KONSEP
PENDIDIKAN DALAM
PERSPEKTIF
AL-QUR’AN
NPM. 1706661
Jurusan
Tarbiyah Pasca Sarjana IAIN Metro
Pendidikan Agama Islam
ABSTRAC
All verses of the Qur'an are open
to interpretation in various scientific contexts, including education. This
paper focuses on the concept of education in the Qur'an. The verses of the
Qur'an that became the reference in this journal is Surat Al-Alaq verses 1-5,
Surat Al-Baqarah verses 31-32, Surat Al-Mujadalah verse 11, letter of Imran Ali
verse125. And also explain Educational methods according to the Qur'an is
Dialogue Method, Story Method, Amtsal Method (Parable), Exemplary Method, and
Targhib and Tarhib Methods. From the results of this study can be concluded
that the concept of education is the process of coaching, development, and
maintenance and provision of science and skills in order that they have the
personality and mental attitude noble, so as to perform his duties as khalifah
Allah on earth in accordance with power of reason each.
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan hal yang sangat strategis dalam membangun sebuah
peradaban, khususnya peradaban yang Islami. Bahkan, ayat pertama diturunkan
oleh Allah sangat berhubungan dengan pendidikan. Proses dakwah Rasulullah pun
dalam menyebarkan Islam dan membangun peradaban tidak lepas dari pendidikan
Rasul terhadap para sahabat. Dimulai dari sebuah rumah kecil “Darul Arqom”
sampai membentang ke seberang benua. Diawali beberapa sahabat sampai tersebar
ke jutaan umat manusia di penjuru dunia. Sebuah proses yang pernah menorehkan
sejarah peradaban yang membanggakan bagi umat Islam, Madinah Al-Munawarah.
Sejarahpun mencatat banyak Negara yang memperkokoh bangsanya ataupun bisa
segera bangkit dari keterpurukan dengan upaya membangun pendidikan.
Pada hakikatnya manusia sebagai khalifah Allah dibumi
ini.Wajar, karena dari pendidikanlah lahir sebuah generasi yang diharapkan
mampu membangun peradaban tersebut. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa kemajuan
pendidikan akan menjadi salah satu pengaruh kuat terhadap kemajuan atau
kegemilangan sebuah peradaban. Namun, konsep atau teori pendidikan mengalami
sebuah perdebatan hangat bagi para pakar atau ilmuwan. Peran pendidikan yang
semakin disadari pentingnya dalam melahirkan sebuah generasi tidaklah cukup
tanpa disertai oleh konsep yang benar. Apabila kita menerima teori ilmiah
empiris sebagai sebuah paradigma dalam teori pendidikan, maka disadari atau
tidak berarti kita telah meninggalkan hal-hal yang bersifat metafisis dalam
Al-Qur`an dan Sunnah. Metode ilmiah dalam membangun sebuah teori harus dapat
diamati oleh panca indera. Sebuah teori yang belum bisa dibuktikan secara
empiris tidak bisa dijadikan dasar dalam menyusun sebuah teori termasuk
didalamnya teori pendidikan. Padahal, Al-Qur`an yang diwahyukan melalui Nabi Muhammad
SAW, dari masa ke masa selalu berkembang pembuktian terhadap mukjizat
Ilmiahnya, mulai dari masa lampau sampai masa yang akan datang.
Pendidikan dalam Sejarah Islam
Penyelenggaraan pendidikan dalam lintasan
sejarah Islam telah dimulai oleh Rasulullah saw dan para Khulafa ar-Rasyidin.
Rasulullah saw telah menjadikan mengajar baca-tulis bagi 10 orang penduduk
Madinah sebagai syarat pembebasan bagi setiap tawanan perang Badar. Pada masa
itu nabi Muhammad senantiasa menanamkan kesadaran pada sahabat dan
pengikutnya akan urgensi ilmu dan selalu mendorong umat untuk senantiasa
mencari ilmu. Hal ini dapat kita buktikan dengan adanya banyak hadis yang
menjelaskan tentang urgensi dan keutamaan (hikmah) ilmu dan orang yang memiliki
pengetahuan. Khalifah Umar bin Khattab, secara khusus, mengirimkan ‘petugas
khusus’ ke berbagai wilayah baru Islam untuk menjadi guru pengajar bagi
masyarakat Islam di wilayah-wilayah tersebut.
A-Ma’mun, salah satu khalifah Daulat Bani
Abbasiyah, mendirikan Bait al-Hikmah di Baghdad pada tahun 815 M, di dalamnya
terdapat ruang-ruang kajian, perpustakaan dan observatorium (laboratorium).
Meskipun demikian, Bait al-Hikmah belum dapat dikatakan sebagai sebuah
institusi pendidikan yang ‘cukup sempurna’, karena sistem pendidikan masih sekedarnya
dalam majlis-majlis kajian dan belum terdapat ‘kurikulum pendidikan’ yang
diberlakukan di dalamnya.
Institusi pendidikan Islam yang mulai
menggunakan sistem pendidikan ‘modern’ baru muncul dengan berdirinya Perguruan
al-Azhar oleh Daulat Bani Fatimiyyah di Kairo pada tahun 972 M. Pada al-Azhar,
selain dilengkapi dengan perpustakaan dan laboratorium, mulai diberlakukan
sebuah kurikulum pengajaran. Pada kurikulum al-Azhar diajarkan
disiplin-disiplin ilmu agama dan juga disiplin-disiplin ilmu ‘umum’ (aqliyyah).
Ilmu agama yang ada dalam kurikulum al-Azhar antara lain tafsir, hadits, fiqh,
qira’ah, teologi (kalam), sedang ilmu akal yang ada dalam kurikulum al-Azhar
antara lain filsafat, logika, kedokteran, matematika, sejarah dan geografi.
Pengertian Pendidikan
Menurut al-Qur'an
Ada dua kata yang
digunakan al-Qur’an untuk mengungkapkan makna pendi- dikan yaitu kata rabb dengan bentuk masdarnya tarbiyah dan kata ‘allama dengan bentuk masdarnya ta’lim.Kata
tarbiyah sebagaimana dijelaskan oleh
al-Raghib al- Ashfahany adalah sya’a
al-syai halan fa halun ila haddi al-tamam; artinya mengembang- kan atau
menumbuhkan sesuatu setahap demi setahap sampai batas yang sempurna. Sedangkan
kata ta’lim digunakan secara khusus
untuk menunjukkan sesuatu yang dapat diulang dan diperbanyak sehingga
menghasilkan bekas atau pengaruh pada diri seseorang.
Kata rabb dengan segala derivasinya
disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 981 kali.Kata tersebut selanjutnya
digunakan oleh al-Qur’an untuk berbagai makna anta- ra lain digunakan untuk
menerangkan salah satu sifat Allah swt. yaitu rabbul ‘alamin yang diartikan pemelihara, pendidik, penjaga, dan
penguasa alam semesta (lihat QS al- Fatihah/1: 2, al-Baqarah/2: 131,
al-Maidah/5: 28, al-An’am/6: 45, 71, 162, dan 164, al-A’raf/7: 54, digunakan
juga untuk menjelaskan objek sifat tuhan sebagai pemeliha- ra, pendidik,
penjaga, dan penguasa alam semesta seperti: al-‘arsy
al-‘azhim yakni ‘arsy yang agung
(QS al-Taubah/9: 129), al-Masyariq,
yakni ufuk timur tempat terbitnya matahari (al-Rahman/55: 17), abaukum al-awwalun yakni nenek moyang
para penda- hulu orang-orang kafir Quraisy (QS al-Shaffat/37: 126), al-Baldah, yakni negeri dalam hal ini
Mekah al-Mukarramah (QS al-Naml/27: 91; al-Baqarah/2: 126), al-Bait yakni rumah, dalam hal ini
Ka’bah yang ada di Mekah al-Mukarramah (QS Quraisy/106: 3) dan al-Falaq yakni waktu subuh (QS
al-Falaq/112: 1).
Berdasarkan
makna-makna tersebut di atas, terlihat dengan jelas bahwa kata rabb dalam al-Qur’an digunakan untuk
menunjukkan obyek yang bermacam-macam, baik fisik maupun non fisik.Dengan
demikian, pendidikan oleh Allah swt.meliputi pemeliharaan seluruh makhluk-Nya.
Adapun
kata ‘allama dengan segala bentuk
derivasinya disebutkan dalam al- Qur’an sebanyak 854 kali,dan digunakan dalam
berbagai konteks. Terkadang digu- nakan untuk menjelaskan bahwa Allah sebagai
subyek yang mengajarkan kepada manusia beberapa hal antara lain: mengajarkan
nama-nama (benda) semuanya (surat al-Baqarah/2: 31-32), mengajarkan al-Qur’an
(SQ. Ar-Rahman/55: 1-4), mengajarkan al-hikmah, taurat, dan injil (QS
Ali-Imran/3: 48) mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui (QS
al-Alaq/96: 5 dan QS al-Baqarah/2: 239) dan terkadang digunakan bahwa manusia
sebagai subyek, seperti Nabi Musa mengajarkan sihir kepada pengikut Fir’aun
(al-Syu’ara/26: 49 dan QS Thaha/20: 71) dan terkadang pula digunakan bahwa
Jibril sebagai subyek yang mengajarkan wahyu kepada Nabi Muhammad saw. (QS
An-Najm/53: 5). Dari beberapa ungkapan tersebut, terkesan bahwa kata ta’lim
dalam al-Qur’an menunjukkan adanya sesuatu berupa pengetahu- an yang diberikan
kepada seseorang. Jadi, sifatnya intelektual.
Dalam pembahasan selanjutnya ditemukan perbedaan
pendapat di kalangan para ahli mengenai pemakaian kata tersebut dalam
hubungannya dengan pendidik- an. Menurut Abdurrahman al-Nahlawi dalam Ahmad
Tafsir, bahwa kata tarbiyah lebih
tepat digunakan untuk makna pendidikan. Menurutnya, kata Tarbiyah’ berasal dari tiga kata, yaitu: pertama, dari kata raba-yarbu
yang berarti bertambah atau tum- buh; karena pendidikan mengandung misi
untuk menambah bekal pengetahuan kepada anak dan menumbuhkan potensi yang
dimilikinya. Kedua, dari kata rabiya- yarba’ yang berarti menjadi
besar, karena pendidikan juga mengandung misi untuk membesarkan jiwa dan
memperluas wawasan seseorang.Ketiga, dari
kata rabba- yarubbu’ yang berarti
memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga, memeli- hara sebagaimana
telah dijelaskan di atas.
Berbeda dengan
pendapat di atas, Abdul Fattah Jalal mengatakan bahwa kata ta’lim lebih komprehensif untuk mewakili istilah pendidikan karena
kata tersebut berhubungan dengan tiga aspek.Pertama,
menyangkut aspek pemberian bekal pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung
jawab, dan penanaman amanah, hingga penyucian atau pembersihan manusia dari
segala kotoran dan menjadikan diri manusia berada dalam kondisi yang
memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari apa yang bermanfaat
baginya dan yang tidak diketahuinya. Kedua,
menyangkut aspek pengetahuan dan keterampilan yang
dibutuhkan seseorang dalam hidup serta pedoman perilaku yang baik.Ketiga, merupakan proses yang terus
mene- rus diusahakan semenjak dilahirkan, sebab menusia dilahirkan
tidakmengetahui apa-apa, tetapi dia dibekali dengan berbagai potensi yang
mempersiapkannya untuk meraih dan memahami ilmu pengetahuan serta
memanfaatkanya dalam kehidupan.Sedangkan menurut Sayed Muhammad al-Naquid
al-Atas, kata at-ta’lim disino-
nimkan dengan pengajaran tanpa adanya pengenalan secara mendasar, namun bila al-ta’lim disinonimkan dengan al-tarbiyah, al-ta’lim mempunyai arti pengenalan tem- pat segala sesuatu dalam
sebuah sistem. Menurutnya, ada hal yang membedakan
antara tarbiyah dan ta’lim, yaitu ruang lingkup ta’lim lebih umum daripada tarbiyah, karena tarbiyah tidak mencakup segi pengetahuan dan hanya mengacu pada
kondisieksistensial dan juga tarbiyah merupakan
terjemahan dari bahasa latineducation,
yang keduanya mengacu kepada segala sesuatu yang bersifat fisik-mental, tetapi
sumber-nya bukan dari wahyu.
Kebalikan dari
pendapat Sayed Muhammad al-Naquid al-Atas, Muhammad Athiyah al-Abrasy,
mengatakan bahwa kata ta’lim lebih
khusus dibandingkan dengan tarbiyah.Hal
itu karena kata ta’lim hanya
merupakan upaya menyiapkan individu dengan mengacu pada aspek-aspek tertentu
saja, sedangkan kata tarbiyah mencakup
keseluruhan aspek-aspek pendidikan.Sementara itu Abuddin Nata mengatakan bahwa
istilah ta’lim mengesankan proses
pemberian bekal pengetahuan, sedangkan istilah tarbiyah mengesankan proses
pembinaan dan pengarahan bagi pembentukan kepribadian dan sikap mental.
Berdasarkan
beberapa pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa pendidikan menurut
al-Qur’an adalah usaha yang dilakukan secara terencana dan bertahap untuk
memberikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap kepada peserta didik sebagai
bekal dalam melaksanakan tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah di mukabumi.[1]
Konsep
Pendidikan Islam dalam Al-Qur`an Surat Al-Alaq ayat 1-5
Agama Islam adalah agama yang universal, yang mengajarkan umat manusia
mengenai berbagai aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi.
Salah satu di antara ajaran tersebut adalah mewajibkan kepada umat Islam untuk
melakukan pendidikan.Apabila kita memperhatikan ayat yang pertama kali
diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, maka nyatalah bahwa Allah
telah menekankan perlunya orang belajar baca tulis dan ilmu pengetahuan.
Firman Allah
dalam surah Al-alaq ayat 1-5 :
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.[2]
Tafsir Surat
Al-Alaq ayat 1-5
Maksudnya:
Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.
Pada surat Al-Alaq (96) ayat 1 hingga 5, proses
belajar mengajar berlangsung dari tuhan kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui
metode membaca (iqra`) Tuhan (melalui Malaikat Jibril) ingin
agar Nabi Muhammad SAW membacakan segala sesuatu yang disampaikan oleh Malaikat
Jibril. Para ulama tafsir melihat bahwa kata kerja perintah membaca (fi’il
amr) yakni kalimat iqra` (bacalah) pada ayat pertama
Al-alaq tersebut tidak ada objek atau maf`ul nya. Hal ini
menunjukkan bahwa yang dibaca itu mencakup berbagai hal yang amat luas, yakni
tidak hanya pembaca yang tersurat atau yang tertulis, melainkan termaksud yang
tersirat atau yang tidak tertulis. Adanya ayat-ayat Tuhan yang tertulis di
jagad raya, fenomena sosial, dan lainnya.[3]
“Bacalah!” dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptkan”.[4](Ayat
1). Dalam suku pertama saja, yaitu “bacalah”, telah terbuka kepentingan pertama
didalam perkembangan agama ini selanjutnya. Nabi Muhammad SAW disuruh membaca
wahyu akan diturunkan kepada beliau itu diatas nama Allah, Tuhan yang telah
mencipta. Yaitu “Menciptakan manusia daripada segumpal darah” (Ayat 2). Yaitu
peringkat yang kedua sesudah muthfah, yaitu segumpal air yang telah berpadu
dari mani si laki-laki dengan mani si perempuan, yang setelah 40 hari dari
lamanya, air itu telah menjelma jadi segumpal darah, dan dari segumpal dari itu
kelak akan menjelma pula setelah melalui 40 hari, menjadi segumpal daging (Mudgah).
Nabi bukanlah seorang yang pandai membaca. Beliau adalah ummi, yang boleh
diartikan buta huruf, tidak pandai menulis dan tidak pula pandai membaca yang
tertulis. Tetapi Jibril mendesaknya juga sampai tiga kali supaya dia membaca.
Meskipun dia tidak pandai menulis, namun ayat-ayat itu akan dibawa langsung
oleh Jibril kepadanya, di ajarkan, sehingga dia dapat menghapalnya diluar
kepala, dengan sebab itu akan dapatlah dia membacanya. Tuhan Allah yang
menciptakan semuanya. Rasul yang tak pandai menulis dan membaca itu akan pandai
kelak membaca ayat-ayat yang diturunkan kepadanya. Sehingga bilamana
wahyu-wahyu itu telah turun kelak, dia akan diberi nama Al-Qur`an dan Al-Qur’an
itupun artinya ialah bacaan. Seakan-akan Tuhan berfirman: “Bacalah, atas
qudratku dan iradatku”. Syaik Muhammad Abduh didalam Tafsir Juzu` `Amma-nya
menerangkan ; “Yaitu Allah yang Mahakuasa menjadikan manusia daripada air mani,
menjelma jadi darah segumpal, kemudian jadi manusia penuh, niscaya kuasa pula
menimbulkan kesanggupan membaca pada seorang yang selama ini dikenal ummi, tak
pandai membaca dan menulis. Maka jika kita selidiki isi hadits yang menerangkan
bahwa tiga kali Nabi disuruh membaca, tiga kali pula Jibril memeluknya
keras-keras, buat meyakinkan baginya bahwa sejak saat itu kesanggupan membaca
itu sudah ada padanya, apatah lagi dia adalah Al-Insan Al-Kamil, manusia
sempurna. Banyak lagi yang akan dibacanya dibelakang hari. Yang penting harus
diketahuinya ialah bahwa dasar segala yang akan dibacanya itu kelak tidak lain
ialah dengan nama Allah jua.
“Bacalah ! Dan Tuhan engkau itu adalah Maha Mulia”. (Ayat 3). Setelah di
ayat yang pertama beliau disuruh membaca diatas nama Allah yang menciptakan
insan dari segumpal darah, diteruskan lagi menyuruhnya membaca diatas nama
Tuhan. Sedang nama Tuhan yang selalu akan diambil jadi sandaran hidup itu ialah
Allah Yang Maha Mulia, maha dermawan, maha kasih dan sayang kepada makhluk-Nya
; “Dia yang mengajarkan dengan qalam”. (Ayat 4). Itulah keistimewaan Tuhan itu
lagi itulah kemuliaannya yang tertinggi. Yaitu diajarkannya kepada manusia
berbagai ilmu, dibukanya berbagai rahasia, diserahkannya berbagai kunci untuk
pembuka perbendaharaan Allah, yaitu dengan qalam. Dengan pena! Disamping lidah
untuk membaca, Tuhan pun mentakdirkan pula bahwa dengan pena ilmu pengetahuan
dapat di catat. Pena adalah beku dan kaku, tidak hidup, namun yang dituliskan
oleh pena itu adalah berbagai hal yang dapat difahamkan oleh manusia “Mengajari
manusia apa-apa yang dia tidak tahu”. (Ayat 5).
Lebih dahulu Allah Ta’ala mengajar manusia mempergunakan qalam. Sesudah dia
pandai mempergunakan qalam itu banyaklah ilmu pengetahuan diberikan oleh Allah
kepadanya, sehingga dapat pula dicatatnya ilmu yang baru didapatnya itu dengan
qalam yang telah ada dalam tangannya ;
“Ilmu
pengetahuan adalah laksana binatang buruan dan penulisan adalah tali pengikat
buruan itu. Oleh sabab itu ikatlah buruan-mu dengan tali yang teguh”.
Maka didalam susunan kelima ayat ini, sebagai ayat mula-mula turun kita
menampak dengan kata-kata singkat Tuhan telah menerangkan asal usul kejadian
seluruh manusia yang semuanya sama, yaitu daripada segumpal darah, yang berasal
dari segumpal mani. Dan segumpal mani itu berasal dari saringan halus makanan
manusia yang diambil dari bumi. Yaitu dari hormon, calori, vitamin dan berbagai
zat yang lain, yang semua diambil dari bumi yang semuanya ada dalam sayuran,
buah-buahan makanan poko dan daging. Kemudian itu manusia bertambah besar dan
dewasa. Yang terpenting alat untuk menghubungkan dirinya dengan manusia yang
sekitarnya ialah kesanggupan berkata-kata dengan lidah, sebagai sambungan dari
apa yang terasa dalam hatinya. Kemudian bertambah juga kecerdasannya, maka diberikan
pulalah kepandaian menulis.
Didalam ayat yang mula turun ini telah jelas penilaian yang tertinggi
kepada kepandaian membaca dan menulis. Berkata Syaik Muhammad Abduh dalam
tafsirnya : “Tidak didapat kata-kata yang lebih mendalam dan alasan yang lebih
sempurna daripada ayat ini didalam menyatakan kepentingan membaca dan menulis
ilmu pengetahuan dalam segala cabang dan bahagiannya. Dengan ini mula dibuka
segala wahyu yang akan turun dibelakang. Maka kalau kaum Muslimin tidak
mendapat manju, merobek segala selubung pembungkus yang menutup penglihatan
mereka selam ini terkunci sehingga mereka terkurung dalam bilik gelap, sebab
dikunci erat-erat oleh pemuka-pemuka mereka sampai mereka meraba-raba dalam
kegelapan bodoh, dan kalau ayat pembukaan wahyu ini tidak menggetarkan hati
mereka, maka tidaklah mereka akan bangun lagi selama-lamanya”.
Ar-Raziy menguraikan dalam tafsirnya, bahwa pada dua ayat pertama disuruh
membaca diatas nama Tuhan yang telah mencipta, adalah mengandung Qudrat, dan
hikmat dan ilmu dan rahmat. Semuanya adalah sifat Tuhan. Dan pada ayat yang
seterusnya seketika Tuhan menyatakan mencapai ilmu dengan qalam atau pena,
adalah suatu isyarat bahwa ada juga di antara hukum itu yang tertulis, yang
tidak dapa difahamkan kalau tidak didengarkan dengan seksama. Maka pada dua
ayat pertama memperlihatkan rahasia Rububiyah, rahasia Ketuhanan. Dan ditiga
ayat sesudahnya mengandung Nubuwat, kenabian. Dan siapa Tuhan itu tidaklah akan
dikenal kalau bukan dengan perantaraan Nubuwwat, dan Nubuwwat itu sendiripun
tidaklah akan ada, kalau tidak dengan kehendak Tuhan.[5]
Asbabun
nuzul surat Al-Alaq aya 1-5
Diriwayatkan
oleh ‘Aisyah dalam sebuah hadist dalam kitab Shohih Bukhori, Ketika beliau
(Rasulullah) ada di Gua Hira, datanglah malaikat seraya berkata, 'Bacalah!'
Beliau berkata,”Sungguh saya tidak dapat membaca.” Ia mengambil dan mendekap
saya sehingga saya lelah. Kemudian ia melepaskan saya, lalu ia berkata,
“Bacalah!” Maka, saya berkata, “Sungguh saya tidak dapat membaca:” Lalu ia
mengambil dan mendekap saya yang kedua kalinya, kemudian ia melepaskan saya,
lalu ia berkata, 'Bacalah!' Maka, saya berkata, “Sungguh saya tidak bisa
membaca” Lalu ia mengambil dan mendekap saya yang ketiga kalinya, kemudian ia
melepaskan saya. Lalu ia membacakan, "Iqra” bismi rabbikalladzi khalaq.
Khalaqal insaana min'alaq. Iqra' warabbukal akram. Alladzii 'allama bil qalam.
'Allamal insaana maa lam ya'lam.
Konsep
Pendidikan Islam dalam Al-Qur`an Surat Al-Baqarah ayat 31-32
Artinya:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku
nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!.[6] Mereka
menjawab: “Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang
telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui
lagi Maha Bijaksana” (QS. al-Baqarah: 31-32)
Tafsir surat
Al-Baqarah ayat 31-32
Manusia dianugerahi Allah potensi untuk mengetahui nama atau fungsi dan
karakteristik benda-benda. Dalam ayat ini Allah SWT menunjukkan suatu
keistimewaan yang telah dikaruniakannya kepada Nabi Adam as yang tidak pernah
dikaruniakan-Nya kepada makhluk-makhluk lain, yaitu ilmu pengetahuan dan
kekuatan akal atau daya pikir untuk mempelajari sesuatu dengan sebaik-baiknya.
Dan keturunan ini diturunkan pula kepada keturunannya, yaitu umat manusia. Para
malaikat yang ditanya itu secara tulus menjawab sambil menyucikan Allah, tidak
ada pengetahuan bagi kami selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada
kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Maksud
mereka, apa yang Engkau tanyakan itu tidak pernah Engkau ajarkan kepada kami.
Engkau tidak ajarkan kepada kami bukan karena Engkau tidak tahu, tetapi karena
ada hikmah dibalik itu. Dari pengakuan para malaikat ini, dapatlah dipahami
bahwa pertanyaan yang mereka ajukan (pada Al-Baqarah ayat 30) semula mengapa
Allah mengangkat Nabi Adam AS menjadi khalifah, bukanlah suatu sanggahan dari
mereka terhadap kehendak Allah SWT, melainkan hanya lah sekedar pertanyaan
untuk meminta penjelasan. Setelah penjelasan itu diberikan, dan setelah mereka
mengakui kelemahan mereka , maka dengan rendah hati dan ketaatan mereka
mematuhi kehendak Allah, terutama dalam pengangkatan Nabi Adam sebagai
khalifah. Ini juga mengandung pelajaran bahwa manusia yang telah dikaruniai
ilmu pengetahuan yang lebih banyak daripada makhluk Allah yang lainnya,
hendaklah selalu mensyukuri nikmat tersebut, serta tidak menjadi sombong dan
angkuh karena ilmu pengetahuan serta kekuatan akal dan daya pikir yang
dimilikinya.
Konsep
Pendidikan Islam dalam Al-Qur`an Surat Al-Mujadalah ayat 11
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ
تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ
انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ
أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (11)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu:
“Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan
memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.[7]
Tafsir Surat
Al-Mujadalah ayat 11
1. Pada
zaman dahulu para sahabat berlomba-lomba mencari tempat duduk yang dekat dengan
Rosulullah saw agar mereka mudah mendengar perkataan Rosulullah yang
disampaikan kepada mereka.
2. Anjuran
untuk memberikan tempat kepada orang yang baru datang sehingga menimbulkan rasa
persahabatan antar sesama yang hadir.
3.
Sesungguhnya apabila tiap-tiap orang yang memberikan kelapangan kepada hamba
Allah dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik, maka Allah akan memberi
kelapangan pula kepadanya di dunia dan akhirat.
Hal ini
sesuai dengan hadits Rasulullah yang berbunyi:
Artinya: Allah selalu menolong hamba selama hamba itu menolong saudaranya.
(H.R. Muslim dari Abu Hurairah)
Jika
dipelajari maksud ayat diatas, ada suatu ketetapan yang ditentukan ayat ini,
yaitu agar orang-orang yang menghadiri suatu majelis baik yang datang pada
waktunya atau yang terlambat, selalu menjaga suasana yang baik, penuh
persaudaraan dan saling bertenggang rasa. Bagi yang lebih dahulu datang,
hendaklah memenuhi tempat dimuka, sehingga orang yang datang terlambat tidak
perlu melangkahi atau mengganggu orang yang telah lebih dahulu hadir. Bagi
orang yang terlambat datang, hendaklah rela dengan keadaan yang ditemuinya, seperti
tidak mendapat tempat duduk. Pada akhir ayat ini juga menjelaskan bahwa
orang-orang yang memiliki derajat yang paling tinggi disisi Allah ialah orang
yang beriman dan berilmu serta mengamalkan ilmu tersebut sesuai yang
diperintahkan oleh Allah dan RasulNya. Allah juga menegaskan bahwa Dia Maha
Mengetahui semua yang dilakukan manusia, sehingga Dia akan memberikan balasan
yang adil sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya. Apabila ayat diatas
dikaitkan dengan judul makalah ini yakni tentang alat pendidikan, maka dapat
ditarik titik temu yakni bahwa secara tersirat Q.S Al-Mujadalah ayat 11
tersebut menjelaskan mengenai macam-macam alat pendidikan materiil yakni
tentang pengaturan tempat duduk, hal ini terlihat dalam ayat yang menjelaskan
supaya kita berlapang-lapang dalam suatu majelis. Memang pengaturan tempat
duduk tidak berpengaruh secara signifikan terhadap keberhasilan peserta didik,
tetapi dengan pengaturan tempat duduk yang baik dan benar setidaknya dapat
menciptakan suasana kelas yang kondusif sehingga memudahkan peserta didik untuk
menyerap materi yang disampaikan oleh pendidik.
Asbabun
Nuzul surat Al-Mujadalah ayat 11
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Muqatil bin Hayyan, ia mengatakan
bahwa pada suatu hari yakni hari jum’at, Rasulullah berada di Suffah untuk
mengadakan pertemuan disuatu tempat yang sempit, dengan maksud untuk
menghormati pahlawan-pahlawan Perang Badar yang terdiri dari kaum Muhajirin dan
Ansar. Terdapat beberapa orang pahlawan Perang Badar yang terlambat datang pada
pertemuan tersebut, diantaranya ialah Sabit bin Qais. Para pahlawan tersebut
berdiri diluar dan mengucapkan salam kepada Rasulullah dan orang-orang yang
hadir lebih dahulu, Rasulullah pun menjawab salam tersebut begitu pula dengan
orang-orang yang hadir lebih dahulu. Para pahlawan Badar yang terlambat
tersebut tetap berdiri, menunggu tempat yang disediakan bagi mereka, tetapi tak
ada yang menyediakannya. Melihat kejadian tersebut Rasulullah merasa kecewa,
lalu mengatakan kepada orang-orang yang berada disekitarnya untuk berdiri. Maka
beberapa orang yang berada disekitar Rasulullah pun berdiri, tetapi dengan rasa
enggan yang terlihat diwajah mereka. Kemudian orang-orang munafik memberikan
reaksi dengan maksud mencela Nabi, mereka mengatakan bahwa Rasulullah itu tidak
adil karena ada orang yang dahulu datang dengan maksud memperoleh tempat duduk
didekatnya, tetapi malah disuruh berdiri agar tempat itu diberikan kepada orang
yang terlambat datang. Maka sebagai jawabannya turunlah ayat ini.[8]
Konsep
pendidikan Islam dalam Al-Qur`an surat Ali Imran ayat 125
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah
yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah
yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. Hikmah: ialah
Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan
yang bathil.
“Serulah kepada jalan Tuhan
engkau dengan kebijaksanaan dan pengajaran yang baik, dan bantahlah mereka
dengan cara yang lebih baik”. (Pangkal ayat 125). Ayat ini adalah mengandung
ajaran keapada Rasul SAW tentang cara melancarakn dakwah, atau seruan terhadap
manusia agar mereka berjalan di atas jalan Allah. Nabi SAW memegang tampuk
pimpinan dalam melakukan dakwah itu. Kepadanya dituntunkan oleh Tuhan bahwa di
dalam melakukan dakwah hendaklah memakati tiga macam cara yaitu : pertama,
Hikmah (Kebijaksanaan). Yaitu dengan cara bijaksana, akal budi yang mulia, dada
yang lapang dan hati yang bersih menarik perhatian orang kapada agama, atau
kepada kepercayaan terhadap Tuhan. Contoh-contoh kebijaksanaan itu selalu pula
ditunjukkan Tuhan.
Kata
“Hikmat” itu kadang-kadang diartikan orang dengan filsafat. Padahal dia adalah
inti yang lebih halus dari filsafat. Filsafat hanya dapat difahamkan oeh
orang-orang yang telah terlatih fikirannya dan tinggi pendapat logikanya.
Tetapi Hikmat dapat menarik orang yang belum maju kecerdasannya dan tidak dapat
dibantah oleh orang yang lebih pintar. Kebijaksanaan itu bukan saja dengan
ucapan mulut, melainkan termasuk juga dengan tindakan dan sikap hidup.
Kadang-kadang lebih berhikmat “diam” daripada “berkata”.
Yang kedua
ialah Al Mau ‘izhatul Hasanah, yang kita artikan pengajaran yang baik, atau
pesan-pesan yang baik, yang disampaikan sebagai nasihat. Sebagai pendidikan dan
tuntunan sejak kecil. Sebab itu termasuklah dalam bidang “Al Mau’izhatil
Hasanah”, pendidikan ayah-bunda dalam rumah tangga kepada anak-anaknya, yang
menunjukkan contoh beragama di hadapan anak-anaknya, sehingga menjadi kehidupan
mereka pula. Termasuk juga pendidikan dan pengajaran dalam perguruan-perguruan.
Pengajaran-pengajaran
yang lebih besar kepada kanak-kanak yang belum ditumbuhi atau belum diisi lebih
dahulu oleh ajaran-ajaran yang lain.Yang ketiga ialah “Jadil-hum billati hiya
ahsan”, bantahlah mereka dengan cara lebih baik. Kalau telah terpaksa timbul
perbantahan atau pertukaran fikiran, yang di zaman kita ini disebut polemik,
ayat ini menyuruh agar, dalam hal yang demikian, kalau sudah tidak dapat
dielakan lagi, pilihlah jalan yang sebaik-baiknya. Di antaranya ialah
memperbedakan pokok soal yang tengah dibicarakan dengan perasaan benci atau
sayang kepada pribadi orang yang tengah diajak berbantah. Misalnya seseorang
yang masih kufur, belum mengerti ajaran Islam, lalu dengan sesuka hatinya saja
mengeluarkan celaan kepada Islam, karena bodohnya. Orang ini wajib dibantah
dengan jalan yang sebaik-baiknya, disadarkan dan diajak kepada jalan fikiran
yang benar, sehingga dia menerima. Tetapi kalau terlebih dahulu hatinya
disakitkan, karena cara kita membantah yang salah, mungkin dia enggan menerima
kebenaran, meskipun hait kecilnya mengakui, karena hatinya telah disakitkan.
Ketiga pokok
cara melakukan Dakwah ini, hikmat, mau’izhah hasanah dan mujadalah bil lati
hiya ahsan, amatlah diperlukan di segala zaman. Seba dakwah atau ajakan dan
seruan membawa ummat manusia kepada jalan yang benar itu, sekali-kali bukanlah
propaganda, meskipun propaganda itu sendiri kadang-kadang menjadi bagian dari
alat dakwah. Dakwah meyakinkan, sedang propaganda atau di’ayah adalah
memaksakan. Dakwah dengan jalan paksa tidaklah akan berhasil menundukkan
keyakinan orang. Apatah lagi dalam hal agama. Al-Qur’an sudah menegaskan bahwa
dalam hal agama sekali-kali tidak ada paksaan. Dan diujung ayat ini dengan
tegas Tuhan mengatakan bahwa urusan memberi orang petunjuk atau menyesatkan
orang, adalah hak Allah sendiri; “Sesungguhnya Tuhan engkau, Dialah yang lebih
tahu siapa yang dapat petunjuk” (Ujung ayat 125).
Demikianlah
ayat ini telah dijadikan salah satu pedoman perjuangan, menegakkan Iman dan
Islam di tengah-tengah berbagai-ragamnya masyarakat pada masa itu, yang
kedatangan Islam adalah buat menarik dan membawa, bukan mengusir dan
mengenyahkan orang. Dan sampai sekarang, ketiga pokok ini masih tetap terpakai,
menurut perkembangan-perkembangan zaman yang modern.
Metode Pendidikan
Menurut Al-Qur’an
Secara tersurat tidak ditemukan ayat- ayat al-Qur’an
yang menjelaskan tentang metode pendidikan. Namun, jika dianalisis dari segi
redaksi al-Qur’an dan cara Allah mengajarkan ajaran-ajaran-Nya kepada
Rasul-rasul-Nya, ada beberapa metode yang dapat diadopsi menjadi metode
pendidikan antara lain:
Metode
Dialog
Ada beberapa ayat al-Qur’an yang disampaikan dengan
cara dialog, baik dialog antara Allah dengan makhluk-Nya maupun dialog antara
makhluk dengan makhluklainnya. Dialog antara Allah dengan makhluk-Nya dapat
dilihat ketika Allah hendak menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi,
Allah berdialog dengan malaikat, sebagaimana diungkapkan dalam QS al-Baqarah/2:
31.[9]Demikian
juga dialog antara Allah dengan penghuni neraka yang digambarkan dalam ayat QS
al- Shaffat/37: 20-23.[10]Adapun
dialog antara makhluk dengan makhluk lainnya antara lain; dialog antara Nabi
Syuaib dengan kaumnya sebagaimana disebutkan dalam QS Hud/11: 84-95.[11]Demikian
juga dialog antara Nabi Musa dengan Nabi Khaidir sebagaimana dikisahkan di
dalam QS al-Kahfi/18: 65- 72.[12]
Dari ayat-ayat tersebut di atas terlihat dengan
jelas bahwa Allah swt. Menggu- nakan metode dialog dalam menyampaikan
ajaran-ajaran-Nya. Hal ini menjadi petunjuk bahwa metode seperti itu dapat
digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Menurut Ahmad Tafsir, metode dialog
mempunyai dampak yang dalam bagi pembi- cara dan juga bagi pendengar
pembicaraan itu. Itu disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut: Pertama, dialog itu berlangsung secara
dinamis karena kedua pihak terlibat langsung dalam pembicaraan dan tidak
membosankan. Kedua, pendengar
tertarik untuk mengikuti terus pembicaraan itu karena ia ingin tahu
kesimpulannya. Ketiga, dapat
membangkitkan perasaan dan menimbulkan kesan dalam jiwa, yang membantu
mengarahkan seseorang menemukan sendiri kesimpulannya.Keempat, bila dialog dilakukan dengan baik, memenuhi akhlak
tuntunan Islam, akan mening- galkan pengaruh berupa pendidikan akhlak
dalamberbicara.[13]
Metode
Kisah
Al-Qur’an menyampaikan pesan-pesannya juga
menggunakan metode kisah. Di dalam
al-Qur’an di temukan sejumlah ayat yang berisi tentang kisah-kisah umat
terdahulu.Kisah al-Qur'an banyak ragam dan bentuknya.Al-Qaththan membagi ki-
sah dalam tigabentuk.[14]
Pertama, kisah-kisah
tentang nabi-nabi terdahulu. Al-Qur’an mengungkapkan upaya dakwah yang
dilakukan nabi terdahulu, kejadian dan peristiwa yang termasuk mukjizat yang
diberikan Allah kepada mereka, sikap-sikap perlawanan dari kaum mereka,
pertumbuhan dakwah, dan balasan bagi orang yang percaya (mukmin) dan
mengingkari (mukadzdzib) dakwah para
nabi. Di antara contoh kisah para nabi terdahulu adalah kisah Nabi Nuh dengan
perahu penyelamat dan anaknya yang durhaka, kisah keteguhan Nabi Ibrahim
melawan pejabat yang zalim, bahkan terhadap orang tuanya sendiri yang tidak mau
beriman kepada Allah. Juga kisah Nabi Musa dengan kaummnya yang ’ngeyel’, kisah
Nabi Harun, kisah perjuangan Nabi Isa, dan bahkan kisah perjuangan Nabi
Muhammad sendiri. Selain itu, adapula kisah Nabi Ismail, Nabi Ya’kub, dan
nabi-nabi lainnya.
Kedua, kisah-kisah
tentang peristiwa masa lalu dan kisah tentang orang-orang tertentu yang tidak
ditetapkan status kenabiannya. Sebagai contoh al-Qur’an mengi- sahkan keluarnya
ribuan orang dari rumahnya karena takut akan kematian. Adapula kisah seseorang
yang dijuluki al-Qur’an dengan Thalut dan Jalut, kisah dua anak Adam, Qabil dan
Habil.Al-Qur’an juga menceritakan keluarga Kahfi, Dzul Qarnain, Qarun, Ashhab
al-Sabt, Maryam, Asbab al-Ukhdud, Ashhab al-Fil.
Ketiga, kisah-kisah
tentang peristiwa yang terjadi pada masa Nabi Muhammad. Sebagai contoh cerita
tentang peperangan Badar dan Uhud yang disebutkan dalam surat Ali Imran, perang
Hunain dan Tabuk yang dipaparkan dalam surat al-Taubah, perang Ahzab
diceritakan dalam surat al-Ahzab. Adapula kisah tentang isra’ dan mi’raj Nabi
Muhammad di bulan Ramadhan, kisah hijrah Nabi ke Madinah, dan kisah-kisah
lainnya. Kisah-kisah al-Qur’an tersebut di atas menunjukkan cara Allah swt.
untuk mendidik hamba-hamba-Nya agar beriman kepada-Nya. Ada beberapa kelebihan
yang dapat diambil dari metode kisah al-Qur’an sebagai berikut.[15]
Pertama, kisah al-Qur’an
selalu memikat karena mengundang pembaca atau pendengar untuk mengikuti
peristiwanya dan merenungkan maknanya. Selanjutnya makna-makna itu akan
menimbulkan kesan dalam hati pembaca atau pendengar tersebut. Kedua, kisah al-Qur’an dapat menyentuh
hati manusia karena kisah itu me- nampilkan tokoh dalam konteksnya yang
menyeluruh sehingga pembaca atau pende- ngar dapat ikut menghayati atau
merasakan isi kisah itu, seolah-olah ia sendiri yang menjadi tokohnya. Ketiga, kisah al-Qur’an mendidik
perasaan keimanan dengan cara:
1)
membangkitkan berbagai perasaan seperti khauf, rida, dan cinta,
2)
mengarahkan seluruh perasaan sehingga bertumpu pada suatu puncak yaitu
kesimpulan kisah, dan
3)
melibatkan pembaca atau pendengar ke dalam kisah tersebut, sehingga ia terlibat
secara emosional.
Metode
Amtsal (Perumpamaan)
Adakalanya Allah swt.mengajari hamba-hamba-Nya
dengan membuat perum- pamaan-perumpamaan. Ada beberapa perumpamaan yang
ditemukan dalam al- Qur’an, sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’a Surah
Al-Baqarah/2: 17, Surah Al- Baqarah/2: 171, Perumpamaan (nafkah yang
dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah QS
al-Baqarah/2: 261,[16]dan
perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang takwa QS Al-Ra’du/13:
35,[17]Perumpamaan
kalimat yang baik adalah seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya
(menjulang) ke langit, dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang
buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat
tetap (tegak) sedikit pun. (QS Ibrahim/14: 24 & 26,[18]dan
perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di
dalamnya ada pelita besar QS Al-Nuur, 24:35,[19]serta
perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah
seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah
ialah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui. (QS Al-’Ankabut/29:41).[20]
Dari
uraian di atas terlihat dengan jelas bahwa Allah swt. menggunakan per-
umpamaan-perumpamaan dalam menyampaikan ajaran-ajaran-Nya. Hal ini menjadi
petunjuk bahwa cara seperti itu dapat juga digunakan dalam kegiatan
pembelajaran. Sedikitnya ada dua kelebihan yang dapat diperoleh dengan
menggunakan metode ini; pertama,
mempermudah peserta didik memahami konsep yang abstrak. Ini terjadi karena
perumpamaan itu mengambil benda kongkrit; kedua,
dapat merangsang kesan yang tersirat dari perumpamaantersebut.
Metode Keteladanan
Untuk memudahkan pemahaman dan pelaksanaan ajaran-ajaran
yang diturun- kan kepada hamba-hamba-Nya maka Allah swt. menyebutkan beberapa
tokoh yang dapat dijadikan teladan antara lain:
1)Keteladanan
para Nabi, dapat dilihat dalam QS al-An’am/6: 90.[21]
2)Keteladanan
Nabi Ibrahim as. dan umatnya, digambarkan dalam QS al-Mumtahanah/60: 4 dan 6.
3)Keteladanan
Nabi Muhammad saw., dijelaskan dalam QS al-Ahzab/33: 21.[22]
4)
Keteladanan orang-orang yang pertama-tama masuk Islam, dijelaskan dalam QS
al-Taubah/9: 100.[23]dan
5)Keteladanan
orang- orang yang beriman, hal ini dapat dilihat pada QS al-Thur/52: 21.[24]
Keteladanan tokoh-tokoh yang disebutkan di atas
merupakan kunci kesuksesan mereka dalam mengembang tugas-tugas mereka yang
diberikan oleh Allah swt. Da- lam dunia pendidikan, keteladanan merupakan unsur
yang sangat penting. Peserta didik cenderung meneladani pendidiknya.Hal ini
diakui oleh semua ahli pendidik- an, baik dari barat maupun timur.Dasarnya
ialah bahwa secara psikologis anak memang senang meniru, tidak saja yang baik,
yang jelek pun ditirunya.
Metode
Targhib dan Tarhib
Targhib ialah
janji terhadap kesenangan, kenikmatan di akhirat yang disertai bujukan.Tarhib ialah ancaman karena dosa atau
pelanggaran yang dilakukan.Targhib dan
tarhib bertujuan agar manusia
mematuhi aturan Allah.[25]Selanjutnya
di dalam al- Qur’an ditemukan sekitar 300.[26]ayat
yang berisi tentang targhib dan tarhib antara lain:
a.
Ayat-ayat yang berisi targhib dapat dilihat dalam QS
al-Baqarah/2: 25, QS Ali Imran/3: 57, QS al-Nisaa/4: 175, QS al-Taubah/9:88-89.[27]
b.
Ayat-ayat yang berisi
metode tarhib, dapat dilihat pula dalam QS al-An’am/6: 147 dan dalam QS
al-A'raf/7: 95, al-Anfaal/8: 25, dan QS al-Taubah/9:17.40
Contoh- contoh
di atas menunjukkan bahwa salah satu cara Allah untuk memo- tivasi
hamba-hamba-Nya dalam melaksanakan ajaran-ajaran-Nya sekaligus mence- gah
mereka untuk melanggar larang-larangan-Nya, adalah dengan menggunakan metode
targhib dan tarhib. Di dalam proses pembelajaran, motivasi merupakan fak- tor
yang sangat menentukan keberhasil pembelajaran. Oleh karena itu, pendidik harus
mampu membangkitkan motivasi peserta didiknya. Salah satu caranya adalah dengan
memberikan penghargaan kepada peserta didik yang rajin dan bersungguh- sungguh
serta memberikan sanksi bagi peserta didik yangmalas.
KESIMPULAN
Agama Islam adalah agama yang universal, yang mengajarkan umat manusia
mengenai berbagai aspek
kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi.Salah satu di antara ajaran tersebut
adalah mewajibkan kepada umat Islam untuk melakukan pendidikan.
Tujuan pendidikan menurut al-Qur’an adalah membina
manusia sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan
khalifah-Nya guna memba- ngun dunia ini sesuai dengan konsep yang di tetapkan
oleh Allah atau dengan kata lain menjadikan manusia bertakwa kepada Allah swt.
Ada
beberapa metode di dalam al-Qur’an yang dipergunakan oleh Allah swt. untuk
menyampaikan ajaran-ajaran-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang dapat diadopsi
menjadi metode pendidikan antara lain; metode dialog, metode kisah, metode
perumpamaan, metode keteladanan, serta metode targhib dan tarhib.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Fattah Jalal, Min al-Usuli al-Tarbawiyah
fi al-Islam, (Mesir: Darul Kutub Misriyah. 1977)
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group 2010)
Abuddin
Nata, Tafsir Ayat-ayat
Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2002)
Ahmad
Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif
Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2010)
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Edisi yang Disempurnakan, Jilid, 4 (Jakarta:
Departemen Agama, 2009)
http://al-quran.bahagia.us/7/12/2017
Konsep Pendidikan Dalam Al-qur’an(Sebuah
Kajian Tematik)Hamzah DjunaidDosen UIN Alauddin Makassar DPK pada UIM Makassar
Selamat
Pohan, Ilmu Pendidikan Islam, (Medan: KBPM Sumatera Utara
2015)
Syaikh
Abdulmalik Bin Abdulkarim Amrullah (Hamka), Tafsir Al-Azhar Juzu’ XXIX, (Surabaya:
Yayasan Latimojong)
[1]. Konsep Pendidikan Dalam Al-qur’an(Sebuah
Kajian Tematik)Hamzah DjunaidDosen UIN Alauddin Makassar DPK pada UIM Makassar
[2]. Syaikh Abdulmalik Bin Abdulkarim Amrullah
(Hamka), Tafsir Al-Azhar Juzu’
XXIX, (Surabaya: Yayasan Latimojong) hlm. 194
[3]. Abuddin Nata, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group
2010) cet. I hlm. 141
[4]. Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada 2002) cet. IV hlm. 42
[5]. Syaikh Abdulmalik Bin Abdulkarim Amrullah
(Hamka), Tafsir Al-Azhar Juzu’
XXIX, (Surabaya: Yayasan Latimojong) hlm. 194-196
[7]. Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada 2002) cet. IV hlm. 151
[8]. Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada 2002) cet. IV hlm. 152
[9]. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Edisi yang Disempurnakan, Jilid, 4
Jakarta: Departemen Agama, 2009, h.74.
[10]. Ibid., Jilid 8, h.268.
[11]. Ibid., Jilid 4, h. 455-463.
[12]. Ibid., Jilid 5, h. 634-643.
[13]. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung:
Rosdakarya, 2010, h. 136.
[14]. Abdul Fattah Jalal, Min al-Usuli al-Tarbawiyah fi al-Islam,
Mesir: Darul Kutub Misriyah. 1977, h.32.
[15]. Ibid Ahmad Tafsir, h.140-141.
[16]. Ibid Departemen Agama RI, , Jilid 1, h. 42, 247,390.
[17]. Ibid Departemen Agama RI, , Jilid 5, h. 112
[18]. Ibid Departemen Agama RI, , Jilid 5, h. 143
[19]. Ibid Departemen Agama RI, , Jilid 6, h. 604
[20]. Ibid Departemen Agama RI, , Jilid 7, h. 404
[21]. Ibid Departemen Agama RI, , Jilid 3, h. 169
[22]. Ibid Departemen Agama RI, , Jilid 7, h. 638
[23]. Ibid Departemen Agama RI, , Jilid 4, h. 192
[24]. Ibid Departemen Agama RI, , Jilid 9, h. 504
[25]. Ibid Ahmad Tafsir, h.146.
[26]. http://al-quran.bahagia.us/7/12/2017
[27]. Ibid Departemen Agama RI,Jilid 1, h. 61. 517. Jilid, 2, h. 340,
Jilid. 4, h. 173.
0 komentar:
Posting Komentar