Menurut Harun
Nasution (dalam Abd. Rahim Yunus, 1995 : 5) Tasawuf adalah usaha yang dilakukan
untuk memperoleh hubungan langsung dan didasari dengan Tuhan sehingga disadari
benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan.
Abu Kasim Abdul
Karing al-Kusyairi (dalam Abu Su’ud, 2003 : 183) menyatakan bahwa tasawuf ialah
menjabarkan ajaran-ajaran Quran dan sunah, berjuang mengendalikan nafsu,
menjauhi perbuatan bid’ah,
mengendalikan syahwat, dan menghindari meringan-ringankan ibadah. Tasawuf
mencakup tiga aspek, yaitu kha (melepaskan
diri dari perangai yang tercela), ha
(menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji), dan jim (mendekatkan diri pada Tuhan). (Abu Yazid al-Bustami dalam Abu
Su’ud, 2003 : 183). Menurut Ma’ruf al-Karkhi (dalam Abu Su’ud, 2003 : 184)
mengatakan bahwa tasawuf ialah mengambil hakikat dan tidak tamak terhadap
milik. Tasawuf mengajarkan cara untuk menyucikan diri, meningkatkan akhlak, dan
membangun kehidupan jasmani dan rohani untuk mencapai kebahagiaan yang abadi
(Zakaria al-Ansari dalam Abu Su’ud, 2003 : 184).
Menurut Mulkhan
(2000 : 10) tasawuf adalah sistem berpikir dari ajaran yang mengajarkan dan
berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan sebagai tujuan akhir dengan
mengembangkan kehalusan rasa dan hati dalam suatu lingkup tindak baik. Menurut
Zakaria Al-Ansary, tasawuf adalah ilmu yang menerangkan hal-hal tentang cara
membersihkan jiwa, tentang cara memperbaiki akhlak dan tentang cara pembinaan
kesejahteraan lahir dan batin untuk mencapai kebahagiaan yang abadi (dalam
Zahri, 1976 : 48).
Junaidi (dalam
Hamka, 1990 : 3) berpendapat bahwa tasawuf itu keluar dari budi yang tercela
dan masuk dalam budi yang terpuji. Ibnu Khaldun (dalam Hamka, 1990 : 2)
mengatakan bahwa tasawuf adalah semacam ilmu syariat yang timbul kemudian di
dalam agama Islam. Kaum sufi pada mulanya bertekun ibadah dan memutuskan
pertalian dengan segala selain Allah, hanya menghadapkan diri kepada Allah
semata. Selanjutnya mereka menolak hiasan-hiasan dunia serta membenci
perkara-perkara yang selalu memperdayakan manusia, kenikmatan harta, benda dan
kemegahan dan menyendiri menuju jalan Tuhan dalam khalwat dan ibadah.
Tasawuf
dibedakan menjadi dua, yaitu tasawuf heterodoks dan tasawuf ortodoks (Sulastin,
1985 : 2887). Tasawuf heterodoks adalah faham tasawuf yang mendekati
pengungkapan tertinggi dalam sistem yang dikembangkan mazhab Ibnu Arabi.
Pandangannya adalah bahwa hakikat Tuhan sebagai makhluk di luar makhluk. Tuhan
tidak bisa digambarkan oleh kategori-kategori terbatas, yang keberadaannya itu diterima
sebagai keberadaan mutlak dan kenyataan tunggal. Sebaliknya, dunia hanya
memiliki kenyataan yang terbatas, yang diterima dari keberadaan mutlak Ilahi.
Paham ini terwujud dalam paham pantheisme, yang pada dasarnya memiliki
dua macam ajaran, yaitu: (1) segala sesuatu fenomena di luar Tuhan tidak ada
yang maujud. Alam semesta hanya penglihatan, hakikatnya akan menemukan Keesaan
Tuhan. (2) Wahdatul wujud yang intinya mengajarkan bahwa Allah itu sama
zat dan wujudnya dengan alam. Ini dapat dirunut dari pengertian alam semesta
yang tidak diciptakan oleh Tuhan, tapi dipancarkan dari wujud dan zat Tuhan
(Sulastin, 1985:293).
Tasawuf ortodok merupakan
pertentangan dari tasawuf heterodoks. Paham ini berpendapat bahwa bagaimanapun
juga hubungan manusia dengan Tuhan, sama dengan mahkluk yang mendambakan
hubungan antara pecinta yang mendambakan kekasihnya atau serupa pula dengan
hubungan antara hamba dengan raja.
Jalan yang
ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai ke tingkat dapat melihat Tuhan dengan
mata hatinya, dan akhirnya bersatu dengan Tuhan sangat panjang dan penuh duri,
hanya sedikit sekali orang yang bisa sampai ke puncak tujuan tasawuf. Jalan ini
dalam istilah tasawuf disebut thariqah
(Amin Syukur, 1999 : 48).
0 komentar:
Posting Komentar