Beranda

Selasa, 02 April 2019

REVOLUSI MENTAL BERBASIS AL-QUR’AN

YULI AFIATI
NPM .706881
Jurusan Tarbiyah Pasca Sarjana IAIN Metro

Pendidikan Agama Islam

ABSTRAK
Revolusi Mental Berbasis Al-Qur’an dan Implikasinya Terhadap Guru Pendidikan Agama Islam (Telaah Karya-Karya M. Quraish Shihab)..
Latar belakang penelitian ini adalah bahwa pada kenyataannya bangsa Indonesia mengalami dekadensi mental, dekadensi mental inilah yang sedang merasuki para guru terutama guru pendidikan agama Islam di Indonesia. Kesalahan guru yang paling utama adalah belum atau tidak bisa memberikan bekal dasar yang optimal kepada peserta didik, hal ini disebabkan karena rendahnya aspek keilmuan dan aspek akhlak seorang guru. Rendahnya dua aspek itulah yang nantinya tidak akan bisa ditularkan kepada peserta didik secara optimal. Untuk itu, penelitian ini mengangkat tema revolusi mental dalam rangka merubah secara besar-besaran kondisi mental manusia dari yang tidak baik menuju kepada yang baik. Revolusi mental yang ditawarkan dalam penelitian ini adalah revolusi mental yang digagas oleh M. Quraish Shihab melalui karya-karya- karyanya. Ayat Al-Qur’an yang dijadikan sebagai acuan untuk menjalankan revolusi mental adalah Q.S. Ar-Ra’du ayat 11 dan Q.S. Al-Anfal ayat 53. Dari dua ayat inilah M. Quraish Shihab mengeluarkan gagasannya tentang isitlah  mentalitas manusia dan bagaimana merevolusi mental manusia tersebut. tentunya peneliti mengetahui hal tersebut dengan menelaah karya-karya M. Quraish Shihab, karena itu penelitian ini diharapkan dapat menggali pengetahuan kita tentang revolusi mental berbasis Al-Qur’an dan mengimplikasikannya terhadap guru pendidikan agama Islam.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yang menggunkan pendekatan tematik. Pengumpulan datanya menggunakan metode dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan teknik analisis isi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di dalam Al-Qur’an ada istilah yang memiliki persamaan makna dengan kata mental. Istilah tersebut adalah nafs, nafs inilah yang bisa melahirkan perbuatan positif atau perbuatan negatif. Revolusi mental adalah bagaimana memelihara nafs agar ketertarikan untuk melakukan perbuatan positif lebih besar daripada melakukan perbuatan negatif. Maka dari itu, perlu ada perhatian yang sangat besar untuk menjaga kesucian nafs. Ada beberapa syarat untuk memlihara nafs dalam konteks perubahan atau revolusi mental: 1). Meneguhkan nilai-nilai, 2). Memiliki iradah atau tekad yang kuat, 3). Memiliki kemampuan, baik kemampuan fisik maupun non-fisik. Dalam konteks revolusi mental guru pendidikan agama Islam, ada beberapa ayat Al-Qur’an yang dijadikan sebagai acuan sekaligus berimplikasi terhadap perilaku guru pendidikan agama Islam. Implikasi tersebut mencakup aspek keilmuan dan aspek akhlak seorang guru pendidikan agama Islam.

PENDAHULUAN
Pengertian revolusi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia salah satunya adalah perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang. Sedangkan pengertian mental adalah bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga.[1] Menurut ahli psikologi pendidikan Dr. Zakiah Daradjat berpendapat bahwa mental adalah semua unsur-unsur jiwa termasuk pikiran, emosi, sikap (attitude) dan perasaan dalam keseluruhan dan kebulatannya akan corak laku, cara menghadapi suatu hal yang menekan perasaan, mengecewakan, menggembirakan atau menyenangkan dan sebagainya.[2]
Para ahli psikologi membagi manusia menjadi dua golongan: bermental sehat dan bermental sakit. Menurut psikologi Dr. Kartini Kartono, orang yang bermental sehat adalah yang mampu bertindak efesien, memiliki tujuan hidup yang jelas, konsep diri yang baik, koordinasi antara segenap potensi dengan usaha-usahanya, regulasi diri, integrasi kepribadian, dan batin yang tenang. Sedangkan bermental sakit adalah yang terganggu ketentraman hatinya. Sakit mental tersebut tampak dalam perilaku sehari-hari: keras kepala, suka berdusta, mencuri, menyeleweng, menyiksa orang lain, dan berbagai tindakan negatif lainnya.[3]
Pada dasarnya untuk mengetahui apakah seseorang atau individu sehat mentalnya atau tidak (terganggu mentalnya) tidaklah mudah diukur atau diperiksa dengan alat-alat seperti halnya pada penyakit jasmani, akan tetapi yang menjadi ukuran adalah merasakan diri kita sejauh mana kondisi perasaan kita apakah sudah melampaui batas kewajaran atau tidak seperti, rasa bersedih, kecewa, pesimis, rendah diri dan lain sebagainya. Dan seseorang atau individu yang terganggu kesehatan mentalnya ialah apabila tejadi kegoncangan emosi, kelainan tingkah laku atau tindakannya.[4]
Di dalam jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. XII, No. 2, Desember 2015, Maragustam mengatakan dalam tulisannya yang berjudul “Paradigma Revolusi Mental dalam Pembentukan Karakter Bangsa Berbasis Sinergitas Islam dan Filsafat Penddikan” bahwa mental berkaitan dengan batin yang mewujud dalam cara berpikir, cara merasa, dan cara bersikap atau meyakini yang melahirkan tindakan. Lebih lanjut Maragustam mengemukakan yang dimaksud dengan revolusi mental pada hakikatnya mengisi mental manusia dengan nilai-nilai luhur (nilai agama, nilai tradisi budaya dan nilai falsafah bangsa) secara besar-besaran sehingga terbentuk karakter baik (good character).[5]
Pada hakikatnya paradigma revolusi mental adalah pandangan baru tentang perubahan besar dalam struktur mental manusia dalam membangun mentalitas good character. Struktur mental manusia mewujud dan didasari dari 1) cara berpikir (pola pikir), 2) cara meyakini (spiritual- hati), 3), dan cara bersikap (polarasa-karsa). Dari tiga pola inilah mentalitas good character mewujud dalam bentuk perilaku. Karakter seseorang baik dan jelek tergantung pada mentalitas yang mendasarinya. Disamping tiga yang mendasari tersebut (faktor internal) juga dipicu oleh faktor luar (eksternal).[6]
Jati diri manusia pada prinsipnya mengacu kepada dua kata dalam Al-Qur’an yakni materi diwakili dengan kata basyar dan jism dan immateri diwakili dengan kata insan. Kata basyarah mengacu pada aspek lahiriah atau perilaku yang dapat tumbuh secara alami sesuai dengan makanan dan minuman yang dikonsumsinya (Q.S. Al-Baqarah ayat 247) dan (Q.S. Al-Munafiqun ayat 4). Kedua ayat ini menunjukkan bahwa kekuatan fisik dapat membantu seseorang dalam menjalankan tugas moralnya dan menjerumuskan seseorang ke dalam maksiat (tuna karakter). Keperkasaan tubuh merupakan modal untuk sehat mental. Sedangkan kata insan berasal dari tiga kata yaitu anasa, nasiya, dan anisa. Kata anasa berarti melihat, mengetahui, dan minta izin. Kata nasia berarti lupa, dan kata anisa berarti jinak. Dari kata insan memberi petunjuk adanya kaitan substansial antara manusia dengan kemampuan penalaran, manusia lupa terhadap sesuatu hal, disebabkan ia kehilangan kesadaran terhadap sesuatu. Oleh karena itu, dalam Islam dibenarkan, orang yang lupa tidak dibebani hukum atau tidak diminta pertanggungjawaban. Disamping itu manusia adalah makhluk yang jinak, yang berbudaya, dan dapat mendidik dan dididik serta dapat beradaptasi dengan lingkungan baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Dengan kemampuan beradaptasi, manusia perlu direvolusi mentalnya dengan pemberian ilmu, yang dengan ilmu itu mempercepat mampu beradaptasi dengan lingkungan alam dan sosial budaya dan mempersiapkan diri dengan berbagai ilmu untuk mampu beradaptasi di masa yang akan datang yang tantangannya lebih kompleks dan global. Jati diri manusia dapat dididik (educandus/dipengaruhi) dan mendidik (educandum /mempengaruhi) dalam kerangka revolusi mental. Sebagai konsekuensi predikat educandum dan educandus itu, maka Allah memberikan perangkat fitrah (sistem dan kecenderungan asli) berupa potensi internal aql (akal), qalb (hati-sprititual), dan nafs (sisi dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk) dan potensi eksternal yaitu kelenturan fisik. Berikut penjelasan yang berkaitan dengan aspek-aspek mentalitas manusia yakni: [7]
Pertama, alat bagi mental ialah aspek akal termasuk kata lubb yang searti dengan akal. Akal adalah alat bagi mental yang berfungsi untuk: 1) memahami dan menggambarkan sesuatu agar seseorang mencapai hakikat yang menuntunnya beriman kepada-Nya (Q.S. Al-Baqarah ayat 73), 2) penuntun seseorang memahami hakikat kebenaran yang mengantarkannya kepada keimanan (Q.S. Al-Baqarah ayat 164-165, Q.S. Al-An’am ayat 50, Q.S. Al-Rum ayat 19-21, Q.S. Al-Baqarah ayat 197, Q.S. Al-Ghasyiyah ayat 17, dan Q.S. Shad ayat 29), 3) daya dorong bermoral (Q.S. Al-An’am ayat 151), 4) mengambil hikmah dari sesuatu peristiwa (Q.S. Al-Baqarah ayat 186), dan 5) alat dzikrullah (berdzikir/mengingat kepada Allah) dan alat memikirkan ciptaan Allah. Kata ulu al bab menurut Al-Malikiy dan Ibnu Katsir adalah orang yang mempunyai akal sempurna. Dari penjelasan di atas, menunjukkan bahwa akal disebut-sebut dalam Al-Qur’an disertai dengan kedudukannya yang agung sambil diingatkan kepada kewajiban menggunakannya. Karena akal menjadi penopang tiang agama, dan sebagai tempat penyandaran tugas khalifah dan hamba. Untuk itu penyebutan akal selalu dalam bentuk kata kerja. Orang yang tidak menggunakan akalnya dicap sebagai binatang ternak (Q.S. Al-Furqan ayat 43-44, Q.S. Al-Mulk ayat 10, dan QS. Al-Anfal ayat 22.[8]
Kedua, alat bagi mental berikutnya ialah aspek qalb (hati). Kata al- qalb (mufrad-tunggal), dan al-quluub (jamak-plural) yang berarti spiritual- hati-perasaan. Menurut Imam Al-Ghazali bahwa hati ialah sesuatu yang latiifah halus, bersifat rabbaniyah (ketuhanan) dan kerohanian yang ada hubungannya dengan jasmani. Hati yang halus itulah hakikat manusia yang dapat menangkap segala rasa, mengetahui dan mengenal segala sesuatu bukan hati dalam arti fisik. Kata al-fu’aad yang secara bahasa berarti al-qalb pula, serta kata saadr dan suuduur yang juga menunjuk pada kata al-qalb. Kata qalb terambil dari akar kata yang bersifat membalik karena seringkali ia berbolak-balik. Al-Qur’an pun menggambarkan demikian, ada yang baik, dan ada pula sebaliknya. Hati ini berisi keyakinan-spiritual yang diantaranya keyakinan tauhid (Q.S. Ar- Rum ayat 30 dan Q.S. Al-A’raf ayat 172). Karena sifat hati itu bolak-balik, karenanya dapat direvolusi menjadi good character. Diantara fungsi hati ialah 1) tempat bersemayam iman (Q.S. Al-Hajj ayat 32), 2) hati alat ma’rifah (memperoleh ilmu) (Q.S. Al-Hajj ayat 46 dan Q.S. Al-An’am ayat 25), dan 3) pusat kesadaran mental-moral yang memiliki kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk serta mendorong manusia memilih hal yang baik dan meninggalkan hal yang buruk.[9]
Ketiga, alat bagi mental berikutnya ialah aspek nafs. Kata nafs berarti diri rasa-karsa. Al-Qur’an mengisyaratkan bermacam-macam kecenderungan nafs yakni nafs al-muthmainnah (nafs yang tenang) (Q.S. Al-Fajr ayat 27), nafs al-waswasah yakni jiwa yang selalu was-was dalam memilih berbagai opsi dalam kehidupan, kebaikan atau keburukan, kebenaran atau kesalahan, kenikmatan atau kesusahan, dan seterusnya (Q.S. Al-Qaf ayat 16), nafs al-lawwamah yakni jiwa yang tidak pernah merasa cukup dan selalu mencaci maki (Q.S. Al-Qiyamah ayat 3) dan nafs ammarah bissu’ yakni jiwa yang selalu mendorong berbuat kerusakan dan tidak mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan (Q.S. Yusuf ayat 53). Dari pengertian tersebut, secara umum kata nafs menunjuk kepada sisi dalam manusia yang berpotensi untuk positif dan negatif, namun diperoleh pula isyarat bahwa pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat dari potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat daripada daya tarik kebaikan. Karena itu manusia dituntut agar memelihara kesucian nafs, dan tidak mengotorinya (Q.S. Al- Syams ayat 9-10).[10]
Dari penjelasan ketiga aspek mentalitas manusia, dan sesuai apa yang sudah dijelaskan di atas bahwasanya ketiga aspek mentalitas manusia dapat mewujud dalam bentuk perilaku. Karakter seseorang baik dan jelek tergantung pada mentalitas yang mendasarinya. Sehingga apabila manusia mampu memaksimalkan ketiga aspek tersebut dan mampu memadukan antara ketiganya, maka ia akan berhasil mencapai good character di dalam dirinya.
Paling tidak ada strategi yang dibutuhkan untuk memaksimalkan dan memadukan ketiga aspek mentalitas manusia yang telah dijelaskan di atas, peneliti sebut strategi ini merupakan strategi dalam revolusi mental. Dalam penelitian ini, peneliti memilih dan menggunakan Q.S. Ar-Ra’du ayat 11 dan Q.S. Al-Anfal ayat 53 sebagai acuan untuk melakukan revolusi mental. Setidaknya ada beberapa ranah strategi revolusi mental yang secara tidak langsung termaktub dalam kedua ayat tersebut. Tentunya peneliti tidak menggunakan penalaran sendiri dalam memahami isi kandungan kedua ayat tersebut. Dengan demikian peneliti memilih dan menggunakan pemikiran M. Quraish Shihab melalui karya-karya besarnya untuk menelaah isi kandungan kedua ayat tersebut. Bahwa menurut M. Quraish Shihab di dalam sebuah forum mengatakan paling tidak ada tiga aspek yang dibutuhkan dalam revolusi mental yakni: 1) nilai-nilai yang dianut dan dihayati oleh manusia, 2) iradat atau tekad dan kemauan keras untuk mewujudkan nilai-nilai yang dianut dan dihayati, 3) kemampuan, kemampuan terdiri dari kemampuan fisik dan kemampuan non-fiisk.[11]
Dalam buku karya Arif Rohman, disebutkan bahwa pendidik adalah setiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi. Pendapat lain mengatakan bahwa pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Pendidik juga bisa diartikan orang yang dengan sengaja membantu orang lain untuk mencapai kedewasaan.[12]
Ada beberapa pengertian pendidik dalam Pendidikan Agama Islam yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi Saw.: Pertama, Al-Murabbi, yaitu pendidik yang berperan sebagai orang yang menumbuhkan, membina, mengembangkan potensi anak didik serta membimbingnya. Kedua, Al-Muallim, yaitu pendidik yang berperan sebagai pemberi wawasan ilmu pengetahuan dan keterampilan. Ketiga, Al-Muzakki, yaitu, pendidik yang berperan sebagai orang yang membina mental dan karakter seseorang agar memiliki akhlak mulia. Keempat, Al-Ulama, yaitu, pendidik yang berperan sebagai peneliti yang berwawasan transendental serta memiliki kedalaman ilmu agama dan ketakwaan yang kuat kepada Allah SWT. Kelima, Al-Rasikhun fi al-‘ilm, yaitu, pendidik yang dapat berpikir secara mendalam dan menangkap makna yang tersembunyi. Keenam, Ahl al-Dzikr, yaitu, pendidik yang tampil sebagai pakar yang mumpuni dan menjadi tempat bertanya dan rujukan. Ketujuh, Ulul al- Bab, yaitu, pendidik yang dapat menyinergikan hasil pemikiran rasional dan hasil perenungan emosional. Kedelapan, Al-Muaddib, yaitu, pendidik yang dapat membina kader-kader pemimpin masa depan bangsa yang bermoral. Kesembilan, Al-Mursyid, yaitu, pendidik yang dapat menunjukkan sikap yang lurus dan menanamkan kepribadian yang jujur dan terpuji. Kesepuluh, Al-Fakih, yaitu pendidik yang berperan sebagai ahli agama. Berdasarkan uraian tersebut, dapat diketahui, bahwa yang dimaksud dengan pendidik ialah tenaga professional yang diserahi tugas dan tanggung jawab untuk menumbuhkan, membina, mengembangkan bakat, minat, kecerdasan, akhlak, moral, pengalaman, wawasan, dan keterampilan peserta didik. Seorang pendidik adalah orang yang berilmu pengetahuan dan berwawasan luas, memiliki keterampilan, pengalaman, berkepribadian mulia, memahami yang tersurat dan tersirat, menjadi contoh dan model bagi muridnya, senantiasa membaca dan meneliti, memiliki keahlian yang dapat diandalkan, serta menjadi penasihat.[13]
Dengan hakikat tugas guru yang demikian sebagaimana disebut di atas, maka terkait dengan tugas tersebut ada dimensi tanggung jawab. Dalam konteks ini, guru-guru yang baik adalah vital bagi suatu kemajuan dan juga keselamatan bangsa. Guru memiliki tanggung jawab tidak hanya menyampaikan ide-ide, akan tetapi ia menjadi suatu wakil dari suatu cara hidup yang kreatif, suatu simbol kedamaian dan ketenangan dalam suatu dunia yang dicemaskan dan aniaya. Oleh karenanya, guru merupakan penjaga peradaban dan pelindung kemajuan. Melalui usaha-usaha guru, pola kemasyarakatan dapat dilestarikan dan diperbaiki. Ia juga mengenalkan peserta didik dalam nilai-nilai etik, pencapaian-pencapaian budaya, doktrin-doktrin politik, adat istiadat sosial dan prinsip-prinsip ekonomi yang menentukan watak dan kualitas peradaban. Dalam konteks ini, guru pada hakikatnya ditantang untuk senantiasa mengemban tanggung jawab moral dan tanggung jawab ilmiah agar kebudayaan nasional kita dapat bertahan identitasnya, di samping dapat berkembang atau progresif dalam kompetisinya dengan perkembangan budaya-budaya asing. Dengan tanggung jawab moral, guru dituntut untuk dapat mengejawantahkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, bangsa dan negara dalam diri pribadi karena nilai-nilai itu harus senantiasa terpadu dengan diri orang yang menanamkan pada nilai agar usaha itu berhasil.



PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Berdasarkan sumber-sumber yang telah peniliti kumpulkan dan analisis tentang revolusi mental berbasis Al-Qur’an, maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan antara lain:
1.     Menurut M. Quraish Shihab ayat Al-Qur’an yang dijadikan sebagai acuan untuk revolusi mental terdapat dalam Q.S. Ar-Ra’du ayat 11 dan Q.S. Al- Anfal ayat 53. Revolusi mental merupakan istilah yang berlandaskan pada makna hijrah yaitu meninggalkan sesuatu yang buruk dan menuju kepada sesuatu yang baik. Menurut M. Quraish Shihab, mental dalam Al-Qur’an diistilahkan sebagai nafs atau sisi dalam manusia. Sisi dalam inilah yang bisa melahirkan perbuatan positif atau perbuatan negatif. Revolusi mental adalah bagaimana memelihara nafs agar ketertarikan untuk melakukan perbuatan positif lebih besar daripada melakukan perbuatan negatif. Maka dari itu, perlu ada perhatian yang sangat besar untuk menjaga kesucian nafs. Ada beberapa syarat untuk memlihara nafs dalam konteks perubahan atau revolusi mental: Pertama, meluruskan dan mengindahkan kembali nilai-nilai yang dianggap benar dan telah lama dianut serta dimantapkan dalam hati. Kedua, memiliki iradat atau tekad yang kuat untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut kedalam aktifitas kehidupannya sebagai manusia. Ketiga, membangkitkan kemampuan, baik kemampuan fisik maupun non-fisik.



DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana. 2010)
Arif Rohman, Memahami Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: CV. Aswaja Perindo, 2013)
Al-Qur‘an Dan Terjemahnya, Jakarta: PT. Riels Grafika. 2009.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Vol.6, (Jakarta: Lentera Hati, 2011)
Maragustam, “Paradigma Revolusi Mental Dalam Pembentukan Karakter Bangsa Berbasis Sinergitas Islam Dan Filsafat Pendidikan”, dalam jurnal Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. XII, No. 2, Desember 2015
Menggulirkan Revolusi Mental di Berbagai Bidang, (Jakarta: Institut Darma Mahardika, 2015
Muhammad Ihwan, “Peran Guru PAI Dalam Revolusi Mental Siswa Dalam Perspektif Agama Islam Di SMP N 1 Yogyakarta”, Tesis, Magister Pendidikan Islam Konsentrasi PAI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015
Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1975)




[1] WJS. Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN. Balai Pustaka 1982), hal. 88.
[2] Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1975), hal. 35.
[3] Menggulirkan Revolusi Mental di Berbagai Bidang, (Jakarta: Institut Darma Mahardika, 2015), hal. 44.
[4] Muhammad Ihwan, “Peran Guru PAI Dalam Revolusi Mental Siswa Dalam Perspektif Agama Islam Di SMP N 1 Yogyakarta”, Tesis, Magister Pendidikan Islam Konsentrasi PAI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015, hal. 33.

[5] Maragustam, “Paradigma Revolusi Mental Dalam Pembentukan Karakter Bangsa Berbasis Sinergitas Islam Dan Filsafat Pendidikan”, dalam jurnal Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. XII, No. 2, Desember 2015, hal. 163.
[6] Ibid,. hal. 164.

[7] Ibid., hal. 165
[8] Ibid., hal. 165-166
[9] Ibid., hal 166.
[10] Ibid., hal. 166-167.
[11]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Vol.6, (Jakarta: Lentera Hati, 2011), hal. 233-236.
[12] Arif Rohman, Memahami Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: CV. Aswaja Perindo, 2013), hal. 149.
[13] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana. 2010), hal. 164-165.

0 komentar:

Posting Komentar