ORIENTASI PENDIDIKAN
PERSPEKTIF ALQUR’AN
Oleh : Muhtar Safaat
Email:
aatnda.m2m@gmail.com
Abstrak : Al-Quran
as a guidance to life for Muslims does not give details about the ins and outs of education.
However, there are several terms
related to educational issues in this holy books. This article tries to get a complete sketch of the nature and
purpose of education in
Islam by discussing the meaning of these terms according to the language experts and education thinkers, so that the
opinions of mutual
support among them will be used as the basis to draw the conclusion. This paper comes to the conclusion that
the terms tarbiyah,
ta’lim, ta’dib, tazkiyah and tahdhib give the message about the nature of education and its aims. The purpose of
education in the
perspective of the Qur’an is focused in three points. First, to achieve complete human being in the pillars of his
life. Second, to build
a comprehensive human dimension of religion, culture, and science. Third, to make human beings resposible of
their function as
servants of God and inheritors of the Prophet. The very nature of some of these goals is to achieve a true Muslim
characterized with the
notion of rahmatan li al-’a lamin.
Thus, the purpose of Islamic education
in the Qur’an is not merely the transfer of knowledge, but is also the the transfer process of value. This
purpose is also related to
effort to establish the habl min Allah, habl min al-nas, and habl min al ’alam, that is the good relation with God,
mankind, and the nature.
Keywords:
Orientasi pendidikan, al-Qur’an, Insan kamil, Insan salih
I.
PENDAHULUAN
Bagi umat Islam,
al-Qur’an berfungsi sebagai penuntun kehidupan menuju jalan yang benar demi
memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Kebahagiaan
yang dimaksud dapat dicapai manakala umat Islam mendasarkan segala aktifitasnya
pada al-Qur’an (serta Hadist Nabi), baik aktivitas yang bersifat vertikal
maupun horizontal. Karena al-Qur’an merupakan sebagai sumber ajaran dan sumber
hukum yang paling utama bagi aktifitas umat Islam, maka konsep pendidikan Islam
pun tidak terlepas dari al-Qur’an. Akan tetapi di dalam al-Qur’an tidak
terdapat rincian mengenai hakikat pendidikan, definisinya, proses dan
tujuannya. Di dalam kitab suci ini hanya terdapat termaa-termaa yang dipandang
mengandung makna pendidikan, sehingga jika termaa-termaa ini digali maknanya,
maka diharapkan akan ditemukan pula seluk beluk tentang pendidikan dalam
perspektif al-Qur’an.
Tuntunan Islam sangat
menekankan akan urgensi pendidikan bagi umat manusia. Pada hakikatnya
pendidikan sebagai jalan satu-satunya menuju kehidupan yang tentram dan damai
baik di dunia juga di akhirat. Bagaimana manusia akan tentram di dunia apabila
ia tidak mengetahui ilmu-ilmu dunia ? begitu juga untuk memperoleh kedamaian di
akhirat harus mengetahui jalan menuju kedamaian akhirat. Untuk mengetahui kedua
jalan tersebut harus menggunakan kendaraan ilmu, berupa pendidikan.Pendidikan
merupakan sarana potensial menuju keharibaan Tuhan. Keberhasilan sebuah pendidikan
tidak akan terlepas oleh profesionalisme pendidik yang menjadi suri tauladan
bagi peserta didiknya.
Dengan semakin “majunya
perkembangan zaman”, menjadikan ajaran Al-Qur’an semakin ter-marjinalkan.
Hal ini bisa diresapi oleh setiap individu bagaimana eksistensi pendidikan
belakangan ini yang tidak memiliki arah secara hakiki. Pendidikan yang mestinya
menjadi kewajiban individu terhadap penciptanya, kini hal tersebut sudah tidak
memiliki atsar lagi. Kini pendidikan sudah tidak mengarah kepada ranah
yang hakiki, justeru mengarah pada prestise, tidak mementingkan moral,
dan mempreoritaskan pada hal yang berbau materi.
Adanya ranah pendidikan
yang semakin melenceng jauh dari kehakikiannya, tidak terlepas dari seorang
pendidik yang mestinya menjadi suri teladan bagi peserta didiknya justru
belakangan ini banyak guru yang membiarkan bahkan membentuk anak didik menjauh
dari ajaran Al-Qur’an sehingga dekadensi moral tak bisa dielakkan lagi.
II. PEMBAHASAN
Ada tiga istilah arab yang biasa dimaknai sebagai pendidikan, yaitu
; tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Asal usul ketiga istilah tersebut
bisa ditemukan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Tentang mana dari ketiga istilah
tersebut yang lebih tepat dijadikan istilah baku dalam pendidikan, terdapat
perbedaan pendapat di kalangan pakar pendidikan Islam. Akan kita bahas lebih
detail sebagai berikut:
1.
Tarbiyah
Secara etimologis, al-tarbiyah adalah
bentuk masdar dari kata rabba (fi’l
madi),
yang
memiliki pengertian sama dengan makna kata rabba substansi maknanya sama dengan kata rabb
yang merupakan satu di antara nama Tuhan. Abdurrahman
al-Nahlawi
berpendapat bahwa istilah tarbiyah yang paling tepat untuk menggambarkan
pengertian pendidikan. Menurut al-Nahlawi, istilah tarbiyah bisa dilacak
dari tiga asal-usul kata; pertama berasal dari kata raba-yarbu yang
artinya bertambah dan tumbuh. Dalam al-Qur'an pengertian ini dapat dilihat pada
surat Ar-rum: 39
وَمَا
آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ
اللَّهِ ۖ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ
هُمُ الْمُضْعِفُونَ
Artinya : “Dan
sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia,
maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa
zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridlaan Allah, maka (yang
berbuat demikian) itulah orangorang yang melipatgandakan (pahalanya)”.
Kedua, berasal dari kata rabiya-yarba dengan wazn khafiya-yakhfa
artinya menjadi besar. Ketiga, berasal dari kata rabba-yarubbu dengan
wazn madda-yamuddu artinya memperbaiki, menguasai urusan, menuntun,
menjaga dan memelihara.
Untuk
memperkuat alasannya, al-Nahlawi mengutip pendapat Imam Baidawi dalam Tafsir Anwar
al-Tanzil wa-Asrar al-Ta’wil. Al-Baidawi mengatakan bahwa makna asal al-rabb
adalah al-tarbiyah, yaitu penyampaian sesuatu sedikit demi sedikit
hingga sempurna.
Senada dengan pendapat ini adalah Ar-Raghib Al-Asfahani yang
mengatakan bahwa makna asal al-rabb adalah al-tarbiyah, yaitu
memelihara sesuatu sedikit demi sedikit hingga sempurna.
Abdurrahman al-Bani
juga memperkuat pendapat al-Nahlawi. Dengan berlandaskan pada pendapat
al-Nahlawi, ia mengatakan bahwa pendidikan terdiri atas empat unsur. Pertama,
menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang baligh. Kedua,
mengembangkan seluruh potensi dan kesiapan yang beragam. Ketiga,
mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kepada kebaikan dan kesempurnaan
yang layak baginya. Keempat, proses ini dilaksanakan secara bertahap.
Akhirnya
al-Nahlawi sampai pada satu kesimpulan
tentang criteria makna pendidikan yaitu : Pertama, pendidikan adalah
proses yang mempunyai tujuan dan objek. Kedua, secara mutlak pendidik
yang sebenarnya hanya Allah, pencipta fitrah dan pemberi berbagai potensi.
Dialah yang memberlakukan hukum dan tahapan perkembangan serta interaksinya,
dan hukum-hukum untuk mewujudkan kesempurnaan, kebaikan dan kebahagiaan. Ketiga,
pendidikan menuntut adanya langkah-langkah yang secara bertahap harus dilalui
oleh berbagai kegiatan pendidikan dan pengajaran, sesuai dengan urutan yang
telah disusun secara bertahap harus dilalui oleh berbagai kegiatan pendidikan
dan pengajarnya, sesuai dengan urutan yang telah disusun secara sistematis. Keempat,
tugas pendidik harus mengikuti aturan
penciptaan dan pengadaan yang dikehendaki Allah.
2.
Ta’lim
Secara etimologis, kata al-ta’lim yang
berasal dari kata dasar ’allama, yang berarti mengajar, menanamkan
keyakinan danpengetahuan. Abdul Fattah
Jalal
berbeda pandangan dengan Abdurahman al-Nahlawi. Menurut beliau istilah yang
paling tepat untuk menggambarkan pengertian pendidikan adalah al-ta’lim.
Pendapat Jalal tersebut diilhami ayat al-Qur’an surat al-Baqarah : 151,
كَمَا
أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا
وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا
لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
Artinya : “Sebagaimana
kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat
kami kepadamu dan mensucikanmu dan mengajarkan kepada al-Kitab dan al-Hikmah
(as-Sunnah), serta mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui.” dan
surat Ali Imran : 164,
لَقَدْ
مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ
أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ
الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
Artinya: “Sesungguhnya
Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah
mengutus seorang Rasul di antara mereka dari golongan merekasendiri, yang
membacakan ayat-ayat Allah kepada mereka, membersihkan(jiwa) mereka, dan
mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum
(kedatangan Rasul) itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.
Dengan
berpedoman pada substansi ayat di atas, Abdul Fattah Jalal berpendapat bahwa ta’lim
lebih universal dibanding tarbiyah. Rasulullah pada waktu
mengajarkan al-Qur'an kepada umat Islam tidak terbatas pada sekedar membuat
mereka dapat membaca saja, melainkan membaca dengan perenungan yang berisikan
pemahaman, pengertian, tanggung jawab dan penanaman amanah. Dari membaca semacam
ini Rasul membawa mereka kepada tazkiyah (pensucian), yaitu pensucian
dan pembersihan diri manusia dari segala kotoran dan menjadikan diri itu berada
dalam suatu kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta
mempelajari segala yang apa bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya.
Sementara itu,
kata al-tarbiyah menurut Jalal
hanya disebut di dua tempat dalam al-Qur'an, yaitu pada surat al-Isra’:
24
dan surat al- Syu’ara:18.
Istilah tarbiyah dalam dua ayat tersebut berkaitan erat dengan proses
persiapan dan pemeliharaan pada masa kanak-kanak di dalam keluarga.
Dengan demikian kata al-ta’lim lebih luas jangkauannya dan lebih umum
dari pada kata al-tarbiyah.
3.
Ta’dib
Kata ta’dib, secara etimologis
adalah bentuk masdar kata addaba yang berarti akhlaq, sinonimnya
adalah budi pekerti, kelakuan yang baik, sopan santun. Berbeda dengan dua pendapat terdahulu adalah Sayid Muhammad
al-Nuqa’ib al-Attas. Menurut beliau justru kata al-ta’dib istilah yang
paling tepat sebagai makna pendidikan. Istilah ta’dib memang tidak
ditemukan dalam al-Qur’an, namun al-Attas mendapatkannya dalam sebuah
Hadits Nabi yang berbunyi : “ Addabani rabbi fa ahsana ta’dibi” (Tuhanku
telah mendidikku dan dengan itu menjadilah pendidikanku yang terbaik). Tentu,
menurut al-Attas, cara Tuhan mendidik Nabi mengandung konsep pendidikan yang
sempurna.
Menurut
al-Attas, dengan tidak dipakainya konsep ta’dib untuk menunjuk kegiatan
pendidikan, telah berakibat hilangnya adab sehingga melunturkan citra keadilan
dan kesucian. Keadaan semacam ini bisa membingungkan kaum muslimin
sampai-sampai tak terasa bahwa pikiran dan cara hidup sekuler telah menggeser
berbagai konsep Islam dalam banyak aspek kehidupan, termasuk pendidikan.
Selanjutnya al-Attas menjelaskan
bahwa istilah ta’dib dalam tradisi ilmiah bahasa Arab mengandung tiga
unsur makna; pengembangan ilmiah, ilmu dan amal. Sedangkan dalam
kerangka pendidikan istilah ta’dib mengandung arti; ilmu, pengajaran dan
pengasuhan yang baik. Menurutnya, dalam istilah ta’dib tidak
ditemukan unsur-unsur penguasaan atau pemilikan terhadap anak didik, di samping
itu tidak pula menimbulkan interpretasi mendidik selain manusia, karena menurut
Islam, yang bisa bahkan harus dididik hanyalah manusia.
Berdasar
penjelasan di atas, al-Attas menolak untuk menjadikan kata tarbiyah sebagai
makna pendidikan (Islam), karena kata tersebut memiliki sejumlah kelemahan; pertama,
istilah tarbiyah tidak memiliki akar yang kuat dalam leksikologi
bahasa Arab sebagai bahasa agama dan bahasa ilmiah dunia Islam sejak dulu
hingga kini. Kedua, dalam al-Qur’an dan Hadits tidak ditemukan istilah tarbiyah
atau yang seakar dengannya, yang dapat membawakan konsep pendidikan Islam
sebagaimana diharapkan. Yang ada hanya istilah rabb, rabbayani, dan rabbani
yang masing-masing mengandung makna penguasaan dan pemilikan, rahmat dan
ampunan, serta nama bagi pendeta Yahudi. Arti-arti tersebut sudah barang tentu
tidak bisa ditarik relevansinya dengan kegiatan pendidikan. Ketiga, istilah
tarbiyah kalaupun dipaksakan sebagai makna pendidikan-memiliki jangkauan
sangat luas lebih dari sekedar pendidikan untuk manusia, melainkan juga
pendidikan untuk binatang dan tumbuhan.
Berdasarkan
istilah ta’dib di atas, akhirnya al-Attas memberikan batasan pendidikan
sebagai pengenalan dan pengakuan, yang secara berangsur-angsur ditanamkan
kepada manusia, tentang tempat tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam
tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan
tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian.
Memerhatikan
pandangan para ahli pendidikan terhadap tiga istilah di atas (tarbiyah, ta’lim
dan ta’dib), yang masing-masing memiliki argumentasi meyakinkan,
sulit kiranya memilih salah satu dari ketiga istilah tersebut yang bisa
diterima semua pihak. Karena itu polemic pemakaian istilah-istilah : tarbiyah,
ta’lim dan ta’dib memang tidak harus diperuncing dengan memilih mana
yang tepat dan mana yang tidak. Istilah al-tarbiyah yang sudah
mentradisi sebagai sebutan pendidikan selama ini tetap saja digunakan, asal
isinya mencakup dari ketiga istilah tarbiyah, ta’lim dan ta’dib.
PENDIDIKAN DALAM
AL-QUR’AN DAN TUJUANNYA
Sebagaimana
disebutkan sebelumnya bahwa dalam Islam pendidikan diistilahkan dengan kata tarbiyah,
ta’lim, dan ta’dhib Namun demikian, dari beberapa istilah tersebut, al-Qur’an hanya menggunakan kata tarbiyah,
ta’lim, dan ta’dib sebagai istilah yang mengacu pada substansi makna
pendidikan.
Pendidikan
dikontekskan dengan kata Islam bukan sekedar transmisi ilmu, pengetahuan, dan
teknologi tetapi sekaligus sebagai proses penanaman nilai karena hakikat
pendidikan dalam al-Qur’an adalah menjadikan manusia bertakwa untuk mencapai
kesuksesan (al-falah), baik di dunia maupun di akhirat. Menurut
Langgulung, manusia macam mana atau yang bagaimana yang ingin diciptakan
melalui pendidikan.
Pertama kali dilahirkan, manusia dalam kondisi lemah tak berdaya
dan serba kekurangan (jasmani maupun rohani).
Sampai pada usia tertentu seluruh hidup dan kehidupannya tergantung atas
bantuan orang lain. Seandainya tidak diberi makan-minum oleh ibunya, mungkin si
bayi akan mati. Demikian pula kalau dia tidak diberi bimbingan dan latihan
(pendidikan) tentang beberapa hal menyangkut keselamatan dan kesejahteraan
hidup, mungkin anak tersebut tidak akan mampu berbuat sesuatu secara wajar.
Islam menempatkan masalah pendidikan dalam posisi sentral (central
position) yang dibebankan kepada seluruh umatnya tanpa kecuali (Thalab
al-‘ilm farîdhat ‘alâ kulli muslimîn wa muslimatin : Menuntut ilmu
merupakan kewajiban setiap muslim (laki-laki dan perempuan). HR. Ibn ‘Abd
al-Bâr). Dan pembebanan (al-taklîf) kepada mereka berlaku sepanjang masa
(life long education) tanpa dibatasi ruang dan waktu (Uthlub al-‘ilm
min al-mahd ilâ al-lahd : Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga ke liang
lahat. HR. Ibn Abd. al-Bâr).
Ketika Rasulullah Muhammad saw. pertama kali menerima wahyu sebagai
pertanda kenabian, ayat yang pertama kali turun adalah perintah untuk membaca (iqra’)
yang merupakan salah satu aktivitas penting dalam pendidikan. Sehingga cukup
beralasan manakala salah satu misi yang diemban Rasulullah saw. adalah sebagai
pendidik (Bu’itstu li-akûna mu’alliman : Aku diutus sebagai pendidik.
HR.Baihaki).
Demikian pula ketika Allah berkehendak mengangkat khalifah di muka
bumi, pilihan-Nya jatuh pada manusia dengan pertimbangan bahwa manusia memiliki
kelebihan “ilmu pengetahuan” yang tidak didapat pada makhluk lainnya, yakni
“kemampuan konseptual” yang dapat dengan mudah merangkum semua nama dan jenis
benda yang ditunjuk Allah, yang hal tersebut tidak dapat dipenuhi oleh malaikat dan iblis.
Seandainya penunjukan khalifah tersebut atas pertimbangan kualitas ibadah dan
penciptaan, mungkin Allah akan memilih malaikat yang kualitasnya lebih tinggi
dari manusia, yakni penciptaan dari nur dan pengabdiannya secara total kepada
Allah.
Sebagai konsekwensi dari besarnya perhatian Islam terhadap
pendidikan, Allah menempatkan orang-orang yang berilmu pengetahuan pada posisi
terhormat dan mulia.
Dan sebaliknya derajat paling rendah dan hina disediakan bagi mereka yang
tidak memanfaatkan potensi akalnya untuk menuntut ilmu.
Pada hakikatnya pendidikan dalam Islam memiliki tujuan untuk mewujudkan
perubahan menuju pada kebaikan, baik pada tingkah laku individu maupun pada
kehidupan masyarakat di lingkungan sekitarnya. Proses pendidikan terkait dengan
kebutuhan dan tabiat manusia. Sementara tabiat manusia tidak lepas dari tiga
unsur yaitu jasad, ruh, dan akal. Karena itu tujuan pendidikan dalam Islam
secara umum dibangun berdasarkan tiga komponen tersebut, yang masing-masing
harus dijaga keseimbangannya (tawazun).
Di samping ketiga komponen tersebut perlu diperhatikan pula bahwa manusia
diciptakan sebagai makhluk individu juga makhluk sosial. Oleh karena itu, maka
tujuan pendidikan Islam diorientasikan pada empat klasifikasi tujuan berikut
ini:
1.
Tujuan
pendidikan jasmani (al-ahdaf al-jismiyah)
Tujuan
ini digunakan untuk mempersiapkan diri manusia sebagai pengemban tugas khalifah
di bumi melalui pelatihan keterampilan keterampilan fisik atau memiliki
kekuatan dari segi fisik (al-Qawi). Faktor fisik memang tujuan utama dan
segala-galanya, namun ia sangat berpengaruh dan memegang peran penting, tetapi
Allah mencintai orang mukmin yang memliki fisik yang kuat daripada yang lemah.
اَلْـمُؤْمِنُ الْقَـوِيُّ خَـيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَـى اللهِ مِنَ
الْـمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ وَفِـيْ كُـلٍّ خَـيْـرٌ
Artinya:
“Seorang mukmin yang kuat lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin yang
lemah dan pada keduanya ada kebaikan.”(HR. Muslim)
2.
Tujuan pendidikan rohani (al-ahdaf
al-ruhaniyah)
Tujuan ini
bermaksud untuk meningkatkan jiwa kesetiaan kepada Allah semata dan
melaksanakan moralitas Islami yang diteladani oleh Rasulullah dengan
berdasarkan pada cita-cita ideal dalam al-Qur’an.
Peningkatan kualitas jiwa yang hanya setia kepada Allah serta melaksanakan
moral Islam yang dicontohkan Nabi merupakan bagian pokok tujuan umum
pendidikan. Ini pada dunia pendidikan modern menjadi tujuan pendidikan agama.
3.
Tujuan
pendidikan akal (al-ahdaf al-‘aqliyah)
Tujuan
pendidikan ini merupakan pengarahan intelegensi untuk enemukan kebenaran dan sebab-sebabnya dengan
telaah tanda-tanda kekuasaan Allah sehingga dapat menumbuhkan iman kepada sang Pencipta.
Tujuan ini terikat dengan perkembangan intelegensia yang mengarahkan manusia sebagai
individu untuk menemukan kebenaran yang sesungguhnya yang mampu memberi
pencerahan dirinya.
Intelelensia
atau bisa dimaknai lebih luas dengan kemampuan daya pikir dan daya nalar sangat
memiliki kontribusi dalam pengembangan tujuan pendidikan yang lain, yang
meliputi tujuan yang bersifat individual, sosial, dan profesional. Muhammad
al-Toumy al-Syaibany sebagaimana dikutip Azyumardi Azra menyebutkan tujuan
pendidikan Islam sebagai berikut:
a.
Tujuan
individual yang berkaitan dengan pelajaran dan perubahan tingkah laku,
aktivitas, pertumbuhan serta persiapan untuk menjalani kehidupan.
b.
Tujuan sosial
yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan
kehidupan, perubahan, dan pertumbuhan untuk memperkaya pengalaman dabn kemajuan
c.
Tujuan
professional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu,
seni, profesi, dan sebagai aktifitas masyarakat.
4.
Tujuan
pendidikan sosial (al-ahdaf
al-ijtima’iyah)
Tujuan
pendidikan secara sosiologis adalah untuk membentuk kepribadian yang utuh yang
meliputi substansi fisik dan psikis manusia. Kepribadian yang utuh di sini
tercermin sebagai manusia yang hidup pada masyarakat yang heterogen.
Dengan memperhatikan klasifikasi dan
formulasi tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan dalam Islam pada
hakikatnya terfokuskan pada tiga hal. Pertama, terbentuknya insan
kamil (manusia sempurna) yang mempunyai dimensi qur’ani dalam
hidupnya. Menurut Iqbal sebagaimana yang dikutip oleh Dawam, kriteria insan
kamil adalah manusia yang beriman yang di dalam dirinya terdapat kekuatan,
wawasan, perbuatan, dan kebijaksanaan dan mempunyai sifat-sifat yang tercermin
dalam pribadi Nabi berupa akhlak mulia.
Sedangkan
menurut Ahmad Tafsir dalam bukunya Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, manusia
sempurna itu memiliki indikator jasmani yang sehat, kuat, dan berketerampilan,
cerdas serta pandai, dan rohani yang berkualitas tinggi.
Kedua, terciptanya insan kaffah yang memiliki dimensi-dimensi religius,
budaya, dan ilmiah. Dimensi religius, yaitu manusia merupakan makhluk yang
mengandung berbagai misteri dan tidak dapat direduksikan pada faktor-faktor
tertentu semata. Dengan demikian, manusia dapat dicegah untuk dijadikan angka,
ataupun robot yang diprogram, tetapi tetap mempertahankan kepribadian,
kebebasan akan martabatnya. Dimensi budaya, manusia merupakan makhluk etis yang
mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap kelestarian dunia seisinya. Dalam
dimensi ini manusia mendapatkan dasar pendidikan untuk mempertahankan keutuhan kepribadiannya
dan mampu mencegah arus zaman yang membawa kepada desintegrasi dan fragmentasi
yang selalu mengancam kehidupan manusia. Dimensi ilmiah, yaitu dimensi yang mendorong
manusia untuk selalu bersikap obyektif dan realistis dalam menghadapi tantangan
zaman, serta berbagai kehidupan manusia untuk bertingkah laku secara kritis dan
rasional, serta berusaha mengembangkan keterampilan dan kreatifitas berpikir.
Ketiga, penyadaran fungsi manusia sebagai hamba, khalifah Allah, serta
sebagai warathah al-anbiya’ dan memberikan bekal yang memadai dalam
rangka pelaksanaan fungsi tersebut. Fadhil al-Djamaly, sebagaimana yang dikutip
oleh al-Syaibany, menjelaskan bahwa pendidikan yang berbasis al-Qur’an memiliki
empat tujuan utama. Pertama, memperkenalkan kepada manusia akan
posisinya di antara makhluk Allah, memperkenalkan tanggung jawab individual kehidupannya.
Kedua, memperkenalkan kepada manusia akan interaksi sosial dan tanggung
jawabnya dalam rangka untuk dapat harmonis dalam suatu sistem sosial. Ketiga,
memperkenalkan kepada manusia akan Pencipta alam ini. Keempat, memperkenalkan
kepada manusia akan makhluk (alam), dan mengajaknya untuk memahami hikmah
penciptaannya, serta memungkinkan manusia untuk memanfaatkannya.
Pendidikan dalam persepektif al-Qur’an adalah
pendidikan yang menfokuskan diri pada pembinaan manusia secara pribadi dan
kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya
guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah. Jika hal
ini bisa terwujud maka umat Islam akan mampu mengaplikasikan ajaran Islam
secara komprehensif.
Jadi, tujuan pendidikan Islam yang
bersumber pada al-Qur’an itu untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya,
mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniah maupun
rohaniah, menumbuhsuburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah,
manusia, dan alam semesta. sehingga dari segi pencapaian tujuannya, maka
pendidikan dalam pandangan al-Qur’an itu bertujuan pada terbentuknya umat Islam
yang mampu dalam menjalin komunikasi, interaksi, dan koneks dalam tiga hal.
Yaitu hablu min Allah (hubungan dengan Allah), hablu min al-nas (hubungan
dengan sesama manusia), dan hablu min al-‘alam (hubungan dengan alam).
III.
PENUTUP
Dari pembahasan di atas bisa dapat diambil
kesimpulan bahwa konsep pendidikan dalam al-Qur’an bisa dirujuk pada beberapa
kata yang memiliki akar kata yang identik dengan makna pendidikan, di antaranya
rabba, yang merupakan akar kata tarbiyah. Adapun tujuan pendidikan Islam
yang terdapat dalam al-Qur’an tidak hanya transfer ilmu pengetahuan, akan
tetapi juga merupakan proses transfer nilai. Tujuan tersebut terkait dengan
membangun hablu min Allah, hablu min al-nas, dan hablu min al-‘alam.
Sementara itu, dari segi perubahan sosial, tujuan pendidikan adalah
merealisasikan kesalihan sosial. Sedangkan dari segi kebutuhan manusia secara
individual tujuan itu adalah menciptakan keseimbangan pengembangan fisik,
psikis, dan inteligensia. Jadi tujuan pendidikan dalam perspektif al- Qur’an
itu terfokus dalam tiga hal. Pertama, untuk mencetak manusia paripurna dalam
sendi-sendi kehidupannya. Kedua, untuk menciptakan manusia yang komprehensif
dari dimensi agama, budaya, dan ilmu pengetahuan. Ketiga, untuk menciptakan
manusia yang sadar akan fungsinya sebagai hamba Allah dan pewaris Nabi.
Beberapa tujuan tersebut, hakikatnya untuk membentuk figur muslim yang rahmatan
li al-‘alamin.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul
Fattah Jalal.1998.Asas-asas Pendidikan Islam, terj. Herry Nor Ali.Bandung
: Diponegoro
Abdurrahman
al-Nahlawi.1992.Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam dalam Keluarga,
di Sekolah dan di Masyarakat, terj. Herry Noer Ali.Bandung ; Diponegoro
Abu
al-Husayn Muslim b. al-Hajjaj al-Qushayri al-Nisaburi. 1992.Sahih al-Muslim,
Juz. 16. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiy ah,
Ahmad
Tafsir.2005.Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam.Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. Cet. 6
Azyumardi
Azra.2002.Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekronstruksi dan
Demokratisasi.Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Dawam
Raharjo (penyunting).1989.Insan Kamil: Konsep Manusia Menurut Islam (Jakarta:
Temprint,
Hasan
Langgulung.2002.Peralihan
Paradigma dalam Pendidikan Islam dan Sains Sosial Jakarta:
Gaya Media Pratama
Imam
Bawani.1987.Segi-Segi Pendidikan Islam.Surabaya; al-Ikhlas
Muhammad
Tholhah Hasan.1986.Prospek Islam dalam MenghadapiTantangan Zaman. Jakarta:
Bangun Prakarya,
Omar
Mohammad al-Toumy al-Syaibany.1979.Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta:
Bulan Bintang
.
Abdurrahman al-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam dalam
Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat, terj. Herry Noer Ali, (Bandung ;
Diponegoro, 1992), hlm.30-32.
.Abdul
Fattah Jalal, Asas-asas Pendidikan Islam, terj. Herry Nor Ali, (Bandung
: Diponegoro, 1998), hlm. 25-33.
.
Arti ayat al-Qur’an surat al-Isra’ : 24 : Dan rendahkanlah dirimu terhadap
mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: Wahai Tuhanku, kasihilah
mereka berdua sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.
.
Arti ayat al-Qur’an surat al-Syu’arâ’ : 18 : Bukankah kami telah mendidikmu
di dalam (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama
kami beberapa tahun dari umurmu?”.
.Hasan Langgulung, Peralihan Paradigma dalam Pendidikan Islam dan Sains
Sosial (Jakarta: Gaya Media Pratama), 100
.Omar
Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan
Bintang, 1979), 399
. Abu
al-Husayn Muslim b. al-Hajjaj al-Qushayri al-Nisaburi, Sahih al-Muslim, Juz.
16. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiy ah, 1992), 184.
.
Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekronstruksi dan
Demokratisasi. (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), 86.
.
Dawam Raharjo (penyunting), Insan Kamil: Konsep Manusia Menurut Islam (Jakarta:
Temprint, 1989), 26
.
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Cet. 6 (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2005), 41-46
.Muhammad
Tholhah Hasan, Prospek Islam dalam MenghadapiTantangan Zaman. (Jakarta:
Bangun Prakarya, 1986), 43-44.
.
Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta:
Bulan Bintang, 1979), 419-420.