BAB II
A. PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN JAM’IYYAH AHLITH THORIQOH
AL
MU’TABAROH AN-NAHDLIYYAH
Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah merupakan
organisasi keagamaan sebagai wadah pengamal ajaran Thoriqoh Al Mu’tabarah, yang
merupakan salah satu pilar dari ajaran Islam ala Ahlussunah Wal Jama’ah yang
telah dirintis dan dikembangkan oleh para Ulama’ salafus sholihin, yang
bersumber dari Rosulullah SAW. dari Malaikat Jibril AS. dan atas petunjuk Allah
SWT. dengan sanad yang muttasil.
Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah merupakan suatu
sarana bagi para Mursyid/Muqoddam/Khalifah, untuk lebih mengefektifkan
pembinaan terhadap para murid yang telah berbaiat sekaligus sebagai forum untuk
menjalin ukhuwah antar sesama penganut ajaran Thoriqoh dalam rangka
meningkatkan kualitas keimanan, ketaqwaan dan keikhlasan didalam amaliyah
ubudiyyah serta meningkatkan robithoh terhadap guru Mursyid/Muqoddam/Khalifah.
Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah memiliki konsep
yang senafas dengan konsep dan gagasan kemerdekaan Republik Indonesia dalam
rangka membangun generasi bangsa yaitu membangun manusia dari jiwa/rohaniyah
dengan memperbaiki akhlaq, keimanan, ketaqwaan dan baru kemudian pembangunan
fisik/jasmaniyyah.
Namun demikian dalam ajaran Thoriqoh Al Mu’tabarah tetap menjaga
keseimbangan antara syariat, thoriqoh, hakikat dan ma’rifat yaitu ajaran Islam
tentang Iman, Islam dan Ihsan sebagai sistem pemahaman, penghayatan dan
pengamalan Islam yang menyeluruh.
Oleh karena itu Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah
disamping memiliki komitmen untuk terus meningkatkan hubungan langsung kepada
Allah SWT., juga memiliki kepedulian yang sangat tinggi terhadap
permasalahan umat dalam rangka membangun bangsa dan Negara yang lebih maju,
modern, bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tumbuh
sebagai bangsa yang beriman bertaqwa serta berakhlaq mulia melalui proses
pembinaan yang terus menerus, pengamalan Takholli, Tahalli dan Tajalli.
Keberadaan Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah adalah
perwujudan dari pelaksanaan ajaran Islam Ala Ahlussunnah Waljamaah secara
konsisten yang menjadi faham Jam'iyyah Nahdlatul Ulama.[1]
B.
BENTUK
ORGANISASI
Organisasi
keagamaan ini bernama Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah
yang merupakan satu-satunya wadah bagi para pengamal ajaran Thoriqoh yang
menjadi badan Otonom Jam'iyah Nahdlatul Ulama.
NU
adalah Jam’iyyah Diniyyah yang berazaskan Islam Ala Ahlussunah wal Jama’ah
dengan menganut salah satu dari madzhab 4 : Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali
dalam bidang fiqih; menganut ajaran Al Asy’ariyah dan Al Maturidiyah dalam
bidang aqidah dan menganut faham Al Khusyairi, Hasan Al Basri, Juned Al
Baghdadi dan Al Ghazali dan sesamanya dalam bidang Tasawuf/Thoriqoh, didirikan
pada tanggal 20 Robi’ul Awwal 1377 H. bertepatan tanggal 10 Oktober 1957 M. di
Ponpes Tegalrejo Magelang Jawa Tengah, disahkan oleh Muktamar NAHDLATUL ULAMA
XXVI di Semarang bulan Rajab 1399 H. bertepatan bulan Juni 1979 M.
Tokoh
Pendiri :
1. KH. Abdul Wahab Hasbullah
2. KH. Bisri Syamsuri
3. KH. Dr. Idham Cholid
4. KH. Masykur
5. KH. Muslih
2. KH. Bisri Syamsuri
3. KH. Dr. Idham Cholid
4. KH. Masykur
5. KH. Muslih
Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An
Nahdliyyah berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia.[2]
C.
SEJARAH THORIQOH
Thoriqoh adalah salah satu amaliyah keagamaan dalam Islam yang sebenarnya
sudah ada sejak jaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan, perilaku kehidupan beliau
sehari-hari adalah paktek kehidupan rohani yang dijadikan rujukan utama oleh
para pengamal thoriqoh dari generasi ke generasi sampai kita sekarang.
Lihat saja, misalnya hadist yang meriwayatkan bahwa ketika Islam telah
berkembang luas dan kaum Muslimin telah memperoleh kemakmuran, sahabat Umar bin
Khatthab RA. berkunjung ke rumah Rosulullah SAW. Ketika dia telah masuk
didalamnya, dia tertegun melihat isi rumah Beliau, yang ada hanyalah sebuah meja
dan alasnya hanya sebuah jalinan daun kurma yang kasar, sementara yang
tergantung di dinding hanyalah sebuah geriba (tempat air) yang biasa beliau
gunakan untuk berwudlu’. Keharuan muncul di hati Umar RA. yang kemudian
tanpa disadari air matanya berlinang.
Maka kemudian Rosulullah SAW. menegurnya: ”Gerangan apakah yang membuatmu
menangis, wahai sahabatku?” Umar pun menjawabnya: “Bagaimana aku tidak
menangis, Ya Rosulullah!... Hanya seperti ini keadaan yang kudapati di rumah
Tuan. Tidak ada perkakas dan tidak ada kekayaan kecuali sebuah meja dan sebuah
geriba, padahal ditangan tuan telah tergenggam kunci Dunia Timur dan Dunia
Barat, dan kemakmuran telah melimpah. Lalu beliau menjawab: “Wahai Umar aku ini
adalah Rosul (utusan) Allah. Aku bukan seorang kaisar dari Romawi dan juga
bukan seorang Kisra dari Persia.
Mereka hanyalah mengejar duniawi, sementara aku mengutamakan ukhrawi
(akhirat) .”Suatu hari Malaikat Jibril AS. datang kepada Nabi SAW. setelah
menyampaikan salam dari Allah SWT, dia bertanya: “Ya Muhammad, manakah yang
engkau sukai menjadi Nabi yang kaya raya seperti Sulaiman AS atau menjadi Nabi
yang papa seperti Ayub AS.?” Beliau menjawab: ”Aku lebih suka kenyang sehari
dan lapar sehari".
Disaat kenyang, aku bisa bersyukur kepada Allah SWT. dan disana lapar aku
bisa bersabar dengan ujian Allah SWT. ”Bahkan suatu hari Rosulullah SAW.
pernah bertanya kepada sahabatnya: ”Bagaimana sikap kalian, jika
sekiranya kelak telah terbuka untuk kalian kekayaan Romawi dan Persia?” Di
antara sahabatnya ada yang segera manjawab: ”Kami akan tetap teguh memegang
agama, ya Rosulullah SAW..” Tetapi beliau segera menukas: ”Pada saat itu kalian
akan berkelahi sesama kalian. Dan kalian akan berpecah belah, sebagian kalian
akan bermusuhan dengan sebagian yang lainnya.
Jumlah kalian banyak tetapi kalian lemah, laksana buih di lautan. Kalian
akan hancur lebur seperti kayu di makan anai-anai! ”Para sahabat penasaran,
lalu bertanya: ”Mengapa bisa begitu ya Rosulullah.” Lalu Nabi SAW. segera
menjawabnya: ”Karena pada saat itu hati kalian telah terpaut dengan duniawi
(materi) dan aku menghadapi kematian.” Di kesempatan lain beliau juga
menegaskan: ”Harta benda dan kemegahan pangkat akan menimbulkan fitnah di
antara kalian! ”Apa yang dinyatakan oleh Rosulullah SAW. tersebut bukanlah ramalan,
karena beliau pantang untuk meramal. Tetapi adalah suatu ikhbar bil mughayyabat
(peringatan) kepada umatnya agar benar-benar waspada terhadap godaan dan tipu
daya dunia.
Sepeninggal Nabi pun, ternyata apa yang beliau sabdakan itu menjadi
kenyataan. Fitnah yang sangat besar terjadi di separoh terakhir masa
pemerintahan Khulafaurrasyidin. Dan lebih hebat lagi terjadi di zaman Daulah
Bani Umayyah, dimana sistem pemerintahan telah mirip dengan kerajaan. Penguasa
memiliki kekuasaan yang tak terbatas, yang cenderung lebih mengutamakan
kepentingan pribadi mereka, keluarga atau kelompoknya dan mengalahkan
kepentingan rakyat kebanyakan.
Dan akhirnya berujung pada munculnya pemberontakan yang digerakkan oleh
golongan Khawarij, Syiah dan Zuhhad. Hanya saja ada perbedaan diantara mereka,
kedua golongan yang pertama memberontak dengan motifasi politik, yakni untuk
merebut kekuasaan dan jabatan, sementara golongan terakhir untuk mengingatkan
para penguasa agar kembali kepada ajaran Islam dan memakmurkan kehidupan rohani,
serta untuk menumbuhkan keadilan yang merata bagi warga masyarakat. Mereka
berpendapat bahwa kehidupan rohani yang terjaga dan terpelihara dengan baik
akan dapat memadamkan api fitnah, iri dengki dan dendam.
Meskipun saat itu Daulah Bani Umayyah merupakan pemerintahan yang
terbesar di dunia, dengan wilayah kekuasaan yang terbentang dari daratan Asia
dan Afrika di bagian timur sampai daratan Spanyol Eropa di bagian barat, pada
akhinya mengalami kehancuran. Pengalaman dan nasib yang sama juga dialami oleh
Daulah Bani Abasyiyah. Meskipun saat itu jumlah umat Muslim sangat banyak dan
kekuasaan mereka sangat besar, tetapi hanya laksana buih di lautan atau kayu
yang dimakan anai-anai, sebagaimana dinyatakan oleh Nabi SAW. di atas. Semua
itu dikarenakan faktor hubb al-dunya (cinta dunia) dan karahiyat al-maut (takut
menghadapi kematian). Sebab yang tampak makmur hanya kehidupan
lahiriyah/duniawi, sementara kehidupan rohani/batiniyah mereka mengalami
kegersangan.
Inilah yang menjadi motifasi golongan Zuhhad yang gerakan-gerakannya
untuk mengajak kembali kepada ajaran Islam yang benar untuk mendekatkan diri
pada Allah SWT.. Gerakan yang muncul di akhir abad ke 6 (enam) hijriyyah
ini, pada mulanya merupakan kegiatan sebagian kaum Muslimin yang semata-mata
berusaha mengendalikan jiwa mereka dan menempuh cara hidup untuk mencapai ridlo
Allah SWT., agar tidak terpengaruh dan terpedaya oleh tipuan dan godaan duniawi
(materi).
Karenanya, pada saat itu mereka lebih dikenal dengan sebutan “zuhhad”
(orang-orang yang berperilaku zuhud), ”nussak” (orang-orang yang berusaha
melakukan segala ajaran agama) atau “ubbad” (orang yang rajin melaksanakan
ibadah). Lama kelamaan cara kehidupan rohani yang mereka tempuh, kemudian
berkembang menjadi alat untuk mencapai tujuan yang lebih murni, bahkan lebih
mendalam yaitu berkehendak mencapai hakekat ketuhanan dan ma’rifat (mengenal)
kepeda Allah SWT. yang sebenar-benarnya, melalui riyadloh (laku prihatin),
mujahadah (perjuangan batin yang sungguh-sungguh), mukasyafah (tersingkapnya tabir
antara dirinya dan Allah), musyahadah (penyaksian terhadap keberadaan Allah)
atau dengan istilah lain, laku batin yang mereka tempuh di mulai dengan
”takhalli” yaitu mengosongkan hati dari sifat-sifat tercela, lalu ”tahalli”
yaitu menghiasi hati dengan sifat yang terpuji, lalu ”tajalli” yaitu
mendapatkan pencerahan dari Allah SWT.
Tata cara kehidupan rohani tersebut kemudian tumbuh berkembang dikalangan
masyarakat Muslim, yang pada akhirnya menjadi disiplin keilmuan tersendiri,
yang dikenal dengan sebutan ilmu “Tashawuf”. Sejak munculyna Tashawuf Islam di
akhir abad kedua hijriyah, sebagai kelanjutan dari gerakan golongan Zuhhad,
muncullah istilah “Thoriqoh” yang tampilan bentuknya berbeda dan sedikit demi
sedikit menunjuk pada suatu yang tertentu, yaitu sekumpulan aqidah-aqidah,
akhlaq-akhlaq dan aturan-aturan tertentu bagi kaum Shufi.
Pada saat itu disebut “Thoriqoh Shufiyyah” (metode orang-orang Shufi)
menjadi penyeimbang terhadap sebutan “Thoriqoh Arbabil Aql wal Fikr” (metode
orang-orang yang menggunakan akal dan pikiran). Yang pertama lebih menekankan
pada dzauq (rasa), sementara yang kedua lebih menekankan pada burhan (bukti
nyata/empiris). Isilah “thoriqoh“ terkadang digunakan untuk menyebut suatu
pembimbingan pribadi dan perilaku yang dilakukan oleh seorang Mursyid kepada
muridnya.
Pengertian terakhir inilah yang lebih banyak difahami oleh banyak
kalangan, ketika mendengarkan kata “thoriqoh”. Pada perkembangan berikutnya,
terjadi perbedaan diantara tokoh Shufi didalam menggunakan metode laku batin
mereka untuk menggapai tujuan utamanya, yaitu Allah SWT. dan ridlo-Nya. Ada
yang menggunakan metode latihan-latihan jiwa, dari tingkat terendah, yaitu
nafsu ammarah, ke tingkat nafsu lawwamah, terus ke nafsu muthma’inah, lalu ke
nafsu mulhamah, kemudian ke tingkat nafsu rodliyah, lalu ke nafsu
mardliyyah, sampai ke nafsu kamaliyyah. Ada juga yang menggunakan metode
takhalli, tahalli dan akhirnya tajalli. Ada pula yang menggunakan metode
dzikir, yaitu dengan cara mulazamatudz-dzikri, yakni melanggengkan dzikir dan
senantiasa mengingat Allah SWT. dalam keadaan apapun.
Dari perbedaan metode itulah, akhirnya muncul
aliran-aliran thoriqoh yang mengambil nama dari tokoh-tokoh sentral aliran
tersebut, seperti Qodiriyah, Rifa’iyyah, Syadzaliyyah, Dasuqiyyah/Barhamiyyah,
Zainiyyah, Tijaniyyah, Naqsabandiyyah, dan lain sebagainya.
D. SIFAT THORIQOH
Universal
artinya : Thoriqoh memiliki sifat yang mendunia melampui batas-batas wilayah
dan negara karena tiap-tiap aliran Thoriqoh walaupun diamalkan oleh tiap-tiap
warga negara tetapi secara sanad masing-masing masih berhubungan antara satu
dengan yang lainnya.
Sifat
menyeluruh artinya pelaksanaan ajaran Thoriqoh sekaligus meliputi pelaksanaan
Al Aqidah Al Syariah Al Muamalah dan Al Akhlaq yang bertujuan untuk Wushul Ila
Allah. Tertib dan terbimbing setiap pengamal Thoriqoh harus didasarkan kepada
kitab-kitab yang muktabar dengan bimbingan para Mursyid.
Al
Wushul Ila Allah, Thoriqoh adalah tidak semata-mata bentuk amalan bacaan atau
dzikir untuk mencari pahala tetapi Thoriqoh bertujuan membentuk manusia
seutuhnya, lahiriyah bathiniyah, yang bisa mengembangkan dan merasa didengar
dan dilihat oleh Allah, atas dirinya sehingga dapat memiliki beberapa sifat Al
Hauf, Ar Raja’, As Shidiq, Al Mahabbah, Al Wara’, Az Zuhud, As Syukur As
Shabar, Al Khaya’ dan Al Khusyu’. Semuanya itu merupakan bagian dari syarat
dalam mencapai mardhotillah. Amanah; Fathonah; Shidik dan Tabligh, sebagai
cahaya pancaran dari baginda nabi yang seharusnya mewarnai setiap anggota
Thoriqoh, sehingga dari sifat-sifat tersebut dapat melahirkan sifat handarbeni
dan menghargai segala pemberian hak individu dari lingkup yang kecil sampai
yang besar baik yang diberikan oleh Allah SWT maupun pemberian oleh sebab
manusia.
E.
PEMBAGIAN THORIQOH
1.
THORIQOH RIFA'IYYAH
Mu’assis
Thoriqoh Rifa’iyah adalah Seorang Wali Agung Sayid Ahmad Ar-Rifa’i radliallahu
‘anhu (512-578 H). Beliau telah meletakkan dasar-dasar yang kuat dan
prinsip-prinsip yang kokoh untuk thoriqoh yang mubarokah, yaitu ajakan untuk
beriman dan mengikuti sunnah Rasul Allah, menjaga rukun Islam, berpegang pada
keutamaan-keutamaan dan menjauhi hal-hal yang hina (sifat dan perilaku yang
nista).
Diantara
nasehat-nasehatnya yang terkenal antara lain:
“Hendaklah kalian berdzikir pada Alllah SWT.,
karena dzikrullah itu adalah magnet-magnet penghubung dan tali untuk
mendekatkan diri kepada-Nya. Barang siapa yang berdzikir pada Allah SWT. maka
ia akan merasa aman dengan Allah dan pasti akan bisa sampai kepadanya.”
“Tasawwuf adalah
berpaling dari selain Allah SWT., tidak sibuk berfikir tentang dzat Allah dan
hanya berserah diri kepada Allah SWT.”
2. THORIQOH QODIRIYAH
Mu’assis
(pendiri) Thoriqoh Qodiriyah adalah Seorang Wali agung Al-Sayyid Al-Syaikh
Abdul Qodir bin Musa Al-Jilany radliallahu anhu (470-561 H). Jalur nasab
ayahnya sampai pada Sayidina Hasan, sedang ibunya sampai pada Sayidina Husain.
Beliau
telah meletakkan dasar-dasar yang kokoh dan prinsip-prinsip yang benar untuk
thoriqohnya yang agung dalam kitabnya Al-Ghaniyah li Tholibii Thoriqil-Haq dan
kitabnya Al-Fath Ar-Rabbani wal Faidl Ar-Rahmaniy.
Disamping
itu Beliau juga memerintahkan pada muridnya untuk berdzikir kepada Allah SWT.
pada malam hari, siang hari dan setelah sholat lima waktu, agar dapat wushul
kepada-Nya.
Diantara nasehat-nasehatnya yang terkenal
antara lain:
“Janganlah seseorang menghukumi syirik, kufur
atau nifaq kepada satu orangpun dari ahli qiblat (orang yang melaksanakan
sholat). Karena hal itu tidak akan mendekatkan pada sifat kasih sayang dan
tidak akan meninggikan derajat, tetapi justru menjauhkan dirinya dari memasuki
ilmunya Allah SWT., tidak menjauhkan dari murka Allah dan tidak mendekatkan
pada ridlo Allah dan rahmat-Nya.”
“Belajarlah fiqh, dan ‘uzlahlah karena Ia
adalah pintu keagungan dan kemuliaan di sisi Allah, yang akan menyebabkan
seorang hamba bersikap kasih sayang kepada makhluk semuanya.”
“Amal shaleh adalah orang yang bisa bergaul
dengan Allah dengan kejujuran.”
“Hakekat syukur adalah pengakuan terhadap
kenikmatan dari Sang Pemberi Nikmat.”
Thoriqoh Qodiriyah ini penganutnya tersebar meluas di Irak, Mesir, Sudan,
Libya, Tunisia, Al-Jazair, daratan Afrika, dan juga Indonesia.
3.
THORIQOH SADZALIYAH
Pendiri
Thoriqoh Syadzaliyah adalah seorang Wali Agung, Abul Hasan Ali bin Abdullah bin
Abdul Jabbar Asy-Syadzaliy radliallahu anhu (593-656 H). Kehidupan beliau
adalah kehidupan seorang syaikh pengembara di muka bumi, sambil
bersungguh-sungguh dengan berdzikir dan berfikir untuk mencapai fana’
(ketiadaan diri dihadapan Allah). Dan beliau mengajarkan pada muridnya sikap
zuhud pada dunia dan iqbal (perasaan hadir di hadapan Allah). Dan juga
menganjurkan mereka untuk berdzikir pada Allah SWT. di setiap waktu, tempat,
dan keadaan serta menempuh jalan tashawuf. Beliau juga mewasiatkan agar para
muridnya membaca kitab Ihya’ ulumuddin dan kitab Quutul Qulub.
Syaikh
Syadzili menjelaskan pada muridnya bahwa thoriqohnya berdiri di atas 5 (lima)
perkara yang pokok, yaitu;
1. Taqwa pada Allah SWT.
dalam keadaan rahasia maupun terbuka.
2. Mengikuti sunnah Nabi SAW. dalam
perkataan maupun perbuatan.
3. Berpaling dari makhluk (tidak
menumpukan harapan) ketika berada
didepan atau dibelakang
mereka.
4. Ridlo terhadap Allah SWT. dalam (pemberian-Nya)
sedikit maupun
banyak.
5. Kembali kepada Allah
SWT. dalam keadaan senang maupun duka.
Disamping mengajak mereka untuk mengiringi thoriqohnya
dengan dzikirr-dzikir dan do’a–do’a sebagaimana termuat dalam kiab-kitabnya,
seperti kitab Al-Ikhwah, Hizb Al-Barr, Hizb Al-Bahr, Hizb Al Kabir, Hizb
Al-Lathif, Hizb Al Anwar dan sebagainya.
Thoriqoh Syadziliyah ini
berkembang dan tersebar di Mesir, Sudan, Libia, Tunisia, Al-Jazair, Negeri
utara Afrika dan juga Indonesia.
4.
THORIQOH AHMADIYAH
Thoriqoh
Ahmadiyah yang juga terkenal dengan Thoriqoh Badawiyah ini, mu’assisnya adalah
Sayyid Ahmad Al-Badawiy radliyallahu anhu (596-675 H) Beliau mempunyai banyak
karangan yang berharga, diantaranya yang paling masyhur adalah kitab
Ash-Sholawat, yang berupa kumpulan do’a-do’a dan dzikir-dzikir.
Diantara
nasehat-nasehatnya yang terkenal antara lain:
“Jauhilah cinta dunia, karena ia akan merusak
amal saleh.”
“Sayangilah anak yatim, pakaianilah orang yang
telanjang, berilah makan orang yang lapar, muliakanlah orang asing dan para
tamu sehingga kamu akan menjadi orang-orang yang diterima di sisi Allah SWT.”
“Janganlah merasa gembira
atas musibah yang menimpa seorang makhluk Allah. Jangan berucap ghibah dan
namimah. Jangan menyakiti orang yang menyakitimu, ma’afkanlah orang yang
mendholimimu, berbuatlah baik terhadap orang-orang yang berbuat jelek kepadamu,
dan berilah orang yang menolak (memberi)mu.”
Inilah sebagian dari
ajaran beliau, disamping sejumlah dzikir-dzikir dan do’a-do’a. Thoriqoh
Ahmadiyah ini mempunyai banyak cabang di Mesir dan juga tersebar ke Sudan.
5.
THORIQOH TIJANIYAH
Mu’assis Thoriqoh
Tijaniyyah ini adalah wali khatmi wal katmi Sayidisy Syaikh Abul ‘Abbas Ahmad
bin Muhammad At-Tijani Radliallahu ‘anhu (1150-1230 H). Jalur nasab ayahnya
bersambung sampai kepada Sayidina Hasan As-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib
radliallahu anhum.
Pada tahun 1196 H,
Syaikh Ahmad At-Tijani pergi ke sebuah tempat yang tenang dan barokah di padang
sahara, yang di situ tinggal seorang wali agung Abu Samghun. Di tempat itu
beliau memperoleh Alfath al-Akbar (anugerah yang sangat besar) dari Allah SWT,
yaitu bermuwajahah (bertatap muka) dengan Rasulullah SAW. secara yaqdhah
(keadaan jaga/bukan mimpi). Pada saat itu Rasulullah mentalqin beliau untuk;
a). Wirid istighfar 100 kali
dan shalawat 100 kali,
b). mentalqinkan wirid
tersebut kepada umat Islam yang berminat sekalipun
berdosa.
Dan
juga bersabda kepada Beliau: ”Tidak ada karunia bagi seorang makhluk pun dari
para guru thoriqoh atas kamu. Akulah Washilah/perantaramu dan pembimbingmu
dengan sebenar-benarnya, maka tinggalkanlah semua thoriqoh yang telah kamu
ikuti.”
Pelaksanaan wirid tersebut berjalan selama empat tahun.
Dan pada tahun 1200 H, wirid itu disempurnakan oleh Rasulullah SAW. dengan
ditambah “hailallah” (Laa ilaaha illallah). Thoriqoh Tijaniyah ini tersebar
luas di Mesir, Kepulauan Arab, sebagian penjuru Asia, Afrika Hitam, dan juga di
barat Afrika.
Para pengikut Thoriqoh
ini mempunyai sumbangan yang besar terhadap Islam, karena mereka telah
menyebarkan prinsip-prinsip Islam ke tengah-tengah kaum penyembah berhala di
Afrika, dan memasukkan mereka ke dalam Islam, sebagaimana sumbangan mereka yang
juga besar dalam menolak misi para misionaris Nasrani di Afrika.
Kitab tentang sejarah thoriqoh ini serta dzikir-dzikirnya
telah ditulis oleh para guru Tijaniyah, yaitu Jawahirul Ma’ani wa bulughul
Amani fi Faidl Asy-Syaikh At-Tijani atau yang juga dikenal dengan kitab
Al-Kanais.
6.
THORIQOH NAQSYABANDIYAH
Peletak dasar Thoriqoh Naqsyabandiyah ini adalah Al-Arif Billah Asy
Syaikh Muhammad bin Muhammad Bahauddin Syah Naqsyabandi Al-Uwaisi Al- Bukhori
radliallahu anhu (717-865 H) .Dijelaskan
oleh Syaikh Abdul Majid bin Muhammad Al Khoniy dalam bukunya Al-Hadaiq
Al-Wardiyyah bahwa thoriqoh Naqsabandiyyah ini adalah thoriqohnya para sahabat
yang mulia radliallahu anhum sesuai aslinya, tidak menambah dan tidak
mengurangi. Ini merupakan untaian ungkapan dari langgengnya (terus menerus)
ibadah lahir batin dengan kesempurnaan mengikuti sunnah yang utama dan ‘azimah
yang agung serta kesempurnaan dalam menjauhi bid’ah dan rukhshah dalam segala
keadaan gerak dan diam, serta langgengnya rasa khudlur bersama Allah SWT.
mengikuti Nabi SAW. dengan segala yang beliau sabdakan dan memperbanyak dzikir
qalbiy.
Dzikirnya para guru
Naqsyabandiyah adalah Qalbiyah (menggunakan hati). Dengan itu mereka bertujuan
hanya kepada Allah SWT. semata dengan tanpa riya’, dan mereka tidak mengatakan
suatu perkataan dan tidak membaca suatu wirid kecuali dengan dalil atau sanad
dari kitab Allah SWT. atau sunnah Nabi Muhammad SAW.
Asy-Syaikh Musthofa
bin Abu Bakar Ghiyasuddin An-Naqsyabandiy menyatakan dalam risalahnya Ath
Thoriqoh An-Naqsabandiyah Thoriqoh Muhammadiyah bahwa thoriqoh ini memiliki
tiga marhalah;
a. Hendaklah anggota badan kita berhias dengan
dhohirnya syari’ah
Muhammadiyah.
b. Hendaklah jiwa- jiwa kita bersih dari
nafsu-nafsu yang hina, yaitu
hasad, thama’, riya, nifaq, dan ‘ujub pada
diri sendiri. Karena hal itu merupakan sifat yang paling buruk dan
karenanya iblis mendapatkan laknat.
c. Berteman dengan shodikin (orang-orang yang berhati
jujur)
Thoriqoh Naqsyabandiyah
ini mempunyai banyak cabang aliran thoriqoh di Mesir, Turki, juga Indonesia.
7.
THORIQOH DASUQIYAH
Thoriqoh Dasuqiyah
yang juga terkenal dengan Thoriqoh Barhimiyah, mu’assisnya adalah Wali Agung
Sayyid Ibrahim Ad-Dasuqiy radliallahu anhu (623-676 H).
Diantara
nasehat-nasehatnya yang terkenal antara lain:
“Diantara yang wajib bagi murid adalah
penela’ahan terhadap sesuatu yang didalamnya terdapat manaqib para shalihin dan
peninggalan-peninggalan mereka berupa ilmu dan amal.”
“Barang siapa yang tidak bersifat iffah
(menjaga kehormatan diri), bersih dan mulia, maka dia bukanlah anakku walau
dari tulang rusukku.”
Barang siapa yang menetapi thoriqoh, agama,
zuhud, wira’i dan sedikit tama’, maka dialah anakku sekalipun dari negeri yang
jauh.”
“Demi Allah Swt, tidaklah seorang murid itu
benar-benar mahabbahnya kepada thoriqoh kecuali akan tumbuh hikmah di dalam
hatinya.”
Itulah antara lain
wasiat Beliau kepada para muridnya, yang merupakan fondasi thoriqohnya,
disamping sejumlah dzikir, wirid, dan do’a untuk taqarub kepada ‘Allamul-Ghuyub
(Allah).
Thoriqoh Dasuqiyah
ini tumbuh dan berkembang di Mesir dan menyebar luas di Sudan.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Demikian, dari pembahasan di atas dapat
disimpulkan dengan tujuan beberapa hal sebagai berikut:
1. Mensosialisasikan Thoriqoh ditengah-tengah
masyarakat dengan menghindari terjadinya konflik-konflik yang disebabkan karena
khilafiyah (perbedaan) dan menghindari segala sesuatu yang memberatkan bagi
para penganut Thoriqoh.
2. Mengupayakan berlakunya Syari’at
Islam Ala Ahlussunah wal-Jama’ah secara konsisten dalam bidang syari’at,
Thoriqoh, Hakikat dan Ma’rifat ditengah masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia
3. Menyebarluaskan dan mengembangkan
ajaran Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah melalui kegiatan-kegiatan khususiyyah
Thoriqiyyah/Tawajjuhan
4. Mengembangkan, mempercepat,
mempergiat dan memelihara ukhuwah Thoriqiyyah An Nahdliyyah sesama pengamal
Thoriqoh, meningkatkan tasyammuh antar aliran–aliran Thoriqoh dan meningkatkan
ilmu nafi’ dan amal shalih dlohir dan bathin menurut Ulama Sholihin dengan
bai’at yang shoheh
5. Dibidang agama; mensyi’arkan dan
mempergiat pelaksanaan ajaran Islam utamanya mu’taqod Islam menurut faham
Ahlussunah wal Jama’ah
6. Dibidang akhlaq; mengembangkan
Takholli, Tahalli dan Tajalli dalam rangka tercapainya ahlaqul karimah
7. Dibidang ukhuwah Islamiyyah;
mempererat dan memperkuat tali persaudaraan sesama penganut dan pengamal ajaran
Thoriqoh utamanya hubungan antara Mursyid/Muqaddam, Khalifah, Badal dan
Muridin/Muridat
8. Dibidang Thoriqoh; mengusahakan tercapainya
Asysyari’atil Ghourok wath-Thoriqil Baidlo’, yakni syari’at Islamiyyah dan
Thoriqoh muttasil sanaduha ila-Rasulillah Shallallahu Alaihi Wasallam
9. Dibidang sosial; meningkatkan amar
ma’ruf dan nahi mungkar kepada umat dengan hikmah dan mau’idloh hasanah serta
menghindari upaya kekerasan
10. Dibidang wathoniyyah; meningkatkan
kecintaan tanah air, menjaga tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Jabir,Abu bakar, Ensiklopedia Islam,
jakarta,darul fajar, 2000
http://www. jam’iyyah ahlith thoriqoh al mu’tabaroh
an-nahdliyyah.com
http://www. nu.com
mukhtar
hadi, memahami ilmu tasawuf, sebuah pengantar ilmu tasawuf, aurora
media,Yogyakarta 2009
sudirman
tebba, tasawuf positif, kencana, Bogor, 2003
0 komentar:
Posting Komentar