Beranda

Sabtu, 12 November 2022

LAZISNU RAMAN ENDRA LUNCURKAN PROGRAM MOBIL LAYANAN UMAT

 

Pada Hari ini (Selasa, 12 Nov 2022) LAZISNU desa Raman Endra Kec. Raman Utara Kab. Lampung Timur melaunching program pertamanya yaitu Mobil layanan Umat.

Kegiatan launching dilaksanakan di Halaman Masjid Al amin Desa Raman Endra, kegiatan ini dihadirioleh Camat Raman Utara, Kapolsek, Danramil, Ketua Tanfidziyah MWC NU Raman Utara, Ketua Muslimat, Fatayat, GP Ansor, Ketua Lazisnu, dan badan otonom NU lainnya. dan dilakukan pemotongan pita oleh Gus Hamdan In’ami selaku ketua Lazisnu Kecamatan Raman Utara

Dalam  Bapak Sunaryo,SIP.MM selaku Camat Raman Utara menyampaikan bahwa program ambulan gratis ini sebagai bukti peran serta konkrit Keluarga Besar Nahdhatul Ulama Desa Raman Endra dalam taawun kesehatan lewat program Mobil Layanan Umatyabg dikelola Oleh Lazisnu Desa Raman Endra “.Lazisnu merupakan Badan Otonom NU yang bergerak sebagai amil Zakat infak dan sedekah,Pentasyarufan dari Infak dan sedekah dari warga inilah terlaksananya mobil ambulan gratis sebagai buktinya” tutur bapak Sunaryo

H. Rohmat Saifullah selaku ketua tanfidziyah MWCNU raman utara mengapresiasi  program unggulan ambulans gratis untuk melayani umat yang dilaksanakan oleh LAZISNU Desa Raman Endra.

ketua LAZISNU Desa Raman Endra berharap semoga mobil ambulan gratis ini dapat termanfaatkan secara optimal “kami akan menyebar call center ambulan di beberapa pusat kesehatan pusat titik kumpul masyarakat dengan begitu mobil ambulan dapat bermanfaat secara luas” tutur ketua LAZISNU Raman Endra

Mari dukung program kegiatan Lazisnu Raman endra ini dengan berinfak dan bersedekah.

 

Sabtu, 05 November 2022

ORIENTASI PENDIDIKAN PERSPEKTIF ALQUR’AN

 

ORIENTASI PENDIDIKAN PERSPEKTIF ALQUR’AN

Oleh : Muhtar Safaat

Email: aatnda.m2m@gmail.com

Abstrak : Al-Quran as a guidance to life for Muslims does not give details about the ins and outs of education. However, there are several terms related to educational issues in this holy books. This article tries to get a complete sketch of the nature and purpose of education in Islam by discussing the meaning of these terms according to the language experts and education thinkers, so that the opinions of mutual support among them will be used as the basis to draw the conclusion. This paper comes to the conclusion that the terms tarbiyah, ta’lim, ta’dib, tazkiyah and tahdhib give the message about the nature of education and its aims. The purpose of education in the perspective of the Qur’an is focused in three points. First, to achieve complete human being in the pillars of his life. Second, to build a comprehensive human dimension of religion, culture, and science. Third, to make human beings resposible of their function as servants of God and inheritors of the Prophet. The very nature of some of these goals is to achieve a true Muslim characterized with the notion of rahmatan li al-’a lamin. Thus, the purpose of Islamic education in the Qur’an is not merely the transfer of knowledge, but is also the the transfer process of value. This purpose is also related to effort to establish the habl min Allah, habl min al-nas, and habl min al ’alam, that is the good relation with God, mankind, and the nature.

Keywords: Orientasi pendidikan, al-Qur’an, Insan kamil, Insan salih

 

I.       PENDAHULUAN

Bagi umat Islam, al-Qur’an berfungsi sebagai penuntun kehidupan menuju jalan yang benar demi memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Kebahagiaan yang dimaksud dapat dicapai manakala umat Islam mendasarkan segala aktifitasnya pada al-Qur’an (serta Hadist Nabi), baik aktivitas yang bersifat vertikal maupun horizontal. Karena al-Qur’an merupakan sebagai sumber ajaran dan sumber hukum yang paling utama bagi aktifitas umat Islam, maka konsep pendidikan Islam pun tidak terlepas dari al-Qur’an. Akan tetapi di dalam al-Qur’an tidak terdapat rincian mengenai hakikat pendidikan, definisinya, proses dan tujuannya. Di dalam kitab suci ini hanya terdapat termaa-termaa yang dipandang mengandung makna pendidikan, sehingga jika termaa-termaa ini digali maknanya, maka diharapkan akan ditemukan pula seluk beluk tentang pendidikan dalam perspektif al-Qur’an.

Tuntunan Islam sangat menekankan akan urgensi pendidikan bagi umat manusia. Pada hakikatnya pendidikan sebagai jalan satu-satunya menuju kehidupan yang tentram dan damai baik di dunia juga di akhirat. Bagaimana manusia akan tentram di dunia apabila ia tidak mengetahui ilmu-ilmu dunia ? begitu juga untuk memperoleh kedamaian di akhirat harus mengetahui jalan menuju kedamaian akhirat. Untuk mengetahui kedua jalan tersebut harus menggunakan kendaraan ilmu, berupa pendidikan.Pendidikan merupakan sarana potensial menuju keharibaan Tuhan. Keberhasilan sebuah pendidikan tidak akan terlepas oleh profesionalisme pendidik yang menjadi suri tauladan bagi peserta didiknya.

Dengan semakin “majunya perkembangan zaman”, menjadikan ajaran Al-Qur’an semakin ter-marjinalkan. Hal ini bisa diresapi oleh setiap individu bagaimana eksistensi pendidikan belakangan ini yang tidak memiliki arah secara hakiki. Pendidikan yang mestinya menjadi kewajiban individu terhadap penciptanya, kini hal tersebut sudah tidak memiliki atsar lagi. Kini pendidikan sudah tidak mengarah kepada ranah yang hakiki, justeru mengarah pada prestise, tidak mementingkan moral, dan mempreoritaskan pada hal yang berbau materi.

Adanya ranah pendidikan yang semakin melenceng jauh dari kehakikiannya, tidak terlepas dari seorang pendidik yang mestinya menjadi suri teladan bagi peserta didiknya justru belakangan ini banyak guru yang membiarkan bahkan membentuk anak didik menjauh dari ajaran Al-Qur’an sehingga dekadensi moral tak bisa dielakkan lagi.

 

II.    PEMBAHASAN

Ada tiga istilah arab yang biasa dimaknai sebagai pendidikan, yaitu ; tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Asal usul ketiga istilah tersebut bisa ditemukan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Tentang mana dari ketiga istilah tersebut yang lebih tepat dijadikan istilah baku dalam pendidikan, terdapat perbedaan pendapat di kalangan pakar pendidikan Islam. Akan kita bahas lebih detail sebagai berikut:

1.      Tarbiyah

Secara etimologis, al-tarbiyah adalah bentuk masdar dari kata rabba (fi’l madi), yang memiliki pengertian sama dengan makna kata rabba  substansi maknanya sama dengan kata rabb yang merupakan satu di antara nama Tuhan. Abdurrahman al-Nahlawi[1] berpendapat bahwa istilah tarbiyah yang paling tepat untuk menggambarkan pengertian pendidikan. Menurut al-Nahlawi, istilah tarbiyah bisa dilacak dari tiga asal-usul kata; pertama berasal dari kata raba-yarbu yang artinya bertambah dan tumbuh. Dalam al-Qur'an pengertian ini dapat dilihat pada surat Ar-rum: 39

وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ ۖ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ

Artinya : “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridlaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orangorang yang melipatgandakan (pahalanya)”.

Kedua, berasal dari kata rabiya-yarba dengan wazn khafiya-yakhfa artinya menjadi besar. Ketiga, berasal dari kata rabba-yarubbu dengan wazn madda-yamuddu artinya memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga dan memelihara.

Untuk memperkuat alasannya, al-Nahlawi mengutip pendapat Imam Baidawi dalam Tafsir Anwar al-Tanzil wa-Asrar al-Ta’wil. Al-Baidawi mengatakan bahwa makna asal al-rabb adalah al-tarbiyah, yaitu penyampaian sesuatu sedikit demi sedikit hingga sempurna.[2] Senada dengan pendapat ini adalah Ar-Raghib Al-Asfahani yang mengatakan bahwa makna asal al-rabb adalah al-tarbiyah, yaitu memelihara sesuatu sedikit demi sedikit hingga sempurna.[3] Abdurrahman al-Bani[4] juga memperkuat pendapat al-Nahlawi. Dengan berlandaskan pada pendapat al-Nahlawi, ia mengatakan bahwa pendidikan terdiri atas empat unsur. Pertama, menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang baligh. Kedua, mengembangkan seluruh potensi dan kesiapan yang beragam. Ketiga, mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kepada kebaikan dan kesempurnaan yang layak baginya. Keempat, proses ini dilaksanakan secara bertahap.

Akhirnya al-Nahlawi sampai pada satu kesimpulan[5] tentang criteria makna pendidikan yaitu : Pertama, pendidikan adalah proses yang mempunyai tujuan dan objek. Kedua, secara mutlak pendidik yang sebenarnya hanya Allah, pencipta fitrah dan pemberi berbagai potensi. Dialah yang memberlakukan hukum dan tahapan perkembangan serta interaksinya, dan hukum-hukum untuk mewujudkan kesempurnaan, kebaikan dan kebahagiaan. Ketiga, pendidikan menuntut adanya langkah-langkah yang secara bertahap harus dilalui oleh berbagai kegiatan pendidikan dan pengajaran, sesuai dengan urutan yang telah disusun secara bertahap harus dilalui oleh berbagai kegiatan pendidikan dan pengajarnya, sesuai dengan urutan yang telah disusun secara sistematis. Keempat, tugas  pendidik harus mengikuti aturan penciptaan dan pengadaan yang dikehendaki Allah.  

 

2.      Ta’lim

Secara etimologis, kata al-ta’lim yang berasal dari kata dasar ’allama, yang berarti mengajar, menanamkan keyakinan danpengetahuan. Abdul Fattah Jalal[6] berbeda pandangan dengan Abdurahman al-Nahlawi. Menurut beliau istilah yang paling tepat untuk menggambarkan pengertian pendidikan adalah al-ta’lim. Pendapat Jalal tersebut diilhami ayat al-Qur’an surat al-Baqarah : 151,

كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ

Artinya : “Sebagaimana kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepadamu dan mensucikanmu dan mengajarkan kepada al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah), serta mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui.” dan surat Ali Imran : 164,

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

Artinya: “Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus seorang Rasul di antara mereka dari golongan merekasendiri, yang membacakan ayat-ayat Allah kepada mereka, membersihkan(jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Rasul) itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.

Dengan berpedoman pada substansi ayat di atas, Abdul Fattah Jalal berpendapat bahwa ta’lim lebih universal dibanding tarbiyah. Rasulullah pada waktu mengajarkan al-Qur'an kepada umat Islam tidak terbatas pada sekedar membuat mereka dapat membaca saja, melainkan membaca dengan perenungan yang berisikan pemahaman, pengertian, tanggung jawab dan penanaman amanah. Dari membaca semacam ini Rasul membawa mereka kepada tazkiyah (pensucian), yaitu pensucian dan pembersihan diri manusia dari segala kotoran dan menjadikan diri itu berada dalam suatu kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari segala yang apa bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya.[7]

Sementara itu, kata al-tarbiyah menurut Jalal[8] hanya disebut di dua tempat dalam al-Qur'an, yaitu pada surat al-Isra’: 24[9] dan surat al- Syu’ara:18.[10] Istilah tarbiyah dalam dua ayat tersebut berkaitan erat dengan proses persiapan dan pemeliharaan pada masa kanak-kanak di dalam keluarga.[11] Dengan demikian kata al-ta’lim lebih luas jangkauannya dan lebih umum dari pada kata al-tarbiyah.

 

3.      Ta’dib

Kata ta’dib, secara etimologis adalah bentuk masdar kata addaba yang berarti akhlaq, sinonimnya adalah budi pekerti, kelakuan yang baik, sopan santun. Berbeda dengan dua pendapat terdahulu adalah Sayid Muhammad al-Nuqa’ib al-Attas. Menurut beliau justru kata al-ta’dib istilah yang paling tepat sebagai makna pendidikan. Istilah ta’dib memang tidak ditemukan dalam al-Qur’an, namun           al-Attas mendapatkannya dalam sebuah Hadits Nabi yang berbunyi : “ Addabani rabbi fa ahsana ta’dibi” (Tuhanku telah mendidikku dan dengan itu menjadilah pendidikanku yang terbaik). Tentu, menurut al-Attas, cara Tuhan mendidik Nabi mengandung konsep pendidikan yang sempurna.[12]

Menurut al-Attas, dengan tidak dipakainya konsep ta’dib untuk menunjuk kegiatan pendidikan, telah berakibat hilangnya adab sehingga melunturkan citra keadilan dan kesucian. Keadaan semacam ini bisa membingungkan kaum muslimin sampai-sampai tak terasa bahwa pikiran dan cara hidup sekuler telah menggeser berbagai konsep Islam dalam banyak aspek kehidupan, termasuk pendidikan.[13] Selanjutnya al-Attas menjelaskan[14] bahwa istilah ta’dib dalam tradisi ilmiah bahasa Arab mengandung tiga unsur makna; pengembangan ilmiah, ilmu dan amal. Sedangkan dalam kerangka pendidikan istilah ta’dib mengandung arti; ilmu, pengajaran dan pengasuhan yang baik. Menurutnya, dalam istilah ta’dib tidak ditemukan unsur-unsur penguasaan atau pemilikan terhadap anak didik, di samping itu tidak pula menimbulkan interpretasi mendidik selain manusia, karena menurut Islam, yang bisa bahkan harus dididik hanyalah manusia.

Berdasar penjelasan di atas, al-Attas menolak untuk menjadikan kata tarbiyah sebagai makna pendidikan (Islam), karena kata tersebut memiliki sejumlah kelemahan; pertama, istilah tarbiyah tidak memiliki akar yang kuat dalam leksikologi bahasa Arab sebagai bahasa agama dan bahasa ilmiah dunia Islam sejak dulu hingga kini. Kedua, dalam al-Qur’an dan Hadits tidak ditemukan istilah tarbiyah atau yang seakar dengannya, yang dapat membawakan konsep pendidikan Islam sebagaimana diharapkan. Yang ada hanya istilah rabb, rabbayani, dan rabbani yang masing-masing mengandung makna penguasaan dan pemilikan, rahmat dan ampunan, serta nama bagi pendeta Yahudi. Arti-arti tersebut sudah barang tentu tidak bisa ditarik relevansinya dengan kegiatan pendidikan. Ketiga, istilah tarbiyah kalaupun dipaksakan sebagai makna pendidikan-memiliki jangkauan sangat luas lebih dari sekedar pendidikan untuk manusia, melainkan juga pendidikan untuk binatang dan tumbuhan.[15]

Berdasarkan istilah ta’dib di atas, akhirnya al-Attas memberikan batasan pendidikan sebagai pengenalan dan pengakuan, yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia, tentang tempat tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian.[16]

Memerhatikan pandangan para ahli pendidikan terhadap tiga istilah di atas (tarbiyah, ta’lim dan ta’dib), yang masing-masing memiliki argumentasi meyakinkan, sulit kiranya memilih salah satu dari ketiga istilah tersebut yang bisa diterima semua pihak. Karena itu polemic pemakaian istilah-istilah : tarbiyah, ta’lim dan ta’dib memang tidak harus diperuncing dengan memilih mana yang tepat dan mana yang tidak. Istilah al-tarbiyah yang sudah mentradisi sebagai sebutan pendidikan selama ini tetap saja digunakan, asal isinya mencakup dari ketiga istilah tarbiyah, ta’lim dan ta’dib.

 

PENDIDIKAN DALAM AL-QUR’AN DAN TUJUANNYA

 

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa dalam Islam pendidikan diistilahkan dengan kata tarbiyah, ta’lim, dan ta’dhib Namun demikian, dari beberapa istilah  tersebut, al-Qur’an hanya menggunakan kata tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib sebagai istilah yang mengacu pada substansi makna pendidikan.

Pendidikan dikontekskan dengan kata Islam bukan sekedar transmisi ilmu, pengetahuan, dan teknologi tetapi sekaligus sebagai proses penanaman nilai karena hakikat pendidikan dalam al-Qur’an adalah menjadikan manusia bertakwa untuk mencapai kesuksesan (al-falah), baik di dunia maupun di akhirat. Menurut Langgulung, manusia macam mana atau yang bagaimana yang ingin diciptakan melalui pendidikan. [17]

Pertama kali dilahirkan, manusia dalam kondisi lemah tak berdaya dan serba kekurangan (jasmani maupun rohani).[18] Sampai pada usia tertentu seluruh hidup dan kehidupannya tergantung atas bantuan orang lain. Seandainya tidak diberi makan-minum oleh ibunya, mungkin si bayi akan mati. Demikian pula kalau dia tidak diberi bimbingan dan latihan (pendidikan) tentang beberapa hal menyangkut keselamatan dan kesejahteraan hidup, mungkin anak tersebut tidak akan mampu berbuat sesuatu secara wajar.

Islam menempatkan masalah pendidikan dalam posisi sentral (central position) yang dibebankan kepada seluruh umatnya tanpa kecuali (Thalab al-‘ilm farîdhat ‘alâ kulli muslimîn wa muslimatin : Menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap muslim (laki-laki dan perempuan). HR. Ibn ‘Abd al-Bâr). Dan pembebanan (al-taklîf) kepada mereka berlaku sepanjang masa (life long education) tanpa dibatasi ruang dan waktu (Uthlub al-‘ilm min al-mahd ilâ al-lahd : Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga ke liang lahat. HR. Ibn Abd. al-Bâr).

Ketika Rasulullah Muhammad saw. pertama kali menerima wahyu sebagai pertanda kenabian, ayat yang pertama kali turun adalah perintah untuk membaca (iqra’) yang merupakan salah satu aktivitas penting dalam pendidikan. Sehingga cukup beralasan manakala salah satu misi yang diemban Rasulullah saw. adalah sebagai pendidik (Bu’itstu li-akûna mu’alliman : Aku diutus sebagai pendidik. HR.Baihaki).

Demikian pula ketika Allah berkehendak mengangkat khalifah di muka bumi, pilihan-Nya jatuh pada manusia dengan pertimbangan bahwa manusia memiliki kelebihan “ilmu pengetahuan” yang tidak didapat pada makhluk lainnya, yakni “kemampuan konseptual” yang dapat dengan mudah merangkum semua nama dan jenis benda yang ditunjuk Allah, yang hal tersebut tidak dapat dipenuhi oleh malaikat  dan iblis.[19] Seandainya penunjukan khalifah tersebut atas pertimbangan kualitas ibadah dan penciptaan, mungkin Allah akan memilih malaikat yang kualitasnya lebih tinggi dari manusia, yakni penciptaan dari nur dan pengabdiannya secara total kepada Allah.[20]

Sebagai konsekwensi dari besarnya perhatian Islam terhadap pendidikan, Allah menempatkan orang-orang yang berilmu pengetahuan pada posisi terhormat dan mulia.[21] Dan sebaliknya derajat paling rendah dan hina disediakan bagi mereka yang tidak memanfaatkan potensi akalnya untuk menuntut ilmu.[22]

Pada hakikatnya pendidikan dalam Islam memiliki tujuan untuk mewujudkan perubahan menuju pada kebaikan, baik pada tingkah laku individu maupun pada kehidupan masyarakat di lingkungan sekitarnya. Proses pendidikan terkait dengan kebutuhan dan tabiat manusia. Sementara tabiat manusia tidak lepas dari tiga unsur yaitu jasad, ruh, dan akal. Karena itu tujuan pendidikan dalam Islam secara umum dibangun berdasarkan tiga komponen tersebut, yang masing-masing harus dijaga keseimbangannya (tawazun).

Di samping ketiga komponen tersebut perlu diperhatikan pula bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk individu juga makhluk sosial. Oleh karena itu, maka tujuan pendidikan Islam diorientasikan pada empat klasifikasi tujuan berikut ini:[23]

1.      Tujuan pendidikan jasmani (al-ahdaf al-jismiyah)

Tujuan ini digunakan untuk mempersiapkan diri manusia sebagai pengemban tugas khalifah di bumi melalui pelatihan keterampilan keterampilan fisik atau memiliki kekuatan dari segi fisik (al-Qawi). Faktor fisik memang tujuan utama dan segala-galanya, namun ia sangat berpengaruh dan memegang peran penting, tetapi Allah mencintai orang mukmin yang memliki fisik yang kuat daripada yang lemah.[24]

اَلْـمُؤْمِنُ الْقَـوِيُّ خَـيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَـى اللهِ مِنَ الْـمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ وَفِـيْ كُـلٍّ خَـيْـرٌ

Artinya: “Seorang mukmin yang kuat lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin yang lemah dan pada keduanya ada kebaikan.”(HR. Muslim)

2.       Tujuan pendidikan rohani (al-ahdaf al-ruhaniyah)

Tujuan ini bermaksud untuk meningkatkan jiwa kesetiaan kepada Allah semata dan melaksanakan moralitas Islami yang diteladani oleh Rasulullah dengan berdasarkan pada cita-cita ideal dalam al-Qur’an.[25] Peningkatan kualitas jiwa yang hanya setia kepada Allah serta melaksanakan moral Islam yang dicontohkan Nabi merupakan bagian pokok tujuan umum pendidikan. Ini pada dunia pendidikan modern menjadi tujuan pendidikan agama.

3.      Tujuan pendidikan akal (al-ahdaf al-‘aqliyah)

Tujuan pendidikan ini merupakan pengarahan intelegensi untuk  enemukan kebenaran dan sebab-sebabnya dengan telaah tanda-tanda kekuasaan Allah sehingga dapat menumbuhkan iman kepada sang Pencipta. Tujuan ini terikat dengan perkembangan intelegensia yang mengarahkan manusia sebagai individu untuk menemukan kebenaran yang sesungguhnya yang mampu memberi pencerahan dirinya.

Intelelensia atau bisa dimaknai lebih luas dengan kemampuan daya pikir dan daya nalar sangat memiliki kontribusi dalam pengembangan tujuan pendidikan yang lain, yang meliputi tujuan yang bersifat individual, sosial, dan profesional. Muhammad al-Toumy al-Syaibany sebagaimana dikutip Azyumardi Azra menyebutkan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut:[26]

a.       Tujuan individual yang berkaitan dengan pelajaran dan perubahan tingkah laku, aktivitas, pertumbuhan serta persiapan untuk menjalani kehidupan.

b.      Tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan kehidupan, perubahan, dan pertumbuhan untuk memperkaya pengalaman dabn kemajuan

c.       Tujuan professional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, seni, profesi, dan sebagai aktifitas masyarakat.

4.      Tujuan pendidikan sosial (al-ahdaf al-ijtima’iyah)

Tujuan pendidikan secara sosiologis adalah untuk membentuk kepribadian yang utuh yang meliputi substansi fisik dan psikis manusia. Kepribadian yang utuh di sini tercermin sebagai manusia yang hidup pada masyarakat yang heterogen.

 

Dengan memperhatikan klasifikasi dan formulasi tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan dalam Islam pada hakikatnya terfokuskan pada tiga hal. Pertama, terbentuknya insan kamil (manusia sempurna) yang mempunyai dimensi qur’ani dalam hidupnya. Menurut Iqbal sebagaimana yang dikutip oleh Dawam, kriteria insan kamil adalah manusia yang beriman yang di dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan, dan kebijaksanaan dan mempunyai sifat-sifat yang tercermin dalam pribadi Nabi berupa akhlak mulia.[27] Sedangkan menurut Ahmad Tafsir dalam bukunya Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, manusia sempurna itu memiliki indikator jasmani yang sehat, kuat, dan berketerampilan, cerdas serta pandai, dan rohani yang berkualitas tinggi.[28]

Kedua, terciptanya insan kaffah yang memiliki dimensi-dimensi religius, budaya, dan ilmiah. Dimensi religius, yaitu manusia merupakan makhluk yang mengandung berbagai misteri dan tidak dapat direduksikan pada faktor-faktor tertentu semata. Dengan demikian, manusia dapat dicegah untuk dijadikan angka, ataupun robot yang diprogram, tetapi tetap mempertahankan kepribadian, kebebasan akan martabatnya. Dimensi budaya, manusia merupakan makhluk etis yang mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap kelestarian dunia seisinya. Dalam dimensi ini manusia mendapatkan dasar pendidikan untuk mempertahankan keutuhan kepribadiannya dan mampu mencegah arus zaman yang membawa kepada desintegrasi dan fragmentasi yang selalu mengancam kehidupan manusia. Dimensi ilmiah, yaitu dimensi yang mendorong manusia untuk selalu bersikap obyektif dan realistis dalam menghadapi tantangan zaman, serta berbagai kehidupan manusia untuk bertingkah laku secara kritis dan rasional, serta berusaha mengembangkan keterampilan dan kreatifitas berpikir.[29]

Ketiga, penyadaran fungsi manusia sebagai hamba, khalifah Allah, serta sebagai warathah al-anbiya’ dan memberikan bekal yang memadai dalam rangka pelaksanaan fungsi tersebut. Fadhil al-Djamaly, sebagaimana yang dikutip oleh al-Syaibany, menjelaskan bahwa pendidikan yang berbasis al-Qur’an memiliki empat tujuan utama. Pertama, memperkenalkan kepada manusia akan posisinya di antara makhluk Allah, memperkenalkan tanggung jawab individual kehidupannya. Kedua, memperkenalkan kepada manusia akan interaksi sosial dan tanggung jawabnya dalam rangka untuk dapat harmonis dalam suatu sistem sosial. Ketiga, memperkenalkan kepada manusia akan Pencipta alam ini. Keempat, memperkenalkan kepada manusia akan makhluk (alam), dan mengajaknya untuk memahami hikmah penciptaannya, serta memungkinkan manusia untuk memanfaatkannya.[30]

 Pendidikan dalam persepektif al-Qur’an adalah pendidikan yang menfokuskan diri pada pembinaan manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah. Jika hal ini bisa terwujud maka umat Islam akan mampu mengaplikasikan ajaran Islam secara komprehensif.

Jadi, tujuan pendidikan Islam yang bersumber pada al-Qur’an itu untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniah maupun rohaniah, menumbuhsuburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia, dan alam semesta. sehingga dari segi pencapaian tujuannya, maka pendidikan dalam pandangan al-Qur’an itu bertujuan pada terbentuknya umat Islam yang mampu dalam menjalin komunikasi, interaksi, dan koneks dalam tiga hal. Yaitu hablu min Allah (hubungan dengan Allah), hablu min al-nas (hubungan dengan sesama manusia), dan hablu min al-‘alam (hubungan dengan alam).

 

III.    PENUTUP

Dari pembahasan di atas bisa dapat diambil kesimpulan bahwa konsep pendidikan dalam al-Qur’an bisa dirujuk pada beberapa kata yang memiliki akar kata yang identik dengan makna pendidikan, di antaranya rabba, yang merupakan akar kata tarbiyah. Adapun tujuan pendidikan Islam yang terdapat dalam al-Qur’an tidak hanya transfer ilmu pengetahuan, akan tetapi juga merupakan proses transfer nilai. Tujuan tersebut terkait dengan membangun hablu min Allah, hablu min al-nas, dan hablu min al-‘alam. Sementara itu, dari segi perubahan sosial, tujuan pendidikan adalah merealisasikan kesalihan sosial. Sedangkan dari segi kebutuhan manusia secara individual tujuan itu adalah menciptakan keseimbangan pengembangan fisik, psikis, dan inteligensia. Jadi tujuan pendidikan dalam perspektif al- Qur’an itu terfokus dalam tiga hal. Pertama, untuk mencetak manusia paripurna dalam sendi-sendi kehidupannya. Kedua, untuk menciptakan manusia yang komprehensif dari dimensi agama, budaya, dan ilmu pengetahuan. Ketiga, untuk menciptakan manusia yang sadar akan fungsinya sebagai hamba Allah dan pewaris Nabi. Beberapa tujuan tersebut, hakikatnya untuk membentuk figur muslim yang rahmatan li al-‘alamin.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdul Fattah Jalal.1998.Asas-asas Pendidikan Islam, terj. Herry Nor Ali.Bandung : Diponegoro

 

Abdurrahman al-Nahlawi.1992.Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam dalam Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat, terj. Herry Noer Ali.Bandung ; Diponegoro

 

Abu al-Husayn Muslim b. al-Hajjaj al-Qushayri al-Nisaburi. 1992.Sahih al-Muslim, Juz. 16. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiy ah,

 

Ahmad Tafsir.2005.Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam.Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Cet. 6

 

Azyumardi Azra.2002.Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekronstruksi dan Demokratisasi.Jakarta: Penerbit Buku Kompas

 

Dawam Raharjo (penyunting).1989.Insan Kamil: Konsep Manusia Menurut Islam (Jakarta: Temprint,

 

Hasan Langgulung.2002.Peralihan Paradigma dalam Pendidikan Islam dan Sains Sosial Jakarta: Gaya Media Pratama

 

Imam Bawani.1987.Segi-Segi Pendidikan Islam.Surabaya; al-Ikhlas

 

Muhammad Tholhah Hasan.1986.Prospek Islam dalam MenghadapiTantangan Zaman. Jakarta: Bangun Prakarya,

 

Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany.1979.Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang

 

 



[1]. Abdurrahman al-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam dalam Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat, terj. Herry Noer Ali, (Bandung ; Diponegoro, 1992), hlm.30-32.

[2] .Ibid.hlm.30-32.

[3] . Ibid.hlm. 30-32.

[4] . Ibid.hlm. 30-32.

[5]. Ibid.hlm. 30-32.

[6] .Abdul Fattah Jalal, Asas-asas Pendidikan Islam, terj. Herry Nor Ali, (Bandung : Diponegoro, 1998), hlm. 25-33.

[7].Ibid., hlm. 27.

[8]. Ibid., hlm. 28.

[9]. Arti ayat al-Qur’an surat al-Isra’ : 24 : Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: Wahai Tuhanku, kasihilah mereka berdua sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.

[10]. Arti ayat al-Qur’an surat al-Syu’arâ’ : 18 : Bukankah kami telah mendidikmu di dalam (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu?”.

[11]. .Abdul Fattah Jalal, Asas-asas Pendidikan Islam, terj. Herry Nor Ali, (Bandung : Diponegoro, 1998), hlm. 28-29.

[12]. Imam Bawani, Segi-Segi Pendidikan Islam, (Surabaya; al-Ikhlas, 1987), hlm. 216.

[13]. Ibid., hlm. 217.

[14] . Ibid., hlm. 216.

[15].Ibid., hlm. 214-215.

[16].Ibid., hlm. 217.

[17] .Hasan Langgulung, Peralihan Paradigma dalam Pendidikan Islam dan Sains Sosial (Jakarta: Gaya Media Pratama), 100

[18]. QS : al-Nahl : 78.

[19] . QS : al-Baqarah : 31-33.

[20] . QS : al-Baqarah : 30 : al-Tahrim : 6.

[21].  QS : al-Mujâdalah : 11.

[22] . QS : al -Tien : 5.

[23].Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 399

[24]. Abu al-Husayn Muslim b. al-Hajjaj al-Qushayri al-Nisaburi, Sahih al-Muslim, Juz. 16. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiy ah, 1992), 184.

[25] . QS. Ali Imran : 19.

[26]. Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekronstruksi dan Demokratisasi. (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), 86.

[27]. Dawam Raharjo (penyunting), Insan Kamil: Konsep Manusia Menurut Islam (Jakarta: Temprint, 1989), 26

[28]. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Cet. 6 (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), 41-46

[29].Muhammad Tholhah Hasan, Prospek Islam dalam MenghadapiTantangan Zaman. (Jakarta: Bangun Prakarya, 1986), 43-44.

[30]. Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 419-420.