawat ke-Indonesiaan.