BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu
pengetahuan pada dasarnya sangatlah luas dalam berbagai macam persoalan yang
meluas serta di dasari oleh pemikiran dan karakteristik yang berbeda. Seperti
halnya filsafat, sudah sangat sering kita dengar dan kita ketahui bahwa awal
mula munculnya filsafat adalah berasal dari yunani, akan tetapi para filosof,
para ahli agama kemudian mengaitkan pemikiran mereka dengan hal-hal atau
ilmu-ilmu yang bersumber dari al-Qur'an dan as-Sunnah.
Terdapat banyak sekali filosof Islam,
salah satunya adalah filosof dari kelompok yang menamai kelompoknya dengan nama
ikhwan al-shafa yang mewarnai dunia filsafat pada masa itu. Ikhwan al-Shafa
adalah sekelompok pemikir filsafat yang lebih menekankan pada bidang dakwah dan
pendidikan. Untuk mengetahui lebih jelasnya pembahasan kami pada kali ini
adalah tentang biografi dan sejarah kemunculan ikhwan al-shafa serta
pemikiran-pemikirannya tentang pendidikan.
B. Rumusan Malalah
Adapun rumusan malalah yang ingin
dibahal adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah kemunculan ikhwan al-shafa?
2. Bagaimana
konsep pendidikan dalam pandangan ikhwan al-shafa?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui biografi
Ikwan Al-Shafa.
2. Untuk mengetahui konsep
pendidikan Ikhwan Al-shafa.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Kemunculan Ikhwan Al-Shafa
Ikhwan al-shafa adalah nama sekelompok pemikir muslim
rahasia berasal dari sekte Syiah Ismailiyah yang lahir di tengah-tengah
komunitas Sunni sekitar abad ke-4 H/10 M di Bashrah. Kelompok ini merupakan
sekelompok pemikir yang bergerak dalam bidang filsafat yang banyak memfokuskan
perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan.[1] Kerahasiaan kelompok ini
baru diketahui setelah berkuasanya Dinasti Buwaihi yang berpaham Syiah di
Baghdad. Ada kemungkinan kerahasiaan kelompok ini dipengaruhi oleh paham
taqiyah (menyembunyikan keyakinan) ajaran Syiah karena basis kegiatannya di
tengah masyarakat Sunni yang tidak sejalan dengan ideologinya.[2]
Penggunaan sebutan atau nama “Ikhwan al-Shafa” diturunkan
dari sebuah kisah tentang Burung Merpati. Kisah burung merpati tersebut
berintikan pada persahabatan dan tolong-menolong (kerjasama) yang sangat baik
antara burung merpati dengan binatang-binatang lainnya seperti tikus, burung
gagak, kura-kura dan rusa sehingga mereka semua terbebas dari perangkap
pemburu.[3] Dengan demikian Ikhwan
al-Shafa mengambil kisah Burung Merpati sebagai rujukan penamaan dirinya tak
lain karena juga memiliki tujuan tertentu yaitu menekankan pada sikap tolong
menolong dan persahabatan yang tak lain merupakan turunan makna dari kata “Ikhwan”
yakni saling “bekerjasama”. Dari makna tersebut berimplikasi pada pemaknaan
istilah “as-Shafa” yang artinya ketulusan (sincerity). Sehingga
dimaksudkan berangkat dari kisah Burung Merpati tersebut dapat menciptakan
suatu kelompok yang bekerjasama, tolong menolong dengan tulus dan lapang dada guna
untuk saling bertukar pikiran dan informasi.
Adapun yang melatarbelakangi munculnya
kelompok pemikir Ikhwan al-Shafa ini adalah karena pada abad ke-2 H hingga
memasuki abad ke-4 H, ajaran filsafat dilarang keras oleh pemerintah pada masa
Dinasti Abbasiyah untuk diajarkan kepada siapapun. Berangkat dari
kecaman-kecaman yang semakin memuncak atas larangan belajar filsafat itulah
yang membuat para ahli filsafat terpaksa bersembunyi-sembunyi dalam mempelajari
dan mengembangkannya. Dan yang termasyhur diantara mereka adalah Ikhwan
al-Shafa. Diantara anggotanya yang dapat diketahui nama-nama mereka adalah
sebanyak lima orang, yaitu: Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Masyar al-Basti dikenal
dengan nama al-Maqdisy, Abu al-Hasan Ali Ibnu Harun al-Zanjany, Abu Ahmad
al-Mahrajani, Al-Qufy, Zaid Ibnu Rifa’ah.[4]
Untuk memperluas gerakannya, kelompok ini mengirimkan
orang-orangnya ke kota-kota tertentu untuk membentuk cabang-cabang dan mengajak
siapa saja yang berminat pada keilmuan dan kebenaran. Walaupun demikian kerahasiaan
mereka tetap dijaga. Untuk itu, ada empat tingkatan anggota sebagai berikut:
1. Al-Ikhwan al-Abrar al-Ruhama (para saudara yang baik dan dikasihi) dengan usia
anggota 15-30 tahun yang memiliki jiwa yang suci dan pikiran yang kuat. Mereka
berstatus murid karenanya dituntut tunduk dan patuh secara sempurna kepada
guru.
2. Al-Ikhwan al-Ahyar wa al-Fudhala (para saudara yang terbaik dan utama) dengan usia 30-40
tahun. Pada tingkat ini mereka sudah mampu memelihara persaudaraan, pemurah,
kasih sayang, dan siap berkorban demi persudaraan (tingkat guru-guru).
3. Al-Ikhwan al
Fudhala al-Kiram (para saudara yang utama dan mulia)
dengan usia 40-50 tahun. Dalam kenegaraan kedudukan mereka sama dengan sultan
atau hakim. Mereka sudah mengetahui aturan ketuhanan sebagai tingkat para Nabi.
4. Al-Kamal yakni yang berusia lebih dari 50 tahun. Mereka disebut dengan tingkat al-Muqarrabin
karena mereka telah mengetahui hakikat sesuatu.[5]
Selain membahas
tentang keanggotaannya, sebagai salah satu kelompok pemikir Ikhwan al-Shafa
menyusun sebuah buku berupa kumpulan-kumpulan risalah yang berjudul “Rasail
Ikhwan al-Shafa wa al-Kullah al-Wafa” yang berjumlah 52 risalah didalamnya.
Kitab ini terdiri atas empat jilid yang berisikan ikhtisar tentang
pengetahuan yang ada ketika itu yang mencakup semua objek studi manusia,
seperti:
1. Al-Riyadhah al-Ta’limiyah, yang terdiri dari 14 risalah tentang matematika yang mencakup: geometri,
astronomi, musik, geografi, teori dan praktek seni, moral dan logika.
2. Al-Jismaniyah al-Thabi’iyah, yang terdiri atas 17 risalah tentang fisika dan ilmu alam.
3. Al-Nafsaniyah al-‘Aqliyah, yang terdiri dari 10 risalah tentang ilmu jiwa meliputi metafisika
yang meliputi penciptaan dan penataan alam, jiwa dan akal, daya-daya manusia
dan proses aktualisasinya.
4. Al-Namusiyah al-Ilahiyah, yang terdiri dari 11 risalah tentang ilmu-ilmu ketuhanan, mencakup
kepercayaan dan keyakinan, dan hakikat Iman.
B. Konsep Pendidikan Ikhwan Al-Shafa
Beberapa contoh
pokok pikiran mereka mengenai pendidikan dan pengajaran masih relevan dengan
pendidikan modern sekarang. Diantaranya adalah tujuan, kurikulum dan metode
pendidikan.
1. Mengenai tujuan pendidikan mereka
melihat bahwa tujuan pendidikan haruslah dengan keagamaan. Tiap ilmu, kata
mereka merupakan malapetaka bagi pemiliknya bila ilmu ini tidak ditujukan
kepada keridhoan Allah dan kepada keakhiratan. Tiap ilmu, bagi mereka
membahayakan bagi pemiliknya apabila tidak ditujukan untuk keridhoan Allah.[6]
2. Mengenai kurikulum pendidikan
tingkat akademis mereka berpendapat agar dalam kurikulum mencakap logika,
filsafat, ilmu jiwa, pengkajian kitab agama samawi, ilmu syariat, dan ilmu
pasti.
3. Mengenai metode pengajaran, dia
mengemukakan prinsip: “mengajar dari hal konkrit kepada yang abstrak”. Hal ini
diperuntukkan lebih mempermudah murid dalam emmhaami segala sesuatu sehingga
yang pertama terlebih dahulu diajarkan adalah tentang sesuatu yang konkrit yang
mampu dilihat dan diraba. Cara metode pengajarannya adalah dengan pembiasaan
dan pemberian contoh.
4. Perbedaan bakat individual dan
sebab-sebabnya. Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa anak didik dapat menerima
suatu kepandaian apabila sesuai dengan pembawaannya masing-masing. Sebagian ada
orang yang berbakat pada satu macam kepandaian atau beberapa macam kepandaian.
Ada pula yang memerlukan dorongan yang besar untuk memperoleh ilmu.[7]
5. Aspek-aspek yang menyebabkan
perbedaan budi pekerti (akhlak) dan tabiat manusia. Menurut mereka ada empat
aspek. Pertama: aspek campuran cairan yang terdapat dalam tubuh. Empat cairan
tersebut adalah darah, lendir, empedu kuning dan empedu hitam. Apabila cairan
lendir lebih dominan maka orang itu berperangai tenang, tetap, tidak mau berubah.
Bila cairan darah yang dominan maka orang itu berperangai tegas, pengembara dan
tidak tetap. Bila cairan empedu kuning yang dominan maka orang itu berperangai
hebat dan lekas marah. Bila cairan empedu hitam yang dominan maka orang itu
berperangai tidak gembira dan pesimistis. Aspek yang kedua adalah aspek
lingkungan alam geografis dan iklim. Aspek yang ketiga adalah aspek lingkungan
pendidikan. Dan aspek keempat adalah aspek ketentuan hukum astrologi terhadap
waktu kelahiran.
6. Sifat-sifat seorang pengabdi ilmu
ialah merendahkan diri (tawadhu’) kepada siapa dia belajar, hormat dan ta’dhim
kepada kepadanya. Adapun ikhwanus shafa menyampaikan tujuh syarat bagi pecinta
ilmu, diantaranya adalah:
a.
Bertanya dan diam
b.
Medengarkan
c.
Mengingat-ingat
d.
Mengamalkan ilmu
e.
Mencari kejujuran dari diri sendiri
f.
Banyak dzikir atas nikmat-nikmat Allah.
7.
Pendidik menurut Ikhwan al-Shafa memiliki kedudukan yang sangat penting
dalam proses pendidikan. Mereka menempatkan guru sebagai bapak kedua dari
peserta didik. Oleh karenanya, menurut ikhwanus shafa ada beberapa
syarat-syarat yang perlu dimiliki oleh guru sebagai seorang pendidik, yaitu
guru yang cerdas, akhlak baik, hati tulus, tabiat lurus, pikiran jernih,
menyukai ilmu, bertugas mencari kebenaran dan tidak bersikap fanatik terhadap
suatu aliran.[9]
Disamping syarat-syarat tersebut, ada beberapa hal yang harus dihindari oleh
guru diantaranya: al-kibru (kesombongan), al-‘ujub (kekaguman
diri sendiri), al-Iftikhaar (kebanggaan terhadap yang ada pada diri).
8.
Paham Ikhwanus Shafa mengenai perkembangan jiwa condong kepada teori
tabularasa. Kata mereka “ ketahuilah bahwa pikiran jiwa sebelum mendapatkan
ilmu atau faham adalah bagaikan selembar kertas putih bersih yang belum
tertulis apapun padanya. Bila sudah
tertulis sesuatu, benar atau salah maka ruang jiwa itu sudah berisi dan menolak
untuk ditulisi dengan sesuatu yang lain dan sukar untuk menghilangkan dan
menghapusnya. Menurut Ikhwanus Shafa jalan untuk memperoleh ilmu pengetahuan
itu ada tiga. Pertama, jalan panca indera. Dengan cara mempergunakan panca indera
terhadap obyek alam semesta yang bersifat empirik. Kedua, dengan cara mempergunakan informasi atau berita yang disampaikan
oleh orang lain. Ketiga, jalan tulisan dan
bacaan, dengan jalan ini manusia dapat memahami kalimat, bahasa dan ungkapan-ungkapan yang ditangkap melalui pemikiran.
[10]
BAB III
KESIMPULAN
Ikhwan al-shafa adalah nama sekelompok pemikir muslim
rahasia berasal dari sekte Syiah Ismailiyah yang lahir di tengah-tengah
komunitas Sunni sekitar abad ke-4 H/10 M di Bashrah. Kelompok ini merupakan
sekelompok pemikir yang bergerak dalam bidang
filsafat yang banyak memfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Ikhwan al-Shafa menyusun sebuah buku berupa
kumpulan-kumpulan risalah yang berjudul “Rasail Ikhwan al-Shafa wa al-Kullah
al-Wafa” yang berjumlah 52 risalah didalamnya.
Konsep pendidikan yang digagas oleh Ikhwan al-Shafa adalah tertuju
pada mencari keridhoan Allah. Sehingga tujuan dalam pendidikannya harus
berhubungan dengan keagamaan. Pengajaran
dalam pendidikannya mencakup logika, filsafat, ilmu jiwa, pengkajian kitab
agama samawi, ilmu syariat, dan ilmu pasti. Cara metode pengajarannya adalah
dengan pembiasaan dan pemberian contoh. Dalam pandangan ikhwan al-Shafa seorang
yang menuntut ilmu harus memiliki sifat-sifat berikut: Bertanya dan diam,
mengingat-ingat, mengamalkan ilmu, jujur dan tidak sombong. Selain peserta
didik, kelompok ini juga memiliki syarat tertentu bagi kriteria pendidik,
diantaranya: cerdas, akhlak baik, hati tulus, tabiat lurus, pikiran jernih,
menyukai ilmu, bertugas mencari kebenaran dan tidak bersikap fanatik terhadap
suatu aliran.
DAFTAR
PUSTAKA
Drajat,
Amroeni, Filsafat Islam, Jakarta: Erlangga, 2011.
Madjidi, Busyairi, Konsep Pendidikan
Para Filosof Muslim, Yogyakarta: al-Amin Press, 1997.
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter menghadapi Arus
Global, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2016.
Muniron, Epistemologi
Ikhwan Al-Shafa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Nata, Abbudin, Filsafat Pendidikan
Islam 1, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997.
Tim Dosen
Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Pendidikan Dari
Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, Malang: Uin-Malang Press, 2009.
Zar, Sirajuddin, Filsafat
Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009.
[4] Busyairi Madjiji, Konsep
Pendidikan Para Filosof Muslim, Yogyakarta: al-Amin Press, 1997, hal.
65-66.
[6] Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter
Menghadapi Arus Global, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2015,hal. 164.
[8] Busyairi Madjidi, Konsep Pendidikan Para Filosof Muslim, Yogyakarta:
al-Amin Press, 1997, hal. 74-75.
0 komentar:
Posting Komentar