YULI AFIATI
NPM .706881
Jurusan
Tarbiyah Pasca Sarjana IAIN Metro
Pendidikan Agama Islam
ABSTRAK
Revolusi Mental Berbasis Al-Qur’an dan
Implikasinya Terhadap Guru Pendidikan Agama Islam (Telaah Karya-Karya M.
Quraish Shihab)..
Latar belakang penelitian ini adalah bahwa pada
kenyataannya bangsa Indonesia
mengalami dekadensi mental, dekadensi mental inilah yang sedang merasuki para
guru terutama guru pendidikan agama Islam di Indonesia. Kesalahan guru yang
paling utama adalah belum atau tidak bisa memberikan bekal dasar yang optimal
kepada peserta didik, hal ini disebabkan karena rendahnya aspek keilmuan dan
aspek akhlak seorang guru. Rendahnya dua aspek itulah yang nantinya tidak akan
bisa ditularkan kepada peserta didik secara optimal. Untuk itu, penelitian ini
mengangkat tema revolusi mental dalam rangka merubah secara besar-besaran
kondisi mental manusia dari yang tidak baik menuju kepada yang baik. Revolusi
mental yang ditawarkan dalam penelitian ini adalah revolusi mental yang digagas
oleh M. Quraish Shihab melalui karya-karya- karyanya. Ayat Al-Qur’an yang
dijadikan sebagai acuan untuk menjalankan revolusi mental adalah Q.S. Ar-Ra’du ayat 11 dan Q.S. Al-Anfal ayat 53. Dari dua ayat inilah
M. Quraish Shihab mengeluarkan gagasannya tentang isitlah mentalitas manusia dan bagaimana merevolusi
mental manusia tersebut. tentunya peneliti mengetahui hal tersebut dengan
menelaah karya-karya M. Quraish Shihab, karena itu penelitian ini diharapkan
dapat menggali pengetahuan kita tentang revolusi mental berbasis Al-Qur’an dan
mengimplikasikannya terhadap guru pendidikan agama Islam.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan
yang menggunkan pendekatan tematik. Pengumpulan datanya menggunakan metode
dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan teknik analisis isi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di dalam
Al-Qur’an ada istilah yang memiliki persamaan makna dengan kata mental. Istilah
tersebut adalah nafs, nafs inilah yang bisa melahirkan
perbuatan positif atau perbuatan negatif. Revolusi mental adalah bagaimana
memelihara nafs agar ketertarikan
untuk melakukan perbuatan positif lebih besar daripada melakukan perbuatan
negatif. Maka dari itu, perlu ada perhatian yang sangat besar untuk menjaga
kesucian nafs. Ada beberapa syarat
untuk memlihara nafs dalam konteks
perubahan atau revolusi mental: 1). Meneguhkan nilai-nilai, 2). Memiliki iradah
atau tekad yang kuat, 3). Memiliki kemampuan, baik kemampuan fisik maupun
non-fisik. Dalam konteks revolusi mental guru pendidikan agama Islam, ada
beberapa ayat Al-Qur’an yang dijadikan sebagai acuan sekaligus berimplikasi
terhadap perilaku guru pendidikan agama Islam. Implikasi tersebut mencakup
aspek keilmuan dan aspek akhlak seorang guru pendidikan agama Islam.
PENDAHULUAN
Pengertian revolusi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia salah satunya adalah perubahan yang cukup
mendasar dalam suatu bidang. Sedangkan pengertian mental
adalah bersangkutan dengan
batin dan watak manusia, yang bukan bersifat
badan atau tenaga.[1] Menurut
ahli psikologi pendidikan Dr.
Zakiah Daradjat berpendapat bahwa mental adalah semua unsur-unsur jiwa termasuk pikiran,
emosi, sikap (attitude) dan perasaan dalam keseluruhan dan kebulatannya akan
corak laku, cara menghadapi suatu hal yang menekan perasaan, mengecewakan,
menggembirakan atau menyenangkan dan sebagainya.[2]
Para ahli psikologi membagi manusia menjadi dua golongan:
bermental sehat dan bermental sakit. Menurut psikologi Dr. Kartini Kartono,
orang yang bermental sehat adalah yang mampu bertindak efesien, memiliki tujuan
hidup yang jelas, konsep diri yang baik, koordinasi antara segenap potensi
dengan usaha-usahanya, regulasi diri, integrasi kepribadian, dan batin yang
tenang. Sedangkan bermental sakit adalah yang terganggu
ketentraman hatinya. Sakit
mental tersebut tampak dalam perilaku sehari-hari: keras
kepala, suka berdusta, mencuri, menyeleweng, menyiksa orang lain, dan berbagai
tindakan negatif lainnya.[3]
Pada dasarnya untuk mengetahui apakah
seseorang atau individu sehat mentalnya atau tidak (terganggu mentalnya)
tidaklah mudah diukur atau diperiksa dengan
alat-alat seperti halnya
pada penyakit jasmani,
akan tetapi yang menjadi ukuran adalah merasakan diri kita sejauh mana
kondisi perasaan kita apakah sudah melampaui batas kewajaran atau tidak
seperti, rasa bersedih, kecewa, pesimis, rendah diri dan lain sebagainya. Dan seseorang atau individu
yang terganggu kesehatan mentalnya
ialah apabila tejadi kegoncangan emosi, kelainan tingkah laku atau tindakannya.[4]
Di dalam jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. XII, No. 2,
Desember 2015, Maragustam mengatakan dalam
tulisannya yang berjudul “Paradigma Revolusi Mental dalam
Pembentukan Karakter Bangsa Berbasis Sinergitas Islam dan Filsafat
Penddikan” bahwa mental
berkaitan dengan batin yang mewujud dalam cara berpikir, cara merasa,
dan cara bersikap atau meyakini yang melahirkan tindakan. Lebih lanjut
Maragustam mengemukakan yang dimaksud dengan revolusi mental pada
hakikatnya mengisi mental manusia dengan nilai-nilai luhur (nilai agama, nilai tradisi budaya dan nilai
falsafah bangsa) secara besar-besaran sehingga terbentuk karakter baik (good character).[5]
Pada hakikatnya paradigma revolusi mental adalah
pandangan baru tentang
perubahan besar dalam struktur mental manusia dalam membangun mentalitas good character. Struktur mental manusia
mewujud dan didasari dari 1) cara berpikir (pola pikir), 2) cara
meyakini (spiritual- hati), 3), dan cara bersikap (polarasa-karsa). Dari tiga
pola inilah mentalitas good character mewujud
dalam bentuk perilaku. Karakter seseorang baik dan jelek tergantung pada
mentalitas yang mendasarinya. Disamping tiga yang
mendasari tersebut (faktor internal) juga dipicu oleh faktor luar (eksternal).[6]
Jati diri manusia pada prinsipnya
mengacu kepada dua kata dalam Al-Qur’an yakni materi diwakili dengan kata basyar dan jism dan immateri diwakili dengan kata insan. Kata basyarah mengacu
pada aspek lahiriah atau perilaku
yang dapat tumbuh secara alami sesuai dengan makanan dan minuman yang
dikonsumsinya (Q.S. Al-Baqarah ayat
247) dan (Q.S. Al-Munafiqun ayat 4). Kedua ayat ini menunjukkan
bahwa kekuatan fisik dapat membantu seseorang dalam menjalankan tugas moralnya dan menjerumuskan seseorang ke dalam maksiat
(tuna karakter). Keperkasaan tubuh merupakan modal untuk sehat mental. Sedangkan
kata insan berasal dari tiga
kata yaitu anasa, nasiya, dan anisa. Kata anasa berarti melihat, mengetahui, dan minta izin. Kata nasia berarti lupa, dan kata anisa berarti jinak. Dari kata insan memberi petunjuk adanya kaitan
substansial antara manusia dengan kemampuan penalaran, manusia lupa terhadap
sesuatu hal, disebabkan ia kehilangan kesadaran terhadap sesuatu. Oleh karena
itu, dalam Islam dibenarkan, orang yang lupa tidak dibebani hukum atau tidak
diminta pertanggungjawaban. Disamping itu manusia adalah makhluk yang jinak, yang berbudaya, dan dapat mendidik dan dididik serta dapat
beradaptasi dengan lingkungan baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial.
Dengan kemampuan beradaptasi, manusia perlu direvolusi mentalnya dengan pemberian ilmu, yang dengan ilmu itu mempercepat mampu beradaptasi dengan lingkungan
alam dan sosial budaya dan mempersiapkan diri dengan berbagai
ilmu untuk mampu beradaptasi di masa yang akan
datang yang tantangannya lebih kompleks dan global. Jati diri manusia dapat
dididik (educandus/dipengaruhi) dan
mendidik (educandum /mempengaruhi) dalam kerangka revolusi mental. Sebagai konsekuensi
predikat educandum dan educandus itu, maka Allah memberikan
perangkat fitrah (sistem dan kecenderungan asli) berupa potensi internal aql (akal), qalb (hati-sprititual), dan nafs
(sisi dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk) dan potensi eksternal
yaitu kelenturan fisik. Berikut penjelasan yang berkaitan dengan aspek-aspek
mentalitas manusia yakni: [7]
Pertama, alat bagi mental
ialah aspek akal termasuk kata lubb yang
searti dengan akal. Akal adalah alat bagi mental yang berfungsi untuk: 1)
memahami dan menggambarkan sesuatu agar seseorang mencapai
hakikat yang menuntunnya beriman kepada-Nya (Q.S. Al-Baqarah ayat 73), 2) penuntun
seseorang memahami hakikat
kebenaran yang mengantarkannya kepada keimanan
(Q.S. Al-Baqarah ayat 164-165,
Q.S. Al-An’am ayat 50, Q.S. Al-Rum ayat
19-21, Q.S. Al-Baqarah ayat 197, Q.S.
Al-Ghasyiyah ayat 17, dan Q.S. Shad ayat 29), 3) daya dorong bermoral
(Q.S. Al-An’am ayat 151), 4) mengambil hikmah dari sesuatu peristiwa
(Q.S. Al-Baqarah ayat 186), dan 5)
alat dzikrullah (berdzikir/mengingat kepada Allah) dan alat memikirkan
ciptaan Allah. Kata ulu al bab menurut Al-Malikiy dan Ibnu Katsir adalah
orang yang mempunyai
akal sempurna. Dari penjelasan
di atas, menunjukkan bahwa akal disebut-sebut dalam Al-Qur’an disertai dengan
kedudukannya yang agung sambil diingatkan kepada kewajiban menggunakannya.
Karena akal menjadi penopang tiang agama, dan sebagai tempat penyandaran tugas
khalifah dan hamba. Untuk itu penyebutan akal selalu dalam bentuk kata kerja.
Orang yang tidak menggunakan akalnya dicap sebagai binatang
ternak (Q.S. Al-Furqan ayat 43-44, Q.S. Al-Mulk ayat 10, dan QS. Al-Anfal ayat 22.[8]
Kedua, alat bagi mental
berikutnya ialah aspek qalb (hati). Kata al- qalb
(mufrad-tunggal), dan al-quluub
(jamak-plural) yang berarti
spiritual- hati-perasaan. Menurut Imam Al-Ghazali bahwa hati ialah
sesuatu yang latiifah halus, bersifat
rabbaniyah (ketuhanan) dan kerohanian
yang ada hubungannya dengan jasmani. Hati yang halus itulah hakikat manusia
yang dapat menangkap segala rasa, mengetahui dan mengenal segala sesuatu bukan
hati dalam arti fisik. Kata al-fu’aad yang
secara bahasa berarti al-qalb pula,
serta kata saadr dan suuduur yang juga menunjuk pada kata al-qalb. Kata qalb terambil dari akar kata yang bersifat membalik karena
seringkali ia berbolak-balik. Al-Qur’an pun menggambarkan demikian, ada yang
baik, dan ada pula sebaliknya. Hati ini berisi keyakinan-spiritual yang diantaranya keyakinan
tauhid (Q.S. Ar-
Rum ayat 30 dan Q.S. Al-A’raf ayat 172).
Karena sifat hati itu bolak-balik, karenanya dapat direvolusi
menjadi good character. Diantara
fungsi hati ialah 1) tempat bersemayam iman (Q.S. Al-Hajj ayat 32), 2) hati alat ma’rifah (memperoleh ilmu)
(Q.S. Al-Hajj ayat 46 dan Q.S. Al-An’am
ayat 25), dan 3) pusat kesadaran mental-moral yang memiliki
kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk serta mendorong manusia memilih hal yang baik dan meninggalkan hal yang buruk.[9]
Ketiga, alat bagi mental berikutnya
ialah aspek nafs. Kata nafs berarti diri rasa-karsa. Al-Qur’an
mengisyaratkan bermacam-macam kecenderungan nafs
yakni nafs al-muthmainnah (nafs
yang tenang) (Q.S. Al-Fajr ayat
27), nafs al-waswasah yakni jiwa yang selalu
was-was dalam memilih
berbagai opsi dalam kehidupan, kebaikan atau keburukan, kebenaran atau
kesalahan, kenikmatan atau kesusahan, dan seterusnya (Q.S. Al-Qaf ayat 16), nafs
al-lawwamah yakni jiwa yang tidak pernah merasa cukup dan selalu
mencaci maki (Q.S. Al-Qiyamah
ayat 3) dan nafs ammarah bissu’ yakni jiwa yang selalu
mendorong berbuat kerusakan
dan tidak mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan (Q.S. Yusuf ayat 53). Dari pengertian
tersebut, secara umum kata nafs menunjuk
kepada sisi dalam manusia yang berpotensi untuk positif dan negatif, namun
diperoleh pula isyarat bahwa pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat
dari potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat daripada
daya tarik kebaikan. Karena itu manusia dituntut agar memelihara kesucian nafs, dan tidak mengotorinya (Q.S. Al- Syams ayat 9-10).[10]
Dari penjelasan ketiga aspek mentalitas manusia, dan
sesuai apa yang sudah dijelaskan di atas bahwasanya ketiga aspek mentalitas manusia dapat mewujud dalam bentuk perilaku. Karakter seseorang
baik dan jelek tergantung pada mentalitas yang mendasarinya. Sehingga
apabila manusia mampu
memaksimalkan ketiga aspek tersebut dan mampu memadukan antara ketiganya, maka ia akan berhasil mencapai
good character di dalam dirinya.
Paling tidak ada strategi yang dibutuhkan untuk
memaksimalkan dan memadukan ketiga aspek mentalitas manusia yang telah
dijelaskan di atas, peneliti sebut
strategi ini merupakan strategi dalam revolusi mental. Dalam penelitian ini,
peneliti memilih dan menggunakan Q.S. Ar-Ra’du
ayat 11 dan Q.S. Al-Anfal ayat
53 sebagai acuan
untuk melakukan revolusi mental. Setidaknya ada beberapa ranah
strategi revolusi mental yang secara tidak langsung termaktub dalam kedua ayat
tersebut. Tentunya peneliti tidak menggunakan penalaran sendiri dalam memahami
isi kandungan kedua ayat tersebut. Dengan demikian peneliti memilih dan
menggunakan pemikiran M. Quraish Shihab
melalui karya-karya besarnya untuk menelaah isi kandungan
kedua ayat tersebut. Bahwa menurut M. Quraish Shihab di dalam sebuah forum
mengatakan paling tidak ada tiga aspek yang dibutuhkan dalam revolusi mental yakni: 1) nilai-nilai yang dianut dan dihayati oleh manusia, 2)
iradat atau tekad dan kemauan keras untuk mewujudkan nilai-nilai yang dianut
dan dihayati, 3) kemampuan, kemampuan terdiri dari kemampuan fisik dan
kemampuan non-fiisk.[11]
Dalam buku karya Arif Rohman, disebutkan bahwa pendidik
adalah setiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai
tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi. Pendapat lain mengatakan bahwa pendidik
adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan
sasaran peserta didik. Pendidik juga bisa diartikan orang yang dengan sengaja
membantu orang lain untuk mencapai kedewasaan.[12]
Ada beberapa pengertian pendidik dalam Pendidikan Agama Islam yang disebutkan dalam
Al-Qur’an dan Hadis Nabi Saw.: Pertama,
Al-Murabbi, yaitu pendidik yang
berperan sebagai orang yang menumbuhkan, membina,
mengembangkan potensi anak didik serta
membimbingnya. Kedua, Al-Muallim,
yaitu pendidik yang berperan sebagai pemberi wawasan ilmu pengetahuan dan
keterampilan. Ketiga, Al-Muzakki, yaitu, pendidik yang
berperan sebagai orang yang membina mental dan karakter seseorang agar memiliki
akhlak mulia. Keempat, Al-Ulama, yaitu, pendidik yang berperan
sebagai peneliti yang berwawasan transendental serta memiliki kedalaman ilmu
agama dan ketakwaan yang kuat kepada Allah SWT. Kelima, Al-Rasikhun fi al-‘ilm, yaitu,
pendidik yang dapat berpikir secara mendalam dan
menangkap makna yang tersembunyi. Keenam, Ahl al-Dzikr, yaitu, pendidik yang tampil sebagai
pakar yang mumpuni dan menjadi
tempat bertanya dan rujukan. Ketujuh,
Ulul al-
Bab, yaitu, pendidik yang dapat menyinergikan hasil pemikiran rasional dan
hasil perenungan emosional. Kedelapan,
Al-Muaddib, yaitu, pendidik yang
dapat membina kader-kader pemimpin masa depan
bangsa yang bermoral. Kesembilan, Al-Mursyid, yaitu,
pendidik yang dapat menunjukkan sikap yang lurus dan menanamkan
kepribadian yang jujur dan terpuji. Kesepuluh,
Al-Fakih, yaitu pendidik yang
berperan sebagai ahli agama. Berdasarkan uraian tersebut, dapat
diketahui, bahwa yang dimaksud dengan
pendidik ialah tenaga
professional yang diserahi tugas dan tanggung jawab untuk menumbuhkan, membina,
mengembangkan bakat, minat, kecerdasan, akhlak, moral, pengalaman, wawasan, dan
keterampilan peserta didik. Seorang pendidik
adalah orang yang berilmu pengetahuan dan berwawasan luas, memiliki
keterampilan, pengalaman, berkepribadian mulia, memahami
yang tersurat dan tersirat, menjadi
contoh dan model bagi muridnya, senantiasa membaca
dan meneliti, memiliki keahlian yang dapat diandalkan, serta menjadi penasihat.[13]

PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan sumber-sumber
yang telah peniliti kumpulkan dan analisis tentang revolusi mental berbasis
Al-Qur’an, maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan antara lain:
1.
Menurut M. Quraish
Shihab ayat Al-Qur’an
yang dijadikan sebagai
acuan untuk revolusi mental terdapat dalam Q.S. Ar-Ra’du ayat 11 dan Q.S. Al-
Anfal ayat 53. Revolusi mental
merupakan istilah yang berlandaskan pada makna hijrah yaitu meninggalkan sesuatu yang buruk dan menuju kepada sesuatu yang baik. Menurut M.
Quraish Shihab, mental dalam Al-Qur’an diistilahkan sebagai nafs atau sisi dalam manusia. Sisi dalam
inilah yang bisa melahirkan perbuatan positif atau perbuatan negatif. Revolusi mental adalah bagaimana memelihara nafs agar ketertarikan untuk melakukan
perbuatan positif lebih besar daripada
melakukan perbuatan negatif.
Maka dari itu, perlu ada perhatian yang sangat besar untuk menjaga
kesucian nafs. Ada beberapa syarat
untuk memlihara nafs dalam
konteks perubahan atau
revolusi mental: Pertama, meluruskan
dan mengindahkan kembali nilai-nilai yang dianggap benar dan telah lama dianut
serta dimantapkan dalam hati. Kedua,
memiliki iradat atau tekad yang kuat untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut
kedalam aktifitas kehidupannya sebagai manusia. Ketiga, membangkitkan kemampuan, baik kemampuan fisik maupun
non-fisik.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana. 2010)
Arif Rohman, Memahami
Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: CV. Aswaja Perindo, 2013)
Al-Qur‘an Dan Terjemahnya, Jakarta: PT. Riels
Grafika. 2009.
M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Vol.6, (Jakarta: Lentera
Hati, 2011)
Maragustam,
“Paradigma Revolusi Mental Dalam
Pembentukan Karakter Bangsa Berbasis
Sinergitas Islam Dan Filsafat Pendidikan”, dalam
jurnal Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, Vol. XII, No. 2, Desember 2015
Menggulirkan Revolusi Mental di Berbagai Bidang, (Jakarta: Institut Darma Mahardika, 2015
Muhammad
Ihwan, “Peran Guru PAI Dalam Revolusi
Mental Siswa Dalam Perspektif Agama Islam Di SMP N 1 Yogyakarta”, Tesis,
Magister Pendidikan Islam Konsentrasi PAI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015
Zakiah
Daradjat, Pendidikan Agama Dalam
Pembinaan Mental, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1975)
[1]
WJS. Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, (Jakarta: PN. Balai Pustaka 1982), hal. 88.
[2] Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental, (Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1975),
hal. 35.
[3] Menggulirkan
Revolusi Mental di Berbagai Bidang,
(Jakarta: Institut Darma Mahardika, 2015), hal. 44.
[4] Muhammad Ihwan, “Peran Guru PAI Dalam Revolusi Mental Siswa Dalam Perspektif Agama
Islam Di SMP N 1 Yogyakarta”, Tesis, Magister Pendidikan Islam Konsentrasi
PAI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015, hal. 33.
[5] Maragustam, “Paradigma
Revolusi Mental Dalam Pembentukan Karakter Bangsa Berbasis Sinergitas Islam Dan Filsafat
Pendidikan”, dalam jurnal Pendidikan Agama Islam Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. XII, No. 2,
Desember 2015, hal. 163.
[11]M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Vol.6, (Jakarta: Lentera
Hati, 2011), hal. 233-236.
[13]
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam,
(Jakarta: Kencana. 2010), hal. 164-165.
0 komentar:
Posting Komentar