BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berbicara
tentang sejarah pendidikan Islam tentu tidak lepas dari Universitas al-Azhar, pandangan kita tertuju pada sebuah lembaga
pendidikan Islam tertua yang hingga saat ini masih menjadi rujukan masyarakat
untuk menimba ilmu-ilmu keislaman secara khusus dan ilmu-ilmu umum secara
global. Sebagai institusi pendidikan, al-Azhar memiliki banyak peran penting
mencetak dan mengantarkan mahasiswa menjadi orang-orang penting dalam berbagai
bidang kehidupan.
Al-Azhar sejak berdirinya mengalami pasang
surut karena pengaruh kepentingan penguasa saat itu hal ini karena posisi
al-Azhar yang tidak independen. pergeseran fungsi masjid menjadi sarana
menanamkan faham syiah hingga kemudian berganti ke faham sunni, serta jatuh
bangunnya lembaga ini hingga mampu bertahan dan menjadi rujukan para pencari
ilmu, perlu dikaji untuk melihat, mempelajari dan mengambil aspek-aspek penting
yang dapat digunakan pada lembaga-lembaga pendidikan kita saat ini.
Dalam
makalah penulis akan memaparkan tentang sejarah berdirinya al-Azhar, pasang
surutnya al-Azhar sebagai bentuk perguruan tinggi, al-Azhar digunakan sebagai
benteng aliran keagamaan
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah pendirian al-Azhar?
2.
Bagaimana
pasang surutnya al-Azhar sebagai bentuk perguruan tinggi?
3. Mengapa al-Azhar digunakan sebagai
benteng aliran keagamaan?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Mengetahui sejarah pendirian al-Azhar.
2.
Mengetahui
pasang surutnya al-Azhar sebagai bentuk perguruan tinggi.
3. Mengetahui al-Azhar digunakan sebagai
benteng aliran keagamaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Berdirinya Al-Azhar
Setelah selesai
membangun kota Kairo lengkap dengan istananya, Jauhar al-Siqili mendirikan
masjid Al-Azhar pada tanggal 17 ramadhan tahun 359 H (970). Kemudian hari
masjid ini berkembang ini berkembang menjadi sebuah universitas besar pada
akhir masa al-Mu’iz li Dinillah al-Fatimi pada bulan Shafar 365 H (Oktober 975
M) yang sampai sekarang masih berdiri megah. Nama Al-Azhar diambil dari
al-Zahra, julukan Fatimah, putri Nabi Muhammad SAW. Dan merupakan istri Ali ibn
Abi Thalib, imam pertama Syi’ah.[1][1] Sumber lain menyebutkan Dinasti Fatimiyah
adalah sebuah dinasti yang terletak di Tunisia yang dibangun pada tahun 909 M.
Pada waktu kaum Fatimiyyin menaklukan Mesir pada tahun 330 H, panglima perang
Dinasti Fatimiyah, kalifah Mauizuddin li Dinillah, membangun masjid dengan nama
al-Azhar, pada tanggal 24 Jumadil Ula 359 H/390 M dan selesai pembangunan pada
bulan Ramadhan 361 H (972 M), merupakan masjid pertama di Kairo dan masjid
keempat di Mesir. Sebelumnya nama masjid ini al-Qahirah yang berarti sama
dengan nama kota Cairo, dan dikaitkan dengan kata-kata al-Qohiroh al-Zahirah
yang berarti kota cemerlang.[2][2]
Masjid al-Azhar
adalah sebagai pusat ilmu pengetahuan, tempat diskusi bahasa, dan juga
mendengarkan kisah dari orang yang ahli bercerita. Baru setelah pemerintahan
dipegang oleh Al-Aziz Billah mengubah fungsi masjid al-Azhar menjadi universitas.
Presiden Mesir Mohammad Husni Mubarak dalam sambutannya pada perayaan hari
ulang tahun Universitas al-Azhar yang ke 1000 menjelaskan bahwa Universita
al-Azhar merupakan lembaga pendidikan tertua didunia islam, sebagai pioner
kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan, menjadi referensi umat islam dari
berbagai negara.
B. Pasang surutnya al-Azhar
sebagai mentuk perguruan tinggi
1. Masa Dinasti Fatimiyah
Al-Azhar dan
kota Kairo merupakan bukti monumental sebagai produk peradaban Islam di Mesir
yang tetap eksis sampai saat ini. Pada awalnya al-Azhar bukanlah sebagai sebuah
perguruan tinggi melainkan hanya sebuah masjid yang oleh khalifah Fatimiyah
dijadikan sebagai pusat untuk menyebarkan dakwah mereka. Pada masa ini
intervensi pemerintah terhadap al-Azhar sangat besar, seperti seorang guru
tidak boleh mengajar, sebelum mendapat izin dari khalifah. Pada masa itu sistem
pengajaran terbagi menjadi empat kelas, yaitu:
1.
Kelas
umum diperuntukan bagi orang yang datang ke al-Azhar untuk mempelajari
Al-Qur’an dan penafsirannya.
2.
Kelas
bagi para mahasiswa Universitas al-Azhar kuliah dengan para dosen yang ditandai
dengan mengajukan pertanyaan dan mengkaji jawabannya.
3.
Kelas
Darul Hikam, kuliah formal ini diberikan oleh para mubalig seminggu sekali pada
hari senin yang dibuka untuk umum dan pada hari Kamis dibuka khusus bagi
mahasiswa pilihan.
4.
Kelas
non-formal yaitu kelas untuk pelajar wanita.[3][3]
Pada masa ini
pula muncul Ya’qub bin Kalas, seorang Menteri Khalifah al-Aziz Billah. Ya’qub
bin Kalas pernah juga mengajukan kepada khalifah al-Aziz, bahwa Jami al-Azhar
tidak hanya terbatas untuk mendirikan sholat dan penyebaran dakwah Fatimiyah,
tetapi dijadikan sebagai lembaga pendidikan. Tidak lama kemudian akhirnya muncul
pemikiran tentang studi di Jami al-Azhar pada bulan Shafar 365 H (Oktober 975
M). Ketika itu duduk sebagai pengajar Abu Hasan Ali bin Nu’man al-Maghribi di
Jami al-Azhar. Ya’qub bin Kalas menjadikan al-Azhar sebagai universitas Islam
yang mengajarkan ilmu-ilmu agama, ilmu akal (logika) dan ilmu umum lainnya.
Untuk menunjang kegiatan pendidikan dan pengajaran, al-Azhar dilengkapi dengan
asrama untuk para Fuqaha (dosen, tenaga pendidik) serta semua urusan dan
kebutuhannya ditanggung oleh khalifah. Adapun ilmu agama yang diajarkan
meliputi : ilmu tafsir, qiraaat, hadits, fiqih, nahwu, sharaf dan sastra,
sedangkan ilmu umum yang dipelajari adalah filsafat, ilmu falak, ilmu ukur,
musik, kedokteran, kimia dan sejarah, serta ilmu bumi dan kuliyah darul hikmah
yang didirikan oleh khalifah Al-Hakim tahun 395 H/ 1005 M.[4][4]
2. Masa Dinasti Ayyubi
Selanjutnya,
menurut Dr. Jamaluddin Surur, bahwa al-Azhar telah menduduki posisi untuk
membangkitkan kehidupan peradapan Mesir terutama hal-hal yang berkaitan dengan
dakwah Fatimiyah sejak masa Khalifah al-Aziz Billah. Pada saat itu umat manusia
mulai bangkit semangatnya untuk mempelajari ilmu-ilmu munadzarah dan mengkaji fikih
syi’ah. Setelah Daulat Fatimiyah jatuh ke tangan Shalahuddin al-Ayyubi pada
tahun 567 H (1171 M), al-Azhar yang sebelumnya sebagai alat tunggangan politik
dan propaganda paham syi’ah oleh Daulah Fatimiyah harus menghentikan segala
aktivitasnya sebagai tempat untuk melaksanakan peribadatan dan pendidikan.[5][5] Sebab Salahuddin Al-Ayyubi menganut paham
sunni dengan demikian al-Azhar ditutup sebagai universitas dan tempat sholat
jum’at, maka al- Azhar menjadi sunyi dan senyap. Shalahuddin mengambil
kebijakan baru untuk menghilangkan aliran syi’ah yang telah tumbuh dan
berkembang sekian lama. Bahkan sembahyang jum’atpun dilarang dalam al-Azhar
apalagi mengajarkan mazhab Syi’ah dan ilmu filsafat. Sedangkan tempat
pendidikan dan pengajaran dipindahkan ke madrasah-madrasah Shalahiyah.[6][6] Terutama melalui sarana al-Azhar untuk
digantikan dengan aliran Sunni. Beberapa peristiwa penting yang terjadi
pada masa Shalah uddin al-Ayyubi adalah:
a. Pembekuan kegiatan khutbah di al-Azhar
selama hampir seratus tahun, yaitu sejak tahun 567 H (1171 M) sampai masa
Sultan al-Mamluki al-Dzahir pada tahun 665 H (1266 M).
b. Melakukan renovasi pembangunan al-Azhar
oleh Amir Edmir dan Sultan Berbes
atau Sultan al-Dzohir Berbes.
c. Al-Azhar menjadi pusat studi Islam yang
amat penting, terutama ketika Kairo menjadi kiblat bagi para ulama, fuqaha dan
mahasiswa.
3.Masa
Dinasti Mamalik
Pada
masa ini terjadi serbuan besar-besaran dari bangsa Mongol ke Timur dan jatuhnya
Islam di Barat menyebabkan banyak ulama dan ilmuwan muslim yang mencari
perlindungan ke al-Azhar. Hal ini menyebabkan posisi al-Azhar menjadi penting.
Disamping itu, menambah mansyur nama al-Azhar dimata dunia Islam. Sejak saat
itu banyak pelajar dan negara-negara Islam yang tertarik menjadi mahasiswa dan
belajar di al-Azhar. Para orientalis menyebutnya zaman keemasan dalam sejarah
al-Azhar.
Al-Azhar
mengalami banyak pembaharuan, khususnya setelah penjajahan Bonaparte di Mesir
dan gerakan modernisasi oleh Mohammad Ali pada permulaan abad ke-19.
Mahasiswa-mahasiswa al-Azhar yang telah
dikirim untuk belajar di negara-negara Eropa, seperti Rifa’at
al-Thatawi, Ayyad al-Thatawi, kemudian Mohammad Abduh dan Saad Zaghloul,
melakukan perubahan dan memberikan sumbangan bagi proses pembaharuan.[7][7]
Setelah
Sultan Balbars memerintah Mesir tahun 665 H(1266 M), lalu diperintahkannya
supaya didirikan sembahyang jum’at di al-Azhar. Kemudian Balbars membuka
al-Azhar kembali untuk tempat pendidikan dan pengajaran seperti pada masa
Fatimiyah dahulu. Tetapi ilmu fiqh yang diajarkan pada mulanya adalah mahzab
Syafi’i, kemudian baru dimasukkan mahzab-mahzab yang lain. Pada masa ini
ilmu-ilmu yang diajarkan al-Azhar ialah ilmu-ilmu agama dan bahasa arab.
Sedangkan ilmu aqliyah, seperti ilmu pasti dan ilmu lainnya diajarkan juga
tetapi pelajar yang menuntut ilmu itu sedikit sekali bilangannya.
Tatkala
Mesir hilang kemerdekaannya pada tahun 922 H (1517 M). Mundurlah pendidikan dan
pengajaran di al-Azhar khususnya dan di madrasah-madrasah lain umumnya. Pada
masa itu ilmu-ilmu yang diajarkan di al-Azhar hanya ilmu-ilmu agama dan bahasa arab
saja. Sedangkan ilmu-ilmuAqliyah, seperti ilmu
pasti, filsafat, ilmu bumi dan sebagainya dianggap haram hukumnya.
Dengan demikian lenyaplah ilmu-ilmu Aqliyah dari al-Azhar dan mencangkupkan
hanya ilmu-ilmu agama dan bahasa arab saja. Pada tahun 1304 H(1886 M) Syekh
al-Azhar, syekh Al-Indaby mengeluarkan fatwa, bahwa mempelajari ilmu-ilmu
Aqliyah itu tidak haram, bahkan boleh untuk dipelajari. Disini patut
diperingatkan, bahwa pada masa mundur al-Azhar itu ada juga ulama yang
mempelajari ilmu-ilmu aqliyah dengan kemauannya sendiri. Misalnya Syekh Ahmad
Abdul Mun’im Ad-Damanhury, Syekh Al-Azhar (wafat tahun 1192 H= 1778 M). Dalam
ijazahnya disebutkan diantara ilmu-ilmu yang telah dipelajari ialah :
berhitung, miqat (hisab falaki), aljabar, ilmu ukur, ilmu falak, sebab-sebab
penyakit dan ilmu kesehatan, ilmu hewan, ilmu tumbu-tumbuhan, ilmu tasyrih
(otnatomi), sejarah dan lain-lain).
Hal
ini membuktikan, bahwa ilmu-ilmu aqliyah itu tidak lenyap sama sekali dari
al-Azhar, bhkan ada juga sebagian ulama mempelajarinya dengan kemauanya
sendiri. Kesimpulannya pada masa itu ilmu-ilmu agama dan bahasa arab yang
menjadi mata pelajaran di al-Azhar. Sedangkan filsafat dan tasawuf tidak
diajarkan di al-Azhar, hanya diajarkan sebagai pelajaran khusus di rumah guru
yang terletak disekitar masjid.[8][8]
Menurut
Dr. Hasanain Rabi’ pada abad ke-9 H (abad XV M) merupakan masa kejayaan bagi
al-Azhar, karena pada saat itu al-azhar menempati tempat tertinggi diantara
madrasah-madrasah dan perguruan tinggi yang ada di Kairo. Ketika itu al-Azhar
sebagai induk madrasah dan juga sebagai perguruan tinggi terbesar yang tidak
ada rivalnya dimanapun, para ulama dari berbagai negara datang mengunjungi
al-Azhar untuk belajar. Pada masa Mamalik, kebijakan dan perhatian pemerintah
terhadap al-Azhar sangat kondusif untuk pengembangan al-Azhar sebuah perguruan
tinggi.
Prof.
Dr. Azyumardi Azra berpendapat, sebagai sebuah perguruan tinggi yang sudah
berusia tua al-Azhar juga mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Sejak
Dinasti Usmani (1517-1798 M) pamor al-Azhar mulai menurun, sehingga menjadi
alasan kuat untuk penguasa pembaru seperti Muhammad Ali untuk campur tangan
lebih jauh dalam pembenahan al-Azhar sejak paroan pertama abad ke-19. Kenyataan
inilah menjadi Preseden lenyapnya idependensi al-Azhar sebagai lembaga akademis
yang pada gilirannya juga mempengaruhi otoritas atau kewibawaannya, khususnya
dalam hubungan dengan kekuasaan politik.[9][9]
C.
Proses
Belajar Mengajar di Al- Azhar
Pada
masa Fatimiyah, materi pelajaran yang diberikan di al-Azhar, disamping tentang
ke-Fathimiyah-an, juga dipelajari ilmu-ilmu naqliyah dan aqliyah,
antara lain: Fikih, Hadits, Tafsir, Nahwu, Ilmu Tafsir, Ilmu Qira’at,
Ilmu Hadits dan Ilmu Kalam. Diantara ulama yang turut belajar di al-Azhar pada
masa ini adalah :
1. Hasan Ibn Ibrahim, yang lebih dikenal
dengan Ibnu Zulaq (wafat tahun 387 H). Karena kecerdasannya, ia diberi
penghargaan untuk menjadi tenaga pengajar di al-Azhar. Diantara karya-karyanya
adalah: Kitab Fadhailu Misrh (كتاب فضاتل مصر), Kitab Qudhatu Misrh(كتاب قضاة مصر), Kitab al-‘Uyun al-Da’j (كتاب العيون الدعج).
2. Al-Amir al-Mukhtar ‘Izzul Mulk Muhammad
bin Abdullah (wafat tahun 450 H). Ia seorang pakar dalam bidan politik,
administrasi, dan sejarah. Diantara karyanya adalah kitab al-Tarikh
al-Kabir, yang dikenal dengan Tarikh Misrh (تاريخ مصر).
3. Abu Abdillah al-Qudha’i, (wafat tahun
454 H).
4. Abu Ali Muhammmadvbin al-Hasan bin
al-Haitsam. Ia ilmuwan dalam bidang teknik, filsafat, dan matematika. Ia wafat
di Kairo pada tahun 436 H.
Pada
masa Mamalik, pengajaran di Universitas
al-Azhar sama dengan institusi pendidikan yang lain, yaitu sistem berhalaqah
(melingkar), seorang pelajar bebas memilih guru dan pindah sesuai dengan
kemauannya. Umumnya guru atau syaikh yang mengajar itu duduk bersama para
pelajar, tetapi guru-guru kadang-kadang duduk dikursi ketika menerangkan kitab
yang diajarkan. Disamping itu metode diskusi sangat dikembangkan sebagai metode
dalam proses pembelajaran antar pelajar, seorang guru hanya berperan sebagai
fasilitator dan memberikan penajaman dari materi yang didiskusikan. Setelah
mahasiswa dapat menguasai disiplin ilmu yang diberikan oleh seorang dosen, maka
ia dipersilahkan untuk memilih dosen lain untuk mempelajari mata kuliah yang
berbeda. Bagi mahasiswa yang sudah menyelesaikan kuliahnya kepada seorang
dosen, maka ia akan diberi syahadah (ijazah). Dalam ijazah tersebut
diterangkan nama mahasiswa, nama dosen, mazhab, serta tanggal ijazah
dikeluarkan.
Diantara
ulama yang bertugas mengajar di al-Azhar pada masa Mamalik adalah:
1. Ali Ibn Yusuf Ibn Jarir al-Lakhmi (wafat
tahun 713 H/1313 M), sebagai dosen dalam bidang penelitian.
2. Qiwamuddin al-Kirmani, sebagai dosen
dalam ilmu fikih dan ilmu qira’at.
3. Syamsuddin al-Ashbahani, sebagai dosen
dalam bidang pemikiran.
4. Syarifuddin al-Zawawi al-Maliki.
5. Qunbur ibn Abdillah al-Sibbziwani (wafat
tahun 801 H), sebagai dosen dalam ilmu-ilmu aqliyah.
6. Badruddin Muhammad ibn Abi Bakar
al-Dimamini (wafat tahun 827 H/1424 M), sebagai dosen dalam ilmu nahwu,
nujum, dan fikih.[10][10]
Menurut Dr.
Hasanain Rabi’ bahwa pada abad ke-9 H (abad ke 15 M) merupakan masa yang
gemilang bagi al-Azhar, karena pada saat itu al-Azhar memiliki tempat tertinggi
diantara madrasah-madrasah dan jamiah yang ada di Kairo pada saat itu. Ketika
itu al-Azhar sebagai induk sekolah dan sebagai jamiah Islamiyah terbesar.
Ulama-ulama muslimin dari berbagai negara datang dan belajar di Jami’ al-Azhar.
Diantara ulama yang datang ke Mesir pada saat itu ialah Ibn Khalduntahun 784 H
(1382) dan sempat menuntut imu di al-Azhar. Pada saat itu ia sempat melakukan
kontak dengan para ulama dan ahli sejarah mesir. Dari hasil pertemuan dan
kontak itu dibangunlah sebuah lembaga pendidikan untuk studi sejarah (للدراسة التا ريخ)
1. Adapun mahasiswa yang belajar pada
lembaga pendidikan ini antara lain:
2. Imam al-Maqrizi (wafat tahun 845 H/1442
M).
3. Ibn Hajar al-‘Asqalni (wafat tahun 851
H/1448 M).
4. Abu
Syekh
Hasan al-‘Athar adalah diantara ulama yang berjasa kepada al-Azhar, terutama
dengan idenya agar al-Azhar memasukkan atau mengajarkan kuliah filsafat,
sastra, geografi, sejarah, dan ilmu-ilmu thabi’i, yang sebelumnya
dilarang di al-Azhar. Idenya yang lain adalah setiap permasalahan yang muncul
hendaknya merujuk kepada kitab aslinya (sumber primer). Pada tahun 1827 M, ia
diangkat sebagai dosen di al-Azhar.
Ia
adalah orang yang pertama kali menyerupai agar al-Azhar dapat lebih
mengembangkan diri, seiring dengan kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Pada tahun 1246 H, ia diberi penghormatan untuk menjabat sebagai
syekh al-Azhar sampai ia wafat pada tahun 1250 H. Karena jasa-jasa dan idenya
terhadap pengembangan al-Azhar, ia dikenal sebagai pelopor penggerak perbaikan
sistem pendidikan di al-Azhar.[11][11]
D.
Situasi
Sosial Politik
Pada saat dunia
islam mengalami kemrosotan yang tajam dalam bidang pemikiran, Napoleon
Bonaparte dapat menakhlukan Mesir dalam waktu yang sangat singkat. Ia datang ke
Mesir bukan hanya berbekal peralatan militer canggihnya, tetapi juga membawa
produk budaya modern, berupa percetakan, laboratorium penelitian, sekaligus
dengan para ilmuwan dan orientlisnya. Situasi seperti ini menyadarkan para
ulama Mesir akan ketertinggalannya dari dunia Barat, sekaligus menimbulkan
hasrat untuk maju kembali. Sehingga di Mesir muncullah gerakan pembaruan yang
dipelopori oleh Muhammad Ali, seorang perwira Turki. Sesudah perancis
meninggalkan Mesir, lalu ia menjadi penguasa tunggal Mesir (1805-1849 M). Ia
mengirim para pelajar Mesir ke Perancis untuk tugas belajar, sementara didalam
negeri pun ikut mendirikan sekolah-sekolah, mulai dari militer, teknik,
kedokteran, apoteker, pertambangan, pertanian, serta sekolah penerjemahan.
Diantara produk gerakan ini adalah syekh al-Tahtawi, seorang ulama al-Azhar
yang mendapat pendidikan Barat, dan sekembalinya ke Mesir, ia banyak
memperkenalkan ilmu-ilmu modern kepada masyarakat Mesir.
Membahas tentang
reformasi pendidikan di al-Azhar, Muhammad Abduh adalah salah satu tokoh
reformis yang lahir pada tahun 1849 M di Mahallat Nasr sebuah desa di Mesir.
Diantara pemikirannya yang berkaitan dengan reformasi sistem pendidikan di
al-Azhar adalah:
1. Ia menentang pengkafiran terhadap segala
sesuatu yang berbeda dengan kebiasaan. Seperti membaca buku geografi, ilmu
alam, atau filsafat adalah haram, memakai sepatu adalah bid’ah.
2. Materi pelajaran yang diberikan di
al-Azhar tidak hanya terbatas pada ilmu-ilmu agama an sich, tetapi ia
juga memperkenalkan sekaligus mengajarkan filsafat, sejarah dan peradaban
Eropa, teologi, seperti logika.
3. Ia tidak setuju dengan metode pengajaran
di al-Azhar yang lebih menekankan kepada aspek penghafalan, tetapi ia lebih
menekankan kepada mahasiswa untuk dididik berfikir.[12][12]
Pada
tahun 1983 Universitas al-Azhar, kembali membuka lima fakultas baru, dengan
demikian sampai dengan akhir tahun 1983 jumlah fakultas di Universitas al-Azhar
berjumlah 39 fakultas. Tokoh-tokoh yang pernah menjabat sebagai rektor pada
Universitas al-Azhar antara lain:
1. Prof. Dr. Muhammad al-Baha
2. Syekh Ahmad Hasan al-Baquri
3. Prof. Dr. Badawi Abdul Latif
4. Prof. Dr. Abdul Fatah
5. Prof. Dr. Ahmad Umar Hasyim
E.
Peranan Al-Azhar dalam Mencetak Ulama
Al-Azhar sebagai
lembaga pendidikan tinggi saat itu, telah banyak melahirkan ulama yang tidak
diragukan lagi dari aspek keilmuannya, dan telah banyak menyumbangkan khasanah
ilmu pengetahuan terutama keislaman, baik dari Mesir maupun ulama yang berasal
dari daerah lain. Diantara mereka ialah Izauddin bin Abdissalam, Imam Subki,
Jalaluddin As-Suyuti, Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqolani, dan lain-lain dan karya
monumental dari para ulama tersebut masih dapat dipelajari dan disaksikan
sampai sekarang ini.[13][13]
F.
Undang-undang Al-Azhar yang Pertama Tahun 1288 H= 1872 M
Undang-undang
al-Azhar yang pertama dikeluarkan pada masa Ismail Basya memerintahi Mesir
tahun 1288 H (1872 M). Syekh Al-Azhar pada masa itu ialah Syekh Muhammad
Al-Mahdi Al-Abbasy. Dalam undang-undang itu ditarangkan pula mata pelajaran
mata pelajaran yang diuji untuk mencapai ijazah itu,Ijazah –ijazah itu terbagai
atas tiga tingkat:
a. Tingkat Pertama, namanya Ijazah (rendah)
b. Tingkat menengah, namanya Ahliyah.
c. Tingkat tinggi, namanya Alimiyah.
Menurut undang-undang itu, bahwa mata
pelajaran yang dipelajari dan diuji untuk mencapai syahadah ‘Alimiyah sebagai
berikut:
a. Ushul-Fikih
b. Fikih
c. Tauhid
d. Hadits
e. Tafsir
f. Nahu
g. Syaraf
h. Ma’ani
i.
Bayan
j.
Badi’
k. Mantiq
Demikian
ilmu-ilmu yang dipelajari dan diuji menurut Undang-undang Al-Azhar yang lama
itu. Undang-undang itu tetap barlaku sampai akhir tahun ini, meskipun telah
dikeluarkan undang-undang baru, undang-undang lama tetap berlaku bagi siapa
saja yang sula memasuki ujian itu untuk mencapai syahadah ‘Alimiyah. Pada masa
pengarang di Mesir tahun 1924 M. Pengarang sendiri memasuki ujian dalam 11 ilmu
itu untuk mencapai syahadah ‘Alimiyah yang khusus untuk ghurabak (bangsa asing,
bukan bangsa Mesir).
Amat
sayang sekali undang-undang al-Azhar yang lama itu tidak memuaskan untuk
pelajar-pelajar masa modern sekarang. Apalagi untuk mencapai syahadah ‘Amaliyah
itu harus memakai waktu sekurang-kurangnya 15 tahun dan tidak dibebaskan
selama-lamanya. Sebab itu ada pelajar yang belajar 20 atau 25 tahun lamanya
baru mendapat syahadah ‘Alimiyah. Selain dari pada itu, kitab-kitab yang mereka
pelajari ialah kitab-kitab mukhtasar (pendek) yang tidak dapat dipahami
maksudnya, melainkan sejarah syarah, dengan hasyiah dan dengan taqrir.
Pada
tahun 1314 H (1896 M) telah diusahakan oleh Syekh Muhammad Abdul bersama Syekh
Al-Azhar, Syekh Hasunah An-Nawawi untuk mengadakan perbaikan al-Azhar dengan mengeluarkan Undang-undang
baru. Dalam undang-undang itu dimasukkan mata pelajaran baru sebagai berikut:
a. Akhlak
b. Mustalah Hadits
c. Berhitung
d. Aljabar
e. Arudi dan qafiah
f. Sejarah Islam
g. Insyak (mengarang)
h. Matan Lughah
i.
Pokok-pokok
ilmu ukur
j.
Ilmu
Bumi
Selain itu dilarang membaca hasyiah
pada 4 tahun yang pertama, bahkan dilarang membaca taqrir tapi sayang perbaikan
itu tidak berjalan menurut mestinya, bahkan undang-undang itu tidak berlaku
sesudah keluar Syekh Muhammad Abduh dari Majelis Idarah Al-Azhar dan sesudah
wafatnya pada tahun 1323 H (1905 M). Sesudah itu tetap tetap berlaku
undang-undang al-Azhar lama yang mewajibkan mempelajari 11 ilmu saja yaitu
ilmu-ilmu agama dan bahasa arab. Selain ilmu itu diajarkan juga ilmu falak,
miqat, dan berhitung bagi pelajar-pelajar yang membutuhkannya sebagai mata
pelajaran tambahan. Karena perbaikan
al-Azhar tidak dapat dilaksanakan maka pemerintah Mesir mendirikan dua buah sekolah
tinggi:
1.
Darul
Ulum tahun 1287 H (1870 M) untuk mengeluarkan guru-guru agama dan bahasa arab
pada sekolah-sekolah negeri.
2.
Qada’as
Syar’i tahun 1325 H (1907 M) untuk mengeluarkan hakim-hakim agama.
Dengan
demikian tertutuplah pintu bagi ulama-ulama keluaran al-Azhar untuk menjadi
guru agama dan bahasa arab di sekolah-sekolah negeri dan untuk menjadi hakim
agama. dan tak ada lagi jabatan mereka haya menjadi imam dan khatib di
mesjid-mesjid.[14][14][15][15]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pada mulanya
al-Azhar merupakan nama sebuah masjid yang didirikan pada tanggal 17 Ramadhan
tahun 359 H (970 M). Kemudian masjid tersebut dikembangkan menjadi sebuah Universitas
besar. Al-Azhar merupakan lembaga pendidikan Islam yang telah dikenal sebagai
Universitas tertua di duni, karena sejak itu telah mengeluarkan disiplin ilmu
pengetahuan, baik ilmu-ilmu agama seperti fikih, al-Qur’an, nahwu, sharaf,
tasawuf, hadits, bahasa Arab dan lain-lain. Selain itu al-Azhar juga
mengajarkan ilmu-ilmu umum seperti ilmu kedokteran, matematika, filsafat dan
lain-lain.
Latar belakang
berdirinya al-Azhar adalah untuk kepentingan para penguasa dari dinasti
Fatimiyah yang ingin menanamkan ajaran syi’ah didalamnya. Al-Azhar sejak
berdiri mengalami pasang surut karena pengaruh kepentingan penguasa pada saat
itu. Hal ini karena posisi al-Azhar yang tidak independen. Al-Azhar mengalami
masa kemunduran pada masa dinasti Ayyubi yang menganut paham sunni dan
menghentikan segala aktivitas sebagai tempat peribadatan dan pendidikan. Selain
itu, pada masa ini melarang al-Azhar untuk tempat sembahyang Jum’at. Dengan
demikian al-Azhar menjadi sunyi. Masa keemasan al-azhar terjadi pada saat pemerintahan
Dinasti Mamalik. Pada masa ini Al-Azhar mengalami banyak pembaharuan dan
pelajar dari negara-negara lain tertarik untuk menjadi mahasiswa di Al-Azhar.
Al-Azhar sebagai
lembaga pendidikan tinggi pada saat itu telah banyak mencetak ulama yang tidak diragukan lagi dari
aspek keilmuannya. Undang-undang al-Azhar yang pertama dikeluarkan pada masa
Ismail Basya memerintah Mesir. Dalam undang-undang diterangkan jalan untuk
mendapat ijazah harus melalui mata pelajaran yang diuji.
DAFTAR PUSTAKA
Suwito. Sejarah
Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media, 2005.
Nata, Abuddin.
Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Klasik dan Petengahan. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2012.
Yunus, Mahmud. Sejarah
Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1992 M-1413 H.
Maksum. Madrasah:
Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Bottom of Form
Islamiyah. Dalam Abdul
`Adzhim Ramadhan. Tarikh al-Madaris fi Masr al-Islamiyah. Mesir: Hai'ah
al-Masriyah al-`Ammah li al-Kitab, 1992.
Khafaji, Muhammad Abdul Mun`im. Al-Azhar
fi Alfi `Am. Cairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah, 1988.
El-Qardhawi, Yusuf. Risalah
al-Azhar: Baina al-Ams wa al-Yaum wa al-Ghad. Cairo: Maktabah Wahbah, 2002.
[2] . Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Klasik dan
Petengahan (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2012),87-88.
[13][13] Abuddin Nata, Sejarah
Pendidikan Islam pada Periode Klasik dan Petengahan, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2012), 96.
[14][14] Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1992 M-1413 H), 179-181..
0 komentar:
Posting Komentar