Beranda

Senin, 19 Februari 2018

THORIQOH NAQSABANDIYAH


BAB II
A.  PEMBAHASAN
A.            PENGERTIAN JAM’IYYAH AHLITH THORIQOH
AL MU’TABAROH AN-NAHDLIYYAH

Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah merupakan organisasi keagamaan sebagai wadah pengamal ajaran Thoriqoh Al Mu’tabarah, yang merupakan salah satu pilar dari ajaran Islam ala Ahlussunah Wal Jama’ah yang telah dirintis dan dikembangkan oleh para Ulama’ salafus sholihin, yang bersumber dari Rosulullah SAW. dari Malaikat Jibril AS. dan atas petunjuk Allah SWT. dengan sanad yang muttasil.
Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah merupakan suatu sarana bagi para Mursyid/Muqoddam/Khalifah, untuk lebih mengefektifkan pembinaan terhadap para murid yang telah berbaiat sekaligus sebagai forum untuk menjalin ukhuwah antar sesama penganut ajaran Thoriqoh dalam rangka meningkatkan kualitas keimanan, ketaqwaan dan keikhlasan didalam amaliyah ubudiyyah serta meningkatkan robithoh terhadap guru Mursyid/Muqoddam/Khalifah.
Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah memiliki konsep yang senafas dengan konsep dan gagasan kemerdekaan Republik Indonesia dalam rangka membangun generasi bangsa yaitu membangun manusia dari jiwa/rohaniyah dengan memperbaiki akhlaq, keimanan, ketaqwaan dan baru kemudian pembangunan fisik/jasmaniyyah.
Namun demikian dalam ajaran Thoriqoh Al Mu’tabarah tetap menjaga keseimbangan antara syariat, thoriqoh, hakikat dan ma’rifat yaitu ajaran Islam tentang Iman, Islam dan Ihsan sebagai sistem pemahaman, penghayatan dan pengamalan Islam yang menyeluruh.
Oleh karena itu Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah disamping memiliki komitmen untuk terus meningkatkan hubungan langsung kepada Allah SWT.,  juga memiliki kepedulian yang sangat tinggi terhadap permasalahan umat dalam rangka membangun bangsa dan Negara yang lebih maju, modern, bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tumbuh sebagai bangsa yang beriman bertaqwa serta berakhlaq mulia melalui proses pembinaan yang terus menerus, pengamalan Takholli, Tahalli dan Tajalli.
Keberadaan Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah adalah perwujudan dari pelaksanaan ajaran Islam Ala Ahlussunnah Waljamaah secara konsisten yang menjadi faham Jam'iyyah Nahdlatul Ulama.[1]



B.     BENTUK ORGANISASI

Organisasi keagamaan ini bernama Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah yang merupakan satu-satunya wadah bagi para pengamal ajaran Thoriqoh yang menjadi badan Otonom Jam'iyah Nahdlatul Ulama.
NU adalah Jam’iyyah Diniyyah yang berazaskan Islam Ala Ahlussunah wal Jama’ah dengan menganut salah satu dari madzhab 4 : Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali dalam bidang fiqih; menganut ajaran Al Asy’ariyah dan Al Maturidiyah dalam bidang aqidah dan menganut faham Al Khusyairi, Hasan Al Basri, Juned Al Baghdadi dan Al Ghazali dan sesamanya dalam bidang Tasawuf/Thoriqoh, didirikan pada tanggal 20 Robi’ul Awwal 1377 H. bertepatan tanggal 10 Oktober 1957 M. di Ponpes Tegalrejo Magelang Jawa Tengah, disahkan oleh Muktamar NAHDLATUL ULAMA XXVI di Semarang bulan Rajab 1399 H. bertepatan bulan Juni 1979 M.
Tokoh Pendiri :
1. KH. Abdul Wahab Hasbullah
2. KH. Bisri Syamsuri
3. KH. Dr. Idham Cholid
4. KH. Masykur
5. KH. Muslih
Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia.[2]

C.    SEJARAH THORIQOH
Thoriqoh adalah salah satu amaliyah keagamaan dalam Islam yang sebenarnya sudah ada sejak jaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan, perilaku kehidupan beliau sehari-hari adalah paktek kehidupan rohani yang dijadikan rujukan utama oleh para pengamal thoriqoh dari generasi ke generasi sampai kita sekarang.
Lihat saja, misalnya hadist yang meriwayatkan bahwa ketika Islam telah berkembang luas dan kaum Muslimin telah memperoleh kemakmuran, sahabat Umar bin Khatthab RA. berkunjung ke rumah Rosulullah SAW. Ketika dia telah masuk didalamnya, dia tertegun melihat isi rumah Beliau, yang ada hanyalah sebuah meja dan alasnya hanya sebuah jalinan daun kurma yang kasar, sementara yang tergantung di dinding hanyalah sebuah geriba (tempat air) yang biasa beliau gunakan untuk  berwudlu’. Keharuan muncul di hati Umar RA. yang kemudian tanpa disadari air matanya berlinang.
Maka kemudian Rosulullah SAW. menegurnya: ”Gerangan apakah yang membuatmu menangis, wahai sahabatku?” Umar pun menjawabnya: “Bagaimana aku tidak menangis, Ya Rosulullah!... Hanya seperti ini keadaan yang kudapati di rumah Tuan. Tidak ada perkakas dan tidak ada kekayaan kecuali sebuah meja dan sebuah geriba, padahal ditangan tuan telah tergenggam kunci Dunia Timur dan Dunia Barat, dan kemakmuran telah melimpah. Lalu beliau menjawab: “Wahai Umar aku ini adalah Rosul (utusan) Allah. Aku bukan seorang kaisar dari Romawi dan juga bukan seorang Kisra dari Persia.
Mereka hanyalah mengejar duniawi, sementara aku mengutamakan ukhrawi (akhirat) .”Suatu hari Malaikat Jibril AS. datang kepada Nabi SAW. setelah menyampaikan salam dari Allah SWT, dia bertanya: “Ya Muhammad, manakah yang engkau sukai menjadi Nabi yang kaya raya seperti Sulaiman AS atau menjadi Nabi yang papa seperti Ayub AS.?” Beliau menjawab: ”Aku lebih suka kenyang sehari dan lapar sehari".
Disaat kenyang, aku bisa bersyukur kepada Allah SWT. dan disana lapar aku bisa  bersabar dengan ujian Allah SWT. ”Bahkan suatu hari Rosulullah SAW. pernah bertanya kepada  sahabatnya: ”Bagaimana sikap kalian, jika sekiranya kelak telah terbuka untuk kalian kekayaan Romawi dan Persia?” Di antara sahabatnya ada yang segera manjawab: ”Kami akan tetap teguh memegang agama, ya Rosulullah SAW..” Tetapi beliau segera menukas: ”Pada saat itu kalian akan berkelahi sesama kalian. Dan kalian akan berpecah belah, sebagian kalian akan bermusuhan dengan sebagian yang lainnya.
Jumlah kalian banyak tetapi kalian lemah, laksana buih di lautan. Kalian akan hancur lebur seperti kayu di makan anai-anai! ”Para sahabat penasaran, lalu bertanya: ”Mengapa bisa begitu ya Rosulullah.” Lalu Nabi SAW. segera menjawabnya: ”Karena pada saat itu hati kalian telah terpaut dengan duniawi (materi) dan aku menghadapi kematian.” Di kesempatan lain beliau juga menegaskan: ”Harta benda dan kemegahan pangkat akan menimbulkan fitnah di antara kalian! ”Apa yang dinyatakan oleh Rosulullah SAW. tersebut bukanlah ramalan, karena beliau pantang untuk meramal. Tetapi adalah suatu ikhbar bil mughayyabat (peringatan) kepada umatnya agar benar-benar waspada terhadap godaan dan tipu daya dunia.
Sepeninggal Nabi pun, ternyata apa yang beliau sabdakan itu menjadi kenyataan. Fitnah yang sangat besar terjadi di separoh terakhir masa pemerintahan Khulafaurrasyidin. Dan lebih hebat lagi terjadi di zaman Daulah Bani Umayyah, dimana sistem pemerintahan telah mirip dengan kerajaan. Penguasa memiliki kekuasaan yang tak terbatas, yang cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadi mereka, keluarga atau kelompoknya dan mengalahkan kepentingan rakyat kebanyakan.
Dan akhirnya berujung pada munculnya pemberontakan yang digerakkan oleh golongan Khawarij, Syiah dan Zuhhad. Hanya saja ada perbedaan diantara mereka, kedua golongan yang pertama memberontak dengan motifasi politik, yakni untuk merebut kekuasaan dan jabatan, sementara golongan terakhir untuk mengingatkan para penguasa agar kembali kepada ajaran Islam dan memakmurkan kehidupan rohani, serta untuk menumbuhkan keadilan yang merata bagi warga masyarakat. Mereka berpendapat bahwa kehidupan rohani yang terjaga dan terpelihara dengan baik akan dapat memadamkan api fitnah, iri dengki dan dendam.
Meskipun saat itu Daulah Bani Umayyah merupakan pemerintahan yang terbesar di dunia, dengan wilayah kekuasaan yang terbentang dari daratan Asia dan Afrika di bagian timur sampai daratan Spanyol Eropa di bagian barat, pada akhinya mengalami kehancuran. Pengalaman dan nasib yang sama juga dialami oleh Daulah Bani Abasyiyah. Meskipun saat itu jumlah umat Muslim sangat banyak dan kekuasaan mereka sangat besar, tetapi hanya laksana buih di lautan atau kayu yang dimakan anai-anai, sebagaimana dinyatakan oleh Nabi SAW. di atas. Semua itu dikarenakan faktor hubb al-dunya (cinta dunia) dan karahiyat al-maut (takut menghadapi kematian). Sebab yang tampak makmur hanya kehidupan lahiriyah/duniawi, sementara kehidupan rohani/batiniyah mereka mengalami kegersangan.
Inilah yang menjadi motifasi golongan Zuhhad yang gerakan-gerakannya untuk mengajak kembali kepada ajaran Islam yang benar untuk mendekatkan diri pada Allah SWT..  Gerakan yang muncul di akhir abad ke 6 (enam) hijriyyah ini, pada mulanya merupakan kegiatan sebagian kaum Muslimin yang semata-mata berusaha mengendalikan jiwa mereka dan menempuh cara hidup untuk mencapai ridlo Allah SWT., agar tidak terpengaruh dan terpedaya oleh tipuan dan godaan duniawi (materi).
Karenanya, pada saat itu mereka lebih dikenal dengan sebutan “zuhhad” (orang-orang yang berperilaku zuhud), ”nussak” (orang-orang yang berusaha melakukan segala ajaran agama) atau “ubbad” (orang yang rajin melaksanakan ibadah). Lama kelamaan cara kehidupan rohani yang mereka tempuh, kemudian berkembang menjadi alat untuk mencapai tujuan yang lebih murni, bahkan lebih mendalam yaitu berkehendak mencapai hakekat ketuhanan dan ma’rifat (mengenal) kepeda Allah SWT. yang sebenar-benarnya, melalui riyadloh (laku prihatin), mujahadah (perjuangan batin yang sungguh-sungguh), mukasyafah (tersingkapnya tabir antara dirinya dan Allah), musyahadah (penyaksian terhadap keberadaan Allah) atau dengan istilah lain, laku batin yang mereka tempuh di mulai dengan ”takhalli” yaitu mengosongkan hati dari sifat-sifat tercela, lalu ”tahalli” yaitu menghiasi hati dengan sifat yang terpuji, lalu ”tajalli” yaitu mendapatkan pencerahan dari Allah SWT.
Tata cara kehidupan rohani tersebut kemudian tumbuh berkembang dikalangan masyarakat Muslim, yang pada akhirnya menjadi disiplin keilmuan tersendiri, yang dikenal dengan sebutan ilmu “Tashawuf”. Sejak munculyna Tashawuf Islam di akhir abad kedua hijriyah, sebagai kelanjutan dari gerakan golongan Zuhhad, muncullah istilah “Thoriqoh” yang tampilan bentuknya berbeda dan sedikit demi sedikit menunjuk pada suatu yang tertentu, yaitu sekumpulan aqidah-aqidah, akhlaq-akhlaq dan aturan-aturan tertentu bagi kaum Shufi.
Pada saat itu disebut “Thoriqoh Shufiyyah” (metode orang-orang Shufi) menjadi penyeimbang terhadap sebutan “Thoriqoh Arbabil Aql wal Fikr” (metode orang-orang yang menggunakan akal dan pikiran). Yang pertama lebih menekankan pada dzauq (rasa), sementara yang kedua lebih menekankan pada burhan (bukti nyata/empiris). Isilah “thoriqoh“ terkadang digunakan untuk menyebut suatu pembimbingan pribadi dan perilaku yang dilakukan oleh seorang Mursyid kepada muridnya.
Pengertian terakhir inilah yang lebih banyak difahami oleh banyak kalangan, ketika mendengarkan kata “thoriqoh”. Pada perkembangan berikutnya, terjadi perbedaan diantara tokoh Shufi didalam menggunakan metode laku batin mereka untuk menggapai tujuan utamanya, yaitu Allah SWT. dan ridlo-Nya. Ada yang menggunakan metode latihan-latihan jiwa, dari tingkat terendah, yaitu nafsu ammarah, ke tingkat nafsu lawwamah, terus ke nafsu muthma’inah, lalu ke nafsu mulhamah, kemudian  ke tingkat nafsu rodliyah, lalu ke nafsu mardliyyah, sampai ke nafsu kamaliyyah. Ada juga yang menggunakan metode takhalli, tahalli dan akhirnya tajalli. Ada pula yang menggunakan metode dzikir, yaitu dengan cara mulazamatudz-dzikri, yakni melanggengkan dzikir dan senantiasa mengingat Allah SWT. dalam keadaan apapun.
Dari perbedaan metode itulah, akhirnya muncul aliran-aliran thoriqoh yang mengambil nama dari tokoh-tokoh sentral aliran tersebut, seperti Qodiriyah, Rifa’iyyah, Syadzaliyyah, Dasuqiyyah/Barhamiyyah, Zainiyyah, Tijaniyyah, Naqsabandiyyah, dan lain sebagainya.

D.    SIFAT THORIQOH

Universal artinya : Thoriqoh memiliki sifat yang mendunia melampui batas-batas wilayah dan negara karena tiap-tiap aliran Thoriqoh walaupun diamalkan oleh tiap-tiap warga negara tetapi secara sanad masing-masing masih berhubungan antara satu dengan yang lainnya.
Sifat menyeluruh artinya pelaksanaan ajaran Thoriqoh sekaligus meliputi pelaksanaan Al Aqidah Al Syariah Al Muamalah dan Al Akhlaq yang bertujuan untuk Wushul Ila Allah. Tertib dan terbimbing setiap pengamal Thoriqoh harus didasarkan kepada kitab-kitab yang muktabar dengan bimbingan para Mursyid.
Al Wushul Ila Allah, Thoriqoh adalah tidak semata-mata bentuk amalan bacaan atau dzikir untuk mencari pahala tetapi Thoriqoh bertujuan membentuk manusia seutuhnya, lahiriyah bathiniyah, yang bisa mengembangkan dan merasa didengar dan dilihat oleh Allah, atas dirinya sehingga dapat memiliki beberapa sifat Al Hauf, Ar Raja’, As Shidiq, Al Mahabbah, Al Wara’, Az Zuhud, As Syukur As Shabar, Al Khaya’ dan Al Khusyu’. Semuanya itu merupakan bagian dari syarat dalam mencapai mardhotillah. Amanah; Fathonah; Shidik dan Tabligh, sebagai cahaya pancaran dari baginda nabi yang seharusnya mewarnai setiap anggota Thoriqoh, sehingga dari sifat-sifat tersebut dapat melahirkan sifat handarbeni dan menghargai segala pemberian hak individu dari lingkup yang kecil sampai yang besar baik yang diberikan oleh Allah SWT maupun pemberian oleh sebab manusia.





E.     PEMBAGIAN THORIQOH
1.      THORIQOH RIFA'IYYAH
Mu’assis Thoriqoh Rifa’iyah adalah Seorang Wali Agung Sayid Ahmad Ar-Rifa’i radliallahu ‘anhu (512-578 H). Beliau telah meletakkan dasar-dasar yang kuat dan prinsip-prinsip yang kokoh untuk thoriqoh yang mubarokah, yaitu ajakan untuk beriman dan mengikuti sunnah Rasul Allah, menjaga rukun Islam, berpegang pada keutamaan-keutamaan dan menjauhi hal-hal yang hina (sifat dan perilaku yang nista).
Diantara nasehat-nasehatnya yang terkenal antara lain:
“Hendaklah kalian berdzikir pada Alllah SWT., karena dzikrullah itu adalah magnet-magnet penghubung dan tali untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Barang siapa yang berdzikir pada Allah SWT. maka ia akan merasa aman dengan Allah dan pasti akan bisa sampai kepadanya.”
“Tasawwuf adalah berpaling dari selain Allah SWT., tidak sibuk berfikir tentang dzat Allah dan hanya berserah diri kepada Allah SWT.”

2.      THORIQOH QODIRIYAH
Mu’assis (pendiri) Thoriqoh Qodiriyah adalah Seorang Wali agung Al-Sayyid Al-Syaikh Abdul Qodir bin Musa Al-Jilany radliallahu anhu (470-561 H). Jalur nasab ayahnya sampai pada Sayidina Hasan, sedang ibunya sampai pada Sayidina Husain.
Beliau telah meletakkan dasar-dasar yang kokoh dan prinsip-prinsip yang benar untuk thoriqohnya yang agung dalam kitabnya Al-Ghaniyah li Tholibii Thoriqil-Haq dan kitabnya Al-Fath Ar-Rabbani wal Faidl Ar-Rahmaniy.
Disamping itu Beliau juga memerintahkan pada muridnya untuk berdzikir kepada Allah SWT. pada malam hari, siang hari dan setelah sholat lima waktu, agar dapat wushul kepada-Nya.
Diantara nasehat-nasehatnya yang terkenal antara lain:
“Janganlah seseorang menghukumi syirik, kufur atau nifaq kepada satu orangpun dari ahli qiblat (orang yang melaksanakan sholat). Karena hal itu tidak akan mendekatkan pada sifat kasih sayang dan tidak akan meninggikan derajat, tetapi justru menjauhkan dirinya dari memasuki ilmunya Allah SWT., tidak menjauhkan dari murka Allah dan tidak mendekatkan pada ridlo Allah dan rahmat-Nya.”
“Belajarlah fiqh, dan ‘uzlahlah karena Ia adalah pintu keagungan dan kemuliaan di sisi Allah, yang akan menyebabkan seorang hamba bersikap kasih sayang kepada makhluk semuanya.”
“Amal shaleh adalah orang yang bisa bergaul dengan Allah dengan kejujuran.”
“Hakekat syukur adalah pengakuan terhadap kenikmatan dari Sang Pemberi Nikmat.”
Thoriqoh Qodiriyah ini penganutnya tersebar meluas di Irak, Mesir, Sudan, Libya, Tunisia, Al-Jazair, daratan Afrika, dan juga Indonesia.
 
3.      THORIQOH SADZALIYAH
Pendiri Thoriqoh Syadzaliyah adalah seorang Wali Agung, Abul Hasan Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar Asy-Syadzaliy radliallahu anhu (593-656 H). Kehidupan beliau adalah kehidupan seorang syaikh pengembara di muka bumi, sambil bersungguh-sungguh dengan berdzikir dan berfikir untuk mencapai fana’ (ketiadaan diri dihadapan Allah). Dan beliau mengajarkan pada muridnya sikap zuhud pada dunia dan iqbal (perasaan hadir di hadapan Allah). Dan juga menganjurkan mereka untuk berdzikir pada Allah SWT. di setiap waktu, tempat, dan keadaan serta menempuh jalan tashawuf. Beliau juga mewasiatkan agar para muridnya membaca kitab Ihya’ ulumuddin dan kitab Quutul Qulub.
Syaikh Syadzili menjelaskan pada muridnya bahwa thoriqohnya berdiri di atas 5 (lima) perkara yang pokok, yaitu;
1. Taqwa pada Allah SWT. dalam keadaan rahasia maupun terbuka.
2. Mengikuti sunnah Nabi SAW. dalam perkataan maupun perbuatan.
3. Berpaling dari makhluk (tidak menumpukan harapan) ketika berada
didepan atau dibelakang mereka.
4. Ridlo terhadap Allah SWT. dalam (pemberian-Nya) sedikit maupun
banyak.      
5. Kembali kepada Allah SWT. dalam keadaan senang maupun duka.
Disamping mengajak mereka untuk mengiringi thoriqohnya dengan dzikirr-dzikir dan do’a–do’a sebagaimana termuat dalam kiab-kitabnya, seperti kitab Al-Ikhwah, Hizb Al-Barr, Hizb Al-Bahr, Hizb Al Kabir, Hizb Al-Lathif, Hizb Al Anwar dan sebagainya.
Thoriqoh Syadziliyah ini berkembang dan tersebar di Mesir, Sudan, Libia, Tunisia, Al-Jazair, Negeri utara Afrika dan juga Indonesia.

4.         THORIQOH AHMADIYAH
Thoriqoh Ahmadiyah yang juga terkenal dengan Thoriqoh Badawiyah ini, mu’assisnya adalah Sayyid Ahmad Al-Badawiy radliyallahu anhu (596-675 H) Beliau mempunyai banyak karangan yang berharga, diantaranya yang paling masyhur adalah kitab Ash-Sholawat, yang berupa kumpulan do’a-do’a dan dzikir-dzikir.
Diantara nasehat-nasehatnya yang terkenal antara lain:
“Jauhilah cinta dunia, karena ia akan merusak amal saleh.”
“Sayangilah anak yatim, pakaianilah orang yang telanjang, berilah makan orang yang lapar, muliakanlah orang asing dan para tamu sehingga kamu akan menjadi orang-orang yang diterima di sisi Allah SWT.”
“Janganlah merasa gembira atas musibah yang menimpa seorang makhluk Allah. Jangan berucap ghibah dan namimah. Jangan menyakiti orang yang menyakitimu, ma’afkanlah orang yang mendholimimu, berbuatlah baik terhadap orang-orang yang berbuat jelek kepadamu, dan berilah orang yang menolak (memberi)mu.”
Inilah sebagian dari ajaran beliau, disamping sejumlah dzikir-dzikir dan do’a-do’a. Thoriqoh Ahmadiyah ini mempunyai banyak cabang di Mesir dan juga tersebar ke Sudan.

5.      THORIQOH TIJANIYAH
Mu’assis Thoriqoh Tijaniyyah ini adalah wali khatmi wal katmi Sayidisy Syaikh Abul ‘Abbas Ahmad bin Muhammad At-Tijani Radliallahu ‘anhu (1150-1230 H). Jalur nasab ayahnya bersambung sampai kepada Sayidina Hasan As-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib radliallahu anhum.
Pada tahun 1196 H, Syaikh Ahmad At-Tijani pergi ke sebuah tempat yang tenang dan barokah di padang sahara, yang di situ tinggal seorang wali agung Abu Samghun. Di tempat itu beliau memperoleh Alfath al-Akbar (anugerah yang sangat besar) dari Allah SWT, yaitu bermuwajahah (bertatap muka) dengan Rasulullah SAW. secara yaqdhah (keadaan jaga/bukan mimpi). Pada saat itu Rasulullah mentalqin beliau untuk;
a). Wirid istighfar 100 kali dan shalawat 100 kali,
b). mentalqinkan wirid tersebut kepada umat Islam yang berminat sekalipun
berdosa.
              Dan juga bersabda kepada Beliau: ”Tidak ada karunia bagi seorang makhluk pun dari para guru thoriqoh atas kamu. Akulah Washilah/perantaramu dan pembimbingmu dengan sebenar-benarnya, maka tinggalkanlah semua thoriqoh yang telah kamu ikuti.”
Pelaksanaan wirid tersebut berjalan selama empat tahun. Dan pada tahun 1200 H, wirid itu disempurnakan oleh Rasulullah SAW. dengan ditambah “hailallah” (Laa ilaaha illallah). Thoriqoh Tijaniyah ini tersebar luas di Mesir, Kepulauan Arab, sebagian penjuru Asia, Afrika Hitam, dan juga di barat Afrika.
Para pengikut Thoriqoh ini mempunyai sumbangan yang besar terhadap Islam, karena mereka telah menyebarkan prinsip-prinsip Islam ke tengah-tengah kaum penyembah berhala di Afrika, dan memasukkan mereka ke dalam Islam, sebagaimana sumbangan mereka yang juga besar dalam menolak misi para misionaris Nasrani di Afrika.
Kitab tentang sejarah thoriqoh ini serta dzikir-dzikirnya telah ditulis oleh para guru Tijaniyah, yaitu Jawahirul Ma’ani wa bulughul Amani fi Faidl Asy-Syaikh At-Tijani atau yang juga dikenal dengan kitab Al-Kanais.

6.         THORIQOH NAQSYABANDIYAH
Peletak dasar Thoriqoh Naqsyabandiyah ini adalah Al-Arif Billah Asy Syaikh Muhammad bin Muhammad Bahauddin Syah Naqsyabandi Al-Uwaisi Al- Bukhori radliallahu anhu (717-865 H) .Dijelaskan oleh Syaikh Abdul Majid bin Muhammad Al Khoniy dalam bukunya Al-Hadaiq Al-Wardiyyah bahwa thoriqoh Naqsabandiyyah ini adalah thoriqohnya para sahabat yang mulia radliallahu anhum sesuai aslinya, tidak menambah dan tidak mengurangi. Ini merupakan untaian ungkapan dari langgengnya (terus menerus) ibadah lahir batin dengan kesempurnaan mengikuti sunnah yang utama dan ‘azimah yang agung serta kesempurnaan dalam menjauhi bid’ah dan rukhshah dalam segala keadaan gerak dan diam, serta langgengnya rasa khudlur bersama Allah SWT. mengikuti Nabi SAW. dengan segala yang beliau sabdakan dan memperbanyak dzikir qalbiy.
Dzikirnya para guru Naqsyabandiyah adalah Qalbiyah (menggunakan hati). Dengan itu mereka bertujuan hanya kepada Allah SWT. semata dengan tanpa riya’, dan mereka tidak mengatakan suatu perkataan dan tidak membaca suatu wirid kecuali dengan dalil atau sanad dari kitab Allah SWT. atau sunnah Nabi Muhammad SAW.
Asy-Syaikh Musthofa bin Abu Bakar Ghiyasuddin An-Naqsyabandiy menyatakan dalam risalahnya Ath Thoriqoh An-Naqsabandiyah Thoriqoh Muhammadiyah bahwa thoriqoh ini memiliki tiga marhalah;
a.       Hendaklah anggota badan kita berhias dengan dhohirnya syari’ah
Muhammadiyah.
b.      Hendaklah jiwa- jiwa kita bersih dari nafsu-nafsu yang hina, yaitu
hasad, thama’, riya, nifaq, dan ‘ujub pada diri sendiri. Karena hal itu merupakan sifat yang paling buruk dan karenanya iblis mendapatkan laknat.
c. Berteman dengan shodikin (orang-orang yang berhati jujur)
Thoriqoh Naqsyabandiyah ini mempunyai banyak cabang aliran thoriqoh di Mesir, Turki, juga Indonesia.

7.         THORIQOH DASUQIYAH

Thoriqoh Dasuqiyah yang juga terkenal dengan Thoriqoh Barhimiyah, mu’assisnya adalah Wali Agung Sayyid Ibrahim Ad-Dasuqiy radliallahu anhu (623-676 H).
Diantara nasehat-nasehatnya yang terkenal antara lain:
“Diantara yang wajib bagi murid adalah penela’ahan terhadap sesuatu yang didalamnya terdapat manaqib para shalihin dan peninggalan-peninggalan mereka berupa ilmu dan amal.”
“Barang siapa yang tidak bersifat iffah (menjaga kehormatan diri), bersih dan mulia, maka dia bukanlah anakku walau dari tulang rusukku.”
Barang siapa yang menetapi thoriqoh, agama, zuhud, wira’i dan sedikit tama’, maka dialah anakku sekalipun dari negeri yang jauh.”
“Demi Allah Swt, tidaklah seorang murid itu benar-benar mahabbahnya kepada thoriqoh kecuali akan tumbuh hikmah di dalam hatinya.”
Itulah antara lain wasiat Beliau kepada para muridnya, yang merupakan fondasi thoriqohnya, disamping sejumlah dzikir, wirid, dan do’a untuk taqarub kepada ‘Allamul-Ghuyub (Allah).
Thoriqoh Dasuqiyah ini tumbuh dan berkembang di Mesir dan menyebar luas di Sudan.











BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Demikian, dari pembahasan di atas dapat disimpulkan dengan tujuan beberapa hal sebagai berikut:
1.      Mensosialisasikan Thoriqoh ditengah-tengah masyarakat dengan menghindari terjadinya konflik-konflik yang disebabkan karena khilafiyah (perbedaan) dan menghindari segala sesuatu yang memberatkan bagi para penganut Thoriqoh.
2.      Mengupayakan berlakunya Syari’at Islam Ala Ahlussunah wal-Jama’ah secara konsisten dalam bidang syari’at, Thoriqoh, Hakikat dan Ma’rifat ditengah masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia
3.      Menyebarluaskan dan mengembangkan ajaran Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah melalui kegiatan-kegiatan khususiyyah Thoriqiyyah/Tawajjuhan
4.      Mengembangkan, mempercepat, mempergiat dan memelihara ukhuwah Thoriqiyyah An Nahdliyyah sesama pengamal Thoriqoh, meningkatkan tasyammuh antar aliran–aliran Thoriqoh dan meningkatkan ilmu nafi’ dan amal shalih dlohir dan bathin menurut Ulama Sholihin dengan bai’at yang shoheh
5.      Dibidang agama; mensyi’arkan dan mempergiat pelaksanaan ajaran Islam utamanya mu’taqod Islam menurut faham Ahlussunah wal Jama’ah
6.      Dibidang akhlaq; mengembangkan Takholli, Tahalli dan Tajalli dalam rangka tercapainya ahlaqul karimah
7.      Dibidang ukhuwah Islamiyyah; mempererat dan memperkuat tali persaudaraan sesama penganut dan pengamal ajaran Thoriqoh utamanya hubungan antara Mursyid/Muqaddam, Khalifah, Badal dan Muridin/Muridat
8.      Dibidang Thoriqoh; mengusahakan tercapainya Asysyari’atil Ghourok wath-Thoriqil Baidlo’, yakni syari’at Islamiyyah dan Thoriqoh muttasil sanaduha ila-Rasulillah Shallallahu Alaihi Wasallam
9.      Dibidang sosial; meningkatkan amar ma’ruf dan nahi mungkar kepada umat dengan hikmah dan mau’idloh hasanah serta menghindari upaya kekerasan
10.  Dibidang wathoniyyah; meningkatkan kecintaan tanah air, menjaga tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.






DAFTAR PUSTAKA
Jabir,Abu bakar, Ensiklopedia Islam, jakarta,darul fajar, 2000
http://www. jam’iyyah ahlith thoriqoh al mu’tabaroh an-nahdliyyah.com
http://www. nu.com
mukhtar hadi, memahami ilmu tasawuf, sebuah pengantar ilmu tasawuf, aurora media,Yogyakarta 2009
sudirman tebba, tasawuf positif, kencana, Bogor, 2003



[1] http://www. jam’iyyah ahlith thoriqoh al mu’tabaroh an-nahdliyyah.com
[2] http://www.nu.com