Beranda

Selasa, 02 April 2019

KONSEP PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN


KONSEP PENDIDIKAN DALAM
PERSPEKTIF AL-QUR’AN
 Mukmin Saleh
NPM. 1706661
Jurusan Tarbiyah Pasca Sarjana IAIN Metro

Pendidikan Agama Islam


ABSTRAC
All verses of the Qur'an are open to interpretation in various scientific contexts, including education. This paper focuses on the concept of education in the Qur'an. The verses of the Qur'an that became the reference in this journal is Surat Al-Alaq verses 1-5, Surat Al-Baqarah verses 31-32, Surat Al-Mujadalah verse 11, letter of Imran Ali verse125. And also explain Educational methods according to the Qur'an is Dialogue Method, Story Method, Amtsal Method (Parable), Exemplary Method, and Targhib and Tarhib Methods. From the results of this study can be concluded that the concept of education is the process of coaching, development, and maintenance and provision of science and skills in order that they have the personality and mental attitude noble, so as to perform his duties as khalifah Allah on earth in accordance with power of reason each.

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan hal yang sangat strategis dalam membangun sebuah peradaban, khususnya peradaban yang Islami. Bahkan, ayat pertama diturunkan oleh Allah sangat berhubungan dengan pendidikan. Proses dakwah Rasulullah pun dalam menyebarkan Islam dan membangun peradaban tidak lepas dari pendidikan Rasul terhadap para sahabat. Dimulai dari sebuah rumah kecil “Darul Arqom” sampai membentang ke seberang benua. Diawali beberapa sahabat sampai tersebar ke jutaan umat manusia di penjuru dunia. Sebuah proses yang pernah menorehkan sejarah peradaban yang membanggakan bagi umat Islam, Madinah Al-Munawarah. Sejarahpun mencatat banyak Negara yang memperkokoh bangsanya ataupun bisa segera bangkit dari keterpurukan dengan upaya membangun pendidikan.
Pada hakikatnya manusia sebagai khalifah Allah dibumi ini.Wajar, karena dari pendidikanlah lahir sebuah generasi yang diharapkan mampu membangun peradaban tersebut. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa kemajuan pendidikan akan menjadi salah satu pengaruh kuat terhadap kemajuan atau kegemilangan sebuah peradaban. Namun, konsep atau teori pendidikan mengalami sebuah perdebatan hangat bagi para pakar atau ilmuwan. Peran pendidikan yang semakin disadari pentingnya dalam melahirkan sebuah generasi tidaklah cukup tanpa disertai oleh konsep yang benar. Apabila kita menerima teori ilmiah empiris sebagai sebuah paradigma dalam teori pendidikan, maka disadari atau tidak berarti kita telah meninggalkan hal-hal yang bersifat metafisis dalam Al-Qur`an dan Sunnah. Metode ilmiah dalam membangun sebuah teori harus dapat diamati oleh panca indera. Sebuah teori yang belum bisa dibuktikan secara empiris tidak bisa dijadikan dasar dalam menyusun sebuah teori termasuk didalamnya teori pendidikan. Padahal, Al-Qur`an yang diwahyukan melalui Nabi Muhammad SAW, dari masa ke masa selalu berkembang pembuktian terhadap mukjizat Ilmiahnya, mulai dari masa lampau sampai masa yang akan datang.



Pendidikan dalam Sejarah Islam

Penyelenggaraan pendidikan dalam lintasan sejarah Islam telah dimulai oleh Rasulullah saw dan para Khulafa ar-Rasyidin. Rasulullah saw telah menjadikan mengajar baca-tulis bagi 10 orang penduduk Madinah sebagai syarat pembebasan bagi setiap tawanan perang Badar. Pada masa itu nabi Muhammad senantiasa menanamkan kesadaran pada sahabat dan pengikutnya  akan urgensi ilmu dan selalu mendorong umat untuk senantiasa mencari ilmu. Hal ini dapat kita buktikan dengan adanya banyak hadis yang menjelaskan tentang urgensi dan keutamaan (hikmah) ilmu dan orang yang memiliki pengetahuan. Khalifah Umar bin Khattab, secara khusus, mengirimkan ‘petugas khusus’ ke berbagai wilayah baru Islam untuk menjadi guru pengajar bagi masyarakat Islam di wilayah-wilayah tersebut.
A-Ma’mun, salah satu khalifah Daulat Bani Abbasiyah, mendirikan Bait al-Hikmah di Baghdad pada tahun 815 M, di dalamnya terdapat ruang-ruang kajian, perpustakaan dan observatorium (laboratorium). Meskipun demikian, Bait al-Hikmah belum dapat dikatakan sebagai sebuah institusi pendidikan yang ‘cukup sempurna’, karena sistem pendidikan masih sekedarnya dalam majlis-majlis kajian dan belum terdapat ‘kurikulum pendidikan’ yang diberlakukan di dalamnya.
Institusi pendidikan Islam yang mulai menggunakan sistem pendidikan ‘modern’ baru muncul dengan berdirinya Perguruan al-Azhar oleh Daulat Bani Fatimiyyah di Kairo pada tahun 972 M. Pada al-Azhar, selain dilengkapi dengan perpustakaan dan laboratorium, mulai diberlakukan sebuah kurikulum pengajaran. Pada kurikulum al-Azhar diajarkan disiplin-disiplin ilmu agama dan juga disiplin-disiplin ilmu ‘umum’ (aqliyyah). Ilmu agama yang ada dalam kurikulum al-Azhar antara lain tafsir, hadits, fiqh, qira’ah, teologi (kalam), sedang ilmu akal yang ada dalam kurikulum al-Azhar antara lain filsafat, logika, kedokteran, matematika, sejarah dan geografi.

Pengertian Pendidikan Menurut al-Qur'an
Ada dua kata yang digunakan al-Qur’an untuk mengungkapkan makna pendi- dikan yaitu kata rabb dengan bentuk masdarnya tarbiyah dan kata ‘allama dengan bentuk masdarnya ta’lim.Kata tarbiyah sebagaimana dijelaskan oleh al-Raghib al- Ashfahany adalah sya’a al-syai halan fa halun ila haddi al-tamam; artinya mengembang- kan atau menumbuhkan sesuatu setahap demi setahap sampai batas yang sempurna. Sedangkan kata ta’lim digunakan secara khusus untuk menunjukkan sesuatu yang dapat diulang dan diperbanyak sehingga menghasilkan bekas atau pengaruh pada diri seseorang.
Kata rabb dengan segala derivasinya disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 981 kali.Kata tersebut selanjutnya digunakan oleh al-Qur’an untuk berbagai makna anta- ra lain digunakan untuk menerangkan salah satu sifat Allah swt. yaitu rabbul ‘alamin yang diartikan pemelihara, pendidik, penjaga, dan penguasa alam semesta (lihat QS al- Fatihah/1: 2, al-Baqarah/2: 131, al-Maidah/5: 28, al-An’am/6: 45, 71, 162, dan 164, al-A’raf/7: 54, digunakan juga untuk menjelaskan objek sifat tuhan sebagai pemeliha- ra, pendidik, penjaga, dan penguasa alam semesta seperti: al-‘arsy al-‘azhim yakni ‘arsy yang agung (QS al-Taubah/9: 129), al-Masyariq, yakni ufuk timur tempat terbitnya matahari (al-Rahman/55: 17), abaukum al-awwalun yakni nenek moyang para penda- hulu orang-orang kafir Quraisy (QS al-Shaffat/37: 126), al-Baldah, yakni negeri dalam hal ini Mekah al-Mukarramah (QS al-Naml/27: 91; al-Baqarah/2: 126), al-Bait yakni rumah, dalam hal ini Ka’bah yang ada di Mekah al-Mukarramah (QS Quraisy/106: 3) dan al-Falaq yakni waktu subuh (QS al-Falaq/112: 1).
Berdasarkan makna-makna tersebut di atas, terlihat dengan jelas bahwa kata rabb dalam al-Qur’an digunakan untuk menunjukkan obyek yang bermacam-macam, baik fisik maupun non fisik.Dengan demikian, pendidikan oleh Allah swt.meliputi pemeliharaan seluruh makhluk-Nya.
Adapun kata ‘allama dengan segala bentuk derivasinya disebutkan dalam al- Qur’an sebanyak 854 kali,dan digunakan dalam berbagai konteks. Terkadang digu- nakan untuk menjelaskan bahwa Allah sebagai subyek yang mengajarkan kepada manusia beberapa hal antara lain: mengajarkan nama-nama (benda) semuanya (surat al-Baqarah/2: 31-32), mengajarkan al-Qur’an (SQ. Ar-Rahman/55: 1-4), mengajarkan al-hikmah, taurat, dan injil (QS Ali-Imran/3: 48) mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui (QS al-Alaq/96: 5 dan QS al-Baqarah/2: 239) dan terkadang digunakan bahwa manusia sebagai subyek, seperti Nabi Musa mengajarkan sihir kepada pengikut Fir’aun (al-Syu’ara/26: 49 dan QS Thaha/20: 71) dan terkadang pula digunakan bahwa Jibril sebagai subyek yang mengajarkan wahyu kepada Nabi Muhammad saw. (QS An-Najm/53: 5). Dari beberapa ungkapan tersebut, terkesan bahwa kata ta’lim dalam al-Qur’an menunjukkan adanya sesuatu berupa pengetahu- an yang diberikan kepada seseorang. Jadi, sifatnya intelektual.
Dalam pembahasan selanjutnya ditemukan perbedaan pendapat di kalangan para ahli mengenai pemakaian kata tersebut dalam hubungannya dengan pendidik- an. Menurut Abdurrahman al-Nahlawi dalam Ahmad Tafsir, bahwa kata tarbiyah lebih tepat digunakan untuk makna pendidikan. Menurutnya, kata Tarbiyah’ berasal dari tiga kata, yaitu: pertama, dari kata raba-yarbu yang berarti bertambah atau tum- buh; karena pendidikan mengandung misi untuk menambah bekal pengetahuan kepada anak dan menumbuhkan potensi yang dimilikinya. Kedua, dari kata rabiya- yarba’ yang berarti menjadi besar, karena pendidikan juga mengandung misi untuk membesarkan jiwa dan memperluas wawasan seseorang.Ketiga, dari kata rabba- yarubbu’ yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga, memeli- hara sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Berbeda dengan pendapat di atas, Abdul Fattah Jalal mengatakan bahwa kata ta’lim lebih komprehensif untuk mewakili istilah pendidikan karena kata tersebut berhubungan dengan tiga aspek.Pertama, menyangkut aspek pemberian bekal pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah, hingga penyucian atau pembersihan manusia dari segala kotoran dan menjadikan diri manusia berada dalam kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari apa yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya. Kedua, menyangkut aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidup serta pedoman perilaku yang baik.Ketiga, merupakan proses yang terus mene- rus diusahakan semenjak dilahirkan, sebab menusia dilahirkan tidakmengetahui apa-apa, tetapi dia dibekali dengan berbagai potensi yang mempersiapkannya untuk meraih dan memahami ilmu pengetahuan serta memanfaatkanya dalam kehidupan.Sedangkan menurut Sayed Muhammad al-Naquid al-Atas, kata at-ta’lim disino- nimkan dengan pengajaran tanpa adanya pengenalan secara mendasar, namun bila al-ta’lim disinonimkan dengan al-tarbiyah, al-ta’lim mempunyai arti pengenalan tem- pat segala sesuatu dalam sebuah sistem. Menurutnya, ada hal yang membedakan antara tarbiyah dan ta’lim, yaitu ruang lingkup ta’lim lebih umum daripada tarbiyah, karena tarbiyah tidak mencakup segi pengetahuan dan hanya mengacu pada kondisieksistensial dan juga tarbiyah merupakan terjemahan dari bahasa latineducation, yang keduanya mengacu kepada segala sesuatu yang bersifat fisik-mental, tetapi sumber-nya bukan dari wahyu.
Kebalikan dari pendapat Sayed Muhammad al-Naquid al-Atas, Muhammad Athiyah al-Abrasy, mengatakan bahwa kata ta’lim lebih khusus dibandingkan dengan tarbiyah.Hal itu karena kata ta’lim hanya merupakan upaya menyiapkan individu dengan mengacu pada aspek-aspek tertentu saja, sedangkan kata tarbiyah mencakup keseluruhan aspek-aspek pendidikan.Sementara itu Abuddin Nata mengatakan bahwa istilah ta’lim mengesankan proses pemberian bekal pengetahuan, sedangkan istilah tarbiyah mengesankan proses pembinaan dan pengarahan bagi pembentukan kepribadian dan sikap mental.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa pendidikan menurut al-Qur’an adalah usaha yang dilakukan secara terencana dan bertahap untuk memberikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap kepada peserta didik sebagai bekal dalam melaksanakan tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah di mukabumi.[1]

Konsep Pendidikan Islam dalam Al-Qur`an  Surat Al-Alaq ayat 1-5

Agama Islam adalah agama yang universal, yang mengajarkan umat manusia mengenai berbagai aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi. Salah satu di antara ajaran tersebut adalah mewajibkan kepada umat Islam untuk melakukan pendidikan.Apabila kita memperhatikan ayat yang pertama kali diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, maka nyatalah bahwa Allah telah menekankan perlunya orang belajar baca tulis dan ilmu pengetahuan.
Firman Allah dalam surah Al-alaq ayat 1-5 :

1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.[2]

Tafsir Surat Al-Alaq ayat 1-5
Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.
Pada surat Al-Alaq (96) ayat 1 hingga 5, proses belajar mengajar berlangsung dari tuhan kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui metode membaca (iqra`) Tuhan (melalui Malaikat Jibril) ingin agar Nabi Muhammad SAW membacakan segala sesuatu yang disampaikan oleh Malaikat Jibril. Para ulama tafsir melihat bahwa kata kerja perintah membaca (fi’il amr) yakni kalimat iqra` (bacalah) pada ayat pertama Al-alaq tersebut tidak ada objek atau maf`ul nya. Hal ini menunjukkan bahwa yang dibaca itu mencakup berbagai hal yang amat luas, yakni tidak hanya pembaca yang tersurat atau yang tertulis, melainkan termaksud yang tersirat atau yang tidak tertulis. Adanya ayat-ayat Tuhan yang tertulis di jagad raya, fenomena sosial, dan lainnya.[3]
 “Bacalah!” dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptkan”.[4](Ayat 1). Dalam suku pertama saja, yaitu “bacalah”, telah terbuka kepentingan pertama didalam perkembangan agama ini selanjutnya. Nabi Muhammad SAW disuruh membaca wahyu akan diturunkan kepada beliau itu diatas nama Allah, Tuhan yang telah mencipta. Yaitu “Menciptakan manusia daripada segumpal darah” (Ayat 2). Yaitu peringkat yang kedua sesudah muthfah, yaitu segumpal air yang telah berpadu dari mani si laki-laki dengan mani si perempuan, yang setelah 40 hari dari lamanya, air itu telah menjelma jadi segumpal darah, dan dari segumpal dari itu kelak akan menjelma pula setelah melalui 40 hari, menjadi segumpal daging (Mudgah).
Nabi bukanlah seorang yang pandai membaca. Beliau adalah ummi, yang boleh diartikan buta huruf, tidak pandai menulis dan tidak pula pandai membaca yang tertulis. Tetapi Jibril mendesaknya juga sampai tiga kali supaya dia membaca. Meskipun dia tidak pandai menulis, namun ayat-ayat itu akan dibawa langsung oleh Jibril kepadanya, di ajarkan, sehingga dia dapat menghapalnya diluar kepala, dengan sebab itu akan dapatlah dia membacanya. Tuhan Allah yang menciptakan semuanya. Rasul yang tak pandai menulis dan membaca itu akan pandai kelak membaca ayat-ayat yang diturunkan kepadanya. Sehingga bilamana wahyu-wahyu itu telah turun kelak, dia akan diberi nama Al-Qur`an dan Al-Qur’an itupun artinya ialah bacaan. Seakan-akan Tuhan berfirman: “Bacalah, atas qudratku dan iradatku”. Syaik Muhammad Abduh didalam Tafsir Juzu` `Amma-nya menerangkan ; “Yaitu Allah yang Mahakuasa menjadikan manusia daripada air mani, menjelma jadi darah segumpal, kemudian jadi manusia penuh, niscaya kuasa pula menimbulkan kesanggupan membaca pada seorang yang selama ini dikenal ummi, tak pandai membaca dan menulis. Maka jika kita selidiki isi hadits yang menerangkan bahwa tiga kali Nabi disuruh membaca, tiga kali pula Jibril memeluknya keras-keras, buat meyakinkan baginya bahwa sejak saat itu kesanggupan membaca itu sudah ada padanya, apatah lagi dia adalah Al-Insan Al-Kamil, manusia sempurna. Banyak lagi yang akan dibacanya dibelakang hari. Yang penting harus diketahuinya ialah bahwa dasar segala yang akan dibacanya itu kelak tidak lain ialah dengan nama Allah jua.
“Bacalah ! Dan Tuhan engkau itu adalah Maha Mulia”. (Ayat 3). Setelah di ayat yang pertama beliau disuruh membaca diatas nama Allah yang menciptakan insan dari segumpal darah, diteruskan lagi menyuruhnya membaca diatas nama Tuhan. Sedang nama Tuhan yang selalu akan diambil jadi sandaran hidup itu ialah Allah Yang Maha Mulia, maha dermawan, maha kasih dan sayang kepada makhluk-Nya ; “Dia yang mengajarkan dengan qalam”. (Ayat 4). Itulah keistimewaan Tuhan itu lagi itulah kemuliaannya yang tertinggi. Yaitu diajarkannya kepada manusia berbagai ilmu, dibukanya berbagai rahasia, diserahkannya berbagai kunci untuk pembuka perbendaharaan Allah, yaitu dengan qalam. Dengan pena! Disamping lidah untuk membaca, Tuhan pun mentakdirkan pula bahwa dengan pena ilmu pengetahuan dapat di catat. Pena adalah beku dan kaku, tidak hidup, namun yang dituliskan oleh pena itu adalah berbagai hal yang dapat difahamkan oleh manusia “Mengajari manusia apa-apa yang dia tidak tahu”. (Ayat 5).
Lebih dahulu Allah Ta’ala mengajar manusia mempergunakan qalam. Sesudah dia pandai mempergunakan qalam itu banyaklah ilmu pengetahuan diberikan oleh Allah kepadanya, sehingga dapat pula dicatatnya ilmu yang baru didapatnya itu dengan qalam yang telah ada dalam tangannya ;
“Ilmu pengetahuan adalah laksana binatang buruan dan penulisan adalah tali pengikat buruan itu. Oleh sabab itu ikatlah buruan-mu dengan tali yang teguh”.
Maka didalam susunan kelima ayat ini, sebagai ayat mula-mula turun kita menampak dengan kata-kata singkat Tuhan telah menerangkan asal usul kejadian seluruh manusia yang semuanya sama, yaitu daripada segumpal darah, yang berasal dari segumpal mani. Dan segumpal mani itu berasal dari saringan halus makanan manusia yang diambil dari bumi. Yaitu dari hormon, calori, vitamin dan berbagai zat yang lain, yang semua diambil dari bumi yang semuanya ada dalam sayuran, buah-buahan makanan poko dan daging. Kemudian itu manusia bertambah besar dan dewasa. Yang terpenting alat untuk menghubungkan dirinya dengan manusia yang sekitarnya ialah kesanggupan berkata-kata dengan lidah, sebagai sambungan dari apa yang terasa dalam hatinya. Kemudian bertambah juga kecerdasannya, maka diberikan pulalah kepandaian menulis.
Didalam ayat yang mula turun ini telah jelas penilaian yang tertinggi kepada kepandaian membaca dan menulis. Berkata Syaik Muhammad Abduh dalam tafsirnya : “Tidak didapat kata-kata yang lebih mendalam dan alasan yang lebih sempurna daripada ayat ini didalam menyatakan kepentingan membaca dan menulis ilmu pengetahuan dalam segala cabang dan bahagiannya. Dengan ini mula dibuka segala wahyu yang akan turun dibelakang. Maka kalau kaum Muslimin tidak mendapat manju, merobek segala selubung pembungkus yang menutup penglihatan mereka selam ini terkunci sehingga mereka terkurung dalam bilik gelap, sebab dikunci erat-erat oleh pemuka-pemuka mereka sampai mereka meraba-raba dalam kegelapan bodoh, dan kalau ayat pembukaan wahyu ini tidak menggetarkan hati mereka, maka tidaklah mereka akan bangun lagi selama-lamanya”.
Ar-Raziy menguraikan dalam tafsirnya, bahwa pada dua ayat pertama disuruh membaca diatas nama Tuhan yang telah mencipta, adalah mengandung Qudrat, dan hikmat dan ilmu dan rahmat. Semuanya adalah sifat Tuhan. Dan pada ayat yang seterusnya seketika Tuhan menyatakan mencapai ilmu dengan qalam atau pena, adalah suatu isyarat bahwa ada juga di antara hukum itu yang tertulis, yang tidak dapa difahamkan kalau tidak didengarkan dengan seksama. Maka pada dua ayat pertama memperlihatkan rahasia Rububiyah, rahasia Ketuhanan. Dan ditiga ayat sesudahnya mengandung Nubuwat, kenabian. Dan siapa Tuhan itu tidaklah akan dikenal kalau bukan dengan perantaraan Nubuwwat, dan Nubuwwat itu sendiripun tidaklah akan ada, kalau  tidak dengan kehendak Tuhan.[5]

Asbabun nuzul surat Al-Alaq aya 1-5
Diriwayatkan oleh ‘Aisyah dalam sebuah hadist dalam kitab Shohih Bukhori, Ketika beliau (Rasulullah) ada di Gua Hira, datanglah malaikat seraya berkata, 'Bacalah!' Beliau berkata,”Sungguh saya tidak dapat membaca.” Ia mengambil dan mendekap saya sehingga saya lelah. Kemudian ia melepaskan saya, lalu ia berkata, “Bacalah!” Maka, saya berkata, “Sungguh saya tidak dapat membaca:” Lalu ia mengambil dan mendekap saya yang kedua kalinya, kemudian ia melepaskan saya, lalu ia berkata, 'Bacalah!' Maka, saya berkata, “Sungguh saya tidak bisa membaca” Lalu ia mengambil dan mendekap saya yang ketiga kalinya, kemudian ia melepaskan saya. Lalu ia membacakan, "Iqra” bismi rabbikalladzi khalaq. Khalaqal insaana min'alaq. Iqra' warabbukal akram. Alladzii 'allama bil qalam. 'Allamal insaana maa lam ya'lam.
Konsep Pendidikan Islam dalam Al-Qur`an Surat Al-Baqarah ayat 31-32
Artinya: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!.[6] Mereka menjawab: “Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. al-Baqarah: 31-32)
Tafsir surat Al-Baqarah ayat 31-32

Manusia dianugerahi Allah potensi untuk mengetahui nama atau fungsi dan karakteristik benda-benda. Dalam ayat ini Allah SWT menunjukkan suatu keistimewaan yang telah dikaruniakannya kepada Nabi Adam as yang tidak pernah dikaruniakan-Nya kepada makhluk-makhluk lain, yaitu ilmu pengetahuan dan kekuatan akal atau daya pikir untuk mempelajari sesuatu dengan sebaik-baiknya. Dan keturunan ini diturunkan pula kepada keturunannya, yaitu umat manusia. Para malaikat yang ditanya itu secara tulus menjawab sambil menyucikan Allah, tidak ada pengetahuan bagi kami selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Maksud mereka, apa yang Engkau tanyakan itu tidak pernah Engkau ajarkan kepada kami. Engkau tidak ajarkan kepada kami bukan karena Engkau tidak tahu, tetapi karena ada hikmah dibalik itu. Dari pengakuan para malaikat ini, dapatlah dipahami bahwa pertanyaan yang mereka ajukan (pada Al-Baqarah ayat 30) semula mengapa Allah mengangkat Nabi Adam AS menjadi khalifah, bukanlah suatu sanggahan dari mereka terhadap kehendak Allah SWT, melainkan hanya lah sekedar pertanyaan untuk meminta penjelasan. Setelah penjelasan itu diberikan, dan setelah mereka mengakui kelemahan mereka , maka dengan rendah hati dan ketaatan mereka mematuhi kehendak Allah, terutama dalam pengangkatan Nabi Adam sebagai khalifah. Ini juga mengandung pelajaran bahwa manusia yang telah dikaruniai ilmu pengetahuan yang lebih banyak daripada makhluk Allah yang lainnya, hendaklah selalu mensyukuri nikmat tersebut, serta tidak menjadi sombong dan angkuh karena ilmu pengetahuan serta kekuatan akal dan daya pikir yang dimilikinya.

Konsep Pendidikan Islam dalam Al-Qur`an Surat Al-Mujadalah ayat 11

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (11)

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.[7]

Tafsir Surat Al-Mujadalah ayat 11
1. Pada zaman dahulu para sahabat berlomba-lomba mencari tempat duduk yang dekat dengan Rosulullah saw agar mereka mudah mendengar perkataan Rosulullah yang disampaikan kepada mereka.
2. Anjuran untuk memberikan tempat kepada orang yang baru datang sehingga menimbulkan rasa persahabatan antar sesama yang hadir.
3. Sesungguhnya apabila tiap-tiap orang yang memberikan kelapangan kepada hamba Allah dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik, maka Allah akan memberi kelapangan pula kepadanya di dunia dan akhirat.
Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah yang berbunyi:
Artinya: Allah selalu menolong hamba selama hamba itu menolong saudaranya. (H.R. Muslim dari Abu Hurairah)
Jika dipelajari maksud ayat diatas, ada suatu ketetapan yang ditentukan ayat ini, yaitu agar orang-orang yang menghadiri suatu majelis baik yang datang pada waktunya atau yang terlambat, selalu menjaga suasana yang baik, penuh persaudaraan dan saling bertenggang rasa. Bagi yang lebih dahulu datang, hendaklah memenuhi tempat dimuka, sehingga orang yang datang terlambat tidak perlu melangkahi atau mengganggu orang yang telah lebih dahulu hadir. Bagi orang yang terlambat datang, hendaklah rela dengan keadaan yang ditemuinya, seperti tidak mendapat tempat duduk. Pada akhir ayat ini juga menjelaskan bahwa orang-orang yang memiliki derajat yang paling tinggi disisi Allah ialah orang yang beriman dan berilmu serta mengamalkan ilmu tersebut sesuai yang diperintahkan oleh Allah dan RasulNya. Allah juga menegaskan bahwa Dia Maha Mengetahui semua yang dilakukan manusia, sehingga Dia akan memberikan balasan yang adil sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya. Apabila ayat diatas dikaitkan dengan judul makalah ini yakni tentang alat pendidikan, maka dapat ditarik titik temu yakni bahwa secara tersirat Q.S Al-Mujadalah ayat 11 tersebut menjelaskan mengenai macam-macam alat pendidikan materiil yakni tentang pengaturan tempat duduk, hal ini terlihat dalam ayat yang menjelaskan supaya kita berlapang-lapang dalam suatu majelis. Memang pengaturan tempat duduk tidak berpengaruh secara signifikan terhadap keberhasilan peserta didik, tetapi dengan pengaturan tempat duduk yang baik dan benar setidaknya dapat menciptakan suasana kelas yang kondusif sehingga memudahkan peserta didik untuk menyerap materi yang disampaikan oleh pendidik.

Asbabun Nuzul surat Al-Mujadalah ayat 11

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Muqatil bin Hayyan, ia mengatakan bahwa pada suatu hari yakni hari jum’at, Rasulullah berada di Suffah untuk mengadakan pertemuan disuatu tempat yang sempit, dengan maksud untuk menghormati pahlawan-pahlawan Perang Badar yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Ansar. Terdapat beberapa orang pahlawan Perang Badar yang terlambat datang pada pertemuan tersebut, diantaranya ialah Sabit bin Qais. Para pahlawan tersebut berdiri diluar dan mengucapkan salam kepada Rasulullah dan orang-orang yang hadir lebih dahulu, Rasulullah pun menjawab salam tersebut begitu pula dengan orang-orang yang hadir lebih dahulu. Para pahlawan Badar yang terlambat tersebut tetap berdiri, menunggu tempat yang disediakan bagi mereka, tetapi tak ada yang menyediakannya. Melihat kejadian tersebut Rasulullah merasa kecewa, lalu mengatakan kepada orang-orang yang berada disekitarnya untuk berdiri. Maka beberapa orang yang berada disekitar Rasulullah pun berdiri, tetapi dengan rasa enggan yang terlihat diwajah mereka. Kemudian orang-orang munafik memberikan reaksi dengan maksud mencela Nabi, mereka mengatakan bahwa Rasulullah itu tidak adil karena ada orang yang dahulu datang dengan maksud memperoleh tempat duduk didekatnya, tetapi malah disuruh berdiri agar tempat itu diberikan kepada orang yang terlambat datang. Maka sebagai jawabannya turunlah ayat ini.[8]

Konsep pendidikan Islam dalam Al-Qur`an surat Ali Imran ayat 125 
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. Hikmah: ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.
“Serulah kepada jalan Tuhan engkau dengan kebijaksanaan dan pengajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik”. (Pangkal ayat 125). Ayat ini adalah mengandung ajaran keapada Rasul SAW tentang cara melancarakn dakwah, atau seruan terhadap manusia agar mereka berjalan di atas jalan Allah. Nabi SAW memegang tampuk pimpinan dalam melakukan dakwah itu. Kepadanya dituntunkan oleh Tuhan bahwa di dalam melakukan dakwah hendaklah memakati tiga macam cara yaitu : pertama, Hikmah (Kebijaksanaan). Yaitu dengan cara bijaksana, akal budi yang mulia, dada yang lapang dan hati yang bersih menarik perhatian orang kapada agama, atau kepada kepercayaan terhadap Tuhan. Contoh-contoh kebijaksanaan itu selalu pula ditunjukkan Tuhan.
Kata “Hikmat” itu kadang-kadang diartikan orang dengan filsafat. Padahal dia adalah inti yang lebih halus dari filsafat. Filsafat hanya dapat difahamkan oeh orang-orang yang telah terlatih fikirannya dan tinggi pendapat logikanya. Tetapi Hikmat dapat menarik orang yang belum maju kecerdasannya dan tidak dapat dibantah oleh orang yang lebih pintar. Kebijaksanaan itu bukan saja dengan ucapan mulut, melainkan termasuk juga dengan tindakan dan sikap hidup. Kadang-kadang lebih berhikmat “diam” daripada “berkata”.
Yang kedua ialah Al Mau ‘izhatul Hasanah, yang kita artikan pengajaran yang baik, atau pesan-pesan yang baik, yang disampaikan sebagai nasihat. Sebagai pendidikan dan tuntunan sejak kecil. Sebab itu termasuklah dalam bidang “Al Mau’izhatil Hasanah”, pendidikan ayah-bunda dalam rumah tangga kepada anak-anaknya, yang menunjukkan contoh beragama di hadapan anak-anaknya, sehingga menjadi kehidupan mereka pula. Termasuk juga pendidikan dan pengajaran dalam perguruan-perguruan.
Pengajaran-pengajaran yang lebih besar kepada kanak-kanak yang belum ditumbuhi atau belum diisi lebih dahulu oleh ajaran-ajaran yang lain.Yang ketiga ialah “Jadil-hum billati hiya ahsan”, bantahlah mereka dengan cara lebih baik. Kalau telah terpaksa timbul perbantahan atau pertukaran fikiran, yang di zaman kita ini disebut polemik, ayat ini menyuruh agar, dalam hal yang demikian, kalau sudah tidak dapat dielakan lagi, pilihlah jalan yang sebaik-baiknya. Di antaranya ialah memperbedakan pokok soal yang tengah dibicarakan dengan perasaan benci atau sayang kepada pribadi orang yang tengah diajak berbantah. Misalnya seseorang yang masih kufur, belum mengerti ajaran Islam, lalu dengan sesuka hatinya saja mengeluarkan celaan kepada Islam, karena bodohnya. Orang ini wajib dibantah dengan jalan yang sebaik-baiknya, disadarkan dan diajak kepada jalan fikiran yang benar, sehingga dia menerima. Tetapi kalau terlebih dahulu hatinya disakitkan, karena cara kita membantah yang salah, mungkin dia enggan menerima kebenaran, meskipun hait kecilnya mengakui, karena hatinya telah disakitkan.
Ketiga pokok cara melakukan Dakwah ini, hikmat, mau’izhah hasanah dan mujadalah bil lati hiya ahsan, amatlah diperlukan di segala zaman. Seba dakwah atau ajakan dan seruan membawa ummat manusia kepada jalan yang benar itu, sekali-kali bukanlah propaganda, meskipun propaganda itu sendiri kadang-kadang menjadi bagian dari alat dakwah. Dakwah meyakinkan, sedang propaganda atau di’ayah adalah memaksakan. Dakwah dengan jalan paksa tidaklah akan berhasil menundukkan keyakinan orang. Apatah lagi dalam hal agama. Al-Qur’an sudah menegaskan bahwa dalam hal agama sekali-kali tidak ada paksaan. Dan diujung ayat ini dengan tegas Tuhan mengatakan bahwa urusan memberi orang petunjuk atau menyesatkan orang, adalah hak Allah sendiri; “Sesungguhnya Tuhan engkau, Dialah yang lebih tahu siapa yang dapat petunjuk” (Ujung ayat 125).
Demikianlah ayat ini telah dijadikan salah satu pedoman perjuangan, menegakkan Iman dan Islam di tengah-tengah berbagai-ragamnya masyarakat pada masa itu, yang kedatangan Islam adalah buat menarik dan membawa, bukan mengusir dan mengenyahkan orang. Dan sampai sekarang, ketiga pokok ini masih tetap terpakai, menurut perkembangan-perkembangan zaman yang modern.

Metode Pendidikan Menurut Al-Qur’an

Secara tersurat tidak ditemukan ayat- ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang metode pendidikan. Namun, jika dianalisis dari segi redaksi al-Qur’an dan cara Allah mengajarkan ajaran-ajaran-Nya kepada Rasul-rasul-Nya, ada beberapa metode yang dapat diadopsi menjadi metode pendidikan antara lain:

Metode Dialog

Ada beberapa ayat al-Qur’an yang disampaikan dengan cara dialog, baik dialog antara Allah dengan makhluk-Nya maupun dialog antara makhluk dengan makhluklainnya. Dialog antara Allah dengan makhluk-Nya dapat dilihat ketika Allah hendak menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi, Allah berdialog dengan malaikat, sebagaimana diungkapkan dalam QS al-Baqarah/2: 31.[9]Demikian juga dialog antara Allah dengan penghuni neraka yang digambarkan dalam ayat QS al- Shaffat/37: 20-23.[10]Adapun dialog antara makhluk dengan makhluk lainnya antara lain; dialog antara Nabi Syuaib dengan kaumnya sebagaimana disebutkan dalam QS Hud/11: 84-95.[11]Demikian juga dialog antara Nabi Musa dengan Nabi Khaidir sebagaimana dikisahkan di dalam QS al-Kahfi/18: 65- 72.[12]
Dari ayat-ayat tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa Allah swt. Menggu- nakan metode dialog dalam menyampaikan ajaran-ajaran-Nya. Hal ini menjadi petunjuk bahwa metode seperti itu dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Menurut Ahmad Tafsir, metode dialog mempunyai dampak yang dalam bagi pembi- cara dan juga bagi pendengar pembicaraan itu. Itu disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut: Pertama, dialog itu berlangsung secara dinamis karena kedua pihak terlibat langsung dalam pembicaraan dan tidak membosankan. Kedua, pendengar tertarik untuk mengikuti terus pembicaraan itu karena ia ingin tahu kesimpulannya. Ketiga, dapat membangkitkan perasaan dan menimbulkan kesan dalam jiwa, yang membantu mengarahkan seseorang menemukan sendiri kesimpulannya.Keempat, bila dialog dilakukan dengan baik, memenuhi akhlak tuntunan Islam, akan mening- galkan pengaruh berupa pendidikan akhlak dalamberbicara.[13]

Metode Kisah

Al-Qur’an menyampaikan pesan-pesannya juga menggunakan metode  kisah. Di dalam al-Qur’an di temukan sejumlah ayat yang berisi tentang kisah-kisah umat terdahulu.Kisah al-Qur'an banyak ragam dan bentuknya.Al-Qaththan membagi ki- sah dalam tigabentuk.[14]
Pertama, kisah-kisah tentang nabi-nabi terdahulu. Al-Qur’an mengungkapkan upaya dakwah yang dilakukan nabi terdahulu, kejadian dan peristiwa yang termasuk mukjizat yang diberikan Allah kepada mereka, sikap-sikap perlawanan dari kaum mereka, pertumbuhan dakwah, dan balasan bagi orang yang percaya (mukmin) dan mengingkari (mukadzdzib) dakwah para nabi. Di antara contoh kisah para nabi terdahulu adalah kisah Nabi Nuh dengan perahu penyelamat dan anaknya yang durhaka, kisah keteguhan Nabi Ibrahim melawan pejabat yang zalim, bahkan terhadap orang tuanya sendiri yang tidak mau beriman kepada Allah. Juga kisah Nabi Musa dengan kaummnya yang ’ngeyel’, kisah Nabi Harun, kisah perjuangan Nabi Isa, dan bahkan kisah perjuangan Nabi Muhammad sendiri. Selain itu, adapula kisah Nabi Ismail, Nabi Ya’kub, dan nabi-nabi lainnya.
Kedua, kisah-kisah tentang peristiwa masa lalu dan kisah tentang orang-orang tertentu yang tidak ditetapkan status kenabiannya. Sebagai contoh al-Qur’an mengi- sahkan keluarnya ribuan orang dari rumahnya karena takut akan kematian. Adapula kisah seseorang yang dijuluki al-Qur’an dengan Thalut dan Jalut, kisah dua anak Adam, Qabil dan Habil.Al-Qur’an juga menceritakan keluarga Kahfi, Dzul Qarnain, Qarun, Ashhab al-Sabt, Maryam, Asbab al-Ukhdud, Ashhab al-Fil.
Ketiga, kisah-kisah tentang peristiwa yang terjadi pada masa Nabi Muhammad. Sebagai contoh cerita tentang peperangan Badar dan Uhud yang disebutkan dalam surat Ali Imran, perang Hunain dan Tabuk yang dipaparkan dalam surat al-Taubah, perang Ahzab diceritakan dalam surat al-Ahzab. Adapula kisah tentang isra’ dan mi’raj Nabi Muhammad di bulan Ramadhan, kisah hijrah Nabi ke Madinah, dan kisah-kisah lainnya. Kisah-kisah al-Qur’an tersebut di atas menunjukkan cara Allah swt. untuk mendidik hamba-hamba-Nya agar beriman kepada-Nya. Ada beberapa kelebihan yang dapat diambil dari metode kisah al-Qur’an sebagai berikut.[15]
Pertama, kisah al-Qur’an selalu memikat karena mengundang pembaca atau pendengar untuk mengikuti peristiwanya dan merenungkan maknanya. Selanjutnya makna-makna itu akan menimbulkan kesan dalam hati pembaca atau pendengar tersebut. Kedua, kisah al-Qur’an dapat menyentuh hati manusia karena kisah itu me- nampilkan tokoh dalam konteksnya yang menyeluruh sehingga pembaca atau pende- ngar dapat ikut menghayati atau merasakan isi kisah itu, seolah-olah ia sendiri yang menjadi tokohnya. Ketiga, kisah al-Qur’an mendidik perasaan keimanan dengan cara:
1) membangkitkan berbagai perasaan seperti khauf, rida, dan cinta,
2) mengarahkan seluruh perasaan sehingga bertumpu pada suatu puncak yaitu kesimpulan kisah, dan
3) melibatkan pembaca atau pendengar ke dalam kisah tersebut, sehingga ia terlibat secara emosional.

Metode Amtsal (Perumpamaan)

Adakalanya Allah swt.mengajari hamba-hamba-Nya dengan membuat perum- pamaan-perumpamaan. Ada beberapa perumpamaan yang ditemukan dalam al- Qur’an, sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’a Surah Al-Baqarah/2: 17, Surah Al- Baqarah/2: 171, Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah QS al-Baqarah/2: 261,[16]dan perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang takwa QS Al-Ra’du/13: 35,[17]Perumpamaan kalimat yang baik adalah seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun. (QS Ibrahim/14: 24 & 26,[18]dan perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar QS Al-Nuur, 24:35,[19]serta perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui. (QS Al-’Ankabut/29:41).[20]
Dari uraian di atas terlihat dengan jelas bahwa Allah swt. menggunakan per- umpamaan-perumpamaan dalam menyampaikan ajaran-ajaran-Nya. Hal ini menjadi petunjuk bahwa cara seperti itu dapat juga digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Sedikitnya ada dua kelebihan yang dapat diperoleh dengan menggunakan metode ini; pertama, mempermudah peserta didik memahami konsep yang abstrak. Ini terjadi karena perumpamaan itu mengambil benda kongkrit; kedua, dapat merangsang kesan yang tersirat dari perumpamaantersebut.

Metode Keteladanan

Untuk memudahkan pemahaman dan pelaksanaan ajaran-ajaran yang diturun- kan kepada hamba-hamba-Nya maka Allah swt. menyebutkan beberapa tokoh yang dapat dijadikan teladan antara lain:
1)Keteladanan para Nabi, dapat dilihat dalam QS al-An’am/6: 90.[21]
2)Keteladanan Nabi Ibrahim as. dan umatnya, digambarkan dalam QS al-Mumtahanah/60: 4 dan 6.
3)Keteladanan Nabi Muhammad saw., dijelaskan dalam QS al-Ahzab/33: 21.[22]
4) Keteladanan orang-orang yang pertama-tama masuk Islam, dijelaskan dalam QS al-Taubah/9: 100.[23]dan
5)Keteladanan orang- orang yang beriman, hal ini dapat dilihat pada QS al-Thur/52: 21.[24]
Keteladanan tokoh-tokoh yang disebutkan di atas merupakan kunci kesuksesan mereka dalam mengembang tugas-tugas mereka yang diberikan oleh Allah swt. Da- lam dunia pendidikan, keteladanan merupakan unsur yang sangat penting. Peserta didik cenderung meneladani pendidiknya.Hal ini diakui oleh semua ahli pendidik- an, baik dari barat maupun timur.Dasarnya ialah bahwa secara psikologis anak memang senang meniru, tidak saja yang baik, yang jelek pun ditirunya.

 

Metode Targhib dan Tarhib

Targhib ialah janji terhadap kesenangan, kenikmatan di akhirat yang disertai bujukan.Tarhib ialah ancaman karena dosa atau pelanggaran yang dilakukan.Targhib dan tarhib bertujuan agar manusia mematuhi aturan Allah.[25]Selanjutnya di dalam al- Qur’an ditemukan sekitar 300.[26]ayat yang berisi tentang targhib dan tarhib antara lain:
a.    Ayat-ayat yang berisi targhib dapat dilihat dalam QS al-Baqarah/2: 25, QS Ali Imran/3: 57, QS al-Nisaa/4: 175, QS al-Taubah/9:88-89.[27]
b.   Ayat-ayat yang berisi metode tarhib, dapat dilihat pula dalam QS al-An’am/6: 147 dan dalam QS al-A'raf/7: 95, al-Anfaal/8: 25, dan QS al-Taubah/9:17.40
Contoh- contoh di atas menunjukkan bahwa salah satu cara Allah untuk memo- tivasi hamba-hamba-Nya dalam melaksanakan ajaran-ajaran-Nya sekaligus mence- gah mereka untuk melanggar larang-larangan-Nya, adalah dengan menggunakan metode targhib dan tarhib. Di dalam proses pembelajaran, motivasi merupakan fak- tor yang sangat menentukan keberhasil pembelajaran. Oleh karena itu, pendidik harus mampu membangkitkan motivasi peserta didiknya. Salah satu caranya adalah dengan memberikan penghargaan kepada peserta didik yang rajin dan bersungguh- sungguh serta memberikan sanksi bagi peserta didik yangmalas.

KESIMPULAN

Agama Islam adalah agama yang universal, yang mengajarkan umat manusia mengenai berbagai aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi.Salah satu di antara ajaran tersebut adalah mewajibkan kepada umat Islam untuk melakukan pendidikan.
Tujuan pendidikan menurut al-Qur’an adalah membina manusia sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya guna memba- ngun dunia ini sesuai dengan konsep yang di tetapkan oleh Allah atau dengan kata lain menjadikan manusia bertakwa kepada Allah swt.
Ada beberapa metode di dalam al-Qur’an yang dipergunakan oleh Allah swt. untuk menyampaikan ajaran-ajaran-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang dapat diadopsi menjadi metode pendidikan antara lain; metode dialog, metode kisah, metode perumpamaan, metode keteladanan, serta metode targhib dan tarhib.























DAFTAR PUSTAKA

Abdul Fattah Jalal, Min al-Usuli al-Tarbawiyah fi al-Islam, (Mesir: Darul Kutub Misriyah. 1977)

Abuddin NataIlmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group 2010)

Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2002)

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2010)

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Edisi yang Disempurnakan, Jilid, 4 (Jakarta: Departemen Agama, 2009)

http://al-quran.bahagia.us/7/12/2017

Konsep Pendidikan Dalam Al-quran(Sebuah Kajian Tematik)Hamzah DjunaidDosen UIN Alauddin Makassar DPK pada UIM Makassar


Selamat Pohan, Ilmu Pendidikan Islam, (Medan: KBPM Sumatera Utara 2015)

Syaikh Abdulmalik Bin Abdulkarim Amrullah (Hamka), Tafsir Al-Azhar Juzu’ XXIX, (Surabaya:
Yayasan Latimojong)



[1]. Konsep Pendidikan Dalam Al-quran(Sebuah Kajian Tematik)Hamzah DjunaidDosen UIN Alauddin Makassar DPK pada UIM Makassar

[2]. Syaikh Abdulmalik Bin Abdulkarim Amrullah (Hamka), Tafsir Al-Azhar Juzu’ XXIX, (Surabaya: Yayasan Latimojong) hlm. 194
[3]. Abuddin NataIlmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group 2010) cet. I hlm. 141
[4]. Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2002) cet. IV hlm. 42
[5]. Syaikh Abdulmalik Bin Abdulkarim Amrullah (Hamka), Tafsir Al-Azhar Juzu’ XXIX, (Surabaya: Yayasan Latimojong) hlm. 194-196
[6]. Selamat Pohan, Ilmu Pendidikan Islam, (Medan: KBPM Sumatera Utara 2015) cet. II hlm. 165
[7]. Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2002) cet. IV hlm. 151
[8]. Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2002) cet. IV hlm. 152
[9]. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Edisi yang Disempurnakan, Jilid, 4 Jakarta: Departemen Agama, 2009, h.74.
[10]. Ibid., Jilid 8, h.268.
[11]. Ibid., Jilid 4,  h. 455-463.
[12]. Ibid., Jilid 5,  h. 634-643.
[13]. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Rosdakarya, 2010, h. 136.
[14]. Abdul Fattah Jalal, Min al-Usuli al-Tarbawiyah fi al-Islam, Mesir: Darul Kutub Misriyah. 1977, h.32.
[15]. Ibid Ahmad Tafsir, h.140-141.
[16]. Ibid  Departemen Agama RI, , Jilid 1, h. 42, 247,390.
[17]. Ibid  Departemen Agama RI, , Jilid 5, h. 112
[18]. Ibid  Departemen Agama RI, , Jilid 5, h. 143
[19]. Ibid  Departemen Agama RI, , Jilid 6, h. 604
[20]. Ibid  Departemen Agama RI, , Jilid 7, h. 404
[21]. Ibid  Departemen Agama RI, , Jilid 3, h. 169
[22]. Ibid  Departemen Agama RI, , Jilid 7, h. 638
[23]. Ibid  Departemen Agama RI, , Jilid 4, h. 192
[24]. Ibid  Departemen Agama RI, , Jilid 9, h. 504
[25]. Ibid Ahmad Tafsir, h.146.
[26]. http://al-quran.bahagia.us/7/12/2017
[27]. Ibid Departemen Agama RI,Jilid 1, h. 61. 517. Jilid, 2, h. 340, Jilid. 4, h. 173.

0 komentar:

Posting Komentar