BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Madrasah sebagai nama bagi suatu
lembaga atau wadah yang mewadahi proses transformasi ilmu telah mengalami
perkembangan pemaknaan dalam rentang sejarah perkembangan umat Islam sejak
zaman Rasulullah SAW sampai sekarang. Madrasah dimaknai sebagai istilah yang
menunjuk pada proses belajar dari yang tidak formal sampai yang formal.
Madrasah adalah salah satu jenis lembaga pendidikan Islam yang diusahakan, di
samping masjid dan pesantren.
Transformasi
ilmu pengetahuan, terutama ilmu ke-Islam-an (pendidikan Islam)
telah berlangsung sejak masuknya Islam di suatu wilayah di mana Islam mulai
diterima, diajarkan dan diamalkan oleh pemeluknya. Demikian halnya yang terjadi
di Indonesia.[1]
Hasil seminar masuknya Islam di Indonesia yang dilaksanakan di Medan
tahun 1963 menginformasikan bahwa Islam masuk Indonesia pada abad I Hijriah
atau abad VII Masehi[2]
yang dibawa oleh para pedagang dari Arab.[3]
Melalui pesantren dan masjid-masjid juga madrasah-madrasah, aspek Islam[4]
yang pertama kali dikembangkan atau diajarkan adalah aspek tasawuf yang
kemudian disusul aspek fiqih, namun tidak berarti bahwa aspek fiqih tidak
penting, mengingat tasawuf yang berkembang di Indonesia adalah tasawuf Sunni
yang menempatkan fiqih pada posisi penting dalam struktur bangunan tasawufnya.[5]
Hal ini bisa dipahami dari kurikulum pesantren dan madrasah yang dikembangkan
pada waktu itu yang berkisar pada aspek tasawuf, fiqih, kalam, ilmu alat
(nahwu, sharaf, balaghah, dan lain-lain), tafsir (al-Qur’an dan hadits), dan
sebagainya.
Namun demikian, tidak diketahui
secara pasti cara pendidikan Islam itu dilakukan pada mula-mula Islam masuk
Indonesia. Bagaimana perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem,
kelembagaan, bahkan metodologi kependidikan Islam? Bagaimana keberhasilan dan
kegagalan suatu sistem, kelembagaan dan metodologi kependidikan Islam?
Pertanyaan-pertanyaan di atas tidak bisa hanya dijawab dengan cerita, tetapi
harus disertai bukti-bukti sejarah yang nyata.[6]
Karena luasnya permasalahan terkait dengan perkembangan madrasah, maka
penulis—dalam tulisan ini—hanya hendak memaparkan proses kelahiran dan dinamika
madrasah sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam formal di Indonesia yang
merupakan perkembangan lanjut atau pembaruan dari lembaga pendidikan pesantren
dan masjid/surau.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Madrasah
Madrasah dari akar kata darasa (belajar), dan kata madrasah adalah
“isim makan” yang mempunyai arti tempat belajar.[7]
Padanan madrasah dalam bahasa Indonesia
adalah Islam. Madrasah sebutan bagi sekolah agama Islam adalah tempat proses
belajar mengajar agama Islam secara formal yang mempunyai kelas dan kurikulum
dalam bentuk klasikal. Padanan kata madrasah dalam bahasa Indonesia adalah
sekolah.
[8]
Sementara itu, pengertian yang berasal dari bahasa Arab di atas
menunjukkan bahwa tempat belajar tidak selalu di suatu tempat tertentu, tetapi
bisa dilaksanakan di mana saja, surau, langgar, atau di masjid. Tempat-tempat
ini dalam sejarah lembaga-lembaga pendidikan Islam memegang peranan sebagai
tempat belajar bagi umat Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, kata madrasah
secara teknis mempunyai arti atau konotasi tertentu yang lengkap dengan segala
sarana dan fasilitas belajar agama.[9]
Pada tahap awal, proses belajar mengajar di madrasah dikatkan dengan
masjid, pada tahap berikutnya, sistem khanqah masjid berkembang menjadi
penginapan para santri, tahap terakhir adalah pembentukan madrasah sebagai
institusi yang berdiri sendiri.[10]
Kemudian madrasah tumbuh dan berkembang sebagaimana yang kita kenal.
B. Asal-Usul Awal
dan Pertumbuhan Awal Madrasah
Cikal bakal pendidikan Islam dimulai pada massa Khalifah
Umar bin Khatattab ra, yakni secara khusus mengirimkan ‘petugas khusus’ ke
berbagai wilayah Islam untuk menjadi nara sumber (guru) bagi masyarakat Islam
di wilayah-wilayah tersebut. Para ‘petugas khusus’ ini biasanya bermukim di
masjid dan mengajarkan tentang Islam kepada masyarakat melalui halaqah-halaqah
dan majlis khusus untuk menpelajari agama dan terbuka untuk umum.[11]
Pada perkembangan selanjutnya, materi yang diperbincangkan pada halaqah-halaqah
ini tidak hanya terbatas pada pengkajian agama (Islam), namun juga mengkaji
disiplin dan persoalan lain sesuai dengan apa yang diperlukan masyarakat.
Selain itu, diajarkan pula disiplin-disiplin yang menjadi pendukung kajian
agama Islam. Dalam hal ini antara lain kajian tentang bahasa dan sastra Arab,
baik nahwu, sorof maupun balagah. Selain terjadi pengembangan materi, terdapat
pula perkembangan di bidang sarana dan prasarana ‘pendidikan’, yakni adanya
upaya untuk membuat tempat khusus di (samping) masjid yang digunakan untuk
melakukan kajian-kajian tersebut. Tempat khusus ini kemudian dikenal sebagai Maktab.
Maktab inilah yang dapat dikatakan sebagai cikal bakal institusi pendidikan
Islam.
Akar sejarah pertumbuhan madrasah dalam dunia Islam melewati
tiga tahap, yaitu: (1) Tahap Masjid, (2) Tahap Masjid Khan, dan (3) Tahap
Madrasah. Tahap masjid berlangsung terutama pada abad ke delapan dan sembilan.
Masjid yang dimaksud dalam konteks ini adalah masjid yang selain digunakan
sebagai tempat shalat berjama’ahjuga digunakan sebagai majlis taklim
(pendidikan). Tahap kedua adalah lembaga masjid Khan, yaitu masjid yang
dilengkapi dengan bangunan Khan (asrama atau pondokan yang masih bergandengan
dengan masjid). Berbeda dengan masjid biasa, masjid Khan menyediakan tempat
penginapan yang cukup representatif bagi para pelajar yang datang dari berbagai
kota. Tahap ini mencapai perkembangan yang sangat pesat pada abad ke-10.
Sedangkan tahap ketiga adalah madrasah yang khusus
diperuntukkan bagi lembaga pendidikan. Pada tahap madrasah yang pada umumnya
terdiri dan ruang belajar, ruang pondokan, dan masjid, telah berhasil
mengintegrasikan kelembagaan masjid biasa (tahap pertama) dengan masjid Khan
(tahap kedua). Demikianlah, lembaga pendidikan Islam yang sebelumnya banyak
dilakukan di masjid-masjid dan kuttab-kuttab ini terus mengalami penyesuaian.
Madrasah terus diperluas dan berkembang sejalan dengan perkembangan zaman
berikut ragam perubahan yang diimplikasinya. Setidaknya ada dua faktor yang
sangat berpengaruh bagi awal perkembangan madrasah.
Pertama, perhatian dan peran aktif penguasa. Tidak bisa
dipungkiri bahwa keterlibatan pemerintah memiliki andil yang cukup besar bagi
perkembangan dan kemajuannya. Kedua, perhatian yang besar dari para saudagar,
ulama, dan elemen masyarakat lainnya. Tidak sedikit dan mereka yang mendirikan
madrasah dengan model dan standar yang relatif sama dengan madrasah yang
didirikan oleh para penguasa pada zamannya.
Madrasah merupakan salah satu bentuk lembaga
pendidikan Islam. Model Madrasah tidak sama dengan mesjid atau lembaga
pendidikan Islam lainya. Madrasah merupakan perkembangan dari mesjid.
Akibat besarnya semangat belajar umat Islam membuat mesjid-mesjid penuh dengan
halaqah-halaqah. Dari tiap-tiap halaqah terdengar suara guru yang
menjelaskan pelajaran atau suara perdebatan dalam proses belajar
mengajar sehingga menimbulkan kebisingan yang mengganggu orang beribadah.[12]
Semakin banyak umat Islam
yang tertarik untuk menuntut ilmu, sehingga membuat mesjid penuh
dan sesak untuk menampung murid-murid yang belajar mendorong
lahirnya bentuk pendidikan baru.
Banyaknya murid-murid yang yang datang dari luar
kota untuk belajar di mesjid-mesjid, menuntut pembangunan
pemondokan semacam asrama disamping mesid. Mereka yang datang dari jauh
dan tidak punya cukup uang untuk menyewa penginapan dibei
izin tinggal dikomplek tanpa dipngut biaya. Oleh karena itu
dibangunlah khan sehingga berubahlah bentk mesjid
menjadi mesjid-Khan. Tahap berikutnya adalah perkembangna dari mesjid
khan menjadi madrasah. Setiap madrasah biasanya memiliki pemondokan untuk
pelajar dan para guru. Lembaga ini juga dilengkapi dengan sebuah aula besar.[13]
C.
Madrasah Nizamiyah
Ada beberapa sumber menyebutkan sebelum berdirinya Madrasah
Nizamiyah di Baghdad, paling tidak ada empat madrasah besar di Nishapur, yaitu
Madrasah Baihaqiyyah, Madrasah Assa’diyyah yang dibangun oleh Amir Nasr bin
Subuktakin, Madrasah Abu Sa’ad al-Astarabadi dan Madrasah yang didirikan untuk
Abu Ishaq al-Isfarayini.[14]
Akan tetapi Lembaga pendidikan Islam yang pertama menerapkan sistem yang
mendekati sistem pendidikan yang dikenal sekarang adalah madrasah-madrasah
Nizamiyah tersebut.[15]
Madrasah Nizamiyah didirikan oleh Nizam al-Mulk, adalah
seorang wasir (perdana menteri) dinasti Seljuk pada masa pemerintahan
sultan Alp Arslan (w. 1072M) dan Malikiksyah (1072-1092M).[16]
Dinasti Seljuk berasal dari beberapa kabilah kecil rumpun suku Qiniq dalam
masyarakat Turki Oquz. [17]
Nama aslinya adalah Abu Ali al-Hasan bin Ali bin Ishaq at-Tusi. Ia pernah
menuntut ilmu pada Hibatullah al-Muwaffaq, seorang ulama Syafi’i di Nisabur.
Beliaupun berpaham Asy’ariyah.[18]
Kemudian, latar belakang berdirinya madrasah Nizamiyah yang
paling mendasar dalam literatur sejarah peradaban Islam adalah adanya
perseteruan antara kelompok sunni; dinasti Saljuq dengan kelompok
Syi’ah; dinasti Fatimiah di mesir.[19]
Madrasah Nizamiyah ini termashur seluruh dunia. Pada
tiap-tiap kota Nizam Al-Mulk mendirikan
satu madrasah yang besar, diantaranya: di Baghdad, Balkh, Naisabur, Harat,
Ashfahan, Basran, Marw, Mausul. Tetapi madrasah Nizamiyah Bagdad adalah yang
terbesar dan terpenting dari semua madrasah itu.[20]
Madrasah Nizamiah ini dibangun pada tahun 457H/1065M selesai tahun 459H.
Madrasah ini tetap hidup sampai pertengahan abad ke-14 Masehi yaitu dikunjungi
oleh Ibnu Batutah. Mengutip dari bukunya Abuddin nata “Sejarah Pendidikan
Islam”, Ahmad Syalabi berkeyakinan bahwa pasar Al-Chaffafin yang
terdapat di Bagdad saat ini adalah tempat di mana Madrasah Nizamiyah dulunya
berdiri.[21]
Tujuan Nizam Al-Mulk mendirikan madrasah-madrasah itu ialah
untuk memperkuat pemerintahan Turki saljuq dan menyiarkan mazhab keagamaan
pemerintahan. Sultan-sultan Turki adalah dari golongan ahli Sunnah. Oleh karena
itu, madrasah-madrasah Nizamiyah ini menyokong Sultan dan menyiarkan mazhab
ahli sunnah ke seluruh rakyat.[22]
1.
Sistem Pendidikan Madrasah Nizamiyah
Sistem pendidikan di Madrasah Nizamiyah secara sederhana
memiliki komponen sebagai berikut:
a.
Tujuan Pendidikan Madrasah Nizamiyah Bagdad
Tujuan pendidikan madrasah Nizamiyah
tidak terlapas dari tiga tujuan pokok, yaitu:
1) Mengkader calon-calon ulama yang
menyebarkan pemikiran Sunni untuk menghadapi tantangan pemikiran Syi’ah
2) Menyediakan guru-guru Sunni yang
cakap untuk mengajarka mazhab Sunni dan menyebarkan ke tempat-tempat lain
3) Membentuk kelompok pekerja Sunni
untuk berpartisipasi dalam menjalankan pemerintahan, memimpin kantornya khusus
di bidang pendidikan dan managemen.
Selain
itu, pendidikan juga ditujukan untuk membangun sistem madrasah yang baik dan
berprestasi serta membentuk calon-calon ulama dan birokrat yang mempunyai
wawasan.[23]
b.
Kurikulum dan Metode Pengajaran madrasah Nizamiyah Bagdad
Motivasi
pendidikan madrasah Nizamiyah adalah pembinaan dan penyebaran paham Sunni guna
menghadapi paham Syi’ah. Maka, ilmu kalam diajarkan secara khusus dan intensif.
Harus diakui bahwa beberapa pengajar pada madrasah ini juga dikenal ahli dalam
ilmu kalam, contohnya: Imam Al-Harmain Abul Ma’ali Yusuf Al-Juwaini (wafat
1084M/478H) dan Abdul Hamid Al-Ghazali (wafat 1111M/505H).[24]
Mengutip
dari bukunya Abudin nata, Mahmud Yunus mengatakan bahwa kurikulum madrasah
Nizamiyah tidak diketahui dengan jelas. Akan tetapi dapat disimpulkan bahwa
materi-materi ilma syari’ah diajarkan di sini sedangkan ilmu hikmah
(filsafat) tidak diajarkan. Fakta lain yang mendukung ialah:
1) Tidak ada seorangpun diantara ahli
sejarah mengatakan bahwa di antara materi pelajaran terdapat ilmu-ilmu umum
2) Guru-guru pengajar merupakan ulama
syari’ah
3) Pendiri madrasah ini bukan pembela
ilmu filsafat
4) Zaman berdirinya madrasah ini, zaman
penindasan filsafat.[25]
Pelajaran
di Madrasah ini juga mempelajari Al-Quran dengan membaca, menghafal dan
menulis, sastra Arab, sejarah Nabi Saw. Sumber lain mengatakan bahwa pada
materi fiqh, mahasiswa menyalin silabus (ta’liqah) dalam proses dikte.
Mereka hanya betul-betul menyalin dengan sangat sedikit perubahan.
c.
Tenaga Pengajar dan Pelajar Madrasah Nizamiyah Bagdad
Guru-guru
dan ulama-ulama yang termashur serta memiliki kompetensi di bidangnya dipilih
untuk mengajar di madrasah ini. Pengajar selalu dibantu seorang pembantu.
Pembantu berfungsi sebagai asisten guru. Tugasnya menjelaskan bagian-bagian
yang sulit dipahami setelah guru memberikan kuliah.[26]
Status dosen ditekan pengangkatan dari khalifah dan bertugas dengan masa
tertentu.[27]
Nizam juga menyediakan beasiswa dan memberi fasilitas asrama.
d.
Pendanaan dan Sarana Madrasah Nizamiyah
Dalam
pembangunan madrasah, Nizam menyediakan dana wakaf untuk membiayai mudarris,
imam dan mahasiswa yang menerima beasiswa. Dengan dana itu, ia menddirikan
madrasah-madrasah Nizamiyah hampir seluruh wilayah kekuasaan bani Saljuk. Ia
mendirikan perpustakaan dengan kurang lebih 6.000 jilid buku lengkap dengan
katalognya.[28]
2. Kelahiran Madrasah Nizamiyyah
Madrasah
Nizamiyyah didirikan pada masa pemerintahan Bani Saljuq oleh Perdana Menteri
(Wazir) Ghawam al-Din Abu- 'Ali Hasan Ibn Ishaq Khauja, yang dikenal dengan
panggilan akrab Nizam al-Mulk (1018-1092 M). Nizam al-Mulk adalah ilmuwan
Muslim yang mengarang buku Siyasat Nama, suatu karya yang oleh Mehdi Nakosteen
dinilai sebagai karya klasik di bidang pendidikan Islam. Di samping itu, buku
tersebut juga menunjukkan bahwa Nizam al-Hulk adalah seorang politisi yang
ilmuwan. Di dalam buku tersebut dikupas perihal karakter dan proses pendidikan
bagi para penguasa, para menteri, dan para pejabat pemerintah lainnya.
Madrasah-madrasah
yang didirikan oleh Nizam al-Mulk disebut sebagai madrasah Nizamiyyah, suatu
penamaan yang menisbatkan nama pendirinya. Kemasyhuran madrasah ini sangat
dikenal di seluruh wilayah Islam. Keberadaannya dapat ditemui hampir di setiap
kota, antara lain di Baghdad, Balkh, Naisabur, Herat (Iran), Basrah, Isfahan,
Merv, Mosul (Irak), dan sebagainya. Perkembangan madrasah ini memang tak bisa
dilepaskan dari diri peran aktif Nizam al-Mulk. Mulanya ia hanya membangun
beberapa madrasah.
Dari
sekian banyak madrasah, madrasah Nizamiyyah di Baghdad merupakan yang terbesar
dan yang terkenal. Madrasah ini terletak di pinggir sungai Dajlah (Tigris), di
tengah-tengah pasar Selasa di Baghdad, dan dibangun antara tahun 457 H (1065 M)
hingga tahun 459 H (1067 M). Dapat dikatakan bahwa madrasah Nizamiyyah adalah
madrasah fiqih, dan bukan madrasah filsafat. Apalagi jika diingat bahwa zaman
itu merupakan zaman penindasan filsafat dan para filosofnya.
3.
Tujuan Pendirian Madrasah Nizamiyyah
Tujuan
utama pembangunan madrasah Nizamiyyah di Baghdad adalah untuk mengajarkan hukum
mazhab Syafi'i dengan penekanan pada pengajaran fidih dan teologi. Menurut
Azra, madrasah tersebut mempunyai komitmen kuat untuk berpegang teguh kepada
doktrin Asy'ariyah dalam teologi Islam (kalam) dan ajaran Syafi'i dalam hukum
Islam (fiqih). Selain tujuan utama tersebut, pembangunan madrasah Nizamiyyah
juga didasarkan pada beberapa motif. Dalam hal ini, Hasan Asari menyebutkan ada
empat Motif, yaitu:
a. Pendidikan. Selain sebagai politisi, Nizam
al-Mulk juga seorang sarjana sehingga perhatiannya pada dunia pendidikan berupa
pembangunan madrasah merupakan hal yang pantas dan wajar.
b. Konflik
antar kelompok keagamaan.
Sebelum Nizam alMulk berkuasa, kedudukan Perdana Menteri dipegang oleh
al-Kunduri yang beraliran Mu'tazilah. Salah satu kebijakan al-Kunduri adalah
mengusir dan menganiaya para penganut Asy'ariyah. Ketika Nizam al-Mulk menjabat
sebagai Perdana Menteri, ia juga harus berhadapan dengan kelompok Mu'tazilah.
Dalam konteks ini, oleh Nizam al-Mulk pembangunan madrasah dimaksudkan sebagai
salah satu usaha untuk melawan kelompok Mu'tazilah.
c. Pendidikan
bagi pegawai pemerintah.
Sebagai seorang wazir, Nizam al-Mulk menjalankan sistem administrasi negara
secara sentralistik. Penduduk yang dipimpinnya memiliki latar belakang suku
bangsa, budaya, dan agama yang bervariasi. Atas kenyataan ini, pendidikan di
madrasah dimaksudkan untuk menghadirkan para lulusan yang memiliki kesamaan
visi guna mendukung pemerintahannya.
d. Politik. Bagi Nizam al-Mulk, madrasah
Nizamiyyah juga berfungsi sebagai alai politik. Dengan madrasahnya, ia berusaha
membangun hubungan baik dengan para ulama dan masyarakat sehingga posisi
pemerintahannya tetap stabil.
Selama masa hidupnya, Nizam al-Mulk secara ketat mengontrol
scinua madrasah
Niza-miyyah,
termasuk di dalamnya sistem pendanaan madrasah yang berasal dari wakaf
pemerintah. Kontrol atas madrasah tersebut dimuat di dalam Dokumen Wakaf
Madrasah Nizamiyyah. Substansi dari dokumen tersebut, sebagaimana diungkapkan
oleh A.S. Tritton, adalah sebagai berikut.
a. Madrasah Nizamiyyah adalah wakaf
yang disediakan untuk kepentingan mazhab Syafi'i.
b. Harta benda yang diwakafkan kepada
madrasah Nizamiyyah adalah demi kepentingan penganut mazhab Syafi'i.
Pejabat-pejabat utama madrasah Nizamiyyah harus bermazhab Syafi'i.
c. Madrasah Niza-miyyah harus memiliki
seorang tenaga pengajar di bidang kajian al-Qur'an dan bahasa Arab. Setiap staf
menerima bagian tertentu atas penghasilan yang bersumber dari harta wakaf
madrasah Nizamiyyah.
d. Sebagai suatu lembaga pendidikan,
madrasah Nizamiyyah memiliki sarana-sarana yang cukup lengkap, antara lain
ruang belajar dalam jumlah banyak, ruang perpustakaan yang cukup besar,
sejumlah asrama untuk pelajar, staf, dan para gurunya, dan juga satu masjid
yang terletak tidak jauh dari lokasi madrasah. Tidak terlalu berlebihan jika
dikatakan, madrasah Nizamiyyah merupakan lembaga pendidikan Islam yang sangat
“modern” pada masanya.
D. Pertumbuhan
Madrasah Di Indonesia
Salah satu hal yang penting dan perlu disimak dalam sejarah
perkembangan penyelenggaraan sekolah-sekolah agama ialah lahirnya Keppres No.
34 tahun 1974 tantang tanggungjawab fungsional pendidikan dan latihan serta
Inpres No. 15 tahun 1974 tentang pelaksanaan Keppres No. 34 tahun 1974.[29]
Dalam realitas pendidikan Islam di tanah air, saat dibicarakan tentang lembaga
pendidikan Islam, selain pesantren, maka yang segera terbayang di benak kita
adalah madrasah. Institusi pendidikan ini lahir pada awal abad XX M, yang dapat
dianggap sebagai periode pertumbuhan madrasah dalam sejarah pendidikan Islam di
Indonesia. Memasuki abad XX M, banyak orang Islam Indonesia mulai menyadari
bahwa mereka tidak akan mungkin berkompetisi dengan kekuatan-kekuatan yang
menantang dari pihak kolonialisme Belanda, penetrasi Kristen, dan perjuangan
untuk maju di bagian-bagian lain di Asia, apabila mereka terus melanjutkan
kegiatan dengan cara-cara tradisionaldalam menggerakan Islam.[30]
Menurut
Maksum, ada dua faktor yang melatarbelakangi berkembangnya madrasah di Indonesia.
Yang pertama, madrasah muncul sebagai respons pendidikan Islam terhadap
kebijakan pemerintah Hindia Belanda, dan kedua, karena adanya gerakan pembaruan
Islam di Indonesia yang memiliki kontak cukup intensif dengan gerakan pembaruan
di Timur Tengah.[31]
Madrasah
bukan lembaga pendidikan Islam asli Indonesia, tetapi berasal dari dunia Islam
Timur Tengah yang berkembang sekitar abad ke-10 atau 11 M. Kehadiran madrasah
di Indonesia menunjukkan fenomena modern dalam sistem pendidikan Islam di
Indonesia. Kemunculan dan perkembangan madrasah di Indonesia tidak lepas dari
adanya gerakan pembaruan Islam[32]
yang diawali oleh usaha sejumlah tokoh intelektual agama Islam yang
kemudian dikembangkan oleh organisasi-organisasi sosial keagamaan Islam baik di
Jawa, Sumatra, maupun Kalimantan.[33]
Organisasi sosial keagamaan yang menerima sistem pendidikan modern di Indonesia
kemudian berlomba-lomba mendirikan madrasah yang tersebar di berbagai wilayah.
Namun, sulit sekali memastikan kapan tepatnya istilah madrasah itu dipakai di
Indonesia dan madrasah mana yang pertama kali didirikan.
Madrasah
di Indonesia berkembang setelah berdirinya organisasi keagamaan yang bergerak
di bidang pendidikan, seperti Jam’iyyatul Khair (1905), Muhammadiyah (1912)
oleh K.H. Ahmad Dahlan [1869-1923]), Al-Irsyad (1913) oleh Ahmad Ibn Muhammad
Surkatî al-Anshâri [w.1943]), Mathla’ul Anwar (1916) di Banten, Persis (1923)
di Bandung oleh Haji Zamzam (1894-1952) dan Haji Muhammad Junus serta Ahmad
Hassan (1887-1958), Nahdlatul ‘Ulama (1926) oleh K.H. Hasyim Asy’ari, Persatuan
Tarbiyah Islamiyah (1928), dan al-Jami’atul Washliyyah (1930).
Setelah
Indonesia merdeka (1945) dan Departemen Agama berdiri (3 Januari 1946),
pembinaan madrasah menjadi tanggung jawab departemen ini. Sesuai dengan
tuntutan zaman dan masyarakat, Departemen Agama menyeragamkan nama, jenis, dan
tingkatan madrasah yang beragam tersebut, sebagaimana yang ada sekarang.
Berdasarkan komposisi mata pelajaran, madrasah terbagi menjadi dua kelompok. Pertama,
madrasah yang menyelenggarakan pelajaran agama 30% sebagai mata pelajaran dasar
dan pelajaran umum 70%. Statusnya ada yang negeri dan dikelola oleh Depag, dan
ada yang swasta dan dikelola oleh masyarakat. Jenjang pendidikannya adalah: 1) raudlatul
athfal atau bustanul athfal (tingkat taman kanak-kanak); 2)
madrasah ibtidaiyah (tingkat dasar); 3) madrasah tsanawiyah (tingkat menengah
pertama), dan 4) madrasah aliyah (tingkat menengah atas). Kedua,
madrasah yang menyelenggarakan pendidikan agama dengan model seluruh mata
pelajarannya adalah materi agama, yang sering dikenal dengan madrasah diniyah.
Jenjang pendidikannya; madrasah diniyah awwaliyyah (tingkat dasar),
madrasah diniyah wustha (tingkat menengah pertama), dan madrasah diniyah
‘ulya (tingkat menengah atas).
Sejak
tahun ajaran 1987/1988, berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun
1987, muncul madrasah aliyah model baru yaitu Madrasah Aliyah Program Khusus
(MAPK). Tujuannya untuk mempersiapkan siswa agar memiliki kemampuan dasar dalam
bidang ilmu agama Islam dan bahasa Arab yang diperlukan untuk melanjutkan ke
IAIN (Institut Agama Islam Negeri) atau dapat langsung bekerja di masyarakat
dalam bidang pelayanan keagamaan. MAPK ini sejak tahun ajaran 1987/1988
telah dibuka di beberapa Madrasah Aliah Negeri (MAN) sebagai pilot project,
yaitu MAN Ciamis, MAN Yogyakarta, MAN Jember, Padang Panjang dan MAN Ujung
Pandang.[34]
Pada akhir
dekade 1980-an terjadi pengintegrasian madrasah dalam sistem pendidikan
nasional, yakni dengan lahirnya Undang-undang N0.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (UUSPN) yang menegaskan bahwa pendidikan keagamaan menjadi salah satu
jenis pendidikan di Indonesia, di samping pendidikan akademik, pendidikan
profesional, dan pendidikan kejuruan.[35]
Implikasi dari UUSPN terhadap pendidikan madrasah dapat dilihat dari kurikulum
semua jenjang madrasah, dari ibtidaiyah sampai ‘aliyah. Secara umum,
penjenjangan madrasah paralel dengan penjenjangan pada lembaga pendidikan umum
(SD, SMP dan SMA).
Dengan
adanya SKB Tiga Menteri, yaitu Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri nomor 6 Tahun 1975, nomor 037/U/1975, dan
nomor 36 Tahun 1975 tentang Peningkatan Mutu Pendidikan Pada Madrasah,
Keputusan Menteri Agama nomor 73 tahun 1987, dan Undang-undang No.2 Tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka dapat dikatakan bahwa secara politik
pemerintah telah ikut serta dalam upaya pengembangan pendidikan Islam di
Indonesia.
Menurut
Prof. Mastuhu, pada era globalisasi ini keunggulan adalah kehebatan yang terus
tumbuh secara konsisten, tidak pernah berakhir, dan berumur melampaui umur
pendiri atau pengelolanya. Visi itulah yang harus dibawa oleh instansi yang
dikelola untuk dilaksanakan dan dikembangkan. Oleh pendiri visioner, lembaga
dipandang sebagai learning organization (organisasi pembelajaran dalam
perspektif untuk mengembangkan institusi dan kariernya di masa depan), bukan earning
organization (tempat mencari penghasilan). Pepatah mengatakan, “apa yang
bisa anda berikan, bukan apa yang akan anda dapatkan”.[36]
Institusi madrasah secara kelembagaan berdiri pada awal abad ke- 20 M. Abad
tersebut bisa dikatakan merupakan periode pertumbuhan madrasah dalam sejarah
pendidikan Islam di Indonesia. Keberadaan madrasah pertama kali ditemukan
misalnya dengan munculnya Madrasah Mamba’ul Ulum Kerajaan Surakarta tahun 1905
dan Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Syeh Abdullah Ahmad di Sumatra Barat
tahun 1909. Madrasah berdiri atas inisiatif dan realisasi dari pembaharuan
Islam yang telah ada. Berdirinya madrasah adalah bagian dari kesadaran umat
Islam Indonesia untuk membangun kekuatan melawan kolonialisme Belanda,
penetrasi Kristen serta keinginan untuk maju sejajar dengan bangsa-bangsa lain
di Asia.[37]
Dalam era
global saat ini, madrasah unggulan menjadi keniscayaan. Oleh karena itu. ada
beberapa pemikiran tentang perbaikan yang ditawarkan oleh Prof. Mastuhu dalam
bukunya Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, halaman 61, pertama,
menyempurnakan kurikulum tahun 1994 sehingga konsep ideal tentang
sinergitas ilmu umum dan agama terwujud. Kedua, setiap mata pelajaran
harus dijadikan alat dan tujuan. Misalnya, mata pelajaran biologi dijadikan
sebagai alat menumbuhkembangkan IMTAK, tetapi dapat juga dipandang sebagai
tujuan untuk dijadikan dasar pengembangan ilmu kedokteran. Ketiga, seiring
dengan perampingan jumlah mata pelajaran dan dilakukan pilihan ketat dan tepat,
maka mata pelajaran yang ditawarkan benar-benar strategis untuk dikembangkan
dalam masa-masa mendatang dan mampu mendasari pemikiran literal.Keempat, perlu
dibudayakan penggunaan istilah-istilah baru sebagai pengganti istilah-istilah
lama yang menunjukkan adanya dikotomi. Misalnya, tidak menggunakan istilah
“fakultas agama” dan “fakultas umum”. Lebih tepat digunakan istilah fakultas
dakwah, tarbiyah, adab, syari’ah sebagaimana fakultas kedokteran, ekonomi,
psikologi dan lainnya. Kelima, pendidikan madrasah ibtidaiyah,
tsanawiyah, dan aliyah tidak berdiri sendiri tetapi saling melengkapi satu dan
lainnya.[38]
BAB III
KESIMPULAN
Madrasah
pada awalnya merupakan perkembangan dari institusi pendidikan Islam di
surau/masjid dan pesantren. Selanjutnya, madrasah tidak selalu harus memiliki
penekanan yang sama dengan institusi yang membidani kelahirannya, serta harus
bisa bersama-sama tumbuh berkembang dan saling melengkapi. Perkembangan
madrasah tidak sepenuhnya merupakan kelanjutan lembaga pendidikan tradisional
yang sudah ada sebelumnya.
Ada dua
faktor yang melatarbelakangi pertumbuhan madrasah di Indonesia, yakni, faktor
adanya respons terhadap politik kolonial Belanda dan faktor munculnya pembaruan
pemikiran keagamaan, yakni dengan munculnya gerakan pembaruan yang dimotori
oleh tokoh intelektual muslim di berbagai daerah dan organisasi sosial
keagamaan.
Berkat
dukungan politik pemerintahan Indonesia dengan dikeluarkannya keputusan bersama
mentari dan UU Sistem Pendidikan Nasional, maka semakin
memperkuat posisi madrasah sebagai
bagian dari sistem pendidikan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Yunus, Mahmud. 1995. Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
Ansari, Endang Saifuddin. 1991. Wawasan
Islam; Pokok-pokok Pikiran tentang Islam dan Umatnya. Jakarta: Rajawali
Press.
Azra, Azumardi. 1994. Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII. Bandung: Mizan.
--------------1994. Ensiklopedi
Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Jilid 3.
Nuruddin, Amir dan Azhari Akmal
Tarigan. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis Perkembangan
Hukum Islam dan Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI. Jakart:
Maksum. 1999. Madrasah: Sejarah
dan Perkembangannya. Jakarta: Logos.
A.W. Munawir. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia, Surabaya:
Pustaka Progresif
Fadjar
, H.A. Malik. 1998. Visi Pembaruan Pendidikan Islam.Jakarta: LP3NI
Syalabi,Ahmad.1973. Sejarah Pendidikan Islam,
terjemahan oleh Muchtar Jahja dan Sanusi Latief.Jakarta: Bulan Bintang
Mas’ud, Abdurrahman. 2002.Menggagas Format
Pendidikan Nondikotomik. Yogyakarta: Gama Media
Yatim, Badri. 1993. Sejarah Peradaban Islam
III, Jakarta:Grafindo Persada
Bosworth, G. E. 1993. Dinasti-Dinasti, Judul
Asli: The Islamic Dinasties. Penerj:Ilyas Hasan.Menchester: Mizan
Armando, Nina M. 2005. (ed. Bahasa), Ensiklopedia
Islam.Jakarta: Icthiar Baru van Hoeve
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah.1992.Ensiklopedi
Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan
Yunus,Mahmud.Pendidikan Islam : Dari Zaman
Nabi.
Nata, Abuddin. 2004.Sejarah Pendidikan
Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan.Jakarta: Raja Grafindo Persada
Daradjat, Zakiyah. 2009. Ilmu Pendidikan
Islam.Jakarta: PT. Bumi Aksara
Mahmud
Arif. 2008. Pendidikan Islam Transformatif. Yogyakarta: Lkis
Mastuhu. 2007.Sistem Pendidikan Nasional
Visioner.Jakarta: Lentera Hati.Cet. I
Mastuhu. 1999.Memberdayakan Sistem
Pendidikan Islam.Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Cet ke-2
[1] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995), cet. Ke-4, hal. 10.
2. Endang Saifuddin Ansari, Wawasan Islam;
Pokok-pokok Pikiran tentang Islam dan Umatnya (Jakarta: Rajawali Press,
1991), hal. 253.
[3]. Menurut Pijnapel yang kemudian dikembangkan oleh Snouck Hurgronje (sarjana Belanda), menyatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari anak Benua India, bukan dari Arab atau Persia. Namun, Moquette, sarjana Belanda juga mengatakan bahwa tempat asal Islam Nusantara adalah Gujarat. Pendapat ini telah dibantah oleh Fatimi yang menyatakan bahwa asal Islam Nusantara adalah Bengal. S.M.N. Al-Attas memegang teori yang mengatakan bahwa Islam berasal dari Arab, bukan India. Menurutnya ada dua alasan; pertama, sebelum abad XVII seluruh literature keagamaan Islam tidak menyebut dan mencatat satu pengarang muslim India atau karya yang berasal dari India. Kedua, nama-nama dan gelar pembawa Islam ke Nusantara menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang Arab atau Persia. Tampaknya, Azra cenderung kepada pendapat Al-Attas. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII, (Bandung: Mizan, 1994), hal. 24-36. Lihat juga Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia; Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris (Yogyakarta: LKiS, 2005), hal. 28-29.
[4]
. Menurut Harun Nasution, Islam
membawa ajaran yang tidak hanya satu segi, tetapi mengenai berbagai segi
kehidupan manusia. Yaitu aspek ibadah, sejarah dan kebudayaan, politik,
lembaga-lembaga kemasyarakatan, hukum, teologi, filsafat, mistisisme, pembaruan
dalam Islam, pendidikan dan lain-lainnya. Lihat Harun Nasution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985), Jilid 1
dan 2. Lihat juga Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam,
Cet. Ke-3, Jilid 2 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hal. 253-259.
[5] . Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islamdan Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 3.
[6].
Menurut Maksum, buku-buku sejarah pendidikan Islam di
Indonesia sejauh ini agaknya tidak pernah menginformasikan adanya lembaga
pendidikan yang disebut madrasah pada masa-masa awal penyebaran dan
perkembangan Islam di Nusantara. Lihat Maksum, Madrasah: Sejarah dan
Perkembangannya, (Jakarta: Logos, 1999), hal. 79. Lihat juga Azumardi Azra,
Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 2000) Cet. ke-2, hal. 86-89.
[7]. A.W. Munawir, Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hal.398
[8]. Ensiklopedi Indonesia, 4, (Jakarta:
Ikhtiar Baru, 1983), 2078
[9]. Azyumardi Azra dkk., Ensiklopedi Islam (Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hal.105
[11] H.A. Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan
Islam (Jakarta: LP3NI, 1998),h. 1 l l
[12]. Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, terjemahan oleh Muchtar Jahja dan Sanusi Latief, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h.106
[13] . George Makdisi, The Rise of collages: Institutions of learning in Islam and the west, Edinburh (University Press, 1981), hal. 27-28. Seperti dikutip oleh Hanun Asrorah , M.Ag, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos, 1999), hal. 100
[14] . Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hal. 101
[15]. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam jilid 4, cetakan ke-10, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), 44-45
[16]. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam III, (Jakarta:Grafindo Persada, 1993), 73
[17]. G. E. Bosworth, Dinasti-Dinasti, Judul Asli: The Islamic Dinasties, Penerj:Ilyas Hasan, (Menchester: Mizan, 1993), cet. Ke-1, 142
[18]. Nina M. Armando (ed. Bahasa), Ensiklopedia Islam , (Jakarta: Icthiar Baru van Hoeve, 2005), 222
[19]. Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), hal. 742
[20]. Mahmud Yunus, Pendidikan Islam : Dari Zaman Nabi.., 72
[21]. Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), 62
[22]. Mahmud Yunus, Pendidikan Islam : Dari Zaman Nabi.., 72-73
[23]. Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), 71
[24]. Ibid, hal. 65
[25]. Ibid hal..., 72
[26]. Ibid, hal. 67
[27] . Nina M. Armando (ed. Bahasa), Ensiklopedia.hal. 224
[28]. Op cit, hal 71
[29] . Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), h. 97
[30]
. Mahmud Arif,Pendidikan
Islam Transformatif, (Yogyakarta: Lkis, 2008), h. 199.
[31].
Maksum, Madrasah, hal. 82.
[32]
Dengan menggunakan rentang waktu antara 1900 sampai dengan
1945, Karel A. Steenbrink mengidentifikasi empat faktor yang mendorong gerakan
pembaruan Islam di Indonesia awal abad 20, antara lain: (1) faktor keinginan
untuk kembali kepada al-Qur’an dan hadits; (2) faktor semangat nasionalisme
dalam melawan penjajah; (3) faktor memperkuat basis gerakan sosial, ekonomi,
budaya, dan politik; dan (4) faktor pendidikan Islam di Indonesia. Lihat Karel
A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam
Kurun Modern, Cet. ke-2 (Jakarta: LP3ES, 1994), hal. 26-29.
[33]. Tentang asal-usul gerakan pembaruan Islam dan perkembangannya di Indonesia, lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1995), cet. Ke-7.
[34] Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Jilid 3, hal. 108-109.
[35]
Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional (Jakarta: Golden Terayon Press,
1994).
[36]. Mastuhu, Sistem Pendidikan Nasional Visioner, Cet. I (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hal.132-133.
[37]
. Tim Direktorat Pendidikan Madrasah, Wawasan
Pendidikan Karakter dalam Islam, (Jakarta: Tim Direktorat Pendidikan
Madrasah, 2010), h. 20.
[38]
Mastuhu,Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Cet
ke-2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 61-62.
0 komentar:
Posting Komentar