A.
PENDAHULUAN
Pesantren dan surau merupakan pilar utama dalam perkembangan Islam
di Indonesia, hal ini dibuktikan dari
perkembangan Islam yang telah masuk ke Indonesia dan meluas serta
berkembang sekitar abad XIII lebih tepatnya, lewat jaringan perdagangan dari
tanah Hijaz yang kemudian berkembang di Sumatra serta Nusantara.
Untuk menjadikan Islam sebagai agama sekaligus ajaran yang bisa
dikenal oleh masyarakat Indonesia, maka memerlukan sarana untuk
menyebar-luaskan ajaran Islam itu sendiri, termasuk dalam kaitannya ini ialah
keberadaan pesantren dan surau sebagai salah satu pusat pendidikan Islam yang
ada di Indonesia. Secara legalitas keberadaan pendidikan Islam di Indonesia
telah mendapatkan prioritas utama masyarakat muslim Indonesia sejak awal
perkembangannya sampai sekarang. Hal itu bisa dibuktikan dari eksistensi
pendidikan Islam saat ini, meskipun dalam kemodernan penggunaan istilah surau
dan meunasah telah lebih bergesar kepada keberadaan pesantren sendiri, akan
tetapi tradisi dari keduanya sangatlah kental sampai sekarang lewat
perkembangan pesantren.
Dari sedikit ulasan di atas adalah cukup penting bagi kita untuk
mengenal dan mempelajari asal usul dan keberadaan tempat pendidikan Islam
tradisional tersebut. Dan dalam penulisan ini penulis mengajak pada pembaca
untuk mengetahui bagaimana asal usul pesantren dan surau. Bagaimana sistem
pendidikan dari kduanya, dan bagaimana pergulatan pusat pendidikan Islam
tersebut sebagai pusat perlawanan terhadap kolonial.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pesantren
a.
Sejarah Pesantren
Secara tahun munculnya pesantren sendiri, penulis tidak menemukan
secara tepat kapan dan dimana serta pesantren mana yang awal berdiri. Karena
secara garis besar pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan tradisional
yang terasimilasikan dari sebuah budaya yang ada di Indonesia.[1] Dan
kemudian pesantren dikenal secara akrab karena dengan adanya elemen di
dalamnya sebagai cirri dari pesantren itu sendiri yaitu adanya seorang kiai, ustad, santri, masjid/mushola, dan pembelajaran
kitab kuning di dalamnya.[2]
Sering kita mengetahui dalam catatan sejarah dinyatakan bahwa
sejarah perkembangan pesantren di Indonesia sangat erat kaitannya dengan
sejarah Islam di Indonesia sendiri, sebagai mana telah disinggung di awal yakni
pesantren sebagai media dakwah penyebaran Islam terlebih pada masa Wali Songo
yang menggunakan pesantren sebagai salah satu tempat Islamisasi masyarakat Indonesia,
dan di sisi lain pesantren menyemaikan semangat perlawanan terhadap penjajah
(nasionalisme)[3]
Pada dasarnya arti pesantren yang berawalan pe- dan diakhiri -an
diartikan sebagai sebuah tempat,yakni tempat para santri beraktifitas seperti
belajar, tidur dan mengadi kepada seorang kiai dan terdapat pula mushola atau
masjid sebagai sarana beribadah, terkadang juga pesantren diartikan sebagai
gabungan kata sant (manusia baik) dengan suku kata tra (suka
menolong), dan sehingga kata pesantren bisa diartikan sebagai tempat pendidikan
manusia baik. Ada juga yang berpendapat bahwa pesantren berasal dari bahasa
Tamil yaitu santri yang berarti guru ngaji. Sementara itu C.C Berg berpendapat
bahwa kata pesantren berasal dari bahasa India, shastri, yang berarti
orang yang mengetahui buku- buku suci agama Hindu.[4]
Strenberk dalam Yasin mengutarakan bahwa ada dua pendapat mengenai
pesantren pertama pesantren berasal dari Indonesia sendiri, yang
dikaitkan dengan budaya Hindu-Budha yang kemudian diadobsi oleh Islam sebagai
peralihan fungsi,[5]
kedua pesantren yang didasari atas sepenuhnya dari Islam sendiri,
pendapat ini didasari atas ciri-ciri pesantren yang ditemukan sama pada masa
Rasulullah SAW.
Terlepas dari pengistilahan di atas, dalam pembahasan ini penulis
utarakan bahwa pesantren ialah sebuah lembaga pendidikan yang mengembangkan
agama Islam, yang
bertujuan untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan
ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman
perilaku sehari- hari.
Pesantren dikembangkan secara luas oleh Wali Songo di tanah Jawa,
yang mana dikatakan bahwa pelopor pertamanya ialah Syekh Maulana Malik Ibrahim
atau Syekh Maulana Maghribi (Gresik) yang diyakini sebagai orang pertama dari
sembilan yang terkenal dalam penyebaran Islam di Jawa, akan tetapi pada
perkembangan berikutnya tokoh paling sukses dalam pengembangan pondok pesantren
ialah Sunan Ampel (Raden Rahmat), yang kemudian menelurkan beberapa pondok Wali
Songo lainnya, seperti Pesantren Giri, Pesantren Demak, Pesantren Tuban,
Pesantren Derajat dan pesantren-pesantren lain di Nusantara.
b.
Pendidikan Pesantren
Menurut para ahli, pasantren baru disebut pesantren bila memenuhi
lima syarat yaitu: ada kyai, ada pondok, ada masjid, ada santri, dan ada
pengajaran membaca kitab kuning. Dengan demikian bila orang menulis tentang
pesantren maka topik-topik yang harus ditulis sekurang-kurangnya adalah:
1)
Kyai
pesantren, mungkin mencakup syarat-syarat kyai untuk zaman kini dan nanti.
2)
Pondok,
akan mencakup syarat-syarat fisik dan non fisik, pembiayayaan, tempat,
penjagaan, dan lain-lain.
3)
Masjid,
cakupannya akan sama dengan pondok.
4)
Santri,
melingkupi masalah syarat, sifat, dan tugas santri.
5)
Kitab
kuning, bila diluaskan akan mencakup kurikulum pesantren dalam arti yang luas.[6]
Adapun metode pembelajaran yang dilaksanakan di pondok pesantren
adalah sebagai berikut:
1)
Wetonan
Metode wetonan
yaitu kyai membacakan salah satu kitab di depan para santri yang juga memegang
dan memerhatikan kitab yang sama. Dengan metode tersebut, santri hanya
menyimak, memerhatikan, dan mendengarkan pembacaan dan pembahasan isi kitab
yang dilakukan oleh kyai. Tidak digunakan absensi kehadiran, evaluasi, dan
tidak ada pola klasikal. Dalam proses belajarnya, biasanya kyai dikelilingi
santrinya yang membentuk lingkaran, yang disebut halaqah.
2)
Sorogan
Metode sorogan
adalah metode pembelajaran sistem privat yang dilakukan santri kepada seorang
kyai. Dalam metode sorogan ini, santri datang kepada kyai dengan membawa kitab
kuning atau kitab gundul, lalu membacanya di depan kyai dan menerjemahkannya.
Metode sorogan
sebagai metode yang sangat penting untuk para santri, terutama santri yang
bercita-cita menjadi kyai. Karena dengan metode sorogan, santri akan memperoleh
ilmu yang meyakinkan dan lebih fokus kepada persyaratan utama menjadi kyai,
yakni memahami ilmu alat dalam ilmu-ilmu yang paling prinsipil di pondok
pesantren.
3)
Muhawarah
Muhawarah
adalah suatu kegiatan berlatih bercakap-cakap dengan bahasa Arab yang
diwajibkan oleh pesantren kepada santri selama mereka tinggal di pondok.
Kegiatan tersebut biasanya digabungkan dengan latihan muhadharah dan muhadastah
yang biasanya dilaksanakan 1-2 minggu sekali. Tujuan kegiatan tersebut adalah
untuk melatih keterampilan para santri untuk berpidato.[7]
4)
Mudzakarah
Mudzakarah
merupakan suatu pertemuan ilmiah yang secara spesifik membahas masalah diniah
seperti ibadah dan akidah serta masalah agama pada umumnya. Dalam mudzakarah
terdapat dua tingkat kegiatan: pertama, mudzakarah diselenggarakan oleh
sesama santri untuk membahas suatu masalah dengan tujuan melatih para santri
dalam memecahkan persoalan dengan menggunakan kitab-kitab yang tersedia. Kedua,
mudzakarah yang dipimpin oleh, dan hasil mudzakarah para santri diajukan
untuk dibahas dan dinilai seperti dalam suatu seminar. Saat mudzakaran inilah
santri menguji keterampilannya, baik dalam bahasa arab maupun keterampilannya
dalam mengutip sumbersumber argumentasi dalam kitab-kitab klasik islam.
5)
Bandungan
(bahasa Sunda)
Metode ini
hanya berlaku di pesantren yang terdapat di Jawa Barat. Istilah “bandungan”
artinya “perhatikan” dengan seksama ketika kyai membaca dan membahas isi kitab.
Santri hanya memberi kode-kode atau menggantikan kalimat yang dianggap sulit
pada kitabnya. Setelah kyai selesai membahas isi kitab, santri diperkenankan
mengajukan pertanyaan atau pendapatnya.
6)
Majelis
taklim
Metode majelis
taklim adalah suatu media penyampaian ajaran Islam yang bersifat umum dan
terbuka. Para jamaah terdiri atas berbagai lapisan yang memiliki latar belakang
pengetahuan bermacam-macam dan tidak dibatasi oleh tingkatan usia maupun
perbedaan kelamin. Pengajian seperti ini hanya diadakan pada waktu tertentu
saja. Ada yang seminggu sekali, dua minggu sekali, atau sebulan sekali. Materi
yang diajarkan bersifat umum berisi nasihat-nasihat keagamaan yang bersifat amar
ma’ruf nahi munkar. Ada kalanya materi diambil dari kitab-kitab tertentu,
seperti tafsir Quran dan Hadits.
Perkembangan
pondok pesantren dewasa ini semakin baik. Pesantren merupakan lembaga gabungan
antara sistem pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan dan pengajaran
agama Islam dengan sistem nonklasikal. Adapun santrinya/ muridnya dapat
bermukim di pondok yang disediakan atau merupakan “santri kalong”. Sebagai
lembaga pendidikan Islam, pesantren mengajarkan materi yang bersifat umum dan
khusus (keagamaan). Pengajaran tersebut berkaitan dengan hal-hal berikut:[8]
a)
Pelajaran
aqidah yaitu yang materinya berisi ilmu tauhid. Dalam ilmu tauhid dikembangkan
substansi materi yang berhubungan dengan rukun iman.
b)
Pelajaran
syari’ah yang berhubungan dengan hukum Islam atau fiqih, yaiu fiqih ibadah dan
fiqih mu’amalah.
c)
Pelajaran
bahasa arab yaitu, ilmu nahwu, shorof, ilmu bayan, balaghah, dan ilmu ma’ani.
d)
Pelajaran
ilmu-ilmu al-quran.
e)
Pelajaran
ilmu fiqih dan ushul fiqih.
f)
Pelajaran
ilmu manthiq.
g)
Pelajaran
etika Islam dalam pergaulan sehari-hari atau bahrul adab.
h)
Pelajaran
kerisalahan nabi muhammad saw.
i)
Pelajaran
ilmu hadits.
j)
Bahasa
inggris
k)
Ilmu
kimia, matematika, fisika.
l)
Ilmu
fara’id.
m)
Ilmu
falaq.
n)
Bahasa
indonesia.
o)
Pancasila.
p)
Keterampilan.
q)
Muthala’ah.
r)
Fiqih
lima madzhab.
s)
Ilmu
tafsir.
t)
Ilmu
tajwid.
u)
Bahstul
kutub.
Eksistensi kyai dalam pesantren merupakan lambang kewahyuan yang
selalu disegani, dipatuhi, dan dihormati secara ikhlas. Para santri dan
masyarakat sekitar selalu berusaha agar dapat dekat dengan kyai untuk
memperoleh berkah, sebab menurut anggapan mereka seperti yang dikatakan oleh
Zamakhsyari Dhofier, kyai memiliki kedudukan yang tak terjangkau, yang tak dapat
sekolah dan masyarakat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam,[9]
kyai adalah tempat bertanya atau sumber-sumber referensi, tempat menyelesaikan
segala urusan dan tempat meminta nasihat dan fatwa.[10]
Berikut ini dipaparkan beberapa ciri yang menonjol dalam kehidupan pesantren,
sehingga membedakannya dengan sistem pendidikan lainnya. Setidaknya ada delapan
ciri pendidikan pesantren yaitu:
1)
Adanya
hubungan akrab antara santri dengan kyainya
2)
Adanya
kepatuhan santri kepada kyai
3)
Hidup
hemat dan penuh kesederhanaan
4)
Kemandirian
5)
Berani
menderita untuk mencapai suatu tujuan
6)
Pemberian
ijazah.[11]
Ciri di atas merupakan gambaran sosok pesantren dalam bentuk yang
masih murni, yaitu pesantren tradisional. Sementara dinamika dan kemajuan zaman
telah mendorong terjadinya perubahan terus-menerus pada sebagian pesantren. Kemajuan
tersebut menjadikan pondok pesantren pada zaman sekarang ini berkembang menjadi
lebih modern. Dengan demikian, apabila dilihat dari corak, pesantren dapat kita
temukan dalam dua macam, salafi dan khalafi. Pesantren salafi atau lebih sering
disebut psantren tradisional adalah pesantren yang masih tetap mempertahankan
nilai-nilai tradisionalnya dalam arti tidak mengalami transformasi yang dalam
sistem pendidikannya atau tidak ada inovasi yang menonjol dalam corak pesantren
ini. Umumnya, pesantren ini masih eksis di daerah-daerah pedalaman atau
pedesaan. Sehingga bisa dikatakan bahwa desa adalah benteng trakhir dalam
mempertahankan tradisi-tradisi keislaman. Sedangkan pesantren yang mempunyai
corak modern atau pesantren khalafi telah mengalami transformasi yang sangat
signifikan baik dalam system pendidikannya maupun unsur-unsur kelembagaannya. Materi
pelajaran dan metodenya sudah sepenuhnya menganut sistem modern. Pengembangan
bakat dan minat sangat diperhatikan sehingga para santri dapat menyalurkan
bakat dan hobinya secara proporsional. Sistem pengajaran dilaksanakan dengan
porsi yang sama antara pendidikan agama dan umum, penguasaan bahasa asing pun
sangat ditekankan.[12]
2.
Surau
a.
Sejarah Surau
Kata surau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan
sebagai tempat (rumah) umat Islam melakukan ibadatnya (mengerjakan salat,
mengaji, dsb); atau dengan sebutan lain bisa langgar.[13]
Sebutan Surau sendiri berasal dari Sumatera Barat tepatnya di Minangkabau, hal
tersebut sesuai dengan pendapat Sidi Gazalba dalam Asrohah. Sebelum menjadi
lembaga pendidikan Islam, istilah ini pernah digunakan (warisan) sebagai tempat
penyembahan bagi agama Hindu-Budha, yakni sebagai tempat penyembahan ruh nenek
moyang yang biasanya terletak di puncak atau daratan yang tinggi daripada
lingkungannya.
Surau dalam sejarah Minangkabau diperkirakan berdiri pada 1356 M
yang dibangun pada masa Raja Adityawarman di kawasan bukit Gombak. Dan kata
surau sendiri berasal dari bahasa sansekerta “Swarwa” yang artinya
segala, semua, macam-macam, atau dengan kata lain seperti pusat pendidikan dan
latihan yang ada saat ini.[14]
Sumatera Barat mengenal suara tidak hanya sebagai fungsi seperti
pengartian di atas, akan tetapi juga sebagai fungsi budaya, hal ini didasari
karena surau merupakan kepunyaan kaum suku atau indu (klan) yang menjadi
pelengkap rumah gadang. Setelah Islam datang, surau tidak hanya bisa ditemukan
di bukit atau dataran tinggi sebagaimana tersebut di atas, tetapi surau bisa ditemukan
di pemukiman desa hal ini didasari dengan fungsi surau yang beralih mejadi
masjid atau tempat ibadah dan belajar Al Qur’an. Surau juga digunakan untuk
berbagai kegiatan keagamaan. Di Malaysia, surau berarti mesjid untuk sholat
lima waktu, sholat jum’at dan kegiatan keagamaan, termasuk pendidikan. Surau
juga mempunyai fungsionaris
keagamaan,
seperti khatib, imam, bilal, amil dan sebagainya.
Selain dari perkembangan tersebut surau mempunyai fungsi sebagai
lembaga pengembangan dakwah Islam dan juga sebagai lembaga kemasyarakatan, dan
dari sini surau bisa dispekulasikan menjadi dua, pertama surau gadang
(tempat untuk tuanku, ulama atau syekh) yakni sebagai induk, kedua surau
ketek yang juga terbagi atas dua macam surau, yakni surau yang didirikan
oleh suku atau indu atau kampung, dan surau yang didirikan di sekitar surau
gadang, oleh sebab itu keberadaan seorang ulama ditentukan oleh pengakuan
pemuka adat.
b.
Pendidikan Surau
Kedatangan Islam ke Sumatera Barat telah memberikan pengaruh dan perubahan
bagi kelangsungan surau sebelumnya. Surau mulai terpengaruh dengan panji-panji
penyiaran agama Islam. Dengan waktu yang tidak lama, surau kemudian mengalami
islamisasi, walaupun dalam batas-batas tertentu masih menyisakan suasana
kesakralan dan merefleksikan sebagai simbol adat Minangkabau. Proses islamisasi
surau begitu cepat dengan ditandai beberapa aktivitas keagamaan. Meski tidak
harus merubah label namanya, kaum muslim dapat menerima (mempertahankan) tanpa mempertanyakan
keberadaan asal-usulnya. Karena yang lebih penting masa itu adalah adanya
sarana yang efektif untuk melakukan menyiarkan agama Islam. Nama atau label
bukanlah hal yang prinsip, dan yang lebih esensi adalah semangat dalam
menciptakan suasana dan aktivitas di kalangan umat Islam dalam memperkokoh
keimanan dan keislamannya. Nilai-nilai semangat inilah yang dipegangi umat
Islam hingga surau dikenal khalayak luas sepanjang sejarah.
Fungsi surau tidak berubah setelah kedatangan Islam, hanya saja
fungsi keagamaannya semakin penting yang diperkenalkan pertama kali oleh syekh Burhanuddin
di Ulakan, Pariaman. Pada masa ini, eksistensi surau disamping sebagai tempat
shalat, juga sebagai tempat mengajarkan ajaran Islam, khususnya tarekat
(suluk).[15]
Sebutan surau biasanya dikonotasikan dengan istilah langgar atau
mushalla. Meskipun secara substantif term tersebut tidak sepenuhnya bisa
disamakan begitu saja. Karena dari segi kelahiran, surau muncul jauh sebelum
langgar atau mushalla berdiri sebagaimana disebutkan di atas. Penggunaan
istilah langgar biasanya digunakan untuk shalat dan mengaji bagi kaum muslim di
Jawa. Setelah melaksanakan ibadah shalat, para jama’ah melanjutkan dengan
membaca Al-Quran bersama yang dipimpin imam (guru) yang ditunjuk sebagai
pendidik di surau.
Sedikit gambaran di atas, memperlihatkan bahwa kegiatan pendidikan
Islam masa awal di Nusantara berjalan secara informal. Masa awal pertumbuhannya
dilaksanakan dengan mengambil bentuk sistem pendidikan surau. Sebagai sebuah
sistem, surau telah menjadi proses yang sangat panjang yang dijalani oleh para
pedagang muslim untuk menyiarkan agama Islam, khususnya di Minangkabau. Sebagai
sebuah proses permulaan atau pembentukan, sistem surau ini dilakukan dengan
memberikan contoh dan suri tauladan. Mereka diajari bagaimana berlaku sopan-santun,
ramah-tamah, tulus ikhlas, amanah, dan kepercayaan, pengasih dan pemurah, jujur
dan adil, menepati janji serta menghormati adat istiadat yang ada, yang
menyebabkan masyarakat Nusantara tertarik untuk memeluk agama Islam.
Sebagai lembaga pendidikan tradisional, surau menggunakan system pendidikan
halaqah. Materi pendidikan yang diajarkan pada awalnya masih di seputar belajar
huruf hijaiyah dan membaca Al-Quran, disamping ilmu-ilmu keislaman lainnya,
seperti keimanan, akhlak dan ibadah. Peda umumnya pendidikan ini dilaksanakan
malam hari.[16]
Secara
bertahap, eksistensi surau sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami kemajuan.
Ada dua jenjang pendidikan surau pada era ini, yaitu:
1)
Pengajaran
Al-Quran. Untuk mempelajari Al-Quran ada dua tingkatan;
a)
Pendidikan
Rendah, yaitu pendidikan untuk memahami ejaan huruf Al-Quran. Di samping itu,
juga dipelajari cara berwudhu dan tata cara shalat yang dilakukan dengan metode
praktik dan menghafal, keimanan terutama yang berhubungan dengan sifat dua
puluh yang dipelajari dengan menggunakan metode menghafal melalui lagu, dan akhlak
yang dilakukan dengan cerita tentang nabi dan orang-orang shaleh lainnya.
b)
Pendidikan
Atas, yaitu pendidikan membaca Al-Quran dengan lagu, kasidah, berjanji, tajwid,
dan kitab perukunan.
Lama pendidikan di kedua jenis pendidikan tersebut tidak
ditentukan. Seorang siswa baru dikatakan tamat bila ia telah mampu menguasai
materimateri di atas dengan baik. Bahkan adakalanya seorang siswa yang telah menamatkan
mempelajari Al-Quran dua atau tiga kali baru berenti dari pengajaran Al-Quran.
2)
Pengajian
Kitab
Materi
pendidikan pada jenjang ini meliputi; ilmu sharaf dan nahwu, ilmu fiqih, ilmu
tafsir, dan ilmu-ilmu lainnya. Cara mengajarkannya adalah dengan membaca sebuah
kitab Arab dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Setelah itu baru
diterangkan maksudnya. Penekanan pada jenjang ini adalah pada aspek hafalan.
Agar siswa cepat hafal, maka metode pengajarannya dilakukan melalui cara
menghafalkan materi dengan lagu-lagu tertentu. Pelaksanaan pada jenjang ini
biasanya dilakukan pada siang hari.
Metode
pendidikan di surau bila dibandingkan dengan metode pendidikan modern,
sesungguhnya metode pendidikan di surau memiliki kelebihan dan kelemahannya.
Kelebihannya terletak pada kemampuan menghafal muatan teoritis keilmuan.
Sedangkan kelemahannya terdapat pada lemahnya kemampuan memahami dan menganalisis
teks. Di sisi lain, metode pendidikan ini diterapkan secara keliru. Siswa
banyak yang bisa membaca dan menghalaf suatu kitab, akan tetapi tidak bisa
menulis apa yang dibaca dan dihafalnya itu.
Surau tidak
hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam tetapi juga sebagai lembaga
pendidikan tarekat. Fungsi surau yang kedua ini lebih dominan dalam
perkembangannya di Minangkabau. Setiap guru di Minangkabau memiliki otoritasnya
sendiri, baik dalam praktik tarekat maupun penekanan cabang-cabang ilmu
keislaman. Praktik tarekat yang dikembangkan oleh masing-masing surau tersebut
lebih banyak muatan mistisnya ketimbang syari’at. Gejala ini dapat diketahui,
meskipun Islam sudah dianut masyarakat tetapi praktik-praktik yang bertentangan
dengan syari’at masih dilakukan terutama para penguasa (kaum adat).
Melihat
masyarakat yang demikian, maka syekh Abdurrahman salah seorang ulama dari Batu Hampar,
berupaya menyadarkan umat dengan pendekatan persuasif dan ia pun berhasil.
Keberhasilannya ini tidak serta-merta menghilangkan praktik bid’ah dan khurat
di sebagian lain.
Untuk memberi
pemahaman kepada masyarakat mengenai ajaran agama Islam, maka syekh Abdurrahman
mendirikan surau yang terkenal dengan “Surau Gadang”. Di surau inilah syekh
Abdurrahman mengajarkan Al-Quran dengan berbagai mecam ilmu keislaman.
Keadaan yang
demikian itu keadaan semakin memanas dan membagi masyarakat dalam dua kubu. Kubu
pertama, yang menolak pembaruan yangh dimotori oleh kaum adat yanh dibantu
kolonial Belanda, dan kubu yang kedua diwakili oleh pemuka agama (kaum Padri)
yang sudah gerah melihat praktik kehidupan yang sudah jauh dari nilai-nilai
agama.
Dengan momentum
kepulangan “tiga serangkai” H. Miskin dari Pandai Sikek, H. Piobang dari Agam
dan H. Sumanik dari Batusangkar dari Mekkah, maka dilakkukan pembaruan tetapi
dengan pendekatan yang keras dan radikal. Ulama-ulama ini juga dibantu ulama
lain seperti Tuanku Nan Ranceh dan Tuanku Agam yang bergelar “Harimau Nan
Salapan”. Usaha yang dilakukan kaum Padri, sekurang-kurangnya telah berhasil
membangkitkan semangat nasionalisme umat Islam dalam menentang penjajah.
Meskipun pada akhirnya gerakan ini gagal membumikan ide pembaruannya.
Surau sebagi
lembaga pendidikan Islam mulai surut peranannya karena disebabkan oleh beberapa
hal. Pertama, selama perang padri banyak surau yang musnah terbakar dan
syekh banyak yang meninggal, kedua, Belanda mulai memperkenalkan sekolah
nagari, ketiga, kaum intelektual muda muslim mulai mendirikan madrasah
sebagai bentuk ketidaksetujuan mereka terhadap praktikpraktik surau yang penuh
dengan khurafat, bid’ah, dan takhayul.
Dalam posisinya
sebagi lembaga pendidikan Islam, posisi surau sangat strategis baik dalam
pengembangan Islam maupun pemahaman terhadap ajaranajaran Islam. Bahkan surau
telah mampu mencetak para ulama besar Minangkabau dan menumbuhkan semangat
nasionalisme, terutama dalam mengusir kolonialisme Belanda. Di antara para
alumni Pendidikan Surau itu adalah Haji Rasul, AR. At Mansur, Abdullah Ahmad
dan Hamka.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin
Nata. 2001. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan
Islam di Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Ahmad Tafsir. 2010. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam.Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Haidar
Putra Daulay. 2007. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia..Jakarta: Putra Grafika.
Hanun Asrohah. 1999. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta:
Logos.
Hasan
Basri dan Beni Ahmad Saebani. 2010. Ilmu Pendidikan Islam Jilid II. Bandung:
Pustaka Setia.
Hasbullah.
1999. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia; Lintasan Sejarah Pertumbuhan
dan Perkembangan. Jakarta:Raja Grafindo Persada.
Imron
Arifin. 1995. Kepemimpinan Kyai Kasus Pondok Pesantren Tebuireng. Malang:
Kalimasahada Press.
K.H.A.M.Z.
Tuanku Kayo Kadimullah. Menuju Tegaknya Islam Di Minangkabau: Bandung:
Penerbit Marza.
Depdiknas.
2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Musyrifah
Sunarto. 2005. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Samsul
Nizar. 2005. Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam. Ciputat:
Quantum Teaching.
Wahjoetomo.
1997. Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan Alternatif Masa Depan.
Jakarta: Gema Insani Press.
Zamakhsyari
Dhofier. 1985. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES. cet. V.
[1] Hanun Asrohah,
Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999,h. 144
[2]
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia; Lintasan Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1999.h.24
[3]
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan Alternatif Masa Depan,
Jakarta: Gema Insani Press, 1997 hal, 74-80
[4]
Musyrifah Sunarto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2005) hal., 110.
[5]
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia,,Jakarta: Putra Grafika, 2007,h. 21.
[6] Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan Dalam Perspektif Islam,Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010,h. 191.
[7]
Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai Kasus Pondok Pesantren Tebuireng, Malang:
Kalimasahada Press,1995, h. 39.
[8]
Hasan Basri dan Beni Ahmad Saebani, Ilmu Pendidikan Islam Jilid II,Bandung:
Pustaka Setia, 2010, h.235-236.
[9] Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1985, cet. V, h. 56.
[10]
Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga
Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2001, h.140.
[11] Ibid.,
h. 118-119.
[12] Samsul Nizar, Sejarah
dan Pergolakan ....Loc. Cit., h. 290
[13]
Lihat dalam Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2002) Hlm 450
[14]
K.H.A.M.Z. Tuanku Kayo Kadimullah, Menuju Tegaknya Islam Di Minangkabau:
Bandung: Penerbit Marza, h.170
[15]
Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, Ciputat:
Quantum Teaching, 2005,h.71
[16] Samsul Nizar, Sejarah
dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, Ciputat: Quantum Teaching,
2005,h.281
Alhamdulillah saya sangat bersyukur bisa mondok di pesantren. Makasih infomrasinya Pak.
BalasHapusGELISAH RAKYAT
alhamdulillah, bisa mendalami ilmu agama pak, semoga ilmu dari pesantren bermanfaat pak
Hapus