BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Penciptaan
merupakan suatu awal dari setiap permulaan bagi semua makhluk Allah SWT. mulai
dari manusia, hewan, tumbuhan, batu, pasir, langit, bumi, bintang dan matahari
serta apapun yang Allah ciptakan pasti memiliki awal yang dinamakan kelahiran
atau kemunculan. Pada kalangan manusia Allah menciptaka laki-laki dan
perempuan. Begitu juga pada hewan dan tumbuhan, sebagian mereka memiliki gender
masing-masing.
Didalam
menjalani hidup kita juga mengalami berbagai aktifitas dan kreatifitas yang
kita peroleh dari pengetahuan dan ilham. Manusia menjalani aktifitasnya sebagai
suatu rutinitas dan kebiasaan sehari-hari. Sebagai makhluk yang berakal dan
berilmu, dalam menjalani hidupnya manusia memiliki berbagai prilaku dan variasi
tingkah laku sehingga menuntun kepada yang namanya perubahan. Dengan perubahan
ini manusia terus berkarya hingga terbentuk perubahan yang berbentuk suatu kebahagiaan
atau kesengsaraan. Dan adupun kebahagian dan kesengsaraan inilah yang
menjadi patokan dan sasaran dalam hidup. Bagi yang ingin mendapatkan
kebahagiaan maka melakukan yang terbaik dan mereka yang menginginkan kesusahan
bermalas-malaslah.
Kehidupan
yang kita mulai bukanlah tidak memiliki yang namanya akhir. Kelak setelah
kehidupan dunia akan kita temui kehidupan akhirat yang kekal yang sering
disebut akhirat. Sebelum menuju kesana. Manusia sejak penciptaan pertama sudah
ditentukan takdirnya sejak didalam kandungan. Yang mana semua itu adalah
termasuk amalan-amalan yang akan kita kerjakan didunia. Tidak ada satupun dari
setiap detik yang kita habiskan untuk menegerjakan sesuatu pekerjaan melainkan
semuanya telah ditulis oleh Allah sejak dalam kandungan. Dan inilah yang
kita sebut dengan Takdir.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ketetapan Allah
Ketetapan
Allah dalam agama islam dikenal dengan istilah qadha dan qadar. Qadha menurut
bahasa berarti hukum, ciptaan, kepastian dan penjelasan.[1] Menurut
istilah, qadha adalah ketentuan atau ketetapan Allah SWT dari sejak zaman azali
tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan makhluk-Nya sesuai dengan iradah
(kehendak-Nya), meliputi baik dan buruk, hidup dan mati, dan seterusnya.
Qadar
menurut bahasa adalah ukuran atau ketetapan. Sedangkan secara istilah
pengetahuan Allah tentang segala sesuatu
yang ingin dia wujudkan atau terjadi pada makhluknya dan alam semesta.[2]
1.
Macam-Macam
Qadar (takdir)
a.
Takdir
Mubram
Takdir
mubram adalah takdir Allah yang tidak bisa berubah, takdir ini semata-mata
ketentuan Allah yang tidak disandarkan kepada ikthiar manusia. Contohnya seperti
kematian hal ini termasuk ketentuan Allah yang mana tidak dapat dirubah melalui
ikhtiar manusia. Seperti firman Allah dalam Qs. An-nisa:78.
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ وَإِنْ تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِكَ قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ فَمَالِ هَؤُلَاءِ الْقَوْمِ لَا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا
Artinya: “Dimana saja kamu berada,kematian akan mendapatkan kamu kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: “ini adalah dari sisi Allah”. Dan jika mereka ditimpa suatu bencana mereka mengatakan: ini (datangnya)dari sisi kamu (Muhammad). Katakanlah: semua (datang) dari sisi Allah. Maka mengapa orang-orang itu (munafiq) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun. (An-nisa:78).”
b.
Takdir
mu’allaq
Takdir
Mu’allaq adalah takdir yang bisa berubah. Takdir ini merupakan ketentuan Allah
yang disandarkan atas ikhtiar manusia. Manusia berikhtiar untuk mendapatkan
sesuatu yang diharapkan, sehingga usahanya dilakukan dengan maksimal, baik
secara lahir (usaha) atau secara batin (do’a). Contohnya seperti kekayaan dan
kepandaian,kedua contoh tersebut bisa disandarkan atas usaha manusia (dengan
cara berdo’a disertai usaha dan hasilnya di tawakal kan kepada Allah). Hal ini
senada dengan firman Allah:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya: Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan
yang ada pada mereka sendiri. . (Qs. Ar-ra’du:11)
B.
Hadist Tematik Tentang Empat Hal yang Telah Ditetapkan Allah dalam Rahim
Seorang Ibu
Sesungguhnya takdir manusia sudah ditetapkan mulai sejak didalam rahim
seorang ibu sebagaimana Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits shahih yang
berbunyi:
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ
اللهِ بنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ : إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ
خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ
عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ،
ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ
بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ
أَوْ سَعِيْدٌ. فَوَ اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ
لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا
إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ
النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ
حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ
الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا .)رواه البخاري ومسلم(
Artinya : Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud
radiallahuanhu beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
menyampaikan kepada kami dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan : “Sesungguhnya
setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani
selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah selama empat
puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging selama empat puluh hari. Kemudian
diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan dia
diperintahkan untuk menetapkan empat perkara : menetapkan rizkinya, ajalnya,
amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya. Demi Allah yang tidak ada ilah
selain-Nya, sesungguhnya diantara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli
syurga hingga jarak antara dirinya dan syurga tinggal sehasta akan tetapi telah
ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah
dia ke dalam neraka. sesungguhnya diantara kalian ada yang melakukan perbuatan
ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta akan tetapi
telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli syurga
maka masuklah dia ke dalam syurga.” (Riwayat Bukhori dan Muslim).[3]
1.
Penjelasan
a.
Penafsiran
Hadits menurut Ibnu Daqiq Al-‘Id
Dalam
kitab Syarh Arba’in Nawawi, Imam Nawawi menjelaskan tentang hadits ini. Kalimat
“Sesungguhnya (materi) penciptaan salah seorang dari kalian (manusia)
dikumpulkan (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) dalam rahim ibunya” maksudnya
yaitu air mani yang memancar kedalam rahim, lalu Allah pertemukan dalam rahim
tersebut selama 40 hari. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa dia menafsirkan
kalimat diatas dengan menyatakan, “Nutfah yang memancar kedalam rahim bila
Allah menghendaki untuk dijadikan seorang manusia, maka nutfah tersebut
mengalir pada seluruhnya pembuluh darah perempuan sampai kuku dan rambut
kepalanya, kemudian tinggal selama 40 hari, lalu berubah menjadi darah yang
tinggal didalam rahim. Itlah yang dimaksud dengan Allah mengumpulkannya.”
Setelah 40 hari Nutfah menjadi ‘Alaqah (segumpal darah)[4]
b.
Penafsiran
Hadits menurut Ibnu Daqiq Al-‘Id
Ibnu
Mas’ud berkata : “Sedangkan beliau berkata benar dan selalu dibenarkan,”
adalah bahwa nabi SAW selalu benar mengenai apa yang beliau ucapkan dan selalu
dibenarkan berkenaan dengan apa yang beliau bawa, yaitu wahyu mulia dari Allah.
Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud sabda Nabi SAW,”Sesungguhnya,
salah seorang diantara kalian dihimpun penciptaannya didalam perut ibunya,”
adalah bahwa air mani masuk ke dalam rahim dalam keadaan terpencar lalu Allah
menyatukannya di tempat peranakan, di rahim tersebut selama masa ini.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa beliau menjelaskan hadits ini dengan
mengatakan, “Sesungguhnya, nuthfah (air mani) itu jika sudah masuk ke dalam
rahim dan Allah menghendaki untuk menciptakan manusia darinya maka nuthfah itu
“terbang” (menyebar) ke seluruh kulit tubuh perempuan, dibawah setiap kuku dan
rambut. Kemudian, ia tinggal selama empat puluh malam dan kemudian ia berubah
menjadi darah didalam rahim. Ketika itulah penhimpunannya, yaitu waktu
keberadaannya menjadi “alaqah”.[5]
“Lalu diutuslah seorang malaikat kepadanya yang kemudian meniupkan
ruh kepadanya,” yaitu malaikat
yang diserahi untuk mengurus kehidupan didalam rahim perempuan.[6]
c.
Penafsiran
Hadits menurut Imam Nawawi
Ibnu
Mas’ud berkata : “Sedangkan beliau berkata benar dan selalu dibenarkan.
Maksudnya, Ibnu Mas’ud memberikan kesaksian kepada Allah bahwa beliau SAW
adalah seorang yang jujur atau benar (apa yang dikatakannya) dan selalu
dibenarkan. Sebab menyampaikan masalah seperti ini jelas membahas
perkara-perkara ghaib (abstrak). Apalagi pada masa itu belum ada kemajuan
dibidang kedokteran untuk mengetahui proses-proses perkembangan manusia.[7]
Sabda
nabi yang artinya : ”dihimpun penciptaannya didalam perut ibunya.” Ada
kemungkinan yang dimaksud disini adalah disatukannya sperma laki-laki dan
wanita lalu dari keduanya diciptakan anak. Hal ini berkaitan dalam firman Allah:
خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ
Ada
juga kemungkinan bahwa yang dimaksud adalah disatukannya seluruh badan. Seperti
dikatakan, pada fase pertama, nutfah itu berjalan didalam tubuh (rahim) wanita
selama empat puluh hari, yaitu masa mengidam. Sesudah itu, terjadi
penyatuan dan tertanam padanya dari terjadinya pembuahan itu sehingga menjadi ‘alaqah.
Ini berlanjut ke periode kedua, dimana ia terus membesar sehingga menjadi
mudghah. Dinamakan mudghah karena ia hanya sebesar suapan yang isa dikunyah.
Pada fase ketiga, Allah membentuk mudghah itu, membuatkan telinga, mata,
hidung, dan mulut. Sedangkan pada bagian dalamnya, Allah membuatkan usus dan lambung.
Allah berfirman:
هُوَ الَّذِي يُصَوِّرُكُمْ
فِي الْأَرْحَامِ كَيْفَ يَشَاءُ ۚ
Artinya,
“Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya.” (QS.
Ali ‘Imraan :6).[9]
Kemudian,
jika fase ketiga ini sudah sempurna, yaitu setelah tiga kali empat puluh hari,
yang berarti usia empat bulan maka ditiupkanlah ruh kepadanya. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ
كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ
مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ
مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ ۚ وَنُقِرُّ فِي
الْأَرْحَامِ مَا نَشَاءُ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلًا
ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ ۖ
yang artinya: Hai
manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka
(ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari
setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang
sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu
dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah
ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, .” (QS.Al-Hajj:5).
Dalam
hal ini konteks yang dimaksud adalah Nabi Adam yang diciptakan dari tanah. “Kemudian
dari setetes mani (nutfah),” maksudnya adalah anak keturunannya. Yang
dimaksud nuthfah adalah air mani. Namun, makna asal kata nutfah adalah
air yang sedikit (al-maa al-qoliil). Bentuk jamaknya adalah nithaaf.
“Kemudian dari ‘alaqah.” Yaitu darah kental dan beku. Jadi, nutfah tadi berubah
menjadi darah yang kental. “Kemudian dari mudghah,” yaitu sekerat
daging. “Yang tercipta dan yang tidak tercipta.” (Al-Hajj 22:5)[10]
Ibnu Abbas mengatakan, “Yang tercipta secara sempurna dan yang
tidak tercipta, maksudnya tidak sempurna penciptaannya atau kurang.” Mujahid
berkata,”Yang terbentuk dan yang tidak terbentuk.” Maksudnya mengalami
keguguran. [11]
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa dia berkata, “Jika nutfah telah
menetap didalam rahim maka malaikat mngambilnya dengan telapak tangannya seraya
berkaa, “Ya Rabbi, dicipta (secara sempurna) ataukah tidak dicipta? Jika Allah
mengatakan, “Tidak dicipta” maka malaikat akan melemparkannya kedalam rahim
berupa darah tanpa nyawa. Dan jika Allah mengatakan, “Dicipta” maka malaikat
itu berkata, “Ya Rabbi, (dijadikan) laki-laki atau perempuan? Sengsara atau
bahagia? Bagaimana rezekinya? Bagaimana ajalnya? Di bumi mana dia akan mati?
Allah menjawab,”Pergilah kamu ke Ummul Kitab karena disana engkau akan
mendapatkan semua itu!” Malaikatpun pergi kesana dan mendapatkannya dalam Ummul-Kitab
lalu dia (malaikat) pun mengutupnya. Tulisan itu masih terus dipegangnya,
higga datang sifat terakhir yang ditemukannya.” Oleh karena itu, dikatakan
bahwa kebahagiaan (ditentukan) sejak sebelum kelahiran.[12]
d.
Penafsiran
Hadits menurut Syaikh
Al-‘Utsaimin
Hadits
yang keempat dari kumpulan hadits Al-Arba’in karangan Iman An-Nawawi, berisi
penjelasan mengenai perkembangan penciptaan manusia didalam perut ibunya,
peulisan ajal dan rezekinya, dan seterusnya. Ibnu Mas’ud membawakan riwayat ini
dengan mengatakan, “Rasulullah telah bersabda kepada kami, sedangkan beliau
selalu berkata benar dan selalu dibenarkan.” Yakni jujur(benar) mengenai apa
yang beliau sabdakan dan selalu dibenarkan mengenai apa yang diwahyukan kepada
beliau. Ibnu Mas’ud sengaja memberikan pengantar seperti ini karena apa yang
hendak disampaikan merupakan dari perkara gha’ib, yang tidak bisa diketahui,
kecuali berdasarkan wahyu.[13]
Selanjutnya,
Ibnu Mas’ud menyampaikan bahwa Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya salah
seorang diantara kalian dihimpun penciptaannya didalam perut ibunya selama empat
puluh hari berupa nuthfah….”[14]
2.
Pelajaran yang Terkandung dalam
Hadist
Hadist ini memiliki beberapa pelajaran atau
faedah yang bisa dipetik, yaitu:[15]
a.
Pembentukan manusia dalam rahim mulai dari nuthfah (setetes mani), ‘alaqah (segumpal darah), mudhgah (segumpal daging) masing-masing selama
40 hari.
b.
Jumhur (kebanyakan ulama) menyatakan bahwa wajib berpegang dengan
ketetapan yang disebutkan dalam hadits. Namun bisa terjadi perbedaan jumlah
hari dalam pembentukan tadi dikarenakan ada yang terjadi di awal atau akhir
hari, di awal atau di akhir malam.
- Manusia mengalami tahapan 120 hari (4
bulan) dalam tiga tahapan yaitu nuthfah, ‘alaqah lalu mudghah.
- Ruh ditiupkan setelah 120 hari.
- Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa janin
boleh digugurkan jika belum mencapai 120 hari karena ruh belum ditiupkan.
Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hambali menyatakan bahwa boleh menggugurkan
di bawah 40 hari dengan menggunakan obat yang mubah. Adapun jika melewati
40 hari masa kehamilan tidaklah dibolehkan dikarenakan sudah terbentuk
segumpal darah. Dalam hadits dari Abu Hudzaifah disebutkan, “Jika sudah terbentuk nuthfah setelah 42 hari, maka Allah akan
mengutus malaikat untuk membentuk nuthfah tersebut sehingga terbentuk
pendengaran, penglihatan, kulit, daging dan tulang.” (HR. Muslim, no. 2645). Ulama
Malikiyah sendiri berpandangan bahwa kandungan tidak boleh digugurkan
setelah terbentuk nuthfah (bercampurnya
sel sperma dan sel telur) walau lewat satu hari. Karena ketika itu telah
dimulainya kehidupan dan wajib dimuliakan. Pendapat terakhir ini yang
lebih kuat, menggugurkan hanya boleh jika darurat saja karena alasan yang
dibenarkan dari pakarnya.
- Imam Ahmad berpendapat bahwa jika
keguguran setelah 4 bulan (120 hari), maka janin dishalatkan, dikafani dan
dikuburkan. Sedangkan ulama lainnya seperti Syafi’iyah berpandangan bahwa
mesti menunggu sampai bayi tersebut lahir. Karena jika janin gugur dalam kandungan,
maka tidak dianggap manusia sehingga tidak perlu dishalatkan. Namun
pendapat pertama dari Imam Ahmad itulah yang lebih kuat.
- Hanya Allah yang mengetahui apa yang
terjadi dalam rahim. Ini bukan berarti dokter tidak bisa mengetahui janin
tersebut laki-laki ataukah perempuan. Namun dokter tidak bisa
mengungkapkan secara detail apa yang ada dalam rahim sampai perihal
takdirnya.
- Rezeki, ajal, amal, bahagia ataukah
sengsara dari setiap manusia sudah diketahui, dicatat, dikehendaki dan
ditetapkan oleh Allah.
- Rezeki sudah ditetapkan bukan berarti
manusia tidak perlu bekerja dan berusaha. Manusia diketahui takdirnya oleh
Allah, bukan berarti manusia tidak punya pilihan. Sama juga dengan jodoh
sudah ditetapkan bukan berarti tidak perlu mencari jodoh lalu tunggu jodoh
datang dengan sendirinya. Logikanya, kalau akan kena musibah, seseorang
akan berusaha menyelematkan diri. Begitu pula dalam hal seseorang mencuri
harta orang lain, tidak boleh ia beralasan dengan takdir, “Ini sudah jadi takdir saya.” Karena orang berakal
tidak mungkin beralasan seperti itu. Ia mencuri pasti karena pilihannya.
- Amalan merupakan sebab seseorang untuk
masuk surga. Dalam hadits disebutkan, “Seseorang tidaklah masuk
surga kecuali sebab amalnya.” (HR. Bukhari, no. 5673 dan
Muslim, no. 2816). Jadi masuk surga bukanlah karena gantian dari amal
kita. Namun karena sebab amal, datang rahmat Allah yang membuat kita bisa
masuk surga. Dalam ayat disebutkan pula (yang artinya), “Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan
amal-amal yang dahulu kamu kerjakan.” (QS. Az-Zukhruf: 72)
- Apakah kita bahagia ataukah sengsara kelak
di akhirat sudah diketahui dalam takdir.
- Bahagia ataukah sengsara tergantung dari
amalan akhir seseorang itu seperti apa.
- Ada orang yang beramal dengan amalan
penduduk surga menurut pandangan manusia, namun akhir hidupnya adalah suul khatimah (akhir jelek). Ada juga manusia
yang dianggap hina oleh orang-orang sekitarnya karena dosanya begitu
banyak. Namun ia tutup hidupnya dengan taubat, sehingga ia mati husnul khatimah (mati baik) dan akhirnya masuk
surga.
BAB
III
KESIMPULAN
Proses
penciptaan manusia berdasarkan Hadits Penjelasan mengenai perkembangan manusia
didalam perut ibunya bahwa dia mengalami empat fase perkembangan:Pertama, fase nuthfah
selama empat puluh hari. Kedua, fase ‘alaqah selama empat puluh hari. Ketiga,
fase mudghah selama empat puluh hari. Keempaat, fase terakhir setelah ditiupkan
kepadanya. Kemudian janin mengalami perkembangan didalam perut ibunya. Lalu ada
malaikat yang diberi tugas oleh Allah untuk mengurus rahim. Sebab, Nabi SAW
bersabda, “Lalu diutuslah seorang malaikat kepadanya.” Maksudnya, malaikat yang
dipasrahi mengurus rahim. Segala keadaan yang dialami manusia dituliskan
untuknya ketika dia masih berada di perut ibunya, meliputi masalah rezekinya,
amalnya, ajalnya, dan apakah dia sengsara atau bahagia
DAFTAR
PUSTAKA
Agus Susanto. 2014. Takdir Allah Tak Pernah Salah. Jakarta
Selatan. Penerbit Safina.
An-Nawawi. Imam Muhyiddin dkk. 2007.Ad-Durrah As-Salafiyyah
Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah. Diterjemahkan oleh: Salafuddin Abu Sayyid.
Solo: Pustaka.‘Arafah
Departemen Agama RI. 2010. Alqur’an dan Terjemahannya.
Bandung: J-ART.
Ied. Ibnu Daqiqil. 2005. Syarhul Arba’iina Hadiitsan An-Nawawiyah.
Diterjemahkan oleh: Muhammad Thalib.Yogyakarta: Media Hidayah.
Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri. 2007. Ensiklopedi
Islam Al-Kamil. Jakarta Timur: Darus Sunnah.
Muhammad Shalih bin Al-Utsman. 2012. Syarah Hadist Arba’in Imam Nawawi. Jakarta Timur: Ummul
Qura.
Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri.
1431 H.Syarh
Al-Arba’in An-Nawawiyah Al-Mukhtashar. Penerbit Dar Kunuz Isybiliya.
Cet.1
[1] Agus Susanto, Takdir
Allah Tak Pernah Salah, Jakarta Selatan, Penerbit Safina, 2014), h.16
[2] Muhammad bin
Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam Al-Kamil, Jakarta Timur:
Darus Sunnah, 2007,h.278.
[3] Muhammad
Shalih bin Al-Utsman, Syarah Hadist
Arba’in Imam Nawawi, Jakarta Timur: Ummul Qura, 2012, h. 109
[4] Ied, Ibnu
Daqiqil, Syarhul Arba’iina Hadiitsan An-Nawawiyah. Diterjemahkan oleh:
Muhammad Thalib.Yogyakarta: Media Hidayah, 2005 h. 19
[5] An-Nawawi,
Imam Muhyiddin dkk.,Ad-Durrah As-Salafiyyah Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah. Diterjemahkan
oleh: Salafuddin Abu Sayyid. Solo: Pustaka, 2007, ‘Arafah,h. 105
[6]
Ibid, hlm 105
[7]
Muhammad Shalih
bin Al-Utsman, Syarah Hadist Arba’in
Imam Nawawi, h. 109
[8] Departemen
Agama RI, Alqur’an dan Terjemahannya, Bandung: J-ART, 2010, h. 454
[9]
Departemen
Agama RI, Alqur’an dan Terjemahannya, h. 38
[10]
An-Nawawi, Imam
Muhyiddin dkk.,Ad-Durrah As-Salafiyyah Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah.h.101
[11]
An-Nawawi, Imam
Muhyiddin dkk.,Ad-Durrah As-Salafiyyah Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah.102
[12]
An-Nawawi, Imam
Muhyiddin dkk.,Ad-Durrah As-Salafiyyah Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah.h.
102
[13]
An-Nawawi, Imam
Muhyiddin dkk.,Ad-Durrah As-Salafiyyah Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah.h.
108
[14]
An-Nawawi, Imam
Muhyiddin dkk.,Ad-Durrah As-Salafiyyah Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah.h.
109
[15]Syaikh
Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri, Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah
Al-Mukhtashar. Cetakan pertama, tahun
1431 H. Penerbit Dar Kunuz Isybiliya. h. 44-53
0 komentar:
Posting Komentar