Beranda

Minggu, 09 September 2018

Sejarah Kemunculan dan Konsep Pemikiran Ikhwan Al-Shafa

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ilmu pengetahuan pada dasarnya sangatlah luas dalam berbagai macam persoalan yang meluas serta di dasari oleh pemikiran dan karakteristik yang berbeda. Seperti halnya filsafat, sudah sangat sering kita dengar dan kita ketahui bahwa awal mula munculnya filsafat adalah berasal dari yunani, akan tetapi para filosof, para ahli agama kemudian mengaitkan pemikiran mereka dengan hal-hal atau ilmu-ilmu yang bersumber dari al-Qur'an dan as-Sunnah.
Terdapat banyak sekali filosof Islam, salah satunya adalah filosof dari kelompok yang menamai kelompoknya dengan nama ikhwan al-shafa yang mewarnai dunia filsafat pada masa itu. Ikhwan al-Shafa adalah sekelompok pemikir filsafat yang lebih menekankan pada bidang dakwah dan pendidikan. Untuk mengetahui lebih jelasnya pembahasan kami pada kali ini adalah tentang biografi dan sejarah kemunculan ikhwan al-shafa serta pemikiran-pemikirannya tentang pendidikan.

B.     Rumusan Malalah
Adapun rumusan malalah yang ingin dibahal adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana sejarah kemunculan ikhwan al-shafa?
2.       Bagaimana konsep pendidikan dalam pandangan ikhwan al-shafa?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui biografi Ikwan Al-Shafa.
2.      Untuk mengetahui konsep pendidikan Ikhwan Al-shafa.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Kemunculan Ikhwan Al-Shafa
Ikhwan al-shafa adalah nama sekelompok pemikir muslim rahasia berasal dari sekte Syiah Ismailiyah yang lahir di tengah-tengah komunitas Sunni sekitar abad ke-4 H/10 M di Bashrah. Kelompok ini merupakan sekelompok pemikir yang bergerak dalam bidang filsafat yang banyak memfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan.[1] Kerahasiaan kelompok ini baru diketahui setelah berkuasanya Dinasti Buwaihi yang berpaham Syiah di Baghdad. Ada kemungkinan kerahasiaan kelompok ini dipengaruhi oleh paham taqiyah (menyembunyikan keyakinan) ajaran Syiah karena basis kegiatannya di tengah masyarakat Sunni yang tidak sejalan dengan ideologinya.[2]
Penggunaan sebutan atau nama “Ikhwan al-Shafa” diturunkan dari sebuah kisah tentang Burung Merpati. Kisah burung merpati tersebut berintikan pada persahabatan dan tolong-menolong (kerjasama) yang sangat baik antara burung merpati dengan binatang-binatang lainnya seperti tikus, burung gagak, kura-kura dan rusa sehingga mereka semua terbebas dari perangkap pemburu.[3] Dengan demikian Ikhwan al-Shafa mengambil kisah Burung Merpati sebagai rujukan penamaan dirinya tak lain karena juga memiliki tujuan tertentu yaitu menekankan pada sikap tolong menolong dan persahabatan yang tak lain merupakan turunan makna dari kata “Ikhwan” yakni saling “bekerjasama”. Dari makna tersebut berimplikasi pada pemaknaan istilah “as-Shafa” yang artinya ketulusan (sincerity). Sehingga dimaksudkan berangkat dari kisah Burung Merpati tersebut dapat menciptakan suatu kelompok yang bekerjasama, tolong menolong dengan tulus dan lapang dada guna untuk saling bertukar pikiran dan informasi.
    Adapun yang melatarbelakangi munculnya kelompok pemikir Ikhwan al-Shafa ini adalah karena pada abad ke-2 H hingga memasuki abad ke-4 H, ajaran filsafat dilarang keras oleh pemerintah pada masa Dinasti Abbasiyah untuk diajarkan kepada siapapun. Berangkat dari kecaman-kecaman yang semakin memuncak atas larangan belajar filsafat itulah yang membuat para ahli filsafat terpaksa bersembunyi-sembunyi dalam mempelajari dan mengembangkannya. Dan yang termasyhur diantara mereka adalah Ikhwan al-Shafa. Diantara anggotanya yang dapat diketahui nama-nama mereka adalah sebanyak lima orang, yaitu: Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Masyar al-Basti dikenal dengan nama al-Maqdisy, Abu al-Hasan Ali Ibnu Harun al-Zanjany, Abu Ahmad al-Mahrajani, Al-Qufy, Zaid Ibnu Rifa’ah.[4]
Untuk memperluas gerakannya, kelompok ini mengirimkan orang-orangnya ke kota-kota tertentu untuk membentuk cabang-cabang dan mengajak siapa saja yang berminat pada keilmuan dan kebenaran. Walaupun demikian kerahasiaan mereka tetap dijaga. Untuk itu, ada empat tingkatan anggota sebagai berikut:
1.      Al-Ikhwan al-Abrar al-Ruhama (para saudara yang baik dan dikasihi) dengan usia anggota 15-30 tahun yang memiliki jiwa yang suci dan pikiran yang kuat. Mereka berstatus murid karenanya dituntut tunduk dan patuh secara sempurna kepada guru.
2.      Al-Ikhwan al-Ahyar wa al-Fudhala (para saudara yang terbaik dan utama) dengan usia 30-40 tahun. Pada tingkat ini mereka sudah mampu memelihara persaudaraan, pemurah, kasih sayang, dan siap berkorban demi persudaraan (tingkat guru-guru).
3.       Al-Ikhwan al Fudhala al-Kiram (para saudara yang utama dan mulia) dengan usia 40-50 tahun. Dalam kenegaraan kedudukan mereka sama dengan sultan atau hakim. Mereka sudah mengetahui aturan ketuhanan sebagai tingkat para Nabi.
4.      Al-Kamal yakni yang berusia lebih dari 50 tahun. Mereka disebut dengan tingkat al-Muqarrabin karena mereka telah mengetahui hakikat sesuatu.[5]
Selain membahas tentang keanggotaannya, sebagai salah satu kelompok pemikir Ikhwan al-Shafa menyusun sebuah buku berupa kumpulan-kumpulan risalah yang berjudul “Rasail Ikhwan al-Shafa wa al-Kullah al-Wafa” yang berjumlah 52 risalah didalamnya. Kitab ini terdiri atas empat jilid yang berisikan ikhtisar tentang pengetahuan yang ada ketika itu yang mencakup semua objek studi manusia, seperti:
1.      Al-Riyadhah al-Ta’limiyah, yang terdiri dari 14 risalah tentang matematika yang mencakup: geometri, astronomi, musik, geografi, teori dan praktek seni, moral dan logika.
2.      Al-Jismaniyah al-Thabi’iyah, yang terdiri atas 17 risalah tentang fisika dan ilmu alam.
3.      Al-Nafsaniyah al-‘Aqliyah, yang terdiri dari 10 risalah tentang ilmu jiwa meliputi metafisika  yang meliputi penciptaan dan penataan alam, jiwa dan akal, daya-daya manusia dan proses aktualisasinya.
4.      Al-Namusiyah al-Ilahiyah, yang terdiri dari 11 risalah tentang ilmu-ilmu ketuhanan, mencakup kepercayaan dan keyakinan, dan hakikat Iman.

B.     Konsep Pendidikan Ikhwan Al-Shafa
Beberapa contoh pokok pikiran mereka mengenai pendidikan dan pengajaran masih relevan dengan pendidikan modern sekarang. Diantaranya adalah tujuan, kurikulum dan metode pendidikan.
1.      Mengenai tujuan pendidikan mereka melihat bahwa tujuan pendidikan haruslah dengan keagamaan. Tiap ilmu, kata mereka merupakan malapetaka bagi pemiliknya bila ilmu ini tidak ditujukan kepada keridhoan Allah dan kepada keakhiratan. Tiap ilmu, bagi mereka membahayakan bagi pemiliknya apabila tidak ditujukan untuk keridhoan Allah.[6]
2.      Mengenai kurikulum pendidikan tingkat akademis mereka berpendapat agar dalam kurikulum mencakap logika, filsafat, ilmu jiwa, pengkajian kitab agama samawi, ilmu syariat, dan ilmu pasti.
3.      Mengenai metode pengajaran, dia mengemukakan prinsip: “mengajar dari hal konkrit kepada yang abstrak”. Hal ini diperuntukkan lebih mempermudah murid dalam emmhaami segala sesuatu sehingga yang pertama terlebih dahulu diajarkan adalah tentang sesuatu yang konkrit yang mampu dilihat dan diraba. Cara metode pengajarannya adalah dengan pembiasaan dan pemberian contoh.
4.      Perbedaan bakat individual dan sebab-sebabnya. Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa anak didik dapat menerima suatu kepandaian apabila sesuai dengan pembawaannya masing-masing. Sebagian ada orang yang berbakat pada satu macam kepandaian atau beberapa macam kepandaian. Ada pula yang memerlukan dorongan yang besar untuk memperoleh ilmu.[7]
5.      Aspek-aspek yang menyebabkan perbedaan budi pekerti (akhlak) dan tabiat manusia. Menurut mereka ada empat aspek. Pertama: aspek campuran cairan yang terdapat dalam tubuh. Empat cairan tersebut adalah darah, lendir, empedu kuning dan empedu hitam. Apabila cairan lendir lebih dominan maka orang itu berperangai tenang, tetap, tidak mau berubah. Bila cairan darah yang dominan maka orang itu berperangai tegas, pengembara dan tidak tetap. Bila cairan empedu kuning yang dominan maka orang itu berperangai hebat dan lekas marah. Bila cairan empedu hitam yang dominan maka orang itu berperangai tidak gembira dan pesimistis. Aspek yang kedua adalah aspek lingkungan alam geografis dan iklim. Aspek yang ketiga adalah aspek lingkungan pendidikan. Dan aspek keempat adalah aspek ketentuan hukum astrologi terhadap waktu kelahiran.
6.      Sifat-sifat seorang pengabdi ilmu ialah merendahkan diri (tawadhu’) kepada siapa dia belajar, hormat dan ta’dhim kepada kepadanya. Adapun ikhwanus shafa menyampaikan tujuh syarat bagi pecinta ilmu, diantaranya adalah:
a.       Bertanya dan diam
b.       Medengarkan
c.       Mengingat-ingat
d.       Mengamalkan ilmu
e.       Mencari kejujuran dari diri sendiri
f.       Banyak dzikir atas nikmat-nikmat Allah.
g.       Menjauhkan kekaguman atas prestasi yang diperoleh.[8]
7.      Pendidik menurut Ikhwan al-Shafa memiliki kedudukan yang sangat penting dalam proses pendidikan. Mereka menempatkan guru sebagai bapak kedua dari peserta didik. Oleh karenanya, menurut ikhwanus shafa ada beberapa syarat-syarat yang perlu dimiliki oleh guru sebagai seorang pendidik, yaitu guru yang cerdas, akhlak baik, hati tulus, tabiat lurus, pikiran jernih, menyukai ilmu, bertugas mencari kebenaran dan tidak bersikap fanatik terhadap suatu aliran.[9] Disamping syarat-syarat tersebut, ada beberapa hal yang harus dihindari oleh guru diantaranya: al-kibru (kesombongan), al-‘ujub (kekaguman diri sendiri), al-Iftikhaar (kebanggaan terhadap yang ada pada diri).
8.      Paham Ikhwanus Shafa mengenai perkembangan jiwa condong kepada teori tabularasa. Kata mereka “ ketahuilah bahwa pikiran jiwa sebelum mendapatkan ilmu atau faham adalah bagaikan selembar kertas putih bersih yang belum tertulis apapun padanya. Bila sudah tertulis sesuatu, benar atau salah maka ruang jiwa itu sudah berisi dan menolak untuk ditulisi dengan sesuatu yang lain dan sukar untuk menghilangkan dan menghapusnya. Menurut Ikhwanus Shafa jalan untuk memperoleh ilmu pengetahuan itu ada tiga. Pertama, jalan panca indera. Dengan cara mempergunakan panca indera terhadap obyek alam semesta yang bersifat empirik. Kedua, dengan cara mempergunakan informasi atau berita yang disampaikan oleh orang lain. Ketiga, jalan tulisan dan bacaan, dengan jalan ini manusia dapat memahami kalimat, bahasa dan ungkapan-ungkapan yang ditangkap melalui pemikiran. [10]

 BAB III
KESIMPULAN
Ikhwan al-shafa adalah nama sekelompok pemikir muslim rahasia berasal dari sekte Syiah Ismailiyah yang lahir di tengah-tengah komunitas Sunni sekitar abad ke-4 H/10 M di Bashrah. Kelompok ini merupakan sekelompok pemikir yang bergerak dalam bidang filsafat yang banyak memfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Ikhwan al-Shafa menyusun sebuah buku berupa kumpulan-kumpulan risalah yang berjudul “Rasail Ikhwan al-Shafa wa al-Kullah al-Wafa” yang berjumlah 52 risalah didalamnya.
Konsep pendidikan yang digagas oleh Ikhwan al-Shafa adalah tertuju pada mencari keridhoan Allah. Sehingga tujuan dalam pendidikannya harus berhubungan dengan keagamaan. Pengajaran dalam pendidikannya mencakup logika, filsafat, ilmu jiwa, pengkajian kitab agama samawi, ilmu syariat, dan ilmu pasti. Cara metode pengajarannya adalah dengan pembiasaan dan pemberian contoh. Dalam pandangan ikhwan al-Shafa seorang yang menuntut ilmu harus memiliki sifat-sifat berikut: Bertanya dan diam, mengingat-ingat, mengamalkan ilmu, jujur dan tidak sombong. Selain peserta didik, kelompok ini juga memiliki syarat tertentu bagi kriteria pendidik, diantaranya: cerdas, akhlak baik, hati tulus, tabiat lurus, pikiran jernih, menyukai ilmu, bertugas mencari kebenaran dan tidak bersikap fanatik terhadap suatu aliran.




DAFTAR PUSTAKA
Drajat, Amroeni, Filsafat Islam, Jakarta: Erlangga, 2011.

Madjidi, Busyairi, Konsep Pendidikan Para Filosof Muslim, Yogyakarta: al-Amin Press, 1997.

Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter menghadapi Arus Global, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2016.

Muniron, Epistemologi Ikhwan Al-Shafa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.

Nata, Abbudin, Filsafat Pendidikan Islam 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Pendidikan Dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, Malang: Uin-Malang Press, 2009.

Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009.








[1] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009, hal. 139.
[2] Ibid.
[3] Muniron, Epistemologi Ikhwan Al-Shafa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, hal. 66.
[4] Busyairi Madjiji, Konsep Pendidikan Para Filosof Muslim, Yogyakarta: al-Amin Press, 1997, hal. 65-66.
[5] Amroeni Drajat, Filsafat Islam, Jakarta: Erlangga, 2011, hal. 38.
[6] Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2015,hal. 164.

[7] Ibid, hal 165.
[8] Busyairi Madjidi, Konsep Pendidikan Para Filosof Muslim, Yogyakarta: al-Amin Press, 1997, hal. 74-75.
[9] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997,                  hal. 184.

[10] Ibid