AL-QUR’AN
DAN ILMU PENGETAHUAN
Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Akhir Semester pada Mata Kuliah
STUDI
AL-QUR’AN (TEORI DAN METODOLOGI)
Dosen
Pengampu : Dr. Abdurochman, M.Ed
MELAN
FERDIANSYAH
NPM
: 1706591
ABSTRAK
Sejak awal kelahirannya, Islam sudah memberikan penghargaan yang
begitu besar kepada ilmu. Salah satu pencerahan yang dibawa oleh Islam bagi
kemanusiaan adalah pemikiran secara ilmiah yang merujuk kepada Alquran dan
Hadits. Kesadaran para ilmuan muslim yang bersumber dari Alquran dan Hadits
memicu pencapaian terbesar dalam ilmu pengetahuan. Sifat lain yang diajarkan
oleh Alquran dan Hadits kepada kaum muslim adalah keterbukaan pikiran, yang
memungkinkan mereka mendapatkan ilmu pengetahuan dari peradaban lain tanpa
prasangka. Tujuan penulisan ini sebagai salah satu upaya membumikan Alquran dan
Hadits dengan mengkaji secara tematik khususnya tentang ilmu pengetahuan.
Artikel ini ditulis berdasarkan studi pustaka mengenai ilmu terkait serta
tafsir Alquran dan Hadits. Diketahui bahwa dalam Islam tidak ada satupun ilmu
yang berdiri sendiri dan terpisah dari bangunan epistemologis Islam, ilmu-ilmu
tersebut tidak lain merupakan bayan atau penjelasan yang mengafirmasi wahyu,
yang kebenarannya pasti. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
sebagai filter dalam mengantisipasi pengaruh negatif dari perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
PENDAHULUAN
Ada
tiga tanggapan ilmuwan Muslim terhadap sains modern. Yang kemudian
masing-masing pendapat itu akan menentukan bagaimana pandangan mereka pula
terhadap ide Islamisasi ilmu pengetahuan. Ziauddin Sardar mencatat–sebagaimana
dikutip M. Damhuri–ada tiga kelompok yang memandang ilmu pengetahuan modern
kini. Pertama, kelompok Muslim apologetik: kelompok ini menganggap ilmu
pengetahuan modern bersifat netral dan universal. Mereka berusaha melegitimasi
hasil-hasil penemuan ilmu pengetahuan dengan mencari padanan ayat-ayatnya yang
sesuai dengan teori dalam sains tersebut. Karena hanya sebagai bentuk apologia
saja maka pandangan kelompok ini hanya sebagai penyembuh luka bagi umat Islam
secara psikologis bahwa, umat Islam tidak ketinggalan zaman. Kedua, kelompok yang mengakui ilmu
pengetahuan Barat, tetapi berusaha mempelajari sejarah dan filsafat ilmuan agar
dapat menyaring elemen-elemen yang “tidak islami”. Dan yang ketiga,
kelompok yang percaya dengan adanya ilmu pengetahuan Islam dan berusaha
membangun islamisasi di seluruh elemen ilmu pengetahuan tersebut.[1]
Dalam
sejarah penafsiran, manusia mencoba mengerti kandungan al- Qur`an. Manusia dari
berbagai sudut pandang, dari berbagai titik tolak, demi mencapai tujuan-tujuan
tertentu; namun dapatlah dikatakan upaya itu tidak akan pernah selesai.
Apalagi kalau disadari al-Qur`an selalu terbuka untuk penafsiran-penafsiran dan
pemahaman baru yang sangat dinamik. Di antaranya tentang paradigma dan konsep
ilmu pengetahuan dalam perspektif al-Qur’an.[2]
Al-Qur`an
bukanlah buku, namun penuh dengan isyarat tentang ilmu pengetahuan. Oleh karena
itu, penulis akan mencoba menguraikan bagaimana paradigma dan konsep ilmu
pengetahuan dalam perspektif al-Qur`an. Untuk menghindari terjadinya pengertian
ganda tentang terminologi yang dipergunakan dalam tulisan ini maka perlu
pembatasan beberapa istilah.
Kata
“paradigma” memiliki beberapa pengertian: pertama, cara memandang
sesuatu. Kedua, dalam ilmu pengetahuan: model, pola, ideal. Dari
model-model ini fenomena yang dipandang, dijelaskan. Ketiga, totalitas
premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan atau mendefinisikan
suatu studi ilmiah konkret. Keempat, dasar untuk menyeleksi
problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset.3 Yang dimaksud paradigma dalam pembahasan di sini lebih
mendekati pada pengertian yang kedua, yaitu model, pola, ideal, dalam hal ini
adalah model atau pola ilmu menurut pandangan al-Qur`an.
Sedangkan
kata “ilmu” di sini pengertiannya bukan sebatas pada ilmu yang bersifat
kealaman atau fisika–sebagaimana definisi yang banyak dikemukakan oleh ilmuwan
modern sekarang ini yang lebih cenderung ke ilmu-ilmu yang empirik atau
sains–akan tetapi mencakup ilmu-ilmu metafisika atau yang non-empirik, yang
diakui keberadaannya dan kebenarannya sebagai ilmu.[3]
Adapun
yang dimaksud dengan al-Qur`an di sini adalah sebagaimana yang didefinisikan
oleh para ahli, di antaranya Muhammad Abduh. Ia mendefinisikan al-Qur`an
sebagai kalam mulia yang diturunkan oleh Allah kepada nabi yang paling
sempurna (Muhammad Saw), ajarannya mencakup keseluruhan ilmu pengetahuan. Ia
merupakan sumber yang mulia yang esensinya tidak dimengerti kecuali bagi orang
yang berjiwa suci dan berakal cerdas.[4]
PEMBAHASAN (ISI)
A.
Terminologi
Kata Ilmu dalam Al-Qur`an
Sekali
lagi, al-Qur`an bukanlah buku, tetapi isyarat-isyarat tentang ilmu banyak
termaktub dalam ayat-ayat suci al-Qur`an, baik mengenai istilah yang menunjuk
kata ilmu, objek-objek yang menjadi kajian ilmu, bagaimana cara memperoleh
ilmu, atau bagaimana pemanfaatan dan pengembangan ilmu. Apalagi kalau kita
lihat definisi al-Qur`an yang dikemukakan Muhammad Abduh di atas, bahwa
al-Qur`an ajarannya mencakup keseluruhan ilmu pengetahuan.
Dalam
al-Qur`an banyak sekali disebut pengungkapan kata ilmu dengan berbagai bentuk
kata jadiannya. Kata-kata tersebut dan frekuensinya sebagai berikut: `ilm (105),
`alima (35), ya`lamu (215), i`lam (31), yu`lamu (1),
`aliim (35), `alim (18), ma`lum (13), `alamin (73),
`alam (3), a`lam (49), `alim atau ulama` (163), `allam (4),
`allama (12), yu`allimu (16), `ulima (3), mu`allam (1),
dan ta`allama (2). [5]
Dari
kata jadian tersebut timbul berbagai pengertian: mengetahui, pengetahuan, orang
yang berpengetahuan, yang tahu, terpelajar, paling mengetahui segala sesuatu,
lebih tahu, sangat mengetahui, cerdik, mengajar, belajar, orang yang diajari
dan mempelajari.[6]
Untuk menemukan
pengertian tentang ilmu dalam al-Qur`an, tidak cukup hanya dengan mencari
kata-kata yang berasal dari kata i-l-m karena kata “tahu” itu tidak
hanya diwakili oleh kata tersebut. Minimal, ada beberapa kata yang mengandung
pengertian “tahu”, seperti: `arafa, dara, habara, sya`ara, ya`isa, ankara, basirah, dan hakim.
Kata
ilmu digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan.`Ilm
dari segi bahasa berarti kejelasan karena itu segala yang terbentuk dari
akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Perhatikan misalnya kata `alam (bendera),
`ulmat (bibir sumbing), `a`laam (gunung-gunung), `alamat (alamat)
dan sebagainya.[7]
B.
Pandangan
al-Qur`an tentang Ilmu Pengetahuan
Dalam
al-Qur`an, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia dipandang lebih
unggul ketimbang makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahannya. Ini
tercermin dari kisah kejadian manusia pertama yang dijelaskan al-Qur`an pada
surat al-Baqarah, 31-32:
“Dia
mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada
para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika
kamu mamang benar orang-orang yang benar!”. Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau,
tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada
Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Yang
dimaksud dengan nama-nama pada ayat di atas adalah sifat, ciri dan hukum
sesuatu. Ini berarti manusia berpotensi mengetahui rahasia alam raya. Manusia menurut al-Qur`an, memiliki potensi untuk
menyiduk ilmu dan mengembangkannya dengan seizin Allah. Karena itu, bertebaran
ayat yang memerintahkan manusia menempuh berbagai cara untuk mewujudkan hal
tersebut. Berkali-kali pula al-Qur`an menunjukkan betapa tinggi kedudukan orang
yang berpengetahuan. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur`an:
“Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (QS. al-Mujadalah: 11).
Pandangan
al-Qur`an tentang ilmu dapat diketahui prinsip- prinsipnya dari
analisis wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad dalam surat Al ‘Alaq :
1-5:
1. “Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2. Ia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. 3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah, 4.
Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam , 5. Ia mengajar kepada manusia
apa yang tidak diketahuinya.
Wahyu
pertama tersebut tidak menjelaskan apa yang harus dibaca karena al-Qur`an
menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut Bismi Rabbik,
dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Pengulangan membaca dalam wahyu
pertama ini bukan sekadar menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak akan
diperoleh kecuali mengulang-ulang bacaan atau dalam bahasa lain, membaca
hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan, tetapi hal itu
mengisyaratkan bahwa mengulang-ulang bacaan bismi Rabbik akan
menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru, walaupun yang dibaca masih itu-itu
juga.
Kata
iqra` dalam ayat tersebut akar katanya berarti menghimpun. Dari
menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami,
meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca, baik teks tertulis maupun
tidak. Jadi, iqra` berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah
ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri
sendiri, yang tertulis maupun tidak.
Dalam
wahyu pertama ini mengisyaratkan perintah untuk mengkaji ilmu. Kajian-kajian
tersebut meliputi tiga aspek, yaitu mengenai objek-objek yang menjadi kajian
ilmu, bagaimana cara memperoleh ilmu dan bagaimana pemanfaatan dan pengembangan
ilmu menurut pandangan al-Qur`an.
C.
Objek
Ilmu Pengetahuan dalam Pandangan al-Qur`an
Dalam pandangan
al-Qur`an, objek ilmu ialah segala ciptaan Allah, sekaligus ayat-ayat-Nya.
Ciptaan Allah ini meliputi alam materi dan non materi. Dengan
demikian, objek ilmu meliputi yang materi dan non materi, fenomena dan non
fenomena, bahkan ada wujud yang jangankan dilihat, diketahui oleh manusia pun
tidak. Al-Qur`an memberikan bermacam-macam nama kepada alam yang
menjadi objek kajian ilmu, di antaranya adalah:
1.
`alamin, yang berarti
alam semesta. Bentuk ini diungkapkan sebanyak 73 kali yang tersebar di berbagai
ayat, antara lain pada (QS, 1: 2), (QS, 2: 47, 122, 131, 251), (QS, 3: 33, 42,
92, 97, 108), (QS, 5: 20, 27, 115), (QS, 6: 45, 71, 86, 90, 162), dan
seterusnya;
2.
As Samawat wa Al Ardl, yang artinya
langit dan bumi. Bentuk as samawat diungkapkan sebanyak 99 kali,
sedangkan bentuk al ardl diungkapkan sebanyak 450 kali (al Baqi, 1980 :
236);
3.
Kull syai`in, yang artinya
segala sesuatu, diungkapkan sebanyak 202 kali yang tersebar di berbagai ayat,
antara lain dalam QS, 2: 20, 29, 106, 109, 113, 148, 155, 178, 231, 255, dan
seterusnya (al Baqi, 1980: 244);
4.
Makhluq (kholq), yang artunya
yang diciptakan, atau ciptaan, antara lain dalam (QS, 23:14), (QS, 37: 125).
Sedangkan mengenai adanya alam non materi sebagaimana ditegaskan dalam QS. al
Haaqah ayat 38-39: “Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat. 39. Dan
dengan apa yang tidak kamu lihat.”.[8]
Dengan
demikian, objek kajian ilmu menurut pandangan al-Qur`an luas sekali, tidak
sempit seperti pandangan sains modern yang cenderung berkutat pada alam materi
yang bisa diuji oleh panca indra manusia. Objek ilmu menurut mereka hanya
mencakup sains kealaman dan terapannya yang dapat berkembang secara kualitatif
dan penggandaan, variasi terbatas, dan pengalihan antarbudaya. Inilah yang membedakan pandangan antara sains modern
dan al-Qur`an mengenai objek ilmu.
Oleh karena
itu, sebagian ilmuwan Muslim–khususnya kaum sufi, melalui ayat-ayat
al-Qur`an–memperkenalkan ilmu yang mereka sebut al hadlarat al Ilahiyah al
khams (lima kehadiran Ilahi) untuk menggambarkan hierarki
keseluruhan realitas wujud. Kelima hal tersebut adalah:
1.
Alam nasut (alam
materi),
2.
Alam malakut (alam kejiwaan),
3.
Alam jabarut (alam
ruh),
4.
Alam lahut (sifat-sifat Ilahiyah),
5.
Alam hahut (wujud
zat Ilahi).
D.
Cara
Memeroleh Ilmu dalam Pandangan al-Qur`an
Cara
memperoleh ilmu dalam pandangan al-Qur`an sebagaimana diisyaratkan dalam wahyu
pertama, surat al Alaq 4-5:
“Yang
mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Ia mengajar kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya.”
Ayat
itu mengisyaratkan bahwa, ada dua cara memeroleh ilmu: Allah mengajar dengan
pena yang telah diketahui oleh manusia lain sebelumnya, dan Allah mengajar
manusia tanpa pena yang belum diketahuinya. Cara pertama, adalah
mengajar dengan alat, atau atas dasar usaha manusia. Cara kedua,
mengajar tanpa alat dan tanpa usaha manusia. Walaupun berbeda, keduanya berasal
dari satu sumber yaitu Allah Swt.15 Ilmu
yang diperoleh manusia atas dasar usaha manusia disebut ilmu kasbi.
Allah Swt telah membekali manusia sarana-sarana yang dapat digunakan untuk
usaha mencari ilmu ini, yaitu panca indra, akal dan hati. Sebagaimana
disebutkan dalam al-Qur`an surat an Nahl ayat 78:
“Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu
pun dan ia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur.”
Ada dua aliran
pengetahuan, dalam hubungannya dengan di atas. Pertama, adalah idealisme
atau lebih populer dengan sebutan rasionalisme; suatu aliran pemikiran yang
menekankan pentingnya peran akal, idea, kategori, form, sebagai sumber
ilmu pengetahuan. Di sini peran panca indra dinomorduakan. Menurut aliran ini,
pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Panca indra berfungsi
hanya untuk menangkap objek sehingga diperoleh data-data dari alam nyata dan
akallah yang mengolah data-data tersebut sehingga terbentuk pengetahuan. Kedua,
adalah realisme atau empirisme yang lebih menekankan peran ilmu pengetahuan. Di
sini peran akal dinomorduakan. Menurut aliran ini, pengetahuan yang benar
diperoleh melaui pengalaman panca indra terhadap objek-objek yang nyata.[9]
Adapun
metode yang disodorkan al-Qur`an dalam memeroleh ilmu kasbi ini, di
antaranya adalah sebagaimana tersirat dalam QS 2: 31:
“Dan
ia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku
nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!”
Setidaknya
ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam ayat tersebut; Adam diajari tentang
nama-nama benda menunjukkan proses belajar menghafal, dilanjutkan dengan proses
mengingat dengan menyebutkan kembali nama-nama tersebut. Metode ini telah
dibuktikan oleh para ahli terutama di bidang ilmu jiwa melalui beberapa uji
coba sehingga ditemukan bahwa proses terjadinya ilmu pengetahuan melalui
tahapan kognisi-afeksi-psikomotorik.
Selanjutnya
al-Qur`an menekankan perlunya pengamatan langsung pada objek. Hal ini antara lain
dapat dilihat ayat berikut:
“Kemudian
Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan
kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya [410].
Berkata Qabil: “Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti
burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Karena itu
jadilah ia seorang di antara orang-orang yang menyesal.” (QS.
5: 31).
Lebih
lanjut, ilmu yang diperoleh manusia tanpa usaha aktif disebut ilmu ladunni.
Wahyu, ilham, intuisi, firasat yang diperoleh manusia yang siap dan suci
jiwanya, atau apa yang diduga kebetulan yang dialami oleh ilmuwan yang tekun,
semuanya merupakan bentuk-bentuk pengajaran Allah yang tanpa qalam yang
ditegaskan oleh wahyu pertama tersebut.[10]
Adanya
ilmu ladunni ini sebagaimana termaktub dalam al-Qur`an: “Lalu mereka
bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba kami, yang telah kami
berikan kepadanya rahmat dari sisi kami, dan yang telah kami ajarkan kepadanya
ilmu dari sisi Kami.” (QS. al Kahfi: 65).
E.
Pengembangan
Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif al-Qur`an
Setidaknya
ada beberapa ayat al-Qur’an yang mengisyaratkan tentang metodologi dalam
menelaah ilmu pengetahuan:
1.
Observasi
(Pengamatan)
Al-Qur`an
dalam berbagai ayatnya senantiasa mendesak manusia untuk mengadakan observasi
terhadap ciptaan-Nya. Di antaranya, sebagaimana dalam QS Al `Araf: 185:
“Dan
apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu
yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka
kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah al-Qur’an itu?”
Dalam
ayat tersebut, al-Qur`an mengemukakan tema ayat yang bersifat sinkronis,
artinya berupa pandangan tentang eksistensi langit, bumi, manusia dan
sebagainya.[11] Berikutnya
adalah Surat Yusuf: 105 dan surat Ali `Imran: 191:
“Dan
banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka
melaluinya, sedang mereka berpaling dari padanya.“ (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau
maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Tema kedua ayat
di atas bersifat diakronis, artinya berupa pandangan tentang proses penciptaan
dan peristiwa-peristiwa pada masa lalu maupun yang akan datang. Bila dicermati
lebih mendalam, tiada satu pun ciptaan Allah yang tidak mengandung maksud dan
tujuan. Mulai dari penciptaan makhluk yang sangat sederhana, hingga penciptaan bintang-bintang
di ruang angkasa. Untuk mengungkap rahasia itu semua, diperlukan pemikiran yang
mendalam.[12]
Dalam
pengembangan ilmu pengetahuan, observasi dan meniru mekanisme kerja merupakan
hal yang lazim. Misalnya, meniru konsep fungsi sayap dari ekor burung dalam
pembuatan pesawat terbang, capung dalam design helikopter, ikan paus
dalam pembuatan kapal selam dan lain sebagainya.
Dalam
metode observasi, meniru dan eksperimentasi semata-mata dalam pengembangan
sains dan teknologi dirasa belum cukup. Untuk itu perlu adanya kemampuan
imajinasi yang kuat, analisis dan sintesa, terutama dalam hal-hal yang tidak
mungkin melalui observasi saja.
2.
Eksplorasi
(Pemaparan)
Pada
bagian ini, ilmu astronomi menempati posisi penting karena ia adalah ilmu
pengetahuan yang berkaitan dengan gerakan, penyebaran dan sifat benda-benda
samawi.[13] Di antara ayat yang mewakili al-Qur`an dalam pembahasan
ini adalah surat Yunus: 6, dan surat Yasin: 37-40:
“Sesungguhnya
pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di
langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi
orang- orang yang bertakwa.” “Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi
mereka adalah malam; kami tanggalkan siang dari malam itu, Maka dengan serta
merta mereka berada dalam kegelapan. 38. Dan matahari berjalan ditempat
peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. 39.
Dan telah kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia
sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang
tua. Tidaklah mungkin bagi Matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat
mendahului siang dan masing-masing beredar pada garis edarnya.”
Kedua ayat
tersebut memaparkan fenomena sesuai dengan hukum alam (sunnatullah) yang
berlaku, atau masih dalam tahap pemaparan (description). Bila
fenomena berupa pergantian siang dan malam akan diangkat
sebagai suatu metode ilmu pengetahuan maka seseorang harus menempuh prosedur
sebagaimana yang ditempuh dalam ilmu pengetahuan.
3.
Eksperimen
(Percobaan)
Eksperimen
merupakan kelanjutan dari metode-metode sebelumnya (observasi dan eksplorasi).
Dengan metode ini telah muncul berbagai cabang ilmu di antaranya geologi.
Geologi mempelajari gerak bumi, lapisan-lapisannya, serta hubungan dan
perubahannya. Dalam hal ini, al-Qur`an memberikan dorongan kuat untuk melakukan
penelitian tentang adanya kebenaran di balik fenomena fisik dari alam semesta.
Pada gilirannya, hal ini akan membawa penemuan-penemuan baru di dalam ilmu
pengetahuan mengenai sejarah alam, termasuk geologi, yang mempelajari tentang
terjadinya perubahan bentuk secara besar-besaran pada lapisan atas bumi,
strukturnya, perubahan cuaca, fosil, batu-batu karang dan sebagainya. Ayat berikut ini dapat dijadikan penanda untuk menggali
dan mengembangkan ilmu:
“Bukankah
kami Telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan? Dan gunung-gunung sebagai
pasak?” (QS, An Naba: 6-7).
“Dan
kami hamparkan bumi itu dan kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan
kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata.” (QS,
Qaaf: 7).
4.
Penalaran
dan Intuisi
Penalaran
terhadap proses kejadian manusia melahirkan ilmu kedokteran dan dengan intuisi manusia
mengenal ilmu jiwa. Secara fisik manusia dipelajari melalui ilmu kedokteran.
Isyarat mengenai hal itu tercantum dalam surat di bawah ini:
“Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2. Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. 3. Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah.” (QS.
Al `Alaq: 1-3).
“Maka hendaklah
manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? 6. Ia diciptakan dari air yang dipancarkan, 7. Yang keluar dari
antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.” (QS. At Thariq: 5-7).
Di
samping unsur jasmani yang menjadi pangkal tolak keberadaan manusia, unsur jiwa
juga tidak luput dari perhatian al-Qur`an. Allah berfirman:
“Dan
(juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS.
Adz Dzariyat: 21).
“Dan
jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), 8. Maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. 9. Sesungguhnya beruntunglah orang
yang mensucikan jiwa itu, 10. Dan Sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya.” (QS. As Syams: 7-10).
Di
dalam al-Qur`an di samping metode yang bersifat empirik, masih ada proses
pengembangan ilmu dengan metode ilham yang hanya diberikan pada beberapa orang
saja[14]
yang dipilih Allah tanpa membedakan dari suku bangsa
manapun. Itu artinya, bahwa Allah memberikan ilmu kepada siapa saja yang
memiliki kehendak dan dikehendaki-Nya. Dengan asumsi bahwa penemuan ilmu
pengetahuan dengan metode apa pun merupakan rahmat dari Allah melalui
orang-orang yang terpilih karena pada hakikatnya semua ilmu itu tidak lain
dari-Nya semata. Allah berfirman:
“Demikianlah
karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah
mempunyai karunia yang besar. (QS. 62: 4).
Pada dasarnya,
betapa pun hebatnya penemuan ilmu pengetahuan, secanggih apa pun, manusia tetap
tidak dapat menciptakan sesuatu. Dengan kata lain manusia hanya mengubah
bentuk, warna atau wujud dari sesuatu yang sudah ada. Manusia bisa membuat
robot, komputer dan lain sebagainya, namun materinya sudah lebih dulu
diciptakan oleh Allah. Manusia tidak akan pernah dapat menciptakan makhluk
hidup sekecil apa pun. Manusia hanya dapat merekayasa gen, tetapi gen itu telah
diciptakan Allah sebelumnya. Oleh karena itu, harus ada kesadaran teologis
untuk selalu memohon tambahan ilmu kepada Allah Swt.
5.
Konsepsi
al-Qur’an Mengenai Ilmu Pengetahuan
Kewajiban
pertama yang Allah perintahkan kepada manusia adalah mempelajari ilmu. Allah
ta’ala berfirman:
“Maka
ketahuilah (dapatkanlah ilmu), bahwa sesungguhnya tidak ada ilah yang berhak disembah
secara hak melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa)
orang-orang mukmin, lai-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu
berusaha dan tempat tinggalmu” (Muhammad: 19).
6.
Konsep
Islam Mengenai Kesehatan
Syariat
Islam datang membawa semua prinsip-prinsip kedokteran. Dalam al-Qur’an dan
hadis-hadis rasul terdapat penjelasan mengenai banyak penyakit kejiwaan dan
badan sekaligus menjelaskan terapinya yang bersifat material dan moral. Allah
ta’ala berfirman:
“Dan
Kami turunkan dari al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman” (Al Isra’ : 82).
Rasulullah
bersabda:
“Tidaklah
Allah menurunkan suatu penyakit melainkan Allah turunkan pula obatnya.
Diketahui oleh orang yang mengetahuinya dan tidak ditangkap oleh orang yang
tidak mengetahuinya.”
Dalam
kitab, Zadul Ma’a>d fi> Hadyi Khairil Iba>d karangan Imam Ibnu
al-Qoyyim terdapat penjelasan secara rinci mengenai hal itu. Silakan dirujuk
kembali kitab tersebut karena termasuk di antara kitab-kitab Islam yang paling
bermanfaat, paling autentik dan paling lengkap dalam menjelaskan Islam dan
perjalanan hidup Rasulullah.[15]
7.
Konsep
Islam Mengenai Interaksi Antarmanusia
Allah
memerintahkan seorang Muslim untuk menjadi manusia pun. Manusia
hanya dapat merekayasa gen, tetapi gen itu telah diciptakan Allah sebelumnya.
Oleh karena itu, harus ada kesadaran teologis untuk selalu memohon tambahan
ilmu kepada Allah Swt.
8.
Konsepsi
al-Qur’an Mengenai Ilmu Pengetahuan
Kewajiban
pertama yang Allah perintahkan kepada manusia adalah mempelajari ilmu. Allah
ta’ala berfirman:
“Maka
ketahuilah (dapatkanlah ilmu), bahwa sesungguhnya tidak ada ilah yang berhak
disembah secara hak melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi
(dosa) orang-orang mukmin, lai-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat
kamu berusaha dan tempat tinggalmu” (Muhammad: 19).
9.
Konsep
Islam Mengenai Kesehatan
Syariat
Islam datang membawa semua prinsip-prinsip kedokteran. Dalam al-Qur’an dan
hadis-hadis rasul terdapat penjelasan mengenai banyak penyakit kejiwaan dan
badan sekaligus menjelaskan terapinya yang bersifat material dan moral. Allah
ta’ala berfirman:
“Dan
Kami turunkan dari al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman” (Al Isra’ : 82).
Rasulullah
bersabda:
“Tidaklah
Allah menurunkan suatu penyakit melainkan Allah turunkan pula obatnya.
Diketahui oleh orang yang mengetahuinya dan tidak ditangkap oleh orang yang
tidak mengetahuinya.”
Dalam
kitab, Zadul Ma’a>d fi> Hadyi Khairil Iba>d karangan Imam Ibnu
al-Qoyyim terdapat penjelasan secara rinci mengenai hal itu. Silakan dirujuk
kembali kitab tersebut karena termasuk di antara kitab-kitab Islam yang paling
bermanfaat, paling autentik dan paling lengkap dalam menjelaskan Islam dan perjalanan
hidup Rasulullah.
10. Konsep Islam Mengenai Interaksi Antarmanusia
Allah
memerintahkan seorang Muslim untuk menjadi manusia yang saleh dan
berupaya untuk menyelamatkan umat manusia dari kegelapan menuju cahaya Islam.[16] Ia
memerintahkan supaya ikatan yang menyambungkan antara seorang Muslim dengan
lainnya hanyalah ikatan iman kepada-Nya. Sehingga ia akan mencintai hamba-hamba
Allah yang saleh lagi taat kepada Tuhan dan rasul sekalipun mereka itu orang
terjauh, kafir dan orang-orang yang membangkang. Inilah ikatan yang menghimpun
antara dua pihak dan menyatukan antara dua sisi di mana amat berbeda dengan
ikatan keturunan, tanah air dan kepentingan-kepentingan materialistik karena
semua itu akan cepat memudar. Dalam kaitannya dengan hal ini Allah berfirman:
“Kamu tidak akan
mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling
berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara
ataupun keluarga mereka.” (Al Mujadilah: 22).
“Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertaqwa diantara kamu.” (Al Hujurat: 13).
11. Konsep Islam Mengenai Kerjasama dan Gotong Royong
Sosial
Allah
memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk kerjasama dan saling tolong-menolong,
baik dalam hal moral maupun material sebagaimana telah dijelaskan pada bab
zakat dan sedekah. Ia mengharamkan seorang Muslim menyakiti sesama manusia
sekecil apa pun. Allah mewajibkan orang Mukmin mencintai saudaranya sebagaimana
ia mencintai dirinya sendiri dan membenci bagi saudaranya apa yang dia benci
untuk dirinya. Allah ta’ala berfirman:
“Dan
tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (Al Maidah: 2).
“Sesungguhnya
orang-orang Mukmin itu bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu.” (Al Hujurat: 10).
“Tidak
ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan
dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau
mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian
karena mencari keridhoan Allah maka Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (An
Nisa: 114).
KESIMPULAN
Al-Qur`an
bukanlah buku ilmu pengetahuan, tetapi isyarat-isyarat tentang ilmu pengetahuan
banyak ditemukan dalam ayat-ayat al-Qur`an, baik mengenai term-term yang
menunjuk kata ilmu, objek-objek yang menjadi kajian ilmu, metode-metode yang
digunakan dalam perolehan ilmu dan bagaimana pemanfaatan dan pengembangannya.
Dalam pandangan al-Qur`an, objek ilmu pengetahuan ialah segala ciptaan Allah,
yang sekaligus merupakan ayat-ayat-Nya, meliputi alam materi dan alam non
materi, fenomena dan non fenomena.
Ada
dua cara memperoleh ilmu pengetahuan: Allah mengajar dengan pena yang telah
diketahui oleh manusia lain sebelumnya, dan Allah mengajar manusia tanpa pena
yang belum diketahuinya. Cara pertama adalah mengajar dengan alat, atau atas
dasar usaha manusia. Cara kedua, mengajar tanpa alat dan tanpa usaha manusia.
Ilmu yang diperoleh manusia atas dasar usaha manusia disebut ilmu kasbi.
Ilmu yang diperoleh manusia tanpa usaha manusia disebut ilmu ladunni. Walaupun
berbeda, keduanya berasal dari satu sumber: Allah Swt.
Adapun pandangan
al-Qur`an mengenai pemanfaatan ilmu pengetahuan, melaui iqra` bismi Rabbika,
digariskan bahwa titik tolak pencarian ilmu pengetahuan, pemanfaatan,
pengembangan, demikian juga tujuan akhirnya, haruslah karena Allah. Jadi,
semboyan “ilmu untuk ilmu” tidak dikenal dalam Islam. Apa pun ilmunya, materi
pembahasannya harus bismi Rabbika, atau dengan kata lain harus bernilai Rabbani.
Sehingga ilmu pengetahuan yang dalam kenyataannya dewasa ini mengikuti
pendapat sebagian ahli “bebas nilai”, harus diberi nilai Rabbani oleh
ilmuwan Muslim.
[1] Imam Syafi`ie,
Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Al Qur`an (Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 71.
[2] Jujun S
Suriasumantri, Ilmu dalam Pesrpektif, Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia,
1985), h. 6.
[3] Lorens Bagus,
Kamus Filsafat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 779.
[4] Muhaimin
et.al, Kawasan dan Wawasan Studi Islam (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 83.
[5]Lihat, M. Dawam
Raharjo, Ensiklopedi Al Qur`an, Ulumul Qur`an No. 4, Vol. 1, 1990, h. 102-103.
[6] Ibid.
[7] M. Quraish
Shihab, Wawasan al- Qur`an (Bandung: Mizan, 2006), h. 434.
[8] Abd. Muhammad
Fuad Al Baqi, Al Mu`jam al Mufahras li Alfaz al-Qur`an al-Karim (Beirut: Dar Al
Fikri li al Thaba`ah wa al Nasyr wa al Tauzi, 1980), h. 236.
[9] Imam Syafi`ie,
Konsep Ilmu Pengetahuan dalam al- Qur`an..., h. 61.
[10] M. Quraish
Shihab, Wawasan al-Qur`an..., h. 434.
[11] Suharno, Berpikir Islami, Al Jami`ah, Dirasah Islamiyah (Yogyakarta:
t.p., 1990), h. 18.
[12] Imam Syafi`ie, Konsep Ilmu Pengetahuan dalam al- Qur`an...,
h. 69.
[13] Afzalur Rahman, Al Qur`an Sumber Ilmu Pengetahuan,
terj. H.M. Arifin (Jakarta: Bina Aksara, 1989), h. 58.
[14] Salah satu di antaranya adalah proses pengembangan roket.
Setidak-tidaknya ada tiga orang yaitu: Tsolkovsky, seorang guru besar dari
Rusia; Robert H. Goddard saintist dari Amerika; dan Herman Obseth seorang
professor Matematika Romania. Lihat, Marwah Daud Ibrahim, Etika, “Strategi Ilmu
dan teknologi Masa Depan”, Ulumul Qur`an, No. 4 Vol. 1, 1990, h. 72.
[15] Imam Syafi`ie, Konsep Ilmu Pengetahuan dalam al- Qur`an...,
h. 67.
[16] Suharno, Berpikir Islami, Al Jami`ah, Dirasah Islamiyah...,
h. 55.
0 komentar:
Posting Komentar