Beranda

Minggu, 09 September 2018

PESANTREN DAN SURAU: TRADISI DAN MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA


A.    PENDAHULUAN
Pesantren dan surau merupakan pilar utama dalam perkembangan Islam di Indonesia, hal ini dibuktikan dari  perkembangan Islam yang telah masuk ke Indonesia dan meluas serta berkembang sekitar abad XIII lebih tepatnya, lewat jaringan perdagangan dari tanah Hijaz yang kemudian berkembang di Sumatra serta Nusantara.
Untuk menjadikan Islam sebagai agama sekaligus ajaran yang bisa dikenal oleh masyarakat Indonesia, maka memerlukan sarana untuk menyebar-luaskan ajaran Islam itu sendiri, termasuk dalam kaitannya ini ialah keberadaan pesantren dan surau sebagai salah satu pusat pendidikan Islam yang ada di Indonesia. Secara legalitas keberadaan pendidikan Islam di Indonesia telah mendapatkan prioritas utama masyarakat muslim Indonesia sejak awal perkembangannya sampai sekarang. Hal itu bisa dibuktikan dari eksistensi pendidikan Islam saat ini, meskipun dalam kemodernan penggunaan istilah surau dan meunasah telah lebih bergesar kepada keberadaan pesantren sendiri, akan tetapi tradisi dari keduanya sangatlah kental sampai sekarang lewat perkembangan pesantren.
Dari sedikit ulasan di atas adalah cukup penting bagi kita untuk mengenal dan mempelajari asal usul dan keberadaan tempat pendidikan Islam tradisional tersebut. Dan dalam penulisan ini penulis mengajak pada pembaca untuk mengetahui bagaimana asal usul pesantren dan surau. Bagaimana sistem pendidikan dari kduanya, dan bagaimana pergulatan pusat pendidikan Islam tersebut sebagai pusat perlawanan terhadap kolonial.
  
B.     PEMBAHASAN
1.      Pesantren
a.      Sejarah Pesantren
Secara tahun munculnya pesantren sendiri, penulis tidak menemukan secara tepat kapan dan dimana serta pesantren mana yang awal berdiri. Karena secara garis besar pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan tradisional yang terasimilasikan dari sebuah budaya yang ada di Indonesia.[1] Dan kemudian pesantren dikenal secara akrab karena dengan adanya elemen di dalamnya sebagai cirri dari pesantren itu sendiri yaitu adanya seorang kiai, ustad, santri, masjid/mushola, dan pembelajaran kitab kuning di dalamnya.[2]
Sering kita mengetahui dalam catatan sejarah dinyatakan bahwa sejarah perkembangan pesantren di Indonesia sangat erat kaitannya dengan sejarah Islam di Indonesia sendiri, sebagai mana telah disinggung di awal yakni pesantren sebagai media dakwah penyebaran Islam terlebih pada masa Wali Songo yang menggunakan pesantren sebagai salah satu tempat Islamisasi masyarakat Indonesia, dan di sisi lain pesantren menyemaikan semangat perlawanan terhadap penjajah (nasionalisme)[3]
Pada dasarnya arti pesantren yang berawalan pe- dan diakhiri -an diartikan sebagai sebuah tempat,yakni tempat para santri beraktifitas seperti belajar, tidur dan mengadi kepada seorang kiai dan terdapat pula mushola atau masjid sebagai sarana beribadah, terkadang juga pesantren diartikan sebagai gabungan kata sant (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), dan sehingga kata pesantren bisa diartikan sebagai tempat pendidikan manusia baik. Ada juga yang berpendapat bahwa pesantren berasal dari bahasa Tamil yaitu santri yang berarti guru ngaji. Sementara itu C.C Berg berpendapat bahwa kata pesantren berasal dari bahasa India, shastri, yang berarti orang yang mengetahui buku- buku suci agama Hindu.[4]
Strenberk dalam Yasin mengutarakan bahwa ada dua pendapat mengenai pesantren pertama pesantren berasal dari Indonesia sendiri, yang dikaitkan dengan budaya Hindu-Budha yang kemudian diadobsi oleh Islam sebagai peralihan fungsi,[5] kedua pesantren yang didasari atas sepenuhnya dari Islam sendiri, pendapat ini didasari atas ciri-ciri pesantren yang ditemukan sama pada masa Rasulullah SAW.
Terlepas dari pengistilahan di atas, dalam pembahasan ini penulis utarakan bahwa pesantren ialah sebuah lembaga pendidikan yang mengembangkan agama Islam, yang bertujuan untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari- hari.
Pesantren dikembangkan secara luas oleh Wali Songo di tanah Jawa, yang mana dikatakan bahwa pelopor pertamanya ialah Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maulana Maghribi (Gresik) yang diyakini sebagai orang pertama dari sembilan yang terkenal dalam penyebaran Islam di Jawa, akan tetapi pada perkembangan berikutnya tokoh paling sukses dalam pengembangan pondok pesantren ialah Sunan Ampel (Raden Rahmat), yang kemudian menelurkan beberapa pondok Wali Songo lainnya, seperti Pesantren Giri, Pesantren Demak, Pesantren Tuban, Pesantren Derajat dan pesantren-pesantren lain di Nusantara.


b.      Pendidikan Pesantren
Menurut para ahli, pasantren baru disebut pesantren bila memenuhi lima syarat yaitu: ada kyai, ada pondok, ada masjid, ada santri, dan ada pengajaran membaca kitab kuning. Dengan demikian bila orang menulis tentang pesantren maka topik-topik yang harus ditulis sekurang-kurangnya adalah:
1)      Kyai pesantren, mungkin mencakup syarat-syarat kyai untuk zaman kini dan nanti.
2)      Pondok, akan mencakup syarat-syarat fisik dan non fisik, pembiayayaan, tempat, penjagaan, dan lain-lain.
3)      Masjid, cakupannya akan sama dengan pondok.
4)      Santri, melingkupi masalah syarat, sifat, dan tugas santri.
5)      Kitab kuning, bila diluaskan akan mencakup kurikulum pesantren dalam arti yang luas.[6]
Adapun metode pembelajaran yang dilaksanakan di pondok pesantren adalah sebagai berikut:
1)      Wetonan
Metode wetonan yaitu kyai membacakan salah satu kitab di depan para santri yang juga memegang dan memerhatikan kitab yang sama. Dengan metode tersebut, santri hanya menyimak, memerhatikan, dan mendengarkan pembacaan dan pembahasan isi kitab yang dilakukan oleh kyai. Tidak digunakan absensi kehadiran, evaluasi, dan tidak ada pola klasikal. Dalam proses belajarnya, biasanya kyai dikelilingi santrinya yang membentuk lingkaran, yang disebut halaqah.
2)      Sorogan
Metode sorogan adalah metode pembelajaran sistem privat yang dilakukan santri kepada seorang kyai. Dalam metode sorogan ini, santri datang kepada kyai dengan membawa kitab kuning atau kitab gundul, lalu membacanya di depan kyai dan menerjemahkannya.
Metode sorogan sebagai metode yang sangat penting untuk para santri, terutama santri yang bercita-cita menjadi kyai. Karena dengan metode sorogan, santri akan memperoleh ilmu yang meyakinkan dan lebih fokus kepada persyaratan utama menjadi kyai, yakni memahami ilmu alat dalam ilmu-ilmu yang paling prinsipil di pondok pesantren.
3)      Muhawarah
Muhawarah adalah suatu kegiatan berlatih bercakap-cakap dengan bahasa Arab yang diwajibkan oleh pesantren kepada santri selama mereka tinggal di pondok. Kegiatan tersebut biasanya digabungkan dengan latihan muhadharah dan muhadastah yang biasanya dilaksanakan 1-2 minggu sekali. Tujuan kegiatan tersebut adalah untuk melatih keterampilan para santri untuk berpidato.[7]
4)      Mudzakarah
Mudzakarah merupakan suatu pertemuan ilmiah yang secara spesifik membahas masalah diniah seperti ibadah dan akidah serta masalah agama pada umumnya. Dalam mudzakarah terdapat dua tingkat kegiatan: pertama, mudzakarah diselenggarakan oleh sesama santri untuk membahas suatu masalah dengan tujuan melatih para santri dalam memecahkan persoalan dengan menggunakan kitab-kitab yang tersedia. Kedua, mudzakarah yang dipimpin oleh, dan hasil mudzakarah para santri diajukan untuk dibahas dan dinilai seperti dalam suatu seminar. Saat mudzakaran inilah santri menguji keterampilannya, baik dalam bahasa arab maupun keterampilannya dalam mengutip sumbersumber argumentasi dalam kitab-kitab klasik islam.



5)      Bandungan (bahasa Sunda)
Metode ini hanya berlaku di pesantren yang terdapat di Jawa Barat. Istilah “bandungan” artinya “perhatikan” dengan seksama ketika kyai membaca dan membahas isi kitab. Santri hanya memberi kode-kode atau menggantikan kalimat yang dianggap sulit pada kitabnya. Setelah kyai selesai membahas isi kitab, santri diperkenankan mengajukan pertanyaan atau pendapatnya.
6)      Majelis taklim
Metode majelis taklim adalah suatu media penyampaian ajaran Islam yang bersifat umum dan terbuka. Para jamaah terdiri atas berbagai lapisan yang memiliki latar belakang pengetahuan bermacam-macam dan tidak dibatasi oleh tingkatan usia maupun perbedaan kelamin. Pengajian seperti ini hanya diadakan pada waktu tertentu saja. Ada yang seminggu sekali, dua minggu sekali, atau sebulan sekali. Materi yang diajarkan bersifat umum berisi nasihat-nasihat keagamaan yang bersifat amar ma’ruf nahi munkar. Ada kalanya materi diambil dari kitab-kitab tertentu, seperti tafsir Quran dan Hadits.
Perkembangan pondok pesantren dewasa ini semakin baik. Pesantren merupakan lembaga gabungan antara sistem pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama Islam dengan sistem nonklasikal. Adapun santrinya/ muridnya dapat bermukim di pondok yang disediakan atau merupakan “santri kalong”. Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren mengajarkan materi yang bersifat umum dan khusus (keagamaan). Pengajaran tersebut berkaitan dengan hal-hal berikut:[8]
a)      Pelajaran aqidah yaitu yang materinya berisi ilmu tauhid. Dalam ilmu tauhid dikembangkan substansi materi yang berhubungan dengan rukun iman.
b)      Pelajaran syari’ah yang berhubungan dengan hukum Islam atau fiqih, yaiu fiqih ibadah dan fiqih mu’amalah.
c)      Pelajaran bahasa arab yaitu, ilmu nahwu, shorof, ilmu bayan, balaghah, dan ilmu ma’ani.
d)     Pelajaran ilmu-ilmu al-quran.
e)      Pelajaran ilmu fiqih dan ushul fiqih.
f)       Pelajaran ilmu manthiq.
g)      Pelajaran etika Islam dalam pergaulan sehari-hari atau bahrul adab.
h)      Pelajaran kerisalahan nabi muhammad saw.
i)        Pelajaran ilmu hadits.
j)        Bahasa inggris
k)      Ilmu kimia, matematika, fisika.
l)        Ilmu fara’id.
m)    Ilmu falaq.
n)      Bahasa indonesia.
o)      Pancasila.
p)      Keterampilan.
q)      Muthala’ah.
r)       Fiqih lima madzhab.
s)       Ilmu tafsir.
t)       Ilmu tajwid.
u)      Bahstul kutub.

Eksistensi kyai dalam pesantren merupakan lambang kewahyuan yang selalu disegani, dipatuhi, dan dihormati secara ikhlas. Para santri dan masyarakat sekitar selalu berusaha agar dapat dekat dengan kyai untuk memperoleh berkah, sebab menurut anggapan mereka seperti yang dikatakan oleh Zamakhsyari Dhofier, kyai memiliki kedudukan yang tak terjangkau, yang tak dapat sekolah dan masyarakat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam,[9] kyai adalah tempat bertanya atau sumber-sumber referensi, tempat menyelesaikan segala urusan dan tempat meminta nasihat dan fatwa.[10]
Berikut ini dipaparkan beberapa ciri yang menonjol dalam kehidupan pesantren, sehingga membedakannya dengan sistem pendidikan lainnya. Setidaknya ada delapan ciri pendidikan pesantren yaitu:
1)      Adanya hubungan akrab antara santri dengan kyainya
2)      Adanya kepatuhan santri kepada kyai
3)      Hidup hemat dan penuh kesederhanaan
4)      Kemandirian
5)      Berani menderita untuk mencapai suatu tujuan
6)      Pemberian ijazah.[11]
Ciri di atas merupakan gambaran sosok pesantren dalam bentuk yang masih murni, yaitu pesantren tradisional. Sementara dinamika dan kemajuan zaman telah mendorong terjadinya perubahan terus-menerus pada sebagian pesantren. Kemajuan tersebut menjadikan pondok pesantren pada zaman sekarang ini berkembang menjadi lebih modern. Dengan demikian, apabila dilihat dari corak, pesantren dapat kita temukan dalam dua macam, salafi dan khalafi. Pesantren salafi atau lebih sering disebut psantren tradisional adalah pesantren yang masih tetap mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya dalam arti tidak mengalami transformasi yang dalam sistem pendidikannya atau tidak ada inovasi yang menonjol dalam corak pesantren ini. Umumnya, pesantren ini masih eksis di daerah-daerah pedalaman atau pedesaan. Sehingga bisa dikatakan bahwa desa adalah benteng trakhir dalam mempertahankan tradisi-tradisi keislaman. Sedangkan pesantren yang mempunyai corak modern atau pesantren khalafi telah mengalami transformasi yang sangat signifikan baik dalam system pendidikannya maupun unsur-unsur kelembagaannya. Materi pelajaran dan metodenya sudah sepenuhnya menganut sistem modern. Pengembangan bakat dan minat sangat diperhatikan sehingga para santri dapat menyalurkan bakat dan hobinya secara proporsional. Sistem pengajaran dilaksanakan dengan porsi yang sama antara pendidikan agama dan umum, penguasaan bahasa asing pun sangat ditekankan.[12]

2.      Surau
a.      Sejarah Surau
Kata surau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai tempat (rumah) umat Islam melakukan ibadatnya (mengerjakan salat, mengaji, dsb); atau dengan sebutan lain bisa langgar.[13] Sebutan Surau sendiri berasal dari Sumatera Barat tepatnya di Minangkabau, hal tersebut sesuai dengan pendapat Sidi Gazalba dalam Asrohah. Sebelum menjadi lembaga pendidikan Islam, istilah ini pernah digunakan (warisan) sebagai tempat penyembahan bagi agama Hindu-Budha, yakni sebagai tempat penyembahan ruh nenek moyang yang biasanya terletak di puncak atau daratan yang tinggi daripada lingkungannya.
Surau dalam sejarah Minangkabau diperkirakan berdiri pada 1356 M yang dibangun pada masa Raja Adityawarman di kawasan bukit Gombak. Dan kata surau sendiri berasal dari bahasa sansekerta “Swarwa” yang artinya segala, semua, macam-macam, atau dengan kata lain seperti pusat pendidikan dan latihan yang ada saat ini.[14]
Sumatera Barat mengenal suara tidak hanya sebagai fungsi seperti pengartian di atas, akan tetapi juga sebagai fungsi budaya, hal ini didasari karena surau merupakan kepunyaan kaum suku atau indu (klan) yang menjadi pelengkap rumah gadang. Setelah Islam datang, surau tidak hanya bisa ditemukan di bukit atau dataran tinggi sebagaimana tersebut di atas, tetapi surau bisa ditemukan di pemukiman desa hal ini didasari dengan fungsi surau yang beralih mejadi masjid atau tempat ibadah dan belajar Al Qur’an. Surau juga digunakan untuk berbagai kegiatan keagamaan. Di Malaysia, surau berarti mesjid untuk sholat lima waktu, sholat jum’at dan kegiatan keagamaan, termasuk pendidikan. Surau juga mempunyai fungsionaris
keagamaan, seperti khatib, imam, bilal, amil dan sebagainya.
Selain dari perkembangan tersebut surau mempunyai fungsi sebagai lembaga pengembangan dakwah Islam dan juga sebagai lembaga kemasyarakatan, dan dari sini surau bisa dispekulasikan menjadi dua, pertama surau gadang (tempat untuk tuanku, ulama atau syekh) yakni sebagai induk, kedua surau ketek yang juga terbagi atas dua macam surau, yakni surau yang didirikan oleh suku atau indu atau kampung, dan surau yang didirikan di sekitar surau gadang, oleh sebab itu keberadaan seorang ulama ditentukan oleh pengakuan pemuka adat.

b.      Pendidikan Surau
Kedatangan Islam ke Sumatera Barat telah memberikan pengaruh dan perubahan bagi kelangsungan surau sebelumnya. Surau mulai terpengaruh dengan panji-panji penyiaran agama Islam. Dengan waktu yang tidak lama, surau kemudian mengalami islamisasi, walaupun dalam batas-batas tertentu masih menyisakan suasana kesakralan dan merefleksikan sebagai simbol adat Minangkabau. Proses islamisasi surau begitu cepat dengan ditandai beberapa aktivitas keagamaan. Meski tidak harus merubah label namanya, kaum muslim dapat menerima (mempertahankan) tanpa mempertanyakan keberadaan asal-usulnya. Karena yang lebih penting masa itu adalah adanya sarana yang efektif untuk melakukan menyiarkan agama Islam. Nama atau label bukanlah hal yang prinsip, dan yang lebih esensi adalah semangat dalam menciptakan suasana dan aktivitas di kalangan umat Islam dalam memperkokoh keimanan dan keislamannya. Nilai-nilai semangat inilah yang dipegangi umat Islam hingga surau dikenal khalayak luas sepanjang sejarah.
Fungsi surau tidak berubah setelah kedatangan Islam, hanya saja fungsi keagamaannya semakin penting yang diperkenalkan pertama kali oleh syekh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman. Pada masa ini, eksistensi surau disamping sebagai tempat shalat, juga sebagai tempat mengajarkan ajaran Islam, khususnya tarekat (suluk).[15]
Sebutan surau biasanya dikonotasikan dengan istilah langgar atau mushalla. Meskipun secara substantif term tersebut tidak sepenuhnya bisa disamakan begitu saja. Karena dari segi kelahiran, surau muncul jauh sebelum langgar atau mushalla berdiri sebagaimana disebutkan di atas. Penggunaan istilah langgar biasanya digunakan untuk shalat dan mengaji bagi kaum muslim di Jawa. Setelah melaksanakan ibadah shalat, para jama’ah melanjutkan dengan membaca Al-Quran bersama yang dipimpin imam (guru) yang ditunjuk sebagai pendidik di surau.
Sedikit gambaran di atas, memperlihatkan bahwa kegiatan pendidikan Islam masa awal di Nusantara berjalan secara informal. Masa awal pertumbuhannya dilaksanakan dengan mengambil bentuk sistem pendidikan surau. Sebagai sebuah sistem, surau telah menjadi proses yang sangat panjang yang dijalani oleh para pedagang muslim untuk menyiarkan agama Islam, khususnya di Minangkabau. Sebagai sebuah proses permulaan atau pembentukan, sistem surau ini dilakukan dengan memberikan contoh dan suri tauladan. Mereka diajari bagaimana berlaku sopan-santun, ramah-tamah, tulus ikhlas, amanah, dan kepercayaan, pengasih dan pemurah, jujur dan adil, menepati janji serta menghormati adat istiadat yang ada, yang menyebabkan masyarakat Nusantara tertarik untuk memeluk agama Islam.
Sebagai lembaga pendidikan tradisional, surau menggunakan system pendidikan halaqah. Materi pendidikan yang diajarkan pada awalnya masih di seputar belajar huruf hijaiyah dan membaca Al-Quran, disamping ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti keimanan, akhlak dan ibadah. Peda umumnya pendidikan ini dilaksanakan malam hari.[16]
Secara bertahap, eksistensi surau sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami kemajuan. Ada dua jenjang pendidikan surau pada era ini, yaitu:
1)      Pengajaran Al-Quran. Untuk mempelajari Al-Quran ada dua tingkatan;
a)      Pendidikan Rendah, yaitu pendidikan untuk memahami ejaan huruf Al-Quran. Di samping itu, juga dipelajari cara berwudhu dan tata cara shalat yang dilakukan dengan metode praktik dan menghafal, keimanan terutama yang berhubungan dengan sifat dua puluh yang dipelajari dengan menggunakan metode menghafal melalui lagu, dan akhlak yang dilakukan dengan cerita tentang nabi dan orang-orang shaleh lainnya.
b)      Pendidikan Atas, yaitu pendidikan membaca Al-Quran dengan lagu, kasidah, berjanji, tajwid, dan kitab perukunan.
Lama pendidikan di kedua jenis pendidikan tersebut tidak ditentukan. Seorang siswa baru dikatakan tamat bila ia telah mampu menguasai materimateri di atas dengan baik. Bahkan adakalanya seorang siswa yang telah menamatkan mempelajari Al-Quran dua atau tiga kali baru berenti dari pengajaran Al-Quran.
2)      Pengajian Kitab
Materi pendidikan pada jenjang ini meliputi; ilmu sharaf dan nahwu, ilmu fiqih, ilmu tafsir, dan ilmu-ilmu lainnya. Cara mengajarkannya adalah dengan membaca sebuah kitab Arab dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Setelah itu baru diterangkan maksudnya. Penekanan pada jenjang ini adalah pada aspek hafalan. Agar siswa cepat hafal, maka metode pengajarannya dilakukan melalui cara menghafalkan materi dengan lagu-lagu tertentu. Pelaksanaan pada jenjang ini biasanya dilakukan pada siang hari.
Metode pendidikan di surau bila dibandingkan dengan metode pendidikan modern, sesungguhnya metode pendidikan di surau memiliki kelebihan dan kelemahannya. Kelebihannya terletak pada kemampuan menghafal muatan teoritis keilmuan. Sedangkan kelemahannya terdapat pada lemahnya kemampuan memahami dan menganalisis teks. Di sisi lain, metode pendidikan ini diterapkan secara keliru. Siswa banyak yang bisa membaca dan menghalaf suatu kitab, akan tetapi tidak bisa menulis apa yang dibaca dan dihafalnya itu.
Surau tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam tetapi juga sebagai lembaga pendidikan tarekat. Fungsi surau yang kedua ini lebih dominan dalam perkembangannya di Minangkabau. Setiap guru di Minangkabau memiliki otoritasnya sendiri, baik dalam praktik tarekat maupun penekanan cabang-cabang ilmu keislaman. Praktik tarekat yang dikembangkan oleh masing-masing surau tersebut lebih banyak muatan mistisnya ketimbang syari’at. Gejala ini dapat diketahui, meskipun Islam sudah dianut masyarakat tetapi praktik-praktik yang bertentangan dengan syari’at masih dilakukan terutama para penguasa (kaum adat).
Melihat masyarakat yang demikian, maka syekh Abdurrahman salah seorang ulama dari Batu Hampar, berupaya menyadarkan umat dengan pendekatan persuasif dan ia pun berhasil. Keberhasilannya ini tidak serta-merta menghilangkan praktik bid’ah dan khurat di sebagian lain.
Untuk memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai ajaran agama Islam, maka syekh Abdurrahman mendirikan surau yang terkenal dengan “Surau Gadang”. Di surau inilah syekh Abdurrahman mengajarkan Al-Quran dengan berbagai mecam ilmu keislaman.
Keadaan yang demikian itu keadaan semakin memanas dan membagi masyarakat dalam dua kubu. Kubu pertama, yang menolak pembaruan yangh dimotori oleh kaum adat yanh dibantu kolonial Belanda, dan kubu yang kedua diwakili oleh pemuka agama (kaum Padri) yang sudah gerah melihat praktik kehidupan yang sudah jauh dari nilai-nilai agama.
Dengan momentum kepulangan “tiga serangkai” H. Miskin dari Pandai Sikek, H. Piobang dari Agam dan H. Sumanik dari Batusangkar dari Mekkah, maka dilakkukan pembaruan tetapi dengan pendekatan yang keras dan radikal. Ulama-ulama ini juga dibantu ulama lain seperti Tuanku Nan Ranceh dan Tuanku Agam yang bergelar “Harimau Nan Salapan”. Usaha yang dilakukan kaum Padri, sekurang-kurangnya telah berhasil membangkitkan semangat nasionalisme umat Islam dalam menentang penjajah. Meskipun pada akhirnya gerakan ini gagal membumikan ide pembaruannya.
Surau sebagi lembaga pendidikan Islam mulai surut peranannya karena disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, selama perang padri banyak surau yang musnah terbakar dan syekh banyak yang meninggal, kedua, Belanda mulai memperkenalkan sekolah nagari, ketiga, kaum intelektual muda muslim mulai mendirikan madrasah sebagai bentuk ketidaksetujuan mereka terhadap praktikpraktik surau yang penuh dengan khurafat, bid’ah, dan takhayul.
Dalam posisinya sebagi lembaga pendidikan Islam, posisi surau sangat strategis baik dalam pengembangan Islam maupun pemahaman terhadap ajaranajaran Islam. Bahkan surau telah mampu mencetak para ulama besar Minangkabau dan menumbuhkan semangat nasionalisme, terutama dalam mengusir kolonialisme Belanda. Di antara para alumni Pendidikan Surau itu adalah Haji Rasul, AR. At Mansur, Abdullah Ahmad dan Hamka.


DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata. 2001. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Grasindo.

Ahmad Tafsir. 2010. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam.Bandung: Remaja Rosdakarya.

Haidar Putra Daulay. 2007. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia..Jakarta: Putra Grafika.

Hanun Asrohah. 1999. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos.

Hasan Basri dan Beni Ahmad Saebani. 2010. Ilmu Pendidikan Islam Jilid II. Bandung: Pustaka Setia.

Hasbullah. 1999. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia; Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta:Raja Grafindo Persada.

Imron Arifin. 1995. Kepemimpinan Kyai Kasus Pondok Pesantren Tebuireng. Malang: Kalimasahada Press.

K.H.A.M.Z. Tuanku Kayo Kadimullah. Menuju Tegaknya Islam Di Minangkabau: Bandung: Penerbit Marza.

Depdiknas. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Musyrifah Sunarto. 2005. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Samsul Nizar. 2005. Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam. Ciputat: Quantum Teaching.

Wahjoetomo. 1997. Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan Alternatif Masa Depan. Jakarta: Gema Insani Press.

Zamakhsyari Dhofier. 1985. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES. cet. V.




[1] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999,h. 144
[2] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia; Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1999.h.24
[3] Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan Alternatif Masa Depan, Jakarta: Gema Insani Press, 1997 hal, 74-80
[4] Musyrifah Sunarto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005) hal., 110.
[5] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia,,Jakarta: Putra Grafika, 2007,h. 21.
[6] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam,Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010,h. 191.
[7] Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai Kasus Pondok Pesantren Tebuireng, Malang: Kalimasahada Press,1995, h. 39.
[8] Hasan Basri dan Beni Ahmad Saebani, Ilmu Pendidikan Islam Jilid II,Bandung: Pustaka Setia, 2010, h.235-236.
[9] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1985, cet. V, h. 56.
[10] Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2001, h.140.
[11] Ibid., h. 118-119.
[12] Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan ....Loc. Cit., h. 290
[13] Lihat dalam Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002) Hlm 450
[14] K.H.A.M.Z. Tuanku Kayo Kadimullah, Menuju Tegaknya Islam Di Minangkabau: Bandung: Penerbit Marza, h.170
[15] Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, Ciputat: Quantum Teaching, 2005,h.71
[16] Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, Ciputat: Quantum Teaching, 2005,h.281

2 komentar:

  1. Alhamdulillah saya sangat bersyukur bisa mondok di pesantren. Makasih infomrasinya Pak.

    GELISAH RAKYAT

    BalasHapus
    Balasan
    1. alhamdulillah, bisa mendalami ilmu agama pak, semoga ilmu dari pesantren bermanfaat pak

      Hapus