BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah penulisan Hadits sering
kali menjadi bahan kontroversi di kalangan sebagian kaum muslim. Ada sebagian
yang menolak untuk menerima otentisitas Hadits Nabi lantaran mereka berargumen
bahwa Hadits Nabi ditulis dan dibukukan dua abad sesudah wafatnya Nabi Muhammad
SAW, suatu rentang waktu yang agak lama berlalu sehingga dapat menyebabkan
timbulnya perubahan dan pergeseran lafazh serta makna Hadits yang bersangkutan.
Sementara di sisi yang lain ada
sebagian kaum yang secara tekstual menerima begitu saja Hadits Nabi tanpa
mempedulikan kesahihan dan ketidaksahihannya. Pada makalah ini penulis mencoba
berusaha secara ringkas untuk mengemukakan penjelasan yang benar tentang
penulisan dan pembukuan Hadits Nabi sejak mulai abad ke 2 H sampai dengan abad
ke 7 H hingga sekarang.
Haditst adalah Segala ucapan
perbuatan dan perilaku Rasulullah SAW.[1]
yang merupakan salah satu pedoman hidup
umat islam dimana kedudukan hadits disini adalah sebagai sumber hukum islam
yang ke 2 (dua) setelah al-Quran. Didalam ilmu hadits pun terdapat pula sejarah
dan perkembangan hadits pada masa prapembukuan (kodifikasi). Mudah-mudahan
dengan mengetahui sejarah pembukuan hadits kita menjadi bijak dan arif dalam
menghadapi zaman yang serba instan dan bisa membawa misi islam Rahmatan lil’alamin.
Dari latar belakang sejarah
perkembangan hadits yang dikemukakan banyak ulama tersebut, penulis akan
mencoba membahas tentang pengertian hadits dan sunnah, Asal usul hadis dan
sunnah serta Sejarah hadis pada Masa Rasulullah, Masa Sahabat dan Masa Setetelah
Sahabat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendahuluan
Sejarah penulisan Hadits sering kali menjadi bahan kontroversi di kalangan
sebagian kaum muslim. Ada sebagian yang menolak untuk menerima otentisitas
Hadits Nabi lantaran mereka berargumen bahwa Hadits Nabi ditulis dan dibukukan
dua abad sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW, suatu rentang waktu yang agak lama
berlalu sehingga dapat menyebabkan timbulnya perubahan dan pergeseran lafazh
serta makna Hadits yang bersangkutan. Mereka ini beranggapan hanya berdasarkan
asumsi rasional semata dan tidak melihat serta meneliti berbagai argumen yang
bisa diterima oleh syari’at Islam serta tidak mengkaji serta menelaah sejarah
penulisan dan pembukuan dengan benar. Sementara di sisi yang lain ada sebagian
kaum yang secara tekstual menerima begitu saja Hadits Nabi tanpa mempedulikan
kesahihan dan ketidaksahihannya. Pada makalah ini penulis mencoba berusaha
secara ringkas untuk mengemukakan penjelasan yang benar tentang penulisan dan
pembukuan Hadits Nabi sejak mulai abad ke 2 H sampai dengan abad ke 7 H hingga
sekarang.
Para ulama tidak sependapat dalam menyusun sejarah pertumbuhan dan
perkembangan hadits Nabi SAW. Ada yang membaginya pada tiga periode saja, yaitu
masa Rasulullah SAW, Shahabat dan Tabi’in, masa pentadwinan dan masa setelah
tadwin.[2]
Sejarah dan Periodesasi penghimpunan Hadits mengalami masa yang lebih
panjang dibandingkan dengan dialami oleh Al-Quran, yang hanya memerlukan waktu
relatife pendek, yaitu sekitar 15 tahun saja. Penghimpunan dan penulisan
(tadwin) Hadits memerlukan waktu sekitar tiga abad.Yang dimaksud dengan
Periodisasi penghimpunan Hadits disini adalah fase-fase yang telah ditempuh dan
dialami dalam sejarah pembinaan dan perkembangan Hadits, sejak Rasulullah SAW
masih hidup sampai terwujudnya kitab-kitab yang dapat disaksikan dewasa ini.
Penyusunan kitab Hadits atau penulisan Hadits di dalam sebuah kitab belum
terjadi pada masa Rasulullah SAW dan demikian juga belum ada pada masa
Shahabat. Pada masa Rasulullah SAW memang ada riwayat yang berasal dari Nabi
yang membolehkan untuk menuliskan Hadits, namun penulisan Hadits pada masa
Rasulullah SAW masih dilakukan oleh orang perorang yang sifatnya pribadi dan
tertentu pada orang-orang yang membutuhkan menuliskannya atau diizinkan oleh Rasulullah
SAW untuk menulisnnya.
Penulisan Hadits pada masa Rasulullah SAW dan demikian juga pada masa
Shahabat belumlah bersifat resmi. Para Shahabat di masa pemerintahan Khulafa'
al-Rasyidin, pada umumnya, menahan diri dari melakukan penulisan Hadits. Hal
tersebut karena adanya larangan Rasulullah SAW untuk menulis Hadits-Hadits
beliau. Namun demikian, di samping adanya larangan, di sisi lain Rasulullah SAW
juga memberi peluang kepada para Shahabat untuk menuliskan Hadits-hadits
beliau. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya kontroversi dalam hal penulisan
Hadits antara adanya larangan dan kebolehan dalam menuliskan Hadits.
Haditst adalah Segala ucapan perbuatan dan perilaku Rasulullah SAW.[3]
yang merupakan salah satu pedoman hidup
umat islam dimana kedudukan hadits disini adalah sebagai sumber hukum islam
yang ke 2 (dua) setelah al-Quran. Didalam ilmu hadits pun terdapat pula sejarah
dan perkembangan hadits pada masa prapembukuan (kodifikasi). Mudah-mudahan
dengan mengetahui sejarah pembukuan hadits kita menjadi bijak dan arif dalam
menghadapi zaman yang serba instan dan bisa membawa misi islam Rahmatan
lil’alamin.
Dari latar belakang sejarah perkembangan hadits yang dikemukakan banyak
ulama tersebut, penulis akan mencoba membahas tentang pengertian hadits dan
sunnah, Asal usul hadis dan sunnah serta Sejarah hadis pada Masa Rasulullah,
Masa Sahabat dan Masa Setetelah Sahabat.
B. Pengertian Hadis dan Sunnah
1. Pengertian Hadis dan Sunnah
a. Hadis
Kata hadits
merupakan isim yang secara bahasa berarti kisah, cerita, pembicaraan,
percakapan atau komunikasi baik verbal maupun lewat tulisan.[4] Ada
sejumlah ulama yang merasakan adanya arti “baru” dalam kata hadits lalu
mereka menggunakannya sebagai lawan kata qodim (lama), dengan
memaksudkan qodim sebagai Kitab Allah, sedangkan yang “baru” ialah apa
yang disandarkan kepada Nabi saw. Dalam Syarah al-Bukhari, Syaikh Islam Ibnu
Hajar berkata: “Yang dimaksud dengan hadits menurut pengertian syara’ ialah apa
yang disandarkan kepada Nabi saw. dan hal itu seakan-akan sebagai bandingan
al-Qur’an adalah qodim.[5]
Di dalam
al-Qur’an kata hadits disebut sebanyak 28 kali dengan rincian 23 dalam
bentuk mufrad dan 5 dalam bentuk jamak (ahadits). pengertian hadits secara
lebih rinci. Kata hadits yang terdapat dalam al-Qur’an maupun kitab-kitab
Hadits secara literal mempunyai beberapa arti sebagai berikut:[6]
1. Komuikasi religius, pesan atau al-Qur’an,
sebagaimana terdapat
dalam QS.al-Zumar:23
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ
الْحَدِيثِ كِتَابًا
Artiya:“Allah telah
menurunkan perkataan yang
paling baik
(yaitu)
al-Qur’an”.
Juga dalam Hadits Nabi yang diriwiyatkan oleh al-Bukhari: “Sesungguhnya
sebaik-baik hadits (cerita) adalah Kitab Allah (al-Qur’an)”
2. Cerita duniawi atau kejadian alam pada umumnya, seperti
dalam al-Qur’an QS. al-An’am: 68
وَإِذَا رَأَيْتَ
الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آَيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي
حَدِيثٍ غَيْرِهِ
Artinya: “Dan apabila kamu
melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah
mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain”. Juga dalam
Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari: “Dan orang-orang yang
mendengar hadits (cerita) sedangkan mereka benci terhadapnya”
3. Cerita Sejarah (historical stories) sebagaimana
terdapat dalam QS. Taha: 9
وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ
مُوسَى
Artinya: “Dan apakah telah
sampai kepadamu kisah Musa”. Dan juga terdapat dalam Hadits Nabi: “Ceritakanlah
mengenai Bani Israil dan tidak mengapa”
4. Rahasia atau pecakapan yang masih hangat sebagaimana
terdapat dalam QS. at-Tahrim: 3
وَإِذْ أَسَرَّ
النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا
Artinya: “Dan ingatlah
ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari
isteri-isterinya suatu peristiwa”. Juga dalam Hadits Nabi yang diriwayatkan
oleh al-Tirmizy: “Apabila seseorang mengungkapkan hadits (rahasia) kemudian
kemudian dia mengembara maka kata-katanya adalah suatu amanah”
Secara
terminologi, ulama mendefinisikan hadits sebagai segala sabda,
perbuatan-perbuatan taqrir (ketetapan) dan hal
ikhwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
saw. Secara terminologi, ahli hadits dan ahli ushul berbeda
pendapat dalam memberikan pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits sendiri pada umumnya mendefinisikan
hadits sebagai segala sabda, perbuatan, taqrir, (ketetapan),
dan hal ikhwal yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad
saw.[7]
Masuk ke
dalam pengertian “hal ikhwal” segala yang diriwayatkan dalam kitab-kita tarikh,
seperti hal kelahirannya, tempatnya, dan yang bersangkut paut dengan itu, baik
sebelum diutus maupun sesudah diutus. Berdasarkan definisi tersebut, maka
bentuk-bentuk Hadits dapat dibedakan sebagai berikut: 1. sabda, 2. perbuatan,
3. taqrir, dan 4. hal ikhwal Nabi saw. Kalangan ulama Ushul mendefinisikan
hadits sebagai segala perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi saw. yang berkaitan
dengan hukum. Oleh karena itu, tidak masuk dalam kategori hadits sesuatu yang
tidak bersangkut paut dengan hukum seperti urusan pakaian.[8]
Menurut pendapat lain, hadits
adalah segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan (qauly),
perbuatan (fi’ly), ataupun ketetapan (taqriry). Pada umumnya
ulama hadits memberi pengertian, bahwa yang dimaksud dengan hadits adalah segala
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan (qauly),
perbuatan (fi’ly), ataupun ketetapan (taqriry),dalam pengertian
inilah, maka ulama hadits menyamakan hadits dengan istilah sunnah. Ada
pula ahli hadits yang berpendapat, bahwa kata hadits menunjukkan kepada
penampilan kepribadiaan beliau. Meskipun demikian, penampilan kepribadian nabi,
menurut ahli fiqih tidak termasuk kategori hadits. Dengan demikian menurut
umumnya ulama hadits, bahwa bentuk-bentuk hadits atau sunnah adalah segala
berita yang berkenan dengan perkataan (qauly), perbuatan (fi’ly),
ketetapan (taqriry)/hal-ihwal nabi Muhammad saw. Sedangkan yang dimaksud
dengan ihwal adalah segala sifat dan pribadi.[9]
Dari penjelasan pendapat-pendapat
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hadits merupakan segala perkataan,
perbuatan, ketetapan berkitan dengan hukum yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW.
b.
Sunnah
Sunnah menurut istilah
Muhadditsin ialah segala sesuatu yang dinukilkan dari nabi saw baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir), pengajaran, sifat, kelakuan,
perjalanan hidup baik yang sebelum nabi saw diangkat menjadi Rasul ataupun
sebelumya. Sedangkan sunnah menurut ahli ushul fiqih ialah segala yang
dinukilkan dari nabi saw, baik perkataan maupun perbuatan atau ketetapan
(taqrir) yang berkaitan dengan hukum.[10]
Sunnah secara etimologi berarti
tata cara dan tingkah laku atau perilaku hidup, baik perilaku itu terpuji
maupun tercela.[11]
Sunnah secara bahasa adalah jalan
atau tradisi yang baik dan buruk. Sedangkan pengertian sunnah secara
terminology berbeda pendapat di kalangan para ahli. Ada yang membedakan
pengertian sunnah dan hadits serta ada pula yang menyamakannya. Istilah sunnah
di kalangan para ulama hadits pada umumnya menyamakan hadits dengan sunnah. Sedangkan
di kalangan para ulama ushul membedakan pengertian antara istilah hadits dan
sunnah.[12]
Menurut M.M. Azami istilah
“sunnah” disebutkan dalam beberapa ayat berikut ini:[13]
1.
Surat an-Nisa’: 26
يُرِيدُ اللَّهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِكُمْ وَيَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Allah hendak
menerangkan hukum syari’ah-Nya kepadamu dan menunjukkanmu ke jalan yang
orang-orang sebelum kamu (yaitu para nabi dan orang-orang saleh), serta hendak
menerima taubatmu. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
2.
Surat al-Anfal: 38
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ
وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الْأَوَّلِينَ
Artinya: “Katakanlah (wahai
Muhammad) kepada orang-orang kafir, apabila mereka menghentikan perbutannya
maka dosa-dosa mereka yang telah lalu akan diampuni, dan apabila mereka tetap
kembali untuk melakukan perbuatan itu maka sunnah (aturan) orang-orang dahulu
sudah berlaku.”
3.
Surat al-Isra’: 77
سُنَّةَ مَنْ قَدْ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنْ رُسُلِنَا وَلَا تَجِدُ
لِسُنَّتِنَا تَحْوِيلًا
Artinya:“(Kami menetapkan hal
itu) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum
kamu, dan kamu tidak akan menemukan perubahan dalam ketetapan Kami”.
4. Surat al-Fath: 23
سُنَّةَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلُ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ
اللَّهِ تَبْدِيلًا
Artinya:“Sebagai suatu
sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, dan kamu tidak akan menemukan
perubahan dalam sunnatullah itu”.
Dari ayat-ayat di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa dalam al-Qur’an kata-kata “sunnah” dimaknai dengan
arti secara etimologis, yaitu tata cara dan kebiasaan.
Adapun sunnah menurut pendapat
lain adalah segala yang dinukil dari Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan,
perbuatan, ketetapan , sifat dan tingkah laku Nabi yang mempunyai nilai ibadah
dan hukum. Sunah pada dasarnya hampir sama dengan hadist. Perbedaannya hadist
lebih bersifat umum sedangkan sunnah lebih bersifat khusus. Hadist adalah
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw tanpa terkecuali,
sedangkan sunnah adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan
perbuatan beliau yang mempunyai akibat hukum dan ibadah.[14]
Ada banyak pendapat yang
mengatakan soal perbedaan sunnah dan hadis. Kalau sunnah dikatakan sebagai
segala perbuatan dan perkataan Nabi Muhammad, maka hadis oleh berbagai ulama
dikatakan sebagai catatan tentang perbuatan, perkataan, dan perizinan Nabi
Muhammad yang sampai saat ini. Yang dimaksud catatan adalah dokumentasi
tertulis terhadap segala bentuk perbuatan, perkataan dan perizinan Nabi
Muhammad yang diriwayatkan oleh berbagai ulama. Hadis yang paling banyak
dipakai adalah hadis riwayat Bukhari dan Muslim. Oleh karena itu, sunnah dan
hadis menjadi sumber hukum Islam yang menjadi pedoman umat muslim.[15]
Sebetulnya sunnah dan hadis
memiliki kesamaan secara substantif, yaitu segala perilaku Nabi Muhammad yang
berupaya ditiru dan menjadi pedoman hidup umat Islam. Meskipun secara
klasifikasi dalam tatanan fiqh maupun ushul fiqh dibedakan secara jelas, tetapi
secara substansi sunnah dan hadis adalah sama. Jadi, antara sunnah dan hadis
pada dasarnya sama dalam hal isi, materi, dan substansi. Hanya saja, sunnah
lebih bersifat umum, sedangkan hadis lebih bersifat khusus. Oleh karena itu,
sunnah dan hadis dalam terminologi fiqh atau hukum Islam sudah dianggap
identik, meskipun secara keilmuan bidang kajian ushul fiqh diklasifikasikan
antara sunnah dan hadis.[16]
Dengan begitu, kesamaan sunnah
dan hadis terletak pada kesamaan substansi atau isi yang disandarkan pada
segala perbuatan, ucapan, perilaku Nabi Muhammad untuk dijadikan sebagai suri
tauladan bagi umat muslim. Inilah bedanya antara sunnah atau hadis dengan
al-Qur'an. Al-Qur'an adalah syariat Allah, sunnah dan hadis muncul dari Nabi
Muhammad.[17]
Dari beberapa pendapat tersebut
dapat disimpulkan bahwa sunnah merupakan suatu perbuatan yang memiliki nilai
hukum dan ibadah dan disandarankan kepada perbuatan atau dilakukan oleh Nabi
Muhammad. Hadits merupakan perkataan Nabi Muhammad, sedangkan sunnah lebih
kepada nilai dari suatu perbuatan dari perkataan Nabi Muhammad tersebut.
C. Perkembangan Hadis dan Sunnah
Hadits memiliki
arti berita/kabar dan kisah, baik yang baru terjadi ataupun yang telah lama
berlalu. Istilah ini sebenarnya memiliki dinamika mengikuti perkembangan
kemajuan ilmu pengetahuan, komunikasi sosial dan budaya umat Islam. Hadits atau
sunnah yang merupakan hukum kedua umat Islam, senantiasa menjadi bahan
pembicaraan dan pengkajian.[18]
Pada mulanya istilah hadits atau khabar (kabar) pernah dilontarkan oleh Abu
Hurairah tatkala berkata kepada kaum Anshar, “Apakah kalian berkehendak
supaya aku ceritakan kepada kalian suatu hadits, atau berita-berita (khabar)
kejadian di masa Jahiliyah?” Kemudian setelah itu umat Islam mempopulerkan
istilah hadits atau khabar (berita/kabar).
Seiring dengan
perkembangan waktu dan zaman, pemakaian lafadz ini pun berkembang, untuk
istilah khabar adalah bagi berita-berita yang terjadi dalam masyarakat.
Berikutnya Ibnu Mas’ud juga pernah melontarkan istilah hadits tatkala berkata,
“Sesungguhnya sebaik-baik hadits ialah Kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk
ialah petunjuk Muhammad saw”. Di sini Ibnu Mas’ud mensifatkan Al Qur’an dengan
sebaik-baik hadits.
Selain itu,
istilah hadits juga telah disampaikan oleh Nabi saw tatkala Abu Hurairah pernah
bertanya kepada beliau, “Siapakah orang yang paling berbahagia dengan
syafa’atmu di hari Kiamat?” Maka jawab Nabi saw, “Aku telah menyangka
hai Abu Hurairah bahwa tak ada seorang pun yang bertanya kepadaku tentang
hadits ini yang lebih dahulu daripada engkau, karena aku lihat bahwasanya
engkau sangat antusias kepada hadits (HR. Bukhari). Demikian seterusnya
hingga pada akhirnya ada semacam kesepakatan umum bahwa pengunaan lafadz hadits
hanya untuk Nabi saw saja.[19]
Ada pun
untuk lafadz sunnah pada asalnya berbeda
dengan hadits. Telah kita ketahui bahwa hadits adalah segala yang diberitakan
dari Nabi saw. Sedangkan sunnah adalah sesuatu yang telah biasa dikerjakan oleh
kaum muslimin sejak dahulu, baik diberitakan ataupun tidak. Istilah tersebut
disepakati karena lafadz sunnah yang telah berkembang dalam masyarakat Arab
sejak dahulu memiliki pengertian “jalan yang ditempuh seseorang dalam kehidupan
masyarakat”. Sebagaimana Nabi saw menggunakan istilah sunnah ini di dalam
sabdanya, “Sungguh kamu akan mengikuti jalan-jalan (sunnah) orang sebelummu,
sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta“ (Muttafaqun ‘alaih).
Makna ini telah
berkembang di abad-abad permulaan dalam madrasah-madrasah Hijaz dan Irak. Kala
itu sunnah diartikan dengan perbuatan yang telah menjadi tradisi, walaupun
bukan sunnah Nabi saw. Namun berikutnya pada akhir abad dua Hijrah, makna
sunnah dikhususkan hanya untuk Nabi saw, karena ada peran dari Imam Syafi’i.
Saat itu secara khusus Imam Syafi’i mengajak masyarakat untuk mengamalkan
hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir (hadits ahad) serta mengajak umat
Islam untuk mendahulukan sunnah Nabi saw terhadap apa yang sudah berlaku dalam
masyarakat.[20]
Dari hal itu
mereka mendapat pengertian baru bahwa hadits merupakan peristiwa yang
disandarkan kepada Nabi saw walaupun hanya sekali terjadi dalam sepanjang hidup
beliau dan walaupun hanya diriwayatkan oleh seorang saja. Maka dari sanalah
pada akhirnya masyarakat Muslim mendapatkan pengertian hadits dan sunnah
menjadi satu makna.
Berbicara
tentang sunnah, maka sebutan sunnah itu sebenarnya karena suatu perbuatan yang
sudah menjadi kebiasaan (tradisi), diamalkan oleh banyak orang yang tak terkira
jumlahnya secara terus menerus dan turun temurun, atau bisa dikatakan sebagai
amaliyah yang mutawatir (baca: banyak sekali pengamalnya). Ada pun sunnah Nabi
saw yakni cara Nabi saw melakukan suatu ibadat yang telah diberitakan kepada
kita dengan amaliyah yang mutawatir pula.Nabi saw melakukan suatu amal perbuatan
bersama sahabat, lalu para sahabat mengamalkan terus hingga berlanjut kepada
para tabi’in. Walau pun beritanya tidak mutawatir (baca: tidak banyak yang
memberitakan), namun telah diamalkan dengan mutawatir. Jadi pelaksanaan yang
mutawatir inilah yang dikatakan sunnah, walau dari segi sanad tidak mutawatir.[21]
Kemudian jika
Nabi saw bersabda: “Saya telah tinggalkan kepada kalian dua hal yang
sekali-kali kalian tidak akan sesat selama berpegang kepadanya, yaitu
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya”( HR Abu Daud dan Imam Malik). Maka istilah
sunnah dalam hadits tersebut memiliki makna sabil/sirath/thariqah (jalan), ath
thariqul mustaqim (jalan yang lurus), uswah (suri teladan) atau khithah (garis
kerja).[22]
Mata rantai
sunnah dalam konteks defenisi sebenarnya sudah berdering ditelinga Arab Jahilah
sebelum Islam sempurna mengepakkan sayap rohmatan lil’alaminnya. Kebiasaan
orang arab melantunkan syair serta kepandaianya dalam merangaki kata menjadikan
mereka sombong serta menghegemoni kabilah lainya. Segala aktifitas mereka baik
maupun jelek sering mereka hembuskan lewat syair, bahkan memuji-muji perbuatan
jeleknya sendiri tatkala minum khomer misalnya.[23]
Etimologi
sunnah dalam arti “cara berprilaku yang dilakukan atau aturan yang dianut baik
tata cara itu terpuji atau tercela” pada uraian syair-syair arab Jahiliyah
tersebut menjadi bukti kuat bahwa kata-kata sunnah sudah terdering
ditelinga-telinga arab.[24]
Islam dalam
perkembanganya pun kata-kata sunnah menjadi term terpenting dalam menjelaskan
pesan-pesan al-Quran dalam hal ini Nabi itu senidiri. Islam sendiri memakai
kata sunnah tersebut dalam arti termenolohis dengan menambahi’ “al” di depanya
yaitu “ tata cara dan syariat Rosulullah saw”.[25]
Menyambung
ungkapan-ungkapan arab Jahiliah dalam penggunaan kata sunnah tadi, maka kita
akan melihat keragaman ma’na sunnah itu sendiri. Dan ini berarti sunnah secara
diakronis memiliki arti yang progresif serta berubah-ubah. Misalnya:
a.
Bermakna “tata cara”
(an-Nisa’.4:26). Ibn Katsir pun menuturkan demikian bahwa sunnah dalam ayat ini
maksudnya:{طرائقهم الحميدة واتباع شرائعه التي يحبها ويرضاها }
tata cara yang baik.[26]
b.
Bermkna “aturan” (al-Anfal.8:38).
Ayat ini juga ibn Katsir tandaskan bahwa maksud ayat ini adalah ”sunnah
(aturan) Allah yang yang sudah diberlakukan terhadap orang terdahulu”. [27]
c. Bermakna “ketetapan” yang selaras dengan “atuaran” (al-Isra’ 17:77). Ayat
ini pun ibn Katsi mengmontarinya ketetapan Allah terhadap orang-orang yang
mengingkrai RosulNya.[28]
d. Bermakna “sunatullah” (kebiasaan Allah yang diterapkan pada hambaNya)
(al-Fath.48:23). Dalam tafsir yang sama Ibn Katsir juga memaknai ayat ini
dengan: Sunnatullah atau kebiasaan Allah yanga diterapkan pada makhluNya.
e.
Bermakna “Hukum-hukum” (ali
Imron. 3:137). kata “sunanun” hukuman-hukuman Allah yang berupa malapetaka yang
dialanda orang-orang yang mendustakan rosul.[29]
D. Sejarah Hadis Dan Sunnah Sejak Masa Nabi s.d Masa Pembukuan
1.
Masa
Rasulullah SAW
Kondisi awal sejarah dan
perkembangan Hadits yaitu pada masa Nabi SAW, masa ini hanya 23 tahun dimulai
pada tahun 13 sebelum hijriyah atau bertepatan pada tahun 610 M sampai pada tahun 11 H atau 623 M.
Pada masa tersebut Hadits itu
diterima hanya dengan mengandalkan hafalan dari para shahabat-shahabat Nabi
SAW serta pada masa tersebut para
shahabat belum ada pemikiran secara besar-besaran untuk melakukan penulisan
terhadap Hadits Nabi SAW ini mengingat pada masa tersebut Rasulullah SAW masih
sangat mudah untuk dihubungi dan dimintai keterangan-keterangan tentang segala
hal yang berhubungan dengan ibadah dan muamalah keseharian umat Islam. pada
masa inilah Hadits lahir berupa aqwali, afal dan taqrir Nabi SAW yang berfungsi
untuk menerangkan Al-Qur’an dalam rangka menerangkan syariat dan membentuk
mayarakat Islam.[30]
Munculnya Hadits itu mengalami
proses yang memiliki keterkaitan dengan beberapa hal, yang meliputi: Pertama,
peristiwa tersebut terjadi dihadapan Nabi, yang kemudian Nabi menjelaskan
hukumnya dan menyebar luaskan kepda kaum muslimin. Kedua, peristiwa yang
terjadi dikalangan umat Islam yang kemudian ditannyakan kepada Rasulullah SAW,
baik kejadian yang menimpa pada diri orang baik itu secara langsung maupun peristiwa yang terjadi padaorang lain.
Ketiga, kejadian-kejadian yang disaksikan shahabat, mengenai apa yang diperbuat
oleh Rasulullah SAW, kemudian shahabat itu menanyakannya dan kemudian Nabi SAW
menjelaskannya.[31]
Dari sebab-sebab munculnya Hadits
tersebut tergambar bahwa konteks munculnya Hadits Rasulullah SAW itu dapat
dilihat dari tiga sisi: Pertama, Hadits muncul dalam kepentingan menafsirkan
ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum. Kedua, Hadits muncul dalam konteks
memperkuat dan menetapkan hukum-hukum yang telah ada di dalam al-Qur’an. Ketiga,
kemunculan Hadits dikarenakan adanya suatu persoalan atau peristiwa yang
terjadi yang mengharuskan untuk di jawab sementara belum ditemukan jawabanya
dalam nash al-Qur’an.[32]
Perbuatan, ucapan, tutur kata dan
gerak-gerik Nabi SAW, menjadi perhatian tersendiri bagi para shahabat dan kaum
muslimin waktu itu, kesemuanya itu dijadikan suatu pedoman hidup
atau dijadikan suatu aturan-aturan dalam kebiasan sehari-hari. kebanyakan
shahabat untuk menguasai Hadits Nabi SAW, melalui hafalan tidak melalui
tulisan, karena difokuskan untuk mengumpulkan al-Quran dan dikhawatirkan
apabila Hadits ditulis maka timbul kesamaran dengan al-Quran.[33]
Bagi mereka yang kurang kuat hapalannya atau memiliki kecakapan tulis menulis
tidak ada kekahawatiran tercampur antara keduanya, maka diperbolehkan menulis
Hadits. Penulisan Hadits disini berfungsi untuk membantu hapalan mereka.[34]
Ada beberapa cara penyampaian
Hadits yang disampaikan oleh Nabi SAW:
a)
Melalui para jamaah pada pusat
pembinannya yang disebut majlis ilmi.
b)
Dalam banyak kesempatan
Rasulullah SAW juga menyampaikan Haditstnya melalui para shahabat tertentu,
yang kemudian oleh para shahabat tersebut disampaikannya kepada orang lain. hal
ini karena terkadang ketika ia mewurudkan suatu Hadits, para shahabat yang
hadir hanya beberapa orang saja. baik karena disengaja oleh Rasulullah SAW
sendiri atau secara kebetulan para shahabat yang hadir hanya beberapa orang
saja, bahkan hanya satu orang.
c)
Melalui ceramah atau pidato
ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan fathu makkah.
d)
Melalui perbuatan langsung yang
disaksikan oleh para shahabatnya (jalan musya’hadah), seperti yang berkaitan
dengan praktek-praktek ibadah dan muamalah.
e)
Para shahabat yang mengemukakan
masalah secara langsung atau bertanya dan berdialog kepada Nabi SAW.
Kebiasaan para shahabat dalam
menerima Hadits yakni bertanya langsung kepada Nabi SAW. Contoh dalam
problematika yang dihadapi oleh mereka, Seperti masalah hukum syara’ dan
teologi. Diriwayatkan oleh imam Bukhari dari ‘Uqbah bin al-Harits tentang
masalah pernikahan satu saudara karena
radla’ (sepersusuan). Tapi perlu diketahui, tidak selamanya para
shahabat bertanya langsung. Apa bila masalah biologis dan rumah tangga, mereka
bertanya kepada istri-istri beliau melalui utusan istri mereka, seperti masalah
suami mencium istrinya dalam keadaan puasa.[35]
Setiap shahabat
mempunyai kedudukan tersendiri
dihadapan Rasulullah SAW.
Adakalanya yang disebut dengan “Ash-Shabiqunn Al-Awwaluun” yakni para shahabat
yang pertama-tama masuk Islam, seperti Abu Bakar As-Sidiq, Umar Bin Khattab,
Usman Bian Affan, Ali Bin Abu Thalib, Abdullah Ibnu Mas’ud dan Abdurrahman Bin
Auf, RA. Ada juga shahabat
yang sungguh-sungguh menghafal hadits Rasulullah SAW, misalnya Abu
Hurairah. Ada juga shahabat yang usianya lebih panjang dari shahabat lain,
sehingga mereka lebih banyak menghafalkan Hadits, seperi Anas bin Malik,
Abdullah bin Abbas. Demikian juga ada shahabat yang mempunyai hubungan erat dengan Nabi SAW,
seperti istri-istrinya. Semakin erat dan lama bergaul semakin banyak pula Hadits
yang diriwayatkan dan kebenarannya tidak diragukan.[36]
Namun demikian, para shahabat
juga adalah manusia biasa,
harus mengurus rumah tangga, bekerja untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya, maka tidak setiap kali lahir sebuah hadits disaksikan langsung
oleh seluruh shahabat. Sehingga sebagian shahabat menerima Hadits dari shahabat
lain yang mendengar langsung ucapan Nabi atau melihat langsung tindakannya.
Apalagi shahabat yang berdomisili di daerah yang jauh dari Madinah seringkali
hanya memperoleh hadits dari sesama shahabat.[37]
Rasulullah SAW membina umatnya
selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus
adanya Hadits. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para
shahabat sebagai pewaris pertama ajaran Islam.
Pendapat lain menerangkan bahwa
Hadis pada waktu Rasulullah itu pada umumnya hanya diingat dan dihafal saja,
tidak ditulis seperti Al-Qur’an, karena situasi dan kondisi yang tidak
memungkinkan. Selain memang di khawatirkan akan bercampur dengan Al-Qur’an yang
pada saat itu masih turun kepada Nabi Muhammad SAW sedangkan kondisi
penulisannya masih sagat sederhana, di tambah lagi para sahabat yang mampu
menulis pada awal islam masih sangat sedikit dan yang sedikit itu sudah
difungsikan sebagai penulis Al-Qur’an; Sehingga Rasulullah SAW menganggap cukup
dengan mengandalkan ingatan para sahabat yang kuat.[38]
Diriwayatkan bahwa ada beberapa
sahabat yang memiliki catatan hadis-hadis rasulullah SAW. Mereka mencatat
sebagian hadis-hadis yang pernah mereka dengar dari Rasullullah SAW.
Diantaranya adalah, Abdullah bin Amr bin Ash yang menulis sahifah-sahifah yang
dinamai As-Shadiqah. Ash-Shahifah ‘Ali, tulisan yang Nabi perintahkan kepada
Abi Syah pada masa Fathu mekkah. Shahifah jabir tulisan Jabir bin Abdullah Al-Anshary.[39]
Para khalifah dari khulafa
al-rasyidin sejak Abu Bakar, ‘Umar, Ustman, dan ‘Ali, begitu pula dengan
khalifah-khalifah setelah itu, menjunjung tinggi amanah tersebut. Abu Bakar
sebagai khalifah serta secara bersungguh-sungguh segera mengadakan usaha
pengumpulan al-Qur’an atas usul ‘Umar, yang pada masa Nabi SAW ayat al-Qur’an
sudah tertulis seluruhnya tetapi belum terkumpul.
Realisasinya ditangani oleh Zaid
ibn Tsabit. Usaha ini disempurnakan pada masa pemerintahan ‘Ustman ibn ‘Affan,
yakni dengan membukukan al-Qur’an yang disalin dari lembaran hasil penulisan
pada masa Abu Bakar. [40]
Dalam prakteknya, cara shahabat
meriwayatkan Hadits ada dua:[41]
1)
Dengan lafaz asli, yakni menurut
lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka hafal benar.
2)
Dengan maknanya saja, yakni
mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan lafaznya karena tidak hafal lafazh yang asli dari Nabi.
Tindakan hati-hati para shahabat
dalam periwayatan Hadits berupa:
a.
Menyedikitkan riwayat, yakni
hanya mengeluarkan Hadits dalam batas kebutuhan primer dalam pengajaran dan
tuntunan pengalaman agama. Hal ini karena khawatir akan dipergunakan oleh
orang-orang munafik menjadi jalan membuat Hadits palsu.
b.
Menepis dalam penerimaan Hadits,
yakni meneliti keadaan rawi dan marwi setiap Hadits, apakah rawinya cukup ‘adil
dan dhabit atau masih meragukan, dan apakah rawinya cukup falid dan tidak
bertentangan dengan al-Qur’an, Hadits Mutawatir atau Mashur. Terkadang kalau
menerima Hadits yang meragukan, para shahabat meminta saksi atau
keterangan-keterangan yang bisa menimbulkan keyakinan. Contoh Abu Bakar
kedatangan seorang nenek yang meminta diberikan hak dan harta peninggalan cucunya,
beliau tidak mendapatkan dasar hukum dari al-Qur’an dan tidak mendapatkan atau
mengetahui adanya sabda Rasulullah SAW tentang hal itu, maka berdirilah
al-Mughirah dan menerangkan bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan seperenam
kepada nenek dari harta peninggalan cucunya. Mendengar hal itu Abu Bakar
bertanya kepada shahabat yang lain, apakah ada orang lain yang mendengar sabda
Nabi SAW tersebut. Kemudian Muhammad ibn Maslamah yang juga mendengar dari Nabi
SAW mengakui kebenaran al-Mughirah. Setelah Abu Bakar mendengar Hadits dari dua
shahabat tadi, barulah memberikan seperenam kepada nenek dari harta pusaka yang
ditinggalkan cucunya.
c.
Melarang meriwayatkan secara luas
Hadits yang belum dapat dipahami umum.
Sikap kehati-hatian para shahabat ditujukan untuk
menjaga kemurnian Hadits agar terhindar dari sisipan-sisipan yang ditambahkan
oleh orang-orang munafik.[42]
Dari penjabaran tersebut dapat
ditarik kesmpulan bahwa Perkembangan dan pertumbuhan Hadis Pada Masa Rasul ini,
Nabi menyampaikan hadis melalui media: majlis ‘ilmi, melalui sahabat tertentu,
ceramah pada tempat terbuka, perbuatan langsung, dan sebagainya. Selain itu,
Sahabat yang banyak menerima hadis antara lain: As-Sabiqunal awwalun yaitu: Abu
Bakar, Usman, Ali, dan Abdullah Ibn Mas’ud, Ummahatul Mukminin atau istri-istri
Rasul seperti ‘Aisyah dan Ummu Salamah, Sahabat dekat yang menulis hadis yaitu
Abdullah Amr bin al’Ash, Sahabat yang selalu memanfaatkan waktu bersama Nabi
seperti Abu Hurairah, Sahabat yang aktif dalam majlis ilmi dan bertanya kepada
sahabat yang lain seperti Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, dan Abdullah bin
Abbas.
Hadis lebih banyak dihafal karena
Rasul melarang menulis hadis agar tidak bercampur dengan al-Qur’an. Namun
terdapat beberapa sahabat yang menulis hadis dan disimpan sendiri seperti:
Abdullah bin Amr bin ‘Ash (as-sahifah as-sadiqah), Jabir bin Abdullah (sahifah
Jabir), Anas bin Malik, Abu Hurairah ad-Dausi (sahifah as-sahihah), Abu Bakar,
Ali, Abdullah bin Abbas dan lain-lain.
a. Masa Sahabat
Masa ini disebut masa periwayatan
hadits secara terbatas (12-40H). Para sahabat menyampaikan amanat sedikit demi
sedikit menyampikan hadits kepada orang lain setelah nabi saw wafat. Hal
tersebut dilakukan mereka dengan penuh kehati-hatian karena takut berbuat
salah. Sabda nabi saw:[43]
Ketahuilah ! Hendaklah orang yang hadir
menyampaikan kepada orang yang ghaib (tidak hadir) diantaramu. (diriwayatkan
ibnu Abdil bar dari abu bakrah). Sampaikanlah daripadaku walaupun hanya satu
ayat (maksudnya satu hadist). Riwayat bukhari dari Abdullah bin Amr bin Ash.
Periwayatan yang dilakukan para
sahabat yang pergi kekota-kota lain, dilakukan mereka dengan menyampaikan
hadits kepada para sahabat lain dan tabi’in dengan sangat dibatasi dan sekedar
keperluan, tidak bersifat pelajaran. Terutama pada masa Abu bakar dan Umar
lebih sangat berhati-hati karena ingin menjaga jangan sampai terjadi pendustaan
dalam mentabligkannya yang diancam dosa besar. Sabda nabi saw:[44]
Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja,
maka tempatnya disediakan di neraka. (riwayat jama’ah perawi hadist)
Para sahabat disamping terbatas
dalam meriwayatkan hadist, juga sangat berhati-hati dalam menerima sesama
sahabat dengan memperhatikan rawi/periwayat dan marwi (hadits yang
diriwayatkan), tidak memperbanyak menerima hadits atau meriwayatkannya.
Baru pada masa khalifah Ustman
dan Ali bin abi thalib dimulai pengembangan hadits dan periwayatannya, mereka
meriwayatkan hadits dengan dua cara, yaitu:
a) Dengan lafadz seperti diterima dari nabi
b) Dengan maknanyak
walaupun lafadznya lain, karena yang penting adalah menyampaikan laksud isinya.[45]
Periode sejarah perkembangan
Hadits kedua ini khususnya masa Khulafa al-Rasyidin dikenal dengan Zaman
al-tasabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah yang berarti periode membatasi
Hadits dan menyedikitkan riwayat. Hal ini disebabkan karena para sahabat pada
masa ini lebih mencurahkan perhatiannya kepada pemeliharaan dan penyebaran
Al-Qur’an. Sehingga Hadits kurang mendapatkan perhatian, bahkan mereka berusaha
untuk bersikap otoriter dan membatasi dalam meriwayatkan Hadits. Sikap ini disebabkan adanya
keekhawatiran mereka akan terjadinya kekeliruan dalam meriwayatkan Hadits.
Karena Hadits merupakan sumber tasyri’ kedua setelah Al-Qur’an yang harus
dijaga keaslianya dan keabsahannya sebagaimana penjagaan terhadap Al-Qur’an.
حَدَّثَنِي
يَحْيَ عَنْ مَالِك عَنْ اِبْنِ شِهَابٍ عَنْ عُثْمَان بْنِ إِسْحَقَ بْنِ
خَرْشَةَ عَنْ قَبِيْصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ أَنَّهُ قَالَ جَاءَتِ اْلجَدَّةَ اِلَى
اَبِيْ بَكْرٍ الصِدِّيْقِ تَسْأَلُهُ مِيْرَاثَهَا فَقَالَ لَهَا اَبُو بكْرِ
مَالَكِ فِيْ كِتَابِ اللهِ شَيْئٌ وَمَا عَلِمْتُ لَكِ فِيْ سُنَّةِ رَسُوْلِ
اللهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا فَاْرجِعِي حَتَّى أَسْأَلَ
النَّاسَ فَسَأَلَ النَّاسَ فَقَالَ الْمُغِيْرَةُ بْنُ شُعْبَةَ خَضَرْتُ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الَّلهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَعْطَاهَاالسُّدُسِ فَقَالَ
اَبُوْ بَكْرٍ هَلْ مَعَكَ غَيْرُكَ فَقَامَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ
الْاَنْصَارِيُّ فَقَالَ مِثْلَ مَا قَالَ الْمُغِيْرَةُ فَأَنْفَذَهُ لَهَا اَبُو
بَكْرٍ الصِّدِّيْق
Artinya: “Dari Qabishah bin
Dzu’aib Bahwasanya ia berkata : ketika Abu Bakar ash-Shiddiq didatangi seorang
nenek yang menanyakan bagian warisnya, beliau menjawab :”Dalam kitabullah tidak
terdapat bagian untukmu, dan sepengetahuan saya dalam sunnah Rasulullah SAW
juga tidak ada. Silahkan kemari esok lusa , saya akan menanyakan hal itu kepada
orang-orang.” Lalu Abu Bakar menanyakan kepada orang-orang. Diantara yang
menjawab adalah al-Mughirah bin Syu’bah, Katanya :”saya pernah menghadap
Rasulullah Saw, beliau menentukan bagian seperenam untuk nenek.” Abu Bakar lalu
menanyainya: “apakah ketika kamu menghadap Rasulullah Saw kamu bersama orang
lain?”. Maka Muhammad bin Maslamah al-Anshari bangkit dari duduknya dan berkata
seperti yang dikatakan al-Mughirah. Akhirnya Abu Bakar menetapkan bagian
seperenam untuk nenek.”[46]
Berdasarkan riwayat diatas, pada
masa pemerintahan Abu Bakar periwayatan Hadits dilakukan dengan sangat
hati-hati, tidak menerima begitu saja
riwayat suatu Hadits, sebelum meneliti terlebih dahulu periwayatannya.
Terdapat tiga faktor yang menyebabkan sahabat Abu
Bakar tidak banyak meriwayatkan Hadits, yaitu :
1)
Selalu sibuk saat menjabat
sebagai khalifah.
2)
Kebutuhan Hadits tidak sebanyak
pada zaman sesudahnya.
3)
Jarak waktu antara wafatnya
dengan kewafatan Nabi sangat singkat.[47]
Sikap hati-hati yang dilakukan
oleh Abu Bakar juga diikuti oleh Umar bin Khattab. Beliau tidak mau menerima
suatu riwayat apabila tidak disaksikan oleh sahabat yang lainnya, untuk
membuktikan kebenaran. Hadits tersebut benar-benar Nabi SAW pernah
mengatakannya. Sebagaimana Hadits dibawah ini :
عَنْ أَبِيْ
سَعِيْد الخُدْرِي قَالَ كُنْتُ فِيْ مَجْلِسِ مِنْ مَجَالِسِ اْلأَنْصَارِ
إِذْجَاءَ أَبُوْ مُوْسَى كَأَنَّهُ مَذْعُوْرٌ فَقَالَ اسْتَأْذَنْتُ عَلَى
عُمَرَ ثَلَاثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِيْ فَرَجَعْتُ فَقَالَ مَا مَنَعَكَ قُلْتُ
اسْتَأْذَنْتُ ثَلَاثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِيْ فَرَجَعْتُ وَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى الَّلهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَأْذَنْ أَحَدُكُمْ ثَلَاثًا فَلَمْ
يُؤْذَنْ لَهُ فَلْيَرْجِعْ فَقَالَ وَاللهُ لَتُقْيِمَنَّ عَلَيْهِ بِبَيِّنَةٍ
أَمِنْكُمْ أَحَدٌ سَمِعَهُ مِنَ الَّنبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ وَاللهُ لَا يَقُوْمُ مَعَكَ إِلَّا أَصْغَرَ
الْقَوْمِ فَكُنْتُ أَصْغَرَ اْلقَوْمِ فَقُمْتُ مَعَهُ فَأَخْبَرْتُ عُمَرَ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قاَلَ ذَلِكَ
Artinya: “Abu Sa’id al-Khudry
berkata: aku sedang berada di salah satu majelis kaum Anshar. Kemudian datang
Abu Musa, seakan-akan sedang merasa kesal, lalu berkata: aku meminta izin
bertemu sebanyak tiga kali, tetapi tidak diberi izin. Kemudian aku kembali
saja.” Lalu ia berkata: “mengapa engkau tidak jadi masuk?” aku menjawab: “aku
telah meminta izin sebanyak tiga kali tetapi tidak diberi izin , sehingga aku
kembali.”Rasulullah pernah bersabda: “bila seseorang diantara kamu meminta izin
(untuk bertamu), tetapi tidak diizinkan, maka sebaiknya ia kembali saja.’ Lalu
Umar berkata: “Demi Allah, hendaknya engkau memberikan saksi atas apa yang kau
katakan itu.” Adakah salah seorang di antara kamu yang mendengarnya dari Nabi
SAW? Lalu Ubay bin Ka’ab berkata: “demi Allah, tidaklah berdiri bersamamu
kecuali yang terkecil di antara kaummu. Aku lah yang terkecil itu. Lalu aku
berdiri bersamanya. Aku beri tahu kepada Umar bahwa Nabi SAW memang mengatakan
seperti diatas.”(HR. Bukhari). [48]
Dari pemaparan tersebut dapat
disimpulkan bahwa Perkembangan Hadits pada masa pengetatan periwayatan (Ashru
Taqlil Riwayat al-Hadits) merupakan periode kedua yang terjadi pada masa
Khulafaur Rasyidin atau zaman sahabat besar. Pada periode ini para sahabat
utamanya Khulafaur Rasyidin menggunakan metode hati-hati dalam periwayatan
Hadits, karena dilatarbelakangi oleh kekhawatiran berpaling perhatian umat
Islam dari pembukuan/pengkodifikasian Al-Qur’an. Masa ini disebut juga dengan
masa pembatasan dan pengetatan riwayat karena perhatian difokuskan pada
penyebaran al-Qur’an. Sahabat sangat hati-hati dalam menerima dan meriwayatkan
hadis. Setiap hadis yang diriwayatkan harus didatangkan seorang saksi.
b. Masa Sesudah Sahabat
Periode sejarah dan perkembangan
Hadits yang ketiga adalah masa memperbanyak periwayatan atau dikenal sebagai
Ashru Iktsar Riwayat al-Hadits. Periode ini terjadi pada masa sahabat kecil
atau zaman tabi’in besar. Pada masa ini daerah Islam sudah meluas hingga negeri
Syam, Irak, Mesir, Samarkand. Bahkan pada tahun 93H tentara Islam berhasil
menaklukkan Spanyol. Pada periode ini umat Islam telah mulai mencurahkan
perhatiannya terhadap periwayatan Hadits. Hal ini disebabkan :
a. Al-Qur’an telah dikodifikasikan.
b. Peristiwa-peristiwa yang dihadapi umat Islam semakin banyak. Dan memerlukan
petunjuk-petunjuk dari Hadits-Hadits Rasulullah yang lebih banyak lagi,
disamping petunjuk-petunjuk dari Al-Qur’an.
c.
Meninggalnya para sahabat, dan
sahabat yang masih hidup banyak yang berpencar ke daerah-daerah.[49]
Menurut pendapat lain dijelaskan
bahwa cara umat Islam meriwayatkan Hadits pada periode ini yaitu dengan cara:
a. Para sahabat lebih berhati-hati dalam meriwayatkan dan menerima Hadits.
Demikian pula para tabi’in. Karena pada periode ini pemalsuan Hadits dari
orang-orang yang tidak bertanggung jawab semakin banyak.
b. Bentuk periwayatan Hadits pada periode ini, masih sama dengan periode
sebelumnya, yaitu dengan cara:
1) Dari mulut ke mulut.
2) Periwayatan dilakukan dengan lafdziyah dan ma’nawiyah.
3) Bersandar kepada ingatan dan hafalan.[50]
Penghimpunan Hadits Nabi SAW
secara tertulis pertama kali di kemukakan oleh Umar ibn Khatab (W 23 H atau 644
M). Namun ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena merasa khawatir umat
Islam akan berpaling dari al-Qur’an. Dengan demikian, pembukuan Hadits secara
resmi terjadi pada masa Umar ibn ‘Abd al-Aziz, (61-101 H) salah seorang
khalifah bani Umayyah. [51]
Beliau berinisiatif
mengkodifikasikan al-Hadits dengan beberapa pertimbangan:
a)
Kenginan beliau yang kuat untuk
menjaga keontetikan hadits. karena beliau khawatir lenyapnya hadits dari
perbendaharaan masyarakat, disebabkan belum adanya kodifikasi al-Hadits.
b)
Keinginan beliau yang keras untuk
membersihkan dan memelihara al-Hadits dari hadits-hadits maudhu' yang dibuat
oleh masyarakat untuk mempertahankan ediologi golongan dan mempertahankan
madzhabnya, disebabkan adanya Konflik Politik ataupun "Fanatisme
Madzhab" berlebihan, yang mulai
tersiar sejak awal berdirinya Khilafah Ali bin Abi thalib.
c)
Alasan tidak terkodifikasinya
al-Hadits di zaman Rasulullah SAWullah saw. dan khulafaurrasyidin karena adanya
kekhawatiran bercampur aduknya dengan al-Quran, telah hilang. hal ini
disebabkan al-Quran telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata
diseluruh pelosok. Ia telah dihafal dan diresapkan di hati sanubari beribu-ribu
umat Islam.[52]
Pada periode Tabi’in ( abad ke 2
H ) Periode ini disebut “Ashr Intisayar al-Riwayah ila al-Amshar”, yakni
masa berkembang dan meluasnya
periwayatan Hadits.
Pada abad ini disebut masa
pengkodifikasian hadits yang dilakukan pada pemerintahan Khalifah Umar bin
Abdul Aziz (Khalifah kedelapan dari kekahlifahan Bani Umayyah, 61-101 H) yang
hidup pada awal abad 2 H. Beliau khawatir akan hilang dan lenyapnya
ajaran-ajaran Nabi SAW setelah wafatnya para ulama, baik dari kalangan shahabat
maupun tabi’in. Maka beliau instruksikan kepada para gubernur di seluruh
wilayah Islam agar para ulama dan ahli ilmu untuk menghimpun dan membukukan hadits Nabi SAW:
اُنْظُرُوُاحَدِيْثَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقْتُبُوْهُ فَإِنِّي خِفْتُ دُرُوْسَ الْعِلْمِ
وَذِهَابِ اَهْلِهِ(وَفِى رِوَايَةٍهَابِ الْعُلْمَاءِ) وَلاَتُقْبَل
إِلاَّحَدِيْثَ النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Perhatikan atau periksa
hadits-hadits Rasulullah SAW, kemudian tulislah! Aku khawatir akan lenyapnya
ilmu dengan meninggalnya para ahli (menurut riwayat disebutkan para ulama). Dan
janganlah kamu terima, kecuali hadis Rasulullah.[53]
Penghimpunan hadits pada abad ini
masih tercampur dengan fatwa shahabat dan tabi’in. Dengan demikian kitab hadits
pada periode ini belum diklasifikasi atau dipisah-pisah antara hadits-hadits
marfu’, mauquf, dan maqthu’. Selain itu penulisan hadits pada periode ini
berbeda dengan penulisan pada abad sebelumnya yang masih dalam bentuk
lembaran-lembaran (shuhuf) yang hanya dikumpulkan tanpa klasifikasi ke dalam
beberapa bab secara tertib. Sedangkan pada periode ini sudah dihimpun perbab.
Materi hadits dihimpun dari shuhuf yang ditulis oleh para shahabat sebelumnya
dan diperoleh melalui periwayatan secara lisan baik dari shahabat atau tabi’in.
Adapun kitab-kitab yang muncul pada masa ini adalah:
a.
Al-Muwatha’ yang ditulis
Imam Malik
b.
Al-Mushanaf oleh Abdul
Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani
c.
As-Sunnah ditulis
Abd bin Manshur
d.
Al-Mushanaf dihimpun oleh
Abu Bakar bin Syaybah
e.
Musnad Asy-Syafi’i
Kitab-kitab hadits pada masa ini
tidak sampai kepada kita kecuali diantaranya Al-Muwatha’ yang ditulis oleh Imam
Malik dan Musnad Asy-Syafi’i yang ditulis Imam Asy-Syafi’i. Tulisan-tulisan
hadits pada masa awal sangat penting sebagai bukti adanya penulisan hadits
sejak zaman Rasulullah SAW sampai dengan pengkodifikasian ressmi dari Umar bin
Abdul Aziz bahkan sampai sekarang.
Bagi pengamalan agama pada
generasi setelah shahabat, yakni shahabat kecil dan tabi’in, yang memerlukan
untuk mengetahui Hadits-Hadits Nabi SAW, mereka kemudian berangkat mencari
Hadits, menanyakan dan belajar kepada para shahabat besar yang sudah tersebar
di seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah. Dengan demikian, pada masa ini, di
samping tersebarnya periwayatan Hadits ke pelosok-pelosok daerah Jazirah Arab,
juga tentunya perlawatan untuk mencari Haditspun menjadi ramai di
perbincangakan. Sehingga terbentuklah atau tersusunlah lima kitab-kitab para
tabi’in yang disebutkan diatas tadi yang tidak lain karena jasa-jasa mereka
dalam mencari hadits sebagai pedoman dalam menjawab persoalan kehidupan
sehari-hari.
Periode Tabi’ Tabi’in ( abad ke 3
H ) Periode ini merupakan masa Ashr Al-Jami’ wa At-Tashhih (kodifikasi
dan filterasi keemasan dalam pembukuan hadits), karena kegiatan perjalanan
mencari ilmu dan hadits serta pembukuannya mengalami puncak keberhasilan yang
luar biasa, sehingga pada periode ini dianggap seolah-olah hadits telah
terhimpun semua dan pada periode berikutnya tidak mengalami perkembangan yang
signifikan.[54]
Pada periode ini para ulama
hadits juga telah berhasil memisahkan hadits Nabi dari yang bukan hadits atau
dari perkataan shahabat dan fatwanya. Selain itu pada masa ini juga telah
mengadakan filterasi (penyaringan) yang sangat teliti tentang apa saja yang
dikatakan Nabi (dikatakan matan dan sanadnya).[55]
Sehingga telah dapat dipisahkan mana yang merupakan hadits shahih atau yang
bukan hadits shahih. Oleh karena itu pada periode ini disebut juga masa
kodifikasi dan filterasi (Ashr Al-Jami’ wa At-Tashhih).
Sebagian ulama pada periode ini
juga mengkodifikasikan hadits berdasarkan nama periwayat para shahabat yang
diperolehnya yang kemudian disebut dengan bentuk musnad seperti:
a)
Musnad Abu Dawud Sulaiman bin
Dawud Ath-Thayalisi
b)
Musnad Abu Bakar Abdullah bin
Zubair Al-Humaidi
c)
Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal
d)
Musnad Abu Bakar Ahmad bin Amar
Al-Bazzar
e)
Musnad Abi Ya’la Ahmad bin Ali
Al-Mustanna Al-Mushili
Kendatipun kitab-kitab hadits
permulaanabad ketiga sudah menyisihkan fatwa, namun masih mempunyai kelemahan
yakni belum disisihkannya hadits-hadits termasuk palsu yang sengaja disisipkan
untuk kepentingan golongan tertentu. Oleh karena itu pada abad ketiga
pertengahan para ulama haditst hijrah untuk menyelamatkan hadits. Mereka
membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk menentukan suatu hadits. Dalam
hubungan ini, para perawi menjadi sasaran penelitian mereka untuk menyelidiki
kejujuran, kehafalan dan lain sebagainya.
Sebagian hasil dari kerja keras
para ulama muncullah kitab-kitab hadits yang terhindar dari hadits dhaif dan
seterunya. Diantara kitab-kitab tersebut adalah:
a.
Shahih Al-Bukhary atau
Al-Jami’ush Shahih
Kitab ini disusun oleh Muhammad
bin Ismail al-Bukhary. Kitab ini memuat 8.122 hadits yang terdiri dari 6.397
hadits asli, dan selebihnya hadits yang terulang-ulang. Diantara jumlah
tersebut terdapat 1.341 yang mu’allaq (dibuang sanadnya sebagian atau
seluruhnya) dan 384 hadits mutabi’ (mempunyai sanad yang lain).
b. Shahih Muslim atau Al-Jami’us Shahih
Kitab ini disusun oleh Imam
Muslim bin Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairy. Berisi sebanyak 7.273 hadits,
termasuk hadits yang diulang-ulang. Jika tidak diulang-ulang maka jumlahnya
hanya 4000 buah.
Kedua kitab tersebut sangat
terkenal dikalangan masyarakat Islam di seluruh dunia, dan dikenal dengan
sebutan al-Shahihain dan sekarang ini sudah diterjemahkan ke dalam berbagai
bahasa di dunia.[56]
Selain itu kedua kitab tersebut merupakan bagian dari buku induk hadits enam
(Ummahat Kutub As-Sittah), yakni buku hadits Sunan, Al-Jami’ Ash-Shahih yang
dipedomani oleh umat Islam dan buku-buku hadits Musnad. Buku induk hadits enam
ini merupakan buku-buku hadits yang dijadikan pedoman dan refrensi para ulama
hadits berikutnya, diantaranya adalah:
1)
Al-Jami’ Ash-Shahih li Al-Bukhari
(194-252 H)
2)
Al-Jami’ Ash-Shahih li Muslim bin
Hajjaj Al-Qusyayry ( 204-261 H)
3)
Sunan An-Nisa’i (215-303 H )
4)
Sunan Abu Dawud (202-207 H),
5)
Jami’ At-Tirmidzi (209-279 H),
6)
Sunan Ibn Majah Al-Qazwini
(209-207 H).[57]
Kitab-kitab ini terbentuk pada
abad ketiga sebagai gambaran kepedulian dan perhatian para ulama hadits
terhadap perkembangan zaman.
Periode Setelah Tabi’ Tabi’in
(Abad ke 4 H). Pada masa ini disebut Penghimpunan dan Penertiban Hadits. Ulama
yang hidup pada abad ke 4 H dan berikutnya disebut ulama muta’akhirin atau
khalaf (modern). Sedangkan ulama yang hidup sebelum abad ke 4 H disebut ulama
mutaqaddimin atau ulama salah (klasik). Perbedaan mereka dalam periwayatan dan kodifikasi hadits adalah Ulama
mutaqaddimin (sebelum abad ke 4 H) menghimpun hadits Nabi SAW dengan cara
langsung mendengar dari guru-gurunya kemudian mengadakan penelitian sendiri
baik sanad atau matannya. Sedang ulama muta’akhirin (abad ke 4 H) cara
periwayatan dan pembukuannya bereferensi dan mengutip dari kitab-kitab
mutaqaddimin. Oleh karena itu tidak banyak penambahan hadits pada abad ini dan
berikutnya kecuali hanya sedikit saja.[58]
Adapun kitab-kitab karya ulama abad
keempat ini adalah:
a) Mu’jam Al Kabir, yang ditulis oleh Imam Sulaiman bin Ahmad al-Thabrany
b)
Mu’jam Al-Ausaih, yang ditulis
oleh Imam Sulaiman bin Ahmad al-Thabrany
c)
Mu’jam Al-Shaghir, yang ditulis
oleh Imam Sulaiman bin Ahmad al-Thabrany.[59]
Pada abad ke-5 dan seterusnya
merupakan periode pengklasifikasian dan pensistematisasian hadits. Para ulama
pada periode ini mengklasifikasikan hadits dengan menghimpun hadits-hadits yang
sejenis kandungannya atau sifat-sifat isinya dalam suatu kitab hadits. Mereka
juga berupaya mensyarahkan (menguraikan maksud hadits dengan luas) dan ada pula
yang mengikhtisarkan atau meringkaskan kitab-kitab hadits yang telah disusun
para ulama terdahulu. Dengan usaha mereka maka muncullah kitab-kitab hadits
seperti:
1) Sunan al-Kubra, karya Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali Al-Baihaqy (384-458 H)
2)
Muntaqa al-Akhbar, karya Majdudin Al-Harrany
(652 H)
3)
Nailul Authar, sebagai syarah
kitab Muntaqa al-Akhbar karya Abu Muhammad bin Ali al-Syaukany (1172-1250 H)
Selain itu terdapat pula kitab
hadits tentang targhib dan tarhib seperti:
1)
Al-Targhib wa al-Tarhib, karya
Imam Zakiyuddin Abdu al-Adhim Al-Mundziry (656 H)
2)
Dalil al-Falihin, karya Muhammad
Ibn Allan As-Shiddiqy (1057 H) sebagai
syarah kitab Riyadush Shalihin, karya Imam Muhyidin Abi Zakariya al-Nawawy (676
H).
Pada periode ini para ulama juga
menciptakan kamus hadits untuk mencari pentakhrij suatu hadits atau untuk
mengetahui dari kitab hadits apa suatu hadits didapatkan, misalnya :
1)
al-Jami’u al-Shaghir fi Ahaditsi
al-Basyiri al-Nadzir, karya al-Imam Jalaluddina l-Suyuthy (849-911 H.) Kitab
yang mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab enam dan lainnya ini
disusun dengan alphabets dari awal hadits, dan selesai ditulis pada tahun 907
H.
2)
Dakhairu al-Mawarits fi Dalalati
‘Ala Mawadhi’i al-Ahadits, karya al-Imam al-‘Allamah al-Sayyid Abdul Ghani
al-Maqdisy al-Nabulisy. Didalamnya terkumpul kibat athraf 7 (Shahih Bukhary dan
Muslim, Sunan empat dan Muwattha’.
3)
Miftahu al-Kunuzi al-Sunnah,
Karya Dr. A.J. Winsinc. berisikan hadits-hadits yang terdapat dalam 14 macam
kitab hadits. Kitab tersebut disalin kedalam bahasa Arab oleh Ustadz Muhammad
fuad abdu al-Baqy dan dicetak di Mesir pada tahun 1934 M.
4) Al-Mu'jamu al-Mufahras Li al-Alfadzi al-Haditsi al-Nabawy, Karya Dr. A.J.
Winsinc dan Dr. J.F. Mensing. keduanya adalah Dosen di Universitas Leiden. Kitab hadits yang mengandung
hadits-hadits kitab enam, musnad al-Darimy, Muwattha’ Malik, dan Musnad Imam
Ahmad, selesai dicetak di Leiden pada tahun 1936 M.[60]
[1] Qadir, Hasan, Ilmu Musthalah Hadits, (Bandung:
Dipenegoro, 2007), h. 17
[2] Munzier,
Supartam, Ilmu Hadits,(Cet.3,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h.702.
[3] Qadir, Hasan, Ilmu Musthalah Hadits, (Bandung:
Dipenegoro, 2007), h. 17
[4] A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, Edisi Kedua,
(Surabaya: Pustaaka Progresif, 1997), h.242.
[5] Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits (terj),
(Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1995), h.16.
[6] Muhammad Mustafa
Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature,
(Indianapolis: Islamic Teaching Centre, 1977), h. 1-2.
[7] M.
Hasbi Ash
Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, h. 22.
[8]Ibid, 23.
[9]https://butterflyonly.wordpress.com/2018/02/15/sejarah-perkembangan-dan-pertumbuhan-hadits-pada-masa-rasulullah-dan-khulafaur-rasyidin/ diakses pada: 14/2/18 pkl. 09:13 wib.
[10] Ibid.
[11] M.
Hasbi Ash shiddieqy,
Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, h. 24.
[12] Musthafa al-
Siba`I al- Sunnah wa makanatuhu fi al- Tasyr` al- Islami, Beirut: Maktabah al-
Islamiyat, 1978, hal. 47
[13] M.M. Azami, Hadis Nabawi Dan
Sejarah Kodifikasinya (Terj), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 16-18.
[14]http://serpihan-islam.blogspot.co.id/2014/11/perbedaan-hadist-sunah-khabar-dan-asar.html diakses pada 15/2/18 pkl: 08:38 wib.
[15] http://www.islamcendekia.com/2014/01/pengertian-perbedaan-kesamaan-sunnah-dan-hadis.html diakses pada 15/2/18 pkl. 08:34 wib.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] https://nurahmad007.wordpress.com/2012/08/27/asal-mula-munculnya-istilah-hadits-khabar-dan-sunnah/ diakes pada: 15/2/18 pkl.8:51 wib.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] Shofiyyur Rohman, Al-Mubarokfuriy,ar-Rohiqul
Makhtuk;bahtsun fi shiroh Nabawaiyyah ‘ala Shohiba afdolish Sholati was Salam
(Riyadh:Darussalam,cet.I.1414 H), h. 35.
[24] Muhammad Musthofa ‘Azami, Hadits
Nabawiy dan Sejarah Kondifikasinya (Pejaten Barat:Pustaka
Firdaus,cet.IV, 2009), h. 20.
[25] Al-Imam Abdul Fuha’ Ismail Ibn Katsir
Ad-dinamsyiqi, Tafsirul Quranil ‘Adzim (Maktabah Syamilah), h.
53.
[26] Ibid. h.316
[27] Ibid. h.332
[28] Ibid. h.343
[29] Al-Bukhori, Shoheh Al-Bukhori Bab Tahajjud, (Maktabah
Syamilah), h.35.
[30] Suryadilaga,
Alfatih, dkk, Ulumul Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2010), h. 50
[31] Sumbullah,
Umi, Kajian Kritik Ilmu Hadits, (Malang:
UIN-Maliki Press, 2010), h. 37
[32] Ibid, h.
38
[33] Mana’
al-Qathan, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami
(Kairo: Maktabah Wahbah, 1989), h. 106
[34] Majid, Abdul
Khon, Ulumul Hadits, ( Jakarta: Grafika Offset, 2008), h. 46
[35] Mushtafa
al-Suba’i, Assunnah, (Kairo:
Dar-Assalam. 2003), h. 67
[36]Muhaimin dan Abdul Mujib, dkk, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Cet 1,Jakarta:
Kencana, 2005), h. 148
[37] Zuhri, Muh, Hadits Nabi Telaah Historis dan Metodelogis,
(Cet 11, Yogyakarta: Tiara wacana Yogya, 2003), h. 29
[38]http://kangmahfudz.blog.com/2014/09/12/sejarah-ilmu-hadits-penghafalan-penulisan-pembukuan-dan-kitab-kitab-hadits-yang-masyhur/ diakses pada: 15/2/18 pkl. 09:22 wib.
[39] Ibid.
[40] Zuhri, Muh., Hadis
Nabi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997),
h. 37
[41] Ibid, h.
38
[42] Hasbi
Ash-Shidiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadits, (Bulan Bintang, 1974), h. 67
[43] http://satuhati-satukisah.blogspot.co.id/2013/05/ulumul-hadits-hadits-di-masa-rasulullah.html diakses pada 15/2/18 pkl. 09:16
wib.
[44] Ibid.
[45]https://butterflyonly.wordpress.com/2013/10/23/sejarah-perkembangan-dan-pertumbuhan-hadits-pada-masa-rasulullah-dan-khulafaur-rasyidin/ diakses pada: 15/2/18 pkl. 09:13 wib.
[46] Abu Abd Allah Muhammad ibn Abd Allah al-Naisaburi, Kitab Ma’rifat Ulum
al-Hadis (Kairo: Maktabah al-Matnabi), h.25.
[47] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan
Tinjauan dengan Pendekatann Ilmu Sejarah (Bandung :Bulan Bintang,1995),
h.43.
[48] Lihat bukhari, kitab al-isti’dzan,
hadits
no. 5776.
[49] Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, (Bandung: Angkasa Bandung), h.99.
[50] Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, h.99-100.
[51] Ranuwijaya,
Utang, Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 66
[52] Khothib, Muhammad Ajjaj, Ushulu
al-Hadits Ulumuhu Wa Mushthalahuhu, (Daru al-Fikr: Beirut, tt), h. 170.
[53] Sohari,
Sahrani, Ulumul, h. 65
[54] Ibid., h. 57
[55] Masjfuk,
Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadist, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1998), h.
94
[56] Nata, Abudin, Al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h.
199
[57] Atang, Abd.
Hakim dan Jaih Mubarak, Metodologi Studi
Islam, (Bandnung: Remaja
Rosdakarya.,2006), h. 92
[58] Ibid, h.
58
[59] Nata, Abudin, Al-qur’an,
h. 200
[60] Ibid, h. 201.
0 komentar:
Posting Komentar