FILSAFAT DASAR IQRO'
MUHAMMAD RAJIV BAIDLOWI
NPM. 1706631
ABSTRAK
Al-qura-an Merupakan
petunjuk utama bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat. Didalamnya terdapat dasar- dasar hukum yang mengatur segala aspek kehidupan
manusia. Al-qur-an Terdiri dari 144 suratdari 144 surat tersebut peneliti
merasa tertarik dengan surat Al-alaq. Surat al-alaq terdiri dari 19 ayat yang
merupakan surat makkiyah yang membahas tentang perintah membaca al-qur-an.Di
dalam surat al-alaq tersebut terkandung konsep Filsafat Iqra’ dan utnuk
mempermudah penelitian, peneliti akan memecahkan konsep filsafat iqra’ kedalam
aspek tujuan metode membaca Al-qur-an.Hasil dari kajian konsep Filsafat
Iqra’dalam surat al-alaq ini adalah 1) tujuan konsep filsafat dalam surat
al-alaq adalah menjadikan pribadi masyarakat muslim yang dapat memanfaatkan
ilmu untuk dengan menguasai ilmu pengetahuan manusia akan memiliki kemampuan
sepiritual, berilmu dan moral.(2) memberikan doronganserta menumbuhkan rasa minat
membaca tentang bagaiamana langkah atau metode membaca khususnya membaca
al-qur-an.(3) merupakan salah satu metode pendidikan di dalam pengajaran
membaca Al-qur-an.
Pendahuluan
Latar belakang
Al Qur’an sebagai dasar hukum yang pertama
tidak di sangsikan lagi oleh umat islam bahwa al qur’an adalah sumber yang
asasi bagi syariat islam. Dari al qur’an inilah dasar-dasar hukum islam beserta
cabang-cabangnya digali.Agama islam, agama yang dianut oleh umat muslim di
seluruh dunia,merupakan way of life yang menjamin kebahagian
hidup pemeluknya di dunia dan di akherat kelak.
agama islam datang dengan al qur’annya membuka
lebar-lebar mata manusia agar mereka menyadari jati diri dan hakekat keberadaan
manusia di atas bumi ini. Juga, agar manusia tidak terlena dengan kehidupan
ini, sehingga manusia tidak menduga bahwa hidup mereka hanya di mulai denga
kelahiran dan kematian saja. Al qur’qn mengajak manusia berpikir tentang
kekuasaan Allah SWT. Dan dengan berbagai dalil, al qur’an juga mengajarkan
kepada manusia untuk membuktikan keharusan adanya hari kebangkitan, dan bahwa
kebahagiaan manusia pada hari itu akan di tentukan oleh sikap persesuaian hidup
mereka dengan apa yang dikehendaki oleh Sang Pencipta, Allah Yang Maha Kuasa.
Untuk mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia
dan di akherat kelak manusia membutuhkan peraturan-peraturan, gambarannya
adalah seperti halnya seseorang yang yang akan menuju suatu negeri atau kota
yang amat jauh. Ia haus berkendaraaan yang layak, dan harus mengikuti
rambu-rambu lalu lintas di sepanjang perjalanannya bila ia ingin selamat sampai
tujuan.
Pembahasan
A. Falsafah Dasar Iqra'
Iqra' atau
perintah membaca adalah kata pertama dari wahyu pertama yang diterima oleh Nabi
Muhammad saw. Kata ini sedemikian pentingnya sehingga diulang diulang dua kali
dalam rangkaian wahyu pertama. Mungkin mengherankan bahwa perintah tersebut
ditujukan pertama kali kepada seseorang yang tidak pernah membaca suatu kitab
sebelum turunnya Al-Quran (QS 29:48)
bahkan seorang yang tidak pandai membaca suatu tulisan sampai akhir hayatnya.
Namun, keheranan ini akan sirna jika disadari arti iqra' dan
disadari pula bahwa perintah ini tidak diturunkan kepada pribadi Nabi Muhammad
saw. semata-mata, tetapi juga untuk umat manusia sepanjang sejarah kemanusiaan,
karena realisasi perintah tersebut merupakan kunci pembuka jalan kebahagiaan
hidup duniawi dan ukhrawi.[1]
Kata iqra' yang
terambil dari kata qara'a pada mulanya berarti "menghimpun".
Apabila Anda merangkai huruf atau kata kemudian angka mengucapkan rangkaian
tersebut, Anda telah menghimpunnya atau, dalam bahasa Al-Quran, qara'tahu
qiratan. Arti asal kata ini menunjukkan bahwa iqra',
yang diterjemahkan dengan "bacalah", tidak mengharuskan
adanya teks tertulis yang dibaca, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar
oleh orang lain. Karenanya Anda dapat menemukan, dalam kamus-kamus bahasa,
beraneka ragam arti dari kata tersebut antara lain menyampaikan,
menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-cirinya, dan
sebagainya, yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada hakikat "menghimpun"
yang merupakan arti akar kata tersebut.
Iqra', demikian
perintah Tuhan yang disampaikan oleh Jibril. Tetapi apa yang harus dibacanya?
"Ma aqra'?" demikian pertanyaan Nabi -- dalam suatu
riwayat- setelah berulang kali Jibril menyampaikan perintah tersebut sambil
merangkul beliau.[2]
B. Akar Kata Qara'a dan pentingnya Membaca
Sehubungan dengan itu ada baiknya
kita menggali informasi dari Al-Quran tentang arti qara'a
yang terulang tiga kali dalam Al-Quran, masing-masing pada surah ke-17 ayat 14
dan surah ke-96 ayat 1 dan 3. Sedangkan kata jadian dari akar kata tersebut,
dalam berbagai bentuknya, terulang sebanyak 17 kali selain kata Al-Quran
yang terulang sebanyak 70 kali.
Jika diamati objek membaca pada
ayat-ayat yang menggunakan akar kata qara'a ditemukan bahwa
ia terkadang menyangkut suatu bacaan yang bersumber dari Tuhan (QS 17:45 dan
10:94) -- dan terkadang juga objeknya adalah suatu kitab yang merupakan
himpunan karya manusia atau dengan kata lain bukan bersumber dari Allah (lihat
misalnya QS 17:14).
Di sini, ditemukan perbedaan
antara membaca yang menggunakan akar kata qara'a
dengan membaca yang menggunakan akar kata tala
tilawatan di mana kata terakhir ini digunakan untuk bacaan-bacaan yang
sifatnya suci dan pasti benar (lihat misalnya QS 2:252 dan 5:27).
Di lain segi, dapat dikemukakan
suatu kaidah bahwa suatu kata dalam susunan redaksi yang tidak disebutkan
objeknya, maka objek yang dimaksud bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang
dapat dijangkau oleh kata tersebut. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa
karena kata qara'a digunakan dalam arti membaca, menelaah,
menyampaikan, dan sebagainya, dan karena objeknya tidak disebut sehingga
bersifat umum, maka objek kata tersebut mencakup segala yang dapat terjangkau
baik bacaan suci yang bersumber dari Tuhan maupun yang bukan, baik menyangkut
ayat-ayat yang tertulis maupun yang tidak tertulis, sehingga mencakup telaah
terhadap alam-raya, masyarakat dan diri sendiri, ayat suci Al-Quran, majalah,
koran, dan sebagainya.
Objek qira'at
yang demikian luas itu, memang dapat sedikit menyempit apabila dilihat dari
dirangkaikannya perintah membaca dengan qalam, baik pada
ayat keempat wahyu pertama maupun pada ayat kedua wahyu kedua yang menggunakan
salah satu huruf alpabet (surah Al-Qalam). Namun, harus diingat bahwa sekian
pakar tafsir kontemporer memahami kata qalam sebagai semacam
alat tulis-menulis sampai kepada mesin-mesin tulis dan cetak yang canggih, dan
juga harus diingat bahwa qalam bukan satu-satunya alat atau
cara untuk membaca atau memperoleh pengetahuan.
Perintah membaca, menelaah,
meneliti, menghimpun, dan sebagainya dikaitkan dengan "bi ismi
rabbika" ("dengan nama Tuhanmu").[3]
Pengaitan ini merupakan syarat sehingga menuntut dari si pembaca bukan saja
sekadar melakukan bacaan dengan ikhlas, tetapi juga antara lain memilih
bahan-bahan bacaan yang tidak mengantarnya kepada hal-hal yang bertentangan
dengan "nama Allah" itu.
Demikianlah, Al-Quran secara dini
menggarisbawahi pentingnya "membaca" dan keharusan adanya keikhlasan
serta kepandaian memilih bahan-bahan bacaan yang tepat.
C. Arti Kata Akram dan Dorongan Al-Quran
untuk Meningkatkan Minat Baca
Perintah membaca kedua ditemukan
sekali lagi dalam wahyu pertama. Tetapi, kali ini perintah tersebut
dirangkaikan dengan wa rabbuka al-akram. Ayat ini antara
lain merupkan dorongan untuk meningkatkan minat baca.
Dalam Al-Quran hanya dua kali
ditemukan kata al-akram, yaitu pada ayat ke-3 surah Al-'Alaq
dan pada ayat ke-13 surah Al-Hujurat, yaitu "inna akramakum
'ind Allah atqakum". Kata akram biasanya
diterjemahkan dengan "Maha Pemurah" atau "semulia-mulia".
Untuk memahami lebih jauh arti sebenarnya dari kata akram,
sewajarnya kita kembali kepada akar katanya yaitu karama yang
menurut kamus-kamus bahasa Arab antara lain berarti memberikan
dengan mudah dan tanpa pamrih, bernilai tinggi, terhormat, mulia,
setia, dan kebangsawanan.[4]
Dalam Al-Quran ditemukan kata karim
terulang sebanyak 27 kali. Kata tersebut menyifati 13 hal yang berbeda-beda,
seperti qawl (ucapan), rizq(rezeki), zawj
(pasangan), malak (malaikat), zhil
(naungan), kitab (surat), dan sebagainya.
Tentunya, pengertian yang dikandung
oleh sifat "karim" dari ayat yang berbeda-beda di atas harus
disesuaikan dengan subjek yang disifatinya. Kata "karim" pada
"qawl" (ucapan) tentu berbeda pengertiannya dengan kata
"karim" pada "rezeki" atau "zawj"
(pasangan). Ucapan yang karim adalah ucapan yang baik, indah terdengar, benar
susunan dan kandungannya, mudah dipahami serta menggambarkan segala sesuatu
yang pembicara ingin sampaikan. Sedang kata karim pada
"rezeki", yang dimaksud antara lain adalah banyak, bermanfaat,
serta halal. Kalau demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa kata karim
dan kemudian akram digunakan oleh Al-Quran untuk
menggambarkan segala sesuatu yang terpuji menyangkut subjek yang disifatinya.[5]
Kembali kepada "rabbuka
Al-Akram", yang disifati di sini adalah "Rabb"
(Tuhan Pemelihara). Apakah kata akram yang berbentuk superlative ini
akan dibatasi pengertiannya pada suatu hal tertentu? Jawabannya adalah tidak;
apalagi ayat ini adalah satu-satunya ayat di dalam Al-Quran yang menyifati
Tuhan dalam bentuk tersebut dari kata karim.
"Wa rabbuka Al-Akram"
mengandung pengertian bahwa Dia (Tuhan) dapat menganugerahkan puncak dari
segala yang terpuji bagi segala hambanya yang membaca.
Tentunya, kita sebagai makhluk tidak
dapat menjangkau betapa besar "karam" Tuhan.
Bagaimanakah makhluk yang terbatas ini dapat menjangkau sifat Tuhan Yang
Mahamutlak dan tidak terbatas itu? Namun demikian, sebagian darinya dapat
diungkapkan sebagai berikut:
"Bacalah, Tuhanmu akan
menganugerahkan dengan karam-nya
(kemurahan-Nya) pengetahuan tentang apa yang engkau tidak ketahui."
"Bacalah dan ulangi bacaan
tersebut walaupun objek bacaan sama, niscaya Tuhanmu dengan karam-Nya akan
memberikan pandangan/pengertian baru yang tadinya engkau belum peroleh pada
bacaan pertama dalam objek tersebut".
"Bacalah dan ulangi bacaan,
Tuhanmu akan memberikan kepadamu manfaat yang banyak tidak terhingga karena
Dia Akram(memiliki segala macam
kesempurnaan).[6]
Di sini kita dapat melihat perbedaan
antara perintah membaca pada ayat pertama dan perintah membaca pada ayat
ketiga. Yakni, yang pertama menjelaskan syarat yang harus dipenuhi seseorang
ketika membaca, sedangkan perintah kedua menjanjikan manfaat yang diperoleh
dari bacaan tersebut.
Tuhan dalam ayat ketiga ini
menjanjikan bahwa pada saat seseorang membaca "demi karena Allah",
maka Allah akan menganugerahkan kepadanya ilmu pengetahuan,
pemahaman-pemahaman, wawasan-wawasan baru walaupun yang dibacanya itu-itu juga.
Apa yang dijanjikan ini terbukti
secara sangat jelas dalam "membaca" ayat Al-Quran yaitu dengan
adanya penafsiran-penafsiran baru atau dengan pengembangan-pengembangan
pelbagai pendapat dari yang telah pernah dikemukakan. Hal ini terbukti pula
dengan sangat jelasnya dalam "pembacaan" alam raya ini, dengan
bermunculannya penemuan-penemuan baru yang membuka rahasia-rahasia alam.
D.
Peradaban
yang Dibangun oleh "Makhluk Membaca"
Demikianlah, perintah membaca
merupakan perintah yang paling berharga yang dapat diberikan kepada umat
manusia. Karena, membaca merupakan jalan yang mengantar manusia mencapai
derajat kemanusiaannya yang sempurna. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan
bahwa "membaca" adalah syarat utama guna membangun peradaban.
Dan bila diakui bahwa semakin luas pembacaan semakin tinggi peradaban, demikian
pula sebaliknya. Maka, tidak mustahil jika pada suatu ketika
"manusia" akan didefinisikan sebagai "makhluk membaca",
suatu definisi yang tidak kurang nilai kebenarannya dari definisi-definisi
lainnya semacam "makhluk sosial" atau "makhluk berpikir".
Sejarah umat manusia, secara umum,
dibagi dalam dua periode utama: sebelum penemuan tulis-baca dan sesudahnya,
sekitar lima ribu tahun yang lalu. Dengan ditemukannya tulis-baca, peradaban
manusia tidaklah merambah jalan dan merangkak-rangkak, tetapi mereka telah
berhasil melahirkan tidak kurang dari 27 peradaban dari peradaban Sumaria
sampai dengan peradaban Amerika masa kini. Peradaban yang datang mempelajari
peradaban yang lalu dari apa yang ditulis oleh yang lalu dan dapat dibaca oleh
yang kemudian. Manusia tidak lagi memulai dari nol, berkat kemampuan
tulis-baca itu.
Manusia bertugas sebagai 'abd
Allah dan juga sebagai khalifah fi al-ardh. Kedua
fungsi ini adalah konsekuensi dari potensi keilmuan yang dianugerahkan kepada
manusia, sekaligus sebagai persyaratan mutlak bagi kesempurnaan pelaksanaan dua
tugas tersebut.
Dengan ilmu yang diajarkan oleh
Allah kepada manusia (Adam), ia memiliki kelebihan dari malaikat, yang tadinya
meragukan kemampuan manusia untuk membangun peradaban (menjadi khalifah di bumi
ini). Dan dengan ibadah yang didasari oleh ilmu yang benar, manusia menduduki
tempat terhormat, sejajar bahkan dapat melebihi kedudukan umumnya malaikat.
Ilmu, baik yang kasbiy
(acquired knowledge) maupun yang ladunniy
(abadi, perennial), tidak dapat dicapai tanpa terlebih dahulu
melakukan qira'at -- pembacaan dalam arti yang luas.
Kekhalifahan menuntut hubungan
manusia dengan manusia, dengan alam serta hubungan dengan Allah. Kekhalifahan
menuntut juga kearifan. Karena, dalam kaitannya dengan alam, kekhalifahan
mengharuskan adanya bimbingan terhadap makhluk agar mampu mencapai tujuan
penciptaannya. Untuk maksud tersebut, dibutuhkan pengenalan terhadap alam raya.
Pengenalan ini tidak mungkin tercapai tanpa usaha qira'at
(membaca, menelaah, mengkaji, dan sebagainya).
Demikianlah, iqra' merupakan syarat pertama dan utama bagi keberhasilan manusia. Berdasarkan hal tersebut, tidaklah mengherankan jika ia menjadi tuntunan pertama yang diberikan Allah SWT kepada manusi
Demikianlah, iqra' merupakan syarat pertama dan utama bagi keberhasilan manusia. Berdasarkan hal tersebut, tidaklah mengherankan jika ia menjadi tuntunan pertama yang diberikan Allah SWT kepada manusi
Penutup
Kesimpulan
1.
Iqra' atau
perintah membaca adalah kata pertama dari wahyu pertama yang diterima oleh Nabi
Muhammad saw. Kata ini sedemikian pentingnya sehingga diulang diulang dua kali
dalam rangkaian wahyu pertama
2.
Al-Quran
secara dini menggarisbawahi pentingnya "membaca" dan keharusan adanya
keikhlasan serta kepandaian memilih bahan-bahan bacaan yang tepat. Perintah
membaca kedua ditemukan sekali lagi dalam wahyu pertama.
3.
Tetapi, kali
ini perintah tersebut dirangkaikan dengan wa rabbuka al-akram.
Ayat ini antara lain merupkan dorongan untuk meningkatkan minat baca.
4.
Demikianlah,
perintah membaca merupakan perintah yang paling berharga yang dapat diberikan
kepada umat manusia. Karena, membaca merupakan jalan yang mengantar manusia
mencapai derajat kemanusiaannya yang sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan
Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, halaman
167-171.
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, TerjemahanTafsir
Al-Maraghi, Semarang; Toha Putra,
1985.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta;
Ponpes al- Munawwir, 1984.
Nata, Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, Jakarta,
Pt. Raja Grafindo Persada, 2002.
Qardhawi, Yusuf, al-Qur’an Berbicara Tentang Akal
dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta,
Gema Insani, 1998.
Shihab, Quraish, Membumikan Al-Qur’an : Fungsi Dan
Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung, Mizan Pustaka, 2007.
Soemabrata, Iskandar AG, Pesan-pesan Numerik
Al-Qur’an, Jakarta, Republika, 2007.
Watt, W. Wontgomery, Pengantar Studi Al-Qur’an,
Penyempurnaan Atas Karya Bell, terj.
Taufiq Adnan Amal, Jakarta; Rajawali Pers, 1995.
[1]
http://tempatbagibagi.blogspot.com/2015/07/falsafah-dasar-iqra.html Di akses
pada tanggal 4 desember pukul 14.30 wib.
[2]Quraish
Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Tafsir Atas Surat-surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1997), hlm. 77-78.
[3]Dr. H. Abuddin Nata, MA., Tafsir
Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta, Pt. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 43.
Lihat juga, Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Terjemahan Tafsir Al-Maraghi,
(Semarang; Toha Putra, 1985), hlm. 326-329.
[4]Iskandar AG Soemabrata, Pesan-pesan
Numerik Al-Qur’an, (Jakarta, Republika, 2007), hlm. 99.
[5]Qurash
Shihab, Membumikan Al-Qur’an : Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat, hlm. 169.
[6]Yusuf Qardhawi, al-Qur’an
Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta, Gema Insani, 1998),
hlm. 235
0 komentar:
Posting Komentar