Beranda

Selasa, 02 April 2019

HADIST DAN SUNAH


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Sejarah penulisan Hadits sering kali menjadi bahan kontroversi di kalangan sebagian kaum muslim. Ada sebagian yang menolak untuk menerima otentisitas Hadits Nabi lantaran mereka berargumen bahwa Hadits Nabi ditulis dan dibukukan dua abad sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW, suatu rentang waktu yang agak lama berlalu sehingga dapat menyebabkan timbulnya perubahan dan pergeseran lafazh serta makna Hadits yang bersangkutan.
Sementara di sisi yang lain ada sebagian kaum yang secara tekstual menerima begitu saja Hadits Nabi tanpa mempedulikan kesahihan dan ketidaksahihannya. Pada makalah ini penulis mencoba berusaha secara ringkas untuk mengemukakan penjelasan yang benar tentang penulisan dan pembukuan Hadits Nabi sejak mulai abad ke 2 H sampai dengan abad ke 7 H hingga sekarang.
Haditst adalah Segala ucapan perbuatan dan perilaku Rasulullah SAW.[1] yang  merupakan salah satu pedoman hidup umat islam dimana kedudukan hadits disini adalah sebagai sumber hukum islam yang ke 2 (dua) setelah al-Quran. Didalam ilmu hadits pun terdapat pula sejarah dan perkembangan hadits pada masa prapembukuan (kodifikasi). Mudah-mudahan dengan mengetahui sejarah pembukuan hadits kita menjadi bijak dan arif dalam menghadapi zaman yang serba instan dan bisa membawa misi islam Rahmatan lil’alamin.
Dari latar belakang sejarah perkembangan hadits yang dikemukakan banyak ulama tersebut, penulis akan mencoba membahas tentang pengertian hadits dan sunnah, Asal usul hadis dan sunnah serta Sejarah hadis pada Masa Rasulullah, Masa Sahabat dan Masa Setetelah Sahabat.






BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pendahuluan
Sejarah penulisan Hadits sering kali menjadi bahan kontroversi di kalangan sebagian kaum muslim. Ada sebagian yang menolak untuk menerima otentisitas Hadits Nabi lantaran mereka berargumen bahwa Hadits Nabi ditulis dan dibukukan dua abad sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW, suatu rentang waktu yang agak lama berlalu sehingga dapat menyebabkan timbulnya perubahan dan pergeseran lafazh serta makna Hadits yang bersangkutan. Mereka ini beranggapan hanya berdasarkan asumsi rasional semata dan tidak melihat serta meneliti berbagai argumen yang bisa diterima oleh syari’at Islam serta tidak mengkaji serta menelaah sejarah penulisan dan pembukuan  dengan benar. Sementara di sisi yang lain ada sebagian kaum yang secara tekstual menerima begitu saja Hadits Nabi tanpa mempedulikan kesahihan dan ketidaksahihannya. Pada makalah ini penulis mencoba berusaha secara ringkas untuk mengemukakan penjelasan yang benar tentang penulisan dan pembukuan Hadits Nabi sejak mulai abad ke 2 H sampai dengan abad ke 7 H hingga sekarang.
Para ulama tidak sependapat dalam menyusun sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits Nabi SAW. Ada yang membaginya pada tiga periode saja, yaitu masa Rasulullah SAW, Shahabat dan Tabi’in, masa pentadwinan dan masa setelah tadwin.[2]
Sejarah dan Periodesasi penghimpunan Hadits mengalami masa yang lebih panjang dibandingkan dengan dialami oleh Al-Quran, yang hanya memerlukan waktu relatife pendek, yaitu sekitar 15 tahun saja. Penghimpunan dan penulisan (tadwin) Hadits memerlukan waktu sekitar tiga abad.Yang dimaksud dengan Periodisasi penghimpunan Hadits disini adalah fase-fase yang telah ditempuh dan dialami dalam sejarah pembinaan dan perkembangan Hadits, sejak Rasulullah SAW masih hidup sampai terwujudnya kitab-kitab yang dapat disaksikan dewasa ini.
Penyusunan kitab Hadits atau penulisan Hadits di dalam sebuah kitab belum terjadi pada masa Rasulullah SAW dan demikian juga belum ada pada masa Shahabat. Pada masa Rasulullah SAW memang ada riwayat yang berasal dari Nabi yang membolehkan untuk menuliskan Hadits, namun penulisan Hadits pada masa Rasulullah SAW masih dilakukan oleh orang perorang yang sifatnya pribadi dan tertentu pada orang-orang yang membutuhkan menuliskannya atau diizinkan oleh Rasulullah SAW  untuk menulisnnya.
Penulisan Hadits pada masa Rasulullah SAW dan demikian juga pada masa Shahabat belumlah bersifat resmi. Para Shahabat di masa pemerintahan Khulafa' al-Rasyidin, pada umumnya, menahan diri dari melakukan penulisan Hadits. Hal tersebut karena adanya larangan Rasulullah SAW untuk menulis Hadits-Hadits beliau. Namun demikian, di samping adanya larangan, di sisi lain Rasulullah SAW juga memberi peluang kepada para Shahabat untuk menuliskan Hadits-hadits beliau. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya kontroversi dalam hal penulisan Hadits antara adanya larangan dan kebolehan dalam menuliskan Hadits.
Haditst adalah Segala ucapan perbuatan dan perilaku Rasulullah SAW.[3] yang  merupakan salah satu pedoman hidup umat islam dimana kedudukan hadits disini adalah sebagai sumber hukum islam yang ke 2 (dua) setelah al-Quran. Didalam ilmu hadits pun terdapat pula sejarah dan perkembangan hadits pada masa prapembukuan (kodifikasi). Mudah-mudahan dengan mengetahui sejarah pembukuan hadits kita menjadi bijak dan arif dalam menghadapi zaman yang serba instan dan bisa membawa misi islam Rahmatan lil’alamin.
Dari latar belakang sejarah perkembangan hadits yang dikemukakan banyak ulama tersebut, penulis akan mencoba membahas tentang pengertian hadits dan sunnah, Asal usul hadis dan sunnah serta Sejarah hadis pada Masa Rasulullah, Masa Sahabat dan Masa Setetelah Sahabat.

B.     Pengertian Hadis dan Sunnah
1.      Pengertian Hadis dan Sunnah
a.      Hadis
Kata hadits merupakan isim yang secara bahasa berarti kisah, cerita, pembicaraan, percakapan atau komunikasi baik verbal maupun lewat tulisan.[4] Ada sejumlah ulama yang merasakan adanya arti “baru” dalam kata hadits lalu mereka menggunakannya sebagai lawan kata qodim (lama), dengan memaksudkan qodim sebagai Kitab Allah, sedangkan yang “baru” ialah apa yang disandarkan kepada Nabi saw. Dalam Syarah al-Bukhari, Syaikh Islam Ibnu Hajar berkata: “Yang dimaksud dengan hadits menurut pengertian syara’ ialah apa yang disandarkan kepada Nabi saw. dan hal itu seakan-akan sebagai bandingan al-Qur’an adalah qodim.[5]
Di dalam al-Qur’an kata hadits disebut sebanyak 28 kali dengan rincian 23 dalam bentuk mufrad dan 5 dalam bentuk jamak (ahadits). pengertian hadits secara lebih rinci. Kata hadits yang terdapat dalam al-Qur’an maupun kitab-kitab Hadits secara literal mempunyai beberapa arti sebagai berikut:[6]
1.      Komuikasi religius, pesan atau al-Qur’an, sebagaimana terdapat dalam QS.al-Zumar:23
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا
Artiya:Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur’an. Juga dalam Hadits Nabi yang diriwiyatkan oleh al-Bukhari: “Sesungguhnya sebaik-baik hadits (cerita) adalah Kitab Allah (al-Qur’an)
2.      Cerita duniawi atau kejadian alam pada umumnya, seperti dalam al-Qur’an QS. al-An’am: 68
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آَيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ
Artinya: “Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain”. Juga dalam Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari: “Dan orang-orang yang mendengar hadits (cerita) sedangkan mereka benci terhadapnya
3.      Cerita Sejarah (historical stories) sebagaimana terdapat dalam QS. Taha: 9
وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ مُوسَى
Artinya: “Dan apakah telah sampai kepadamu kisah Musa”.  Dan juga terdapat dalam Hadits Nabi: “Ceritakanlah mengenai Bani Israil dan tidak mengapa
4.      Rahasia atau pecakapan yang masih hangat sebagaimana terdapat dalam QS. at-Tahrim: 3
وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا
Artinya: “Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari isteri-isterinya suatu peristiwa”. Juga dalam Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh al-Tirmizy: “Apabila seseorang mengungkapkan hadits (rahasia) kemudian kemudian dia mengembara maka kata-katanya adalah suatu amanah

Secara terminologi, ulama mendefinisikan hadits sebagai segala sabda, perbuatan-perbuatan taqrir (ketetapan) dan hal ikhwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Secara terminologi, ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memberikan pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits sendiri pada umumnya mendefinisikan hadits sebagai segala sabda, perbuatan, taqrir, (ketetapan), dan hal ikhwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.[7]
Masuk ke dalam pengertian “hal ikhwal” segala yang diriwayatkan dalam kitab-kita tarikh, seperti hal kelahirannya, tempatnya, dan yang bersangkut paut dengan itu, baik sebelum diutus maupun sesudah diutus. Berdasarkan definisi tersebut, maka bentuk-bentuk Hadits dapat dibedakan sebagai berikut: 1. sabda, 2. perbuatan, 3. taqrir, dan 4. hal ikhwal Nabi saw. Kalangan ulama Ushul mendefinisikan hadits sebagai segala perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi saw. yang berkaitan dengan hukum. Oleh karena itu, tidak masuk dalam kategori hadits sesuatu yang tidak bersangkut paut dengan hukum seperti urusan pakaian.[8]
Menurut pendapat lain, hadits adalah segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan (qauly), perbuatan (fi’ly), ataupun ketetapan (taqriry). Pada umumnya ulama hadits memberi pengertian, bahwa yang dimaksud dengan hadits adalah segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan (qauly), perbuatan (fi’ly), ataupun ketetapan (taqriry),dalam pengertian inilah, maka ulama hadits menyamakan hadits dengan istilah sunnah. Ada pula ahli hadits yang berpendapat, bahwa kata hadits menunjukkan kepada penampilan kepribadiaan beliau. Meskipun demikian, penampilan kepribadian nabi, menurut ahli fiqih tidak termasuk kategori hadits. Dengan demikian menurut umumnya ulama hadits, bahwa bentuk-bentuk hadits atau sunnah adalah segala berita yang berkenan dengan perkataan (qauly), perbuatan (fi’ly), ketetapan (taqriry)/hal-ihwal nabi Muhammad saw. Sedangkan yang dimaksud dengan ihwal adalah segala sifat dan pribadi.[9]
Dari penjelasan pendapat-pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hadits merupakan segala perkataan, perbuatan, ketetapan berkitan dengan hukum yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.
b.       Sunnah
Sunnah menurut istilah Muhadditsin ialah segala sesuatu yang dinukilkan dari nabi saw baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir), pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang sebelum nabi saw diangkat menjadi Rasul ataupun sebelumya. Sedangkan sunnah menurut ahli ushul fiqih ialah segala yang dinukilkan dari nabi saw, baik perkataan maupun perbuatan atau ketetapan (taqrir) yang berkaitan dengan hukum.[10]
Sunnah secara etimologi berarti tata cara dan tingkah laku atau perilaku hidup, baik perilaku itu terpuji maupun tercela.[11]
Sunnah secara bahasa adalah jalan atau tradisi yang baik dan buruk. Sedangkan pengertian sunnah secara terminology berbeda pendapat di kalangan para ahli. Ada yang membedakan pengertian sunnah dan hadits serta ada pula yang menyamakannya. Istilah sunnah di kalangan para ulama hadits pada umumnya menyamakan hadits dengan sunnah. Sedangkan di kalangan para ulama ushul membedakan pengertian antara istilah hadits dan sunnah.[12]
Menurut M.M. Azami istilah “sunnah” disebutkan dalam beberapa ayat berikut ini:[13]
1.      Surat an-Nisa’: 26
يُرِيدُ اللَّهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَيَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ 
Artinya: “Allah hendak menerangkan hukum syari’ah-Nya kepadamu dan menunjukkanmu ke jalan yang orang-orang sebelum kamu (yaitu para nabi dan orang-orang saleh), serta hendak menerima taubatmu. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
2.      Surat al-Anfal: 38
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الْأَوَّلِينَ
Artinya: “Katakanlah (wahai Muhammad) kepada orang-orang kafir, apabila mereka menghentikan perbutannya maka dosa-dosa mereka yang telah lalu akan diampuni, dan apabila mereka tetap kembali untuk melakukan perbuatan itu maka sunnah (aturan) orang-orang dahulu sudah berlaku.”    


3.      Surat al-Isra’: 77
سُنَّةَ مَنْ قَدْ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنْ رُسُلِنَا وَلَا تَجِدُ لِسُنَّتِنَا تَحْوِيلًا
Artinya:“(Kami menetapkan hal itu) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamu, dan kamu tidak akan menemukan perubahan dalam ketetapan Kami”.
4.      Surat al-Fath: 23
سُنَّةَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلُ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلًا
Artinya:“Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, dan kamu tidak akan menemukan perubahan dalam sunnatullah itu”.
Dari ayat-ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam al-Qur’an kata-kata “sunnah” dimaknai dengan arti secara etimologis, yaitu tata cara dan kebiasaan.
Adapun sunnah menurut pendapat lain adalah segala yang dinukil dari Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan , sifat dan tingkah laku Nabi yang mempunyai nilai ibadah dan hukum. Sunah pada dasarnya hampir sama dengan hadist. Perbedaannya hadist lebih bersifat umum sedangkan sunnah lebih bersifat khusus. Hadist adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw tanpa terkecuali, sedangkan sunnah adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan perbuatan beliau yang mempunyai akibat hukum dan ibadah.[14]
Ada banyak pendapat yang mengatakan soal perbedaan sunnah dan hadis. Kalau sunnah dikatakan sebagai segala perbuatan dan perkataan Nabi Muhammad, maka hadis oleh berbagai ulama dikatakan sebagai catatan tentang perbuatan, perkataan, dan perizinan Nabi Muhammad yang sampai saat ini. Yang dimaksud catatan adalah dokumentasi tertulis terhadap segala bentuk perbuatan, perkataan dan perizinan Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh berbagai ulama. Hadis yang paling banyak dipakai adalah hadis riwayat Bukhari dan Muslim. Oleh karena itu, sunnah dan hadis menjadi sumber hukum Islam yang menjadi pedoman umat muslim.[15]
Sebetulnya sunnah dan hadis memiliki kesamaan secara substantif, yaitu segala perilaku Nabi Muhammad yang berupaya ditiru dan menjadi pedoman hidup umat Islam. Meskipun secara klasifikasi dalam tatanan fiqh maupun ushul fiqh dibedakan secara jelas, tetapi secara substansi sunnah dan hadis adalah sama. Jadi, antara sunnah dan hadis pada dasarnya sama dalam hal isi, materi, dan substansi. Hanya saja, sunnah lebih bersifat umum, sedangkan hadis lebih bersifat khusus. Oleh karena itu, sunnah dan hadis dalam terminologi fiqh atau hukum Islam sudah dianggap identik, meskipun secara keilmuan bidang kajian ushul fiqh diklasifikasikan antara sunnah dan hadis.[16]
Dengan begitu, kesamaan sunnah dan hadis terletak pada kesamaan substansi atau isi yang disandarkan pada segala perbuatan, ucapan, perilaku Nabi Muhammad untuk dijadikan sebagai suri tauladan bagi umat muslim. Inilah bedanya antara sunnah atau hadis dengan al-Qur'an. Al-Qur'an adalah syariat Allah, sunnah dan hadis muncul dari Nabi Muhammad.[17]
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa sunnah merupakan suatu perbuatan yang memiliki nilai hukum dan ibadah dan disandarankan kepada perbuatan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad. Hadits merupakan perkataan Nabi Muhammad, sedangkan sunnah lebih kepada nilai dari suatu perbuatan dari perkataan Nabi Muhammad tersebut.

C.     Perkembangan Hadis dan Sunnah
Hadits memiliki arti berita/kabar dan kisah, baik yang baru terjadi ataupun yang telah lama berlalu. Istilah ini sebenarnya memiliki dinamika mengikuti perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan, komunikasi sosial dan budaya umat Islam. Hadits atau sunnah yang merupakan hukum kedua umat Islam, senantiasa menjadi bahan pembicaraan dan pengkajian.[18] Pada mulanya istilah hadits atau khabar (kabar) pernah dilontarkan oleh Abu Hurairah tatkala  berkata kepada kaum Anshar, “Apakah kalian berkehendak supaya aku ceritakan kepada kalian suatu hadits, atau berita-berita (khabar) kejadian di masa Jahiliyah?” Kemudian setelah itu umat Islam mempopulerkan istilah hadits atau khabar (berita/kabar).
Seiring dengan perkembangan waktu dan zaman, pemakaian lafadz ini pun berkembang, untuk istilah khabar adalah bagi berita-berita yang terjadi dalam masyarakat. Berikutnya Ibnu Mas’ud juga pernah melontarkan istilah hadits tatkala berkata, “Sesungguhnya sebaik-baik hadits ialah Kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk Muhammad saw”. Di sini Ibnu Mas’ud mensifatkan Al Qur’an dengan sebaik-baik hadits.
Selain itu, istilah hadits juga telah disampaikan oleh Nabi saw tatkala Abu Hurairah pernah bertanya kepada beliau, “Siapakah orang yang paling berbahagia dengan syafa’atmu di hari Kiamat?” Maka jawab Nabi saw, “Aku telah menyangka hai Abu Hurairah bahwa tak ada seorang pun yang bertanya kepadaku tentang hadits ini yang lebih dahulu daripada engkau, karena aku lihat bahwasanya engkau sangat antusias kepada hadits (HR. Bukhari). Demikian seterusnya hingga pada akhirnya ada semacam kesepakatan umum bahwa pengunaan lafadz hadits hanya untuk Nabi saw saja.[19]
Ada pun untuk  lafadz sunnah pada asalnya berbeda dengan hadits. Telah kita ketahui bahwa hadits adalah segala yang diberitakan dari Nabi saw. Sedangkan sunnah adalah sesuatu yang telah biasa dikerjakan oleh kaum muslimin sejak dahulu, baik diberitakan ataupun tidak. Istilah tersebut disepakati karena lafadz sunnah yang telah berkembang dalam masyarakat Arab sejak dahulu memiliki pengertian “jalan yang ditempuh seseorang dalam kehidupan masyarakat”. Sebagaimana Nabi saw menggunakan istilah sunnah ini di dalam sabdanya, “Sungguh kamu akan mengikuti jalan-jalan (sunnah) orang sebelummu, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta“ (Muttafaqun ‘alaih).
Makna ini telah berkembang di abad-abad permulaan dalam madrasah-madrasah Hijaz dan Irak. Kala itu sunnah diartikan dengan perbuatan yang telah menjadi tradisi, walaupun bukan sunnah Nabi saw. Namun berikutnya pada akhir abad dua Hijrah, makna sunnah dikhususkan hanya untuk Nabi saw, karena ada peran dari Imam Syafi’i. Saat itu secara khusus Imam Syafi’i mengajak masyarakat untuk mengamalkan hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir (hadits ahad) serta mengajak umat Islam untuk mendahulukan sunnah Nabi saw terhadap apa yang sudah berlaku dalam masyarakat.[20]
Dari hal itu mereka mendapat pengertian baru bahwa hadits merupakan peristiwa yang disandarkan kepada Nabi saw walaupun hanya sekali terjadi dalam sepanjang hidup beliau dan walaupun hanya diriwayatkan oleh seorang saja. Maka dari sanalah pada akhirnya masyarakat Muslim mendapatkan pengertian hadits dan sunnah menjadi satu makna.
Berbicara tentang sunnah, maka sebutan sunnah itu sebenarnya karena suatu perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan (tradisi), diamalkan oleh banyak orang yang tak terkira jumlahnya secara terus menerus dan turun temurun, atau bisa dikatakan sebagai amaliyah yang mutawatir (baca: banyak sekali pengamalnya). Ada pun sunnah Nabi saw yakni cara Nabi saw melakukan suatu ibadat yang telah diberitakan kepada kita dengan amaliyah yang mutawatir pula.Nabi saw melakukan suatu amal perbuatan bersama sahabat, lalu para sahabat mengamalkan terus hingga berlanjut kepada para tabi’in. Walau pun beritanya tidak mutawatir (baca: tidak banyak yang memberitakan), namun telah diamalkan dengan mutawatir. Jadi pelaksanaan yang mutawatir inilah yang dikatakan sunnah, walau dari segi sanad tidak mutawatir.[21]
Kemudian jika Nabi saw bersabda: “Saya telah tinggalkan kepada kalian dua hal yang sekali-kali kalian tidak akan sesat selama berpegang kepadanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya”( HR Abu Daud dan Imam Malik). Maka istilah sunnah dalam hadits tersebut memiliki makna sabil/sirath/thariqah (jalan), ath thariqul mustaqim (jalan yang lurus), uswah (suri teladan) atau khithah (garis kerja).[22]
Mata rantai sunnah dalam konteks defenisi sebenarnya sudah berdering ditelinga Arab Jahilah sebelum Islam sempurna mengepakkan sayap rohmatan lil’alaminnya. Kebiasaan orang arab melantunkan syair serta kepandaianya dalam merangaki kata menjadikan mereka sombong serta menghegemoni kabilah lainya. Segala aktifitas mereka baik maupun jelek sering mereka hembuskan lewat syair, bahkan memuji-muji perbuatan jeleknya sendiri tatkala minum khomer misalnya.[23]
Etimologi sunnah dalam arti “cara berprilaku yang dilakukan atau aturan yang dianut baik tata cara itu terpuji atau tercela” pada uraian syair-syair arab Jahiliyah tersebut menjadi bukti kuat bahwa kata-kata sunnah sudah terdering ditelinga-telinga arab.[24]
Islam dalam perkembanganya pun kata-kata sunnah menjadi term terpenting dalam menjelaskan pesan-pesan al-Quran dalam hal ini Nabi itu senidiri. Islam sendiri memakai kata sunnah tersebut dalam arti termenolohis dengan menambahi’ “al” di depanya yaitu “ tata cara dan syariat Rosulullah saw”.[25]
Menyambung ungkapan-ungkapan arab Jahiliah dalam penggunaan kata sunnah tadi, maka kita akan melihat keragaman ma’na sunnah itu sendiri. Dan ini berarti sunnah secara diakronis memiliki arti yang progresif serta berubah-ubah. Misalnya:
a.       Bermakna “tata cara” (an-Nisa’.4:26). Ibn Katsir pun menuturkan demikian bahwa sunnah dalam ayat ini maksudnya:{طرائقهم الحميدة واتباع شرائعه التي يحبها ويرضاها } tata cara yang baik.[26]  
b.      Bermkna “aturan” (al-Anfal.8:38). Ayat ini juga ibn Katsir tandaskan bahwa maksud ayat ini adalah ”sunnah (aturan) Allah yang yang sudah diberlakukan terhadap orang terdahulu”. [27]
c.       Bermakna “ketetapan” yang selaras dengan “atuaran” (al-Isra’ 17:77). Ayat ini pun ibn Katsi mengmontarinya ketetapan Allah terhadap orang-orang yang mengingkrai RosulNya.[28]
d.      Bermakna “sunatullah” (kebiasaan Allah yang diterapkan pada hambaNya) (al-Fath.48:23). Dalam tafsir yang sama Ibn Katsir juga memaknai ayat ini dengan: Sunnatullah atau kebiasaan Allah yanga diterapkan pada makhluNya.
e.       Bermakna “Hukum-hukum” (ali Imron. 3:137). kata “sunanun” hukuman-hukuman Allah yang berupa malapetaka yang dialanda orang-orang yang mendustakan rosul.[29]

D.     Sejarah Hadis Dan Sunnah Sejak Masa Nabi s.d Masa Pembukuan
1.         Masa Rasulullah SAW
Kondisi awal sejarah dan perkembangan Hadits yaitu pada masa Nabi SAW, masa ini hanya 23 tahun dimulai pada tahun 13 sebelum hijriyah atau bertepatan pada tahun 610 M sampai  pada tahun 11 H atau 623 M.
Pada masa tersebut Hadits itu diterima hanya dengan mengandalkan hafalan dari para shahabat-shahabat Nabi SAW  serta pada masa tersebut para shahabat belum ada pemikiran secara besar-besaran untuk melakukan penulisan terhadap Hadits Nabi SAW ini mengingat pada masa tersebut Rasulullah SAW masih sangat mudah untuk dihubungi dan dimintai keterangan-keterangan tentang segala hal yang berhubungan dengan ibadah dan muamalah keseharian umat Islam. pada masa inilah Hadits lahir berupa aqwali, afal dan taqrir Nabi SAW yang berfungsi untuk menerangkan Al-Qur’an dalam rangka menerangkan syariat dan membentuk mayarakat Islam.[30]
Munculnya Hadits itu mengalami proses yang memiliki keterkaitan dengan beberapa hal, yang meliputi: Pertama, peristiwa tersebut terjadi dihadapan Nabi, yang kemudian Nabi menjelaskan hukumnya dan menyebar luaskan kepda kaum muslimin. Kedua, peristiwa yang terjadi dikalangan umat Islam yang kemudian ditannyakan kepada Rasulullah SAW, baik kejadian yang menimpa pada diri orang baik itu secara langsung  maupun peristiwa yang terjadi padaorang lain. Ketiga, kejadian-kejadian yang disaksikan shahabat, mengenai apa yang diperbuat oleh Rasulullah SAW, kemudian shahabat itu menanyakannya dan kemudian Nabi SAW menjelaskannya.[31]
Dari sebab-sebab munculnya Hadits tersebut tergambar bahwa konteks munculnya Hadits Rasulullah SAW itu dapat dilihat dari tiga sisi: Pertama, Hadits muncul dalam kepentingan menafsirkan ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum. Kedua, Hadits muncul dalam konteks memperkuat dan menetapkan hukum-hukum yang telah ada di dalam al-Qur’an. Ketiga, kemunculan Hadits dikarenakan adanya suatu persoalan atau peristiwa yang terjadi yang mengharuskan untuk di jawab sementara belum ditemukan jawabanya dalam nash al-Qur’an.[32]
Perbuatan, ucapan, tutur kata dan gerak-gerik Nabi SAW, menjadi perhatian tersendiri bagi para shahabat dan kaum muslimin waktu itu, kesemuanya itu dijadikan suatu pedoman hidup atau dijadikan suatu aturan-aturan dalam kebiasan sehari-hari. kebanyakan shahabat untuk menguasai Hadits Nabi SAW, melalui hafalan tidak melalui tulisan, karena difokuskan untuk mengumpulkan al-Quran dan dikhawatirkan apabila Hadits ditulis maka timbul kesamaran dengan al-Quran.[33] Bagi mereka yang kurang kuat hapalannya atau memiliki kecakapan tulis menulis tidak ada kekahawatiran tercampur antara keduanya, maka diperbolehkan menulis Hadits. Penulisan Hadits disini berfungsi untuk membantu hapalan mereka.[34]
Ada beberapa cara penyampaian Hadits yang disampaikan oleh Nabi SAW:
a)      Melalui para jamaah pada pusat pembinannya yang disebut majlis ilmi.
b)      Dalam banyak kesempatan Rasulullah SAW juga menyampaikan Haditstnya melalui para shahabat tertentu, yang kemudian oleh para shahabat tersebut disampaikannya kepada orang lain. hal ini karena terkadang ketika ia mewurudkan suatu Hadits, para shahabat yang hadir hanya beberapa orang saja. baik karena disengaja oleh Rasulullah SAW sendiri atau secara kebetulan para shahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang.
c)      Melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan fathu makkah.
d)      Melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para shahabatnya (jalan musya’hadah), seperti yang berkaitan dengan praktek-praktek ibadah dan muamalah.
e)      Para shahabat yang mengemukakan masalah secara langsung atau bertanya dan berdialog kepada Nabi SAW.
Kebiasaan para shahabat dalam menerima Hadits yakni bertanya langsung kepada Nabi SAW. Contoh dalam problematika yang dihadapi oleh mereka, Seperti masalah hukum syara’ dan teologi. Diriwayatkan oleh imam Bukhari dari ‘Uqbah bin al-Harits tentang masalah pernikahan satu saudara karena  radla’ (sepersusuan). Tapi perlu diketahui, tidak selamanya para shahabat bertanya langsung. Apa bila masalah biologis dan rumah tangga, mereka bertanya kepada istri-istri beliau melalui utusan istri mereka, seperti masalah suami mencium istrinya dalam keadaan puasa.[35]
Setiap  shahabat  mempunyai  kedudukan  tersendiri  dihadapan  Rasulullah SAW. Adakalanya yang disebut dengan “Ash-Shabiqunn Al-Awwaluun” yakni para shahabat yang pertama-tama masuk Islam, seperti Abu Bakar As-Sidiq, Umar Bin Khattab, Usman Bian Affan, Ali Bin Abu Thalib, Abdullah Ibnu Mas’ud dan Abdurrahman Bin Auf, RA. Ada  juga  shahabat  yang  sungguh-sungguh  menghafal hadits Rasulullah SAW, misalnya Abu Hurairah. Ada juga shahabat yang usianya lebih panjang dari shahabat lain, sehingga mereka lebih banyak menghafalkan Hadits, seperi Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas. Demikian juga ada shahabat yang  mempunyai hubungan erat dengan Nabi SAW, seperti istri-istrinya. Semakin erat dan lama bergaul semakin banyak pula Hadits yang diriwayatkan dan kebenarannya tidak diragukan.[36]
Namun  demikian, para  shahabat  juga adalah  manusia  biasa,  harus mengurus rumah tangga, bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, maka tidak setiap kali lahir sebuah hadits disaksikan langsung oleh seluruh shahabat. Sehingga sebagian shahabat menerima Hadits dari shahabat lain yang mendengar langsung ucapan Nabi atau melihat langsung tindakannya. Apalagi shahabat yang berdomisili di daerah yang jauh dari Madinah seringkali hanya memperoleh hadits dari sesama shahabat.[37]
Rasulullah SAW membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus adanya Hadits. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para shahabat sebagai pewaris pertama ajaran Islam.
Pendapat lain menerangkan bahwa Hadis pada waktu Rasulullah itu pada umumnya hanya diingat dan dihafal saja, tidak ditulis seperti Al-Qur’an, karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan. Selain memang di khawatirkan akan bercampur dengan Al-Qur’an yang pada saat itu masih turun kepada Nabi Muhammad SAW sedangkan kondisi penulisannya masih sagat sederhana, di tambah lagi para sahabat yang mampu menulis pada awal islam masih sangat sedikit dan yang sedikit itu sudah difungsikan sebagai penulis Al-Qur’an; Sehingga Rasulullah SAW menganggap cukup dengan mengandalkan ingatan para sahabat yang kuat.[38]
Diriwayatkan bahwa ada beberapa sahabat yang memiliki catatan hadis-hadis rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis-hadis yang pernah mereka dengar dari Rasullullah SAW. Diantaranya adalah, Abdullah bin Amr bin Ash yang menulis sahifah-sahifah yang dinamai As-Shadiqah. Ash-Shahifah ‘Ali, tulisan yang Nabi perintahkan kepada Abi Syah pada masa Fathu mekkah. Shahifah jabir tulisan Jabir bin Abdullah Al-Anshary.[39]
Para khalifah dari khulafa al-rasyidin sejak Abu Bakar, ‘Umar, Ustman, dan ‘Ali, begitu pula dengan khalifah-khalifah setelah itu, menjunjung tinggi amanah tersebut. Abu Bakar sebagai khalifah serta secara bersungguh-sungguh segera mengadakan usaha pengumpulan al-Qur’an atas usul ‘Umar, yang pada masa Nabi SAW ayat al-Qur’an sudah tertulis seluruhnya tetapi belum terkumpul.
Realisasinya ditangani oleh Zaid ibn Tsabit. Usaha ini disempurnakan pada masa pemerintahan ‘Ustman ibn ‘Affan, yakni dengan membukukan al-Qur’an yang disalin dari lembaran hasil penulisan pada masa Abu Bakar. [40]
Dalam prakteknya, cara shahabat meriwayatkan Hadits ada dua:[41]
1)      Dengan lafaz asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka hafal benar.
2)      Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan lafaznya karena tidak  hafal lafazh yang asli dari Nabi.
Tindakan hati-hati para shahabat dalam periwayatan Hadits berupa:
a.       Menyedikitkan riwayat, yakni hanya mengeluarkan Hadits dalam batas kebutuhan primer dalam pengajaran dan tuntunan pengalaman agama. Hal ini karena khawatir akan dipergunakan oleh orang-orang munafik menjadi jalan membuat Hadits palsu.
b.      Menepis dalam penerimaan Hadits, yakni meneliti keadaan rawi dan marwi setiap Hadits, apakah rawinya cukup ‘adil dan dhabit atau masih meragukan, dan apakah rawinya cukup falid dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an, Hadits Mutawatir atau Mashur. Terkadang kalau menerima Hadits yang meragukan, para shahabat meminta saksi atau keterangan-keterangan yang bisa menimbulkan keyakinan. Contoh Abu Bakar kedatangan seorang nenek yang meminta diberikan hak dan harta peninggalan cucunya, beliau tidak mendapatkan dasar hukum dari al-Qur’an dan tidak mendapatkan atau mengetahui adanya sabda Rasulullah SAW tentang hal itu, maka berdirilah al-Mughirah dan menerangkan bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan seperenam kepada nenek dari harta peninggalan cucunya. Mendengar hal itu Abu Bakar bertanya kepada shahabat yang lain, apakah ada orang lain yang mendengar sabda Nabi SAW tersebut. Kemudian Muhammad ibn Maslamah yang juga mendengar dari Nabi SAW mengakui kebenaran al-Mughirah. Setelah Abu Bakar mendengar Hadits dari dua shahabat tadi, barulah memberikan seperenam kepada nenek dari harta pusaka yang ditinggalkan cucunya.
c.       Melarang meriwayatkan secara luas Hadits yang belum dapat dipahami umum.
Sikap kehati-hatian para shahabat ditujukan untuk menjaga kemurnian Hadits agar terhindar dari sisipan-sisipan yang ditambahkan oleh orang-orang munafik.[42]
Dari penjabaran tersebut dapat ditarik kesmpulan bahwa Perkembangan dan pertumbuhan Hadis Pada Masa Rasul ini, Nabi menyampaikan hadis melalui media: majlis ‘ilmi, melalui sahabat tertentu, ceramah pada tempat terbuka, perbuatan langsung, dan sebagainya. Selain itu, Sahabat yang banyak menerima hadis antara lain: As-Sabiqunal awwalun yaitu: Abu Bakar, Usman, Ali, dan Abdullah Ibn Mas’ud, Ummahatul Mukminin atau istri-istri Rasul seperti ‘Aisyah dan Ummu Salamah, Sahabat dekat yang menulis hadis yaitu Abdullah Amr bin al’Ash, Sahabat yang selalu memanfaatkan waktu bersama Nabi seperti Abu Hurairah, Sahabat yang aktif dalam majlis ilmi dan bertanya kepada sahabat yang lain seperti Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, dan Abdullah bin Abbas.
Hadis lebih banyak dihafal karena Rasul melarang menulis hadis agar tidak bercampur dengan al-Qur’an. Namun terdapat beberapa sahabat yang menulis hadis dan disimpan sendiri seperti: Abdullah bin Amr bin ‘Ash (as-sahifah as-sadiqah), Jabir bin Abdullah (sahifah Jabir), Anas bin Malik, Abu Hurairah ad-Dausi (sahifah as-sahihah), Abu Bakar, Ali, Abdullah bin Abbas dan lain-lain.
a.      Masa Sahabat
Masa ini disebut masa periwayatan hadits secara terbatas (12-40H). Para sahabat menyampaikan amanat sedikit demi sedikit menyampikan hadits kepada orang lain setelah nabi saw wafat. Hal tersebut dilakukan mereka dengan penuh kehati-hatian karena takut berbuat salah. Sabda nabi saw:[43]
Ketahuilah ! Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang ghaib (tidak hadir) diantaramu. (diriwayatkan ibnu Abdil bar dari abu bakrah). Sampaikanlah daripadaku walaupun hanya satu ayat (maksudnya satu hadist). Riwayat bukhari dari Abdullah bin Amr bin Ash.
Periwayatan yang dilakukan para sahabat yang pergi kekota-kota lain, dilakukan mereka dengan menyampaikan hadits kepada para sahabat lain dan tabi’in dengan sangat dibatasi dan sekedar keperluan, tidak bersifat pelajaran. Terutama pada masa Abu bakar dan Umar lebih sangat berhati-hati karena ingin menjaga jangan sampai terjadi pendustaan dalam mentabligkannya yang diancam dosa besar. Sabda nabi saw:[44]
Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka tempatnya disediakan di neraka. (riwayat jama’ah perawi hadist)
Para sahabat disamping terbatas dalam meriwayatkan hadist, juga sangat berhati-hati dalam menerima sesama sahabat dengan memperhatikan rawi/periwayat dan marwi (hadits yang diriwayatkan), tidak memperbanyak menerima hadits atau meriwayatkannya.
Baru pada masa khalifah Ustman dan Ali bin abi thalib dimulai pengembangan hadits dan periwayatannya, mereka meriwayatkan hadits dengan dua cara, yaitu:
a)      Dengan lafadz seperti diterima dari nabi
b)      Dengan maknanyak walaupun lafadznya lain, karena yang penting adalah menyampaikan laksud isinya.[45]
Periode sejarah perkembangan Hadits kedua ini khususnya masa Khulafa al-Rasyidin dikenal dengan Zaman al-tasabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah yang berarti periode membatasi Hadits dan menyedikitkan riwayat. Hal ini disebabkan karena para sahabat pada masa ini lebih mencurahkan perhatiannya kepada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an. Sehingga Hadits kurang mendapatkan perhatian, bahkan mereka berusaha untuk bersikap otoriter dan membatasi dalam meriwayatkan Hadits. Sikap ini disebabkan adanya keekhawatiran mereka akan terjadinya kekeliruan dalam meriwayatkan Hadits. Karena Hadits merupakan sumber tasyri’ kedua setelah Al-Qur’an yang harus dijaga keaslianya dan keabsahannya sebagaimana penjagaan terhadap Al-Qur’an.
حَدَّثَنِي يَحْيَ عَنْ مَالِك عَنْ اِبْنِ شِهَابٍ عَنْ عُثْمَان بْنِ إِسْحَقَ بْنِ خَرْشَةَ عَنْ قَبِيْصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ أَنَّهُ قَالَ جَاءَتِ اْلجَدَّةَ اِلَى اَبِيْ بَكْرٍ الصِدِّيْقِ تَسْأَلُهُ مِيْرَاثَهَا فَقَالَ لَهَا اَبُو بكْرِ مَالَكِ فِيْ كِتَابِ اللهِ شَيْئٌ وَمَا عَلِمْتُ لَكِ فِيْ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا فَاْرجِعِي حَتَّى أَسْأَلَ النَّاسَ فَسَأَلَ النَّاسَ فَقَالَ الْمُغِيْرَةُ بْنُ شُعْبَةَ خَضَرْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الَّلهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَعْطَاهَاالسُّدُسِ فَقَالَ اَبُوْ بَكْرٍ هَلْ مَعَكَ غَيْرُكَ فَقَامَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ الْاَنْصَارِيُّ فَقَالَ مِثْلَ مَا قَالَ الْمُغِيْرَةُ فَأَنْفَذَهُ لَهَا اَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيْق
Artinya: “Dari Qabishah bin Dzu’aib Bahwasanya ia berkata : ketika Abu Bakar ash-Shiddiq didatangi seorang nenek yang menanyakan bagian warisnya, beliau menjawab :”Dalam kitabullah tidak terdapat bagian untukmu, dan sepengetahuan saya dalam sunnah Rasulullah SAW juga tidak ada. Silahkan kemari esok lusa , saya akan menanyakan hal itu kepada orang-orang.” Lalu Abu Bakar menanyakan kepada orang-orang. Diantara yang menjawab adalah al-Mughirah bin Syu’bah, Katanya :”saya pernah menghadap Rasulullah Saw, beliau menentukan bagian seperenam untuk nenek.” Abu Bakar lalu menanyainya: “apakah ketika kamu menghadap Rasulullah Saw kamu bersama orang lain?”. Maka Muhammad bin Maslamah al-Anshari bangkit dari duduknya dan berkata seperti yang dikatakan al-Mughirah. Akhirnya Abu Bakar menetapkan bagian seperenam untuk nenek.”[46]
Berdasarkan riwayat diatas, pada masa pemerintahan Abu Bakar periwayatan Hadits dilakukan dengan sangat hati-hati, tidak  menerima begitu saja riwayat suatu Hadits, sebelum meneliti terlebih dahulu periwayatannya.
Terdapat tiga faktor yang menyebabkan sahabat Abu Bakar tidak banyak meriwayatkan Hadits, yaitu :
1)      Selalu sibuk saat menjabat sebagai khalifah.
2)      Kebutuhan Hadits tidak sebanyak pada zaman sesudahnya.
3)      Jarak waktu antara wafatnya dengan kewafatan Nabi sangat singkat.[47]
Sikap hati-hati yang dilakukan oleh Abu Bakar juga diikuti oleh Umar bin Khattab. Beliau tidak mau menerima suatu riwayat apabila tidak disaksikan oleh sahabat yang lainnya, untuk membuktikan kebenaran. Hadits tersebut benar-benar Nabi SAW pernah mengatakannya. Sebagaimana Hadits dibawah ini :
عَنْ أَبِيْ سَعِيْد الخُدْرِي قَالَ كُنْتُ فِيْ مَجْلِسِ مِنْ مَجَالِسِ اْلأَنْصَارِ إِذْجَاءَ أَبُوْ مُوْسَى كَأَنَّهُ مَذْعُوْرٌ فَقَالَ اسْتَأْذَنْتُ عَلَى عُمَرَ ثَلَاثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِيْ فَرَجَعْتُ فَقَالَ مَا مَنَعَكَ قُلْتُ اسْتَأْذَنْتُ ثَلَاثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِيْ فَرَجَعْتُ وَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الَّلهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَأْذَنْ أَحَدُكُمْ ثَلَاثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ فَلْيَرْجِعْ فَقَالَ وَاللهُ لَتُقْيِمَنَّ عَلَيْهِ بِبَيِّنَةٍ أَمِنْكُمْ أَحَدٌ سَمِعَهُ مِنَ الَّنبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ وَاللهُ لَا يَقُوْمُ مَعَكَ إِلَّا أَصْغَرَ الْقَوْمِ فَكُنْتُ أَصْغَرَ اْلقَوْمِ فَقُمْتُ مَعَهُ فَأَخْبَرْتُ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قاَلَ ذَلِكَ
Artinya: “Abu Sa’id al-Khudry berkata: aku sedang berada di salah satu majelis kaum Anshar. Kemudian datang Abu Musa, seakan-akan sedang merasa kesal, lalu berkata: aku meminta izin bertemu sebanyak tiga kali, tetapi tidak diberi izin. Kemudian aku kembali saja.” Lalu ia berkata: “mengapa engkau tidak jadi masuk?” aku menjawab: “aku telah meminta izin sebanyak tiga kali tetapi tidak diberi izin , sehingga aku kembali.”Rasulullah pernah bersabda: “bila seseorang diantara kamu meminta izin (untuk bertamu), tetapi tidak diizinkan, maka sebaiknya ia kembali saja.’ Lalu Umar berkata: “Demi Allah, hendaknya engkau memberikan saksi atas apa yang kau katakan itu.” Adakah salah seorang di antara kamu yang mendengarnya dari Nabi SAW? Lalu Ubay bin Ka’ab berkata: “demi Allah, tidaklah berdiri bersamamu kecuali yang terkecil di antara kaummu. Aku lah yang terkecil itu. Lalu aku berdiri bersamanya. Aku beri tahu kepada Umar bahwa Nabi SAW memang mengatakan seperti diatas.”(HR. Bukhari). [48]
Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa Perkembangan Hadits pada masa pengetatan periwayatan (Ashru Taqlil Riwayat al-Hadits) merupakan periode kedua yang terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin atau zaman sahabat besar. Pada periode ini para sahabat utamanya Khulafaur Rasyidin menggunakan metode hati-hati dalam periwayatan Hadits, karena dilatarbelakangi oleh kekhawatiran berpaling perhatian umat Islam dari pembukuan/pengkodifikasian Al-Qur’an. Masa ini disebut juga dengan masa pembatasan dan pengetatan riwayat karena perhatian difokuskan pada penyebaran al-Qur’an. Sahabat sangat hati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadis. Setiap hadis yang diriwayatkan harus didatangkan seorang saksi.

b.      Masa Sesudah Sahabat
Periode sejarah dan perkembangan Hadits yang ketiga adalah masa memperbanyak periwayatan atau dikenal sebagai Ashru Iktsar Riwayat al-Hadits. Periode ini terjadi pada masa sahabat kecil atau zaman tabi’in besar. Pada masa ini daerah Islam sudah meluas hingga negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand. Bahkan pada tahun 93H tentara Islam berhasil menaklukkan Spanyol. Pada periode ini umat Islam telah mulai mencurahkan perhatiannya terhadap periwayatan Hadits. Hal ini disebabkan :
a.       Al-Qur’an telah dikodifikasikan.
b.      Peristiwa-peristiwa yang dihadapi umat Islam semakin banyak. Dan memerlukan petunjuk-petunjuk dari Hadits-Hadits Rasulullah yang lebih banyak lagi, disamping petunjuk-petunjuk dari Al-Qur’an.
c.       Meninggalnya para sahabat, dan sahabat yang masih hidup banyak yang berpencar ke daerah-daerah.[49]
Menurut pendapat lain dijelaskan bahwa cara umat Islam meriwayatkan Hadits pada periode ini yaitu dengan cara:
a.       Para sahabat lebih berhati-hati dalam meriwayatkan dan menerima Hadits. Demikian pula para tabi’in. Karena pada periode ini pemalsuan Hadits dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab semakin banyak.
b.      Bentuk periwayatan Hadits pada periode ini, masih sama dengan periode sebelumnya, yaitu dengan cara:
1)      Dari mulut ke mulut.
2)      Periwayatan dilakukan dengan lafdziyah dan ma’nawiyah.
3)      Bersandar kepada ingatan dan hafalan.[50]
Penghimpunan Hadits Nabi SAW secara tertulis pertama kali di kemukakan oleh Umar ibn Khatab (W 23 H atau 644 M). Namun ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena merasa khawatir umat Islam akan berpaling dari al-Qur’an. Dengan demikian, pembukuan Hadits secara resmi terjadi pada masa Umar ibn ‘Abd al-Aziz, (61-101 H) salah seorang khalifah bani Umayyah. [51]
Beliau berinisiatif mengkodifikasikan al-Hadits dengan beberapa pertimbangan:
a)      Kenginan beliau yang kuat untuk menjaga keontetikan hadits. karena beliau khawatir lenyapnya hadits dari perbendaharaan masyarakat, disebabkan belum adanya kodifikasi al-Hadits.
b)      Keinginan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara al-Hadits dari hadits-hadits maudhu' yang dibuat oleh masyarakat untuk mempertahankan ediologi golongan dan mempertahankan madzhabnya, disebabkan adanya Konflik Politik ataupun "Fanatisme Madzhab" berlebihan,  yang mulai tersiar sejak awal berdirinya Khilafah Ali bin Abi thalib.
c)      Alasan tidak terkodifikasinya al-Hadits di zaman Rasulullah SAWullah saw. dan khulafaurrasyidin karena adanya kekhawatiran bercampur aduknya dengan al-Quran, telah hilang. hal ini disebabkan al-Quran telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata diseluruh pelosok. Ia telah dihafal dan diresapkan di hati sanubari beribu-ribu umat Islam.[52]
Pada periode Tabi’in ( abad ke 2 H ) Periode ini disebut “Ashr Intisayar al-Riwayah ila al-Amshar”, yakni masa berkembang dan  meluasnya periwayatan Hadits.
Pada abad ini disebut masa pengkodifikasian hadits yang dilakukan pada pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Khalifah kedelapan dari kekahlifahan Bani Umayyah, 61-101 H) yang hidup pada awal abad 2 H. Beliau khawatir akan hilang dan lenyapnya ajaran-ajaran Nabi SAW setelah wafatnya para ulama, baik dari kalangan shahabat maupun tabi’in. Maka beliau instruksikan kepada para gubernur di seluruh wilayah Islam agar para ulama dan ahli ilmu untuk menghimpun dan  membukukan hadits Nabi SAW:
اُنْظُرُوُاحَدِيْثَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقْتُبُوْهُ فَإِنِّي خِفْتُ دُرُوْسَ الْعِلْمِ وَذِهَابِ اَهْلِهِ(وَفِى رِوَايَةٍهَابِ الْعُلْمَاءِ) وَلاَتُقْبَل إِلاَّحَدِيْثَ النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Perhatikan atau periksa hadits-hadits Rasulullah SAW, kemudian tulislah! Aku khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ahli (menurut riwayat disebutkan para ulama). Dan janganlah kamu terima, kecuali hadis Rasulullah.[53]
Penghimpunan hadits pada abad ini masih tercampur dengan fatwa shahabat dan tabi’in. Dengan demikian kitab hadits pada periode ini belum diklasifikasi atau dipisah-pisah antara hadits-hadits marfu’, mauquf, dan maqthu’. Selain itu penulisan hadits pada periode ini berbeda dengan penulisan pada abad sebelumnya yang masih dalam bentuk lembaran-lembaran (shuhuf) yang hanya dikumpulkan tanpa klasifikasi ke dalam beberapa bab secara tertib. Sedangkan pada periode ini sudah dihimpun perbab. Materi hadits dihimpun dari shuhuf yang ditulis oleh para shahabat sebelumnya dan diperoleh melalui periwayatan secara lisan baik dari shahabat atau tabi’in. Adapun kitab-kitab yang muncul pada masa ini adalah:
a.       Al-Muwatha’ yang ditulis Imam Malik
b.      Al-Mushanaf oleh Abdul Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani
c.       As-Sunnah ditulis Abd bin Manshur
d.      Al-Mushanaf dihimpun oleh Abu Bakar bin Syaybah
e.       Musnad Asy-Syafi’i
Kitab-kitab hadits pada masa ini tidak sampai kepada kita kecuali diantaranya Al-Muwatha’ yang ditulis oleh Imam Malik dan Musnad Asy-Syafi’i yang ditulis Imam Asy-Syafi’i. Tulisan-tulisan hadits pada masa awal sangat penting sebagai bukti adanya penulisan hadits sejak zaman Rasulullah SAW sampai dengan pengkodifikasian ressmi dari Umar bin Abdul Aziz bahkan sampai sekarang.
Bagi pengamalan agama pada generasi setelah shahabat, yakni shahabat kecil dan tabi’in, yang memerlukan untuk mengetahui Hadits-Hadits Nabi SAW, mereka kemudian berangkat mencari Hadits, menanyakan dan belajar kepada para shahabat besar yang sudah tersebar di seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah. Dengan demikian, pada masa ini, di samping tersebarnya periwayatan Hadits ke pelosok-pelosok daerah Jazirah Arab, juga tentunya perlawatan untuk mencari Haditspun menjadi ramai di perbincangakan. Sehingga terbentuklah atau tersusunlah lima kitab-kitab para tabi’in yang disebutkan diatas tadi yang tidak lain karena jasa-jasa mereka dalam mencari hadits sebagai pedoman dalam menjawab persoalan kehidupan sehari-hari.
Periode Tabi’ Tabi’in ( abad ke 3 H ) Periode ini merupakan masa Ashr Al-Jami’ wa At-Tashhih (kodifikasi dan filterasi keemasan dalam pembukuan hadits), karena kegiatan perjalanan mencari ilmu dan hadits serta pembukuannya mengalami puncak keberhasilan yang luar biasa, sehingga pada periode ini dianggap seolah-olah hadits telah terhimpun semua dan pada periode berikutnya tidak mengalami perkembangan yang signifikan.[54]
Pada periode ini para ulama hadits juga telah berhasil memisahkan hadits Nabi dari yang bukan hadits atau dari perkataan shahabat dan fatwanya. Selain itu pada masa ini juga telah mengadakan filterasi (penyaringan) yang sangat teliti tentang apa saja yang dikatakan Nabi (dikatakan matan dan sanadnya).[55] Sehingga telah dapat dipisahkan mana yang merupakan hadits shahih atau yang bukan hadits shahih. Oleh karena itu pada periode ini disebut juga masa kodifikasi dan filterasi (Ashr Al-Jami’ wa At-Tashhih).
Sebagian ulama pada periode ini juga mengkodifikasikan hadits berdasarkan nama periwayat para shahabat yang diperolehnya yang kemudian disebut dengan bentuk musnad seperti:
a)      Musnad Abu Dawud Sulaiman bin Dawud Ath-Thayalisi
b)      Musnad Abu Bakar Abdullah bin Zubair Al-Humaidi
c)      Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal
d)      Musnad Abu Bakar Ahmad bin Amar Al-Bazzar
e)      Musnad Abi Ya’la Ahmad bin Ali Al-Mustanna Al-Mushili
Kendatipun kitab-kitab hadits permulaanabad ketiga sudah menyisihkan fatwa, namun masih mempunyai kelemahan yakni belum disisihkannya hadits-hadits termasuk palsu yang sengaja disisipkan untuk kepentingan golongan tertentu. Oleh karena itu pada abad ketiga pertengahan para ulama haditst hijrah untuk menyelamatkan hadits. Mereka membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk menentukan suatu hadits. Dalam hubungan ini, para perawi menjadi sasaran penelitian mereka untuk menyelidiki kejujuran, kehafalan dan lain sebagainya.
Sebagian hasil dari kerja keras para ulama muncullah kitab-kitab hadits yang terhindar dari hadits dhaif dan seterunya. Diantara kitab-kitab tersebut adalah:
a.       Shahih Al-Bukhary atau Al-Jami’ush Shahih
Kitab ini disusun oleh Muhammad bin Ismail al-Bukhary. Kitab ini memuat 8.122 hadits yang terdiri dari 6.397 hadits asli, dan selebihnya hadits yang terulang-ulang. Diantara jumlah tersebut terdapat 1.341 yang mu’allaq (dibuang sanadnya sebagian atau seluruhnya) dan 384 hadits mutabi’ (mempunyai sanad yang lain).
b.      Shahih Muslim atau Al-Jami’us Shahih
Kitab ini disusun oleh Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairy. Berisi sebanyak 7.273 hadits, termasuk hadits yang diulang-ulang. Jika tidak diulang-ulang maka jumlahnya hanya 4000 buah.
Kedua kitab tersebut sangat terkenal dikalangan masyarakat Islam di seluruh dunia, dan dikenal dengan sebutan al-Shahihain dan sekarang ini sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia.[56] Selain itu kedua kitab tersebut merupakan bagian dari buku induk hadits enam (Ummahat Kutub As-Sittah), yakni buku hadits Sunan, Al-Jami’ Ash-Shahih yang dipedomani oleh umat Islam dan buku-buku hadits Musnad. Buku induk hadits enam ini merupakan buku-buku hadits yang dijadikan pedoman dan refrensi para ulama hadits berikutnya, diantaranya adalah:
1)      Al-Jami’ Ash-Shahih li Al-Bukhari (194-252 H)
2)       Al-Jami’ Ash-Shahih li Muslim bin Hajjaj Al-Qusyayry ( 204-261  H)
3)      Sunan An-Nisa’i (215-303 H )
4)      Sunan Abu Dawud (202-207 H),
5)      Jami’ At-Tirmidzi (209-279 H),
6)      Sunan Ibn Majah Al-Qazwini (209-207 H).[57]
Kitab-kitab ini terbentuk pada abad ketiga sebagai gambaran kepedulian dan perhatian para ulama hadits terhadap perkembangan zaman.
Periode Setelah Tabi’ Tabi’in (Abad ke 4 H). Pada masa ini disebut Penghimpunan dan Penertiban Hadits. Ulama yang hidup pada abad ke 4 H dan berikutnya disebut ulama muta’akhirin atau khalaf (modern). Sedangkan ulama yang hidup sebelum abad ke 4 H disebut ulama mutaqaddimin atau ulama salah (klasik). Perbedaan mereka dalam periwayatan dan kodifikasi hadits adalah Ulama mutaqaddimin (sebelum abad ke 4 H) menghimpun hadits Nabi SAW dengan cara langsung mendengar dari guru-gurunya kemudian mengadakan penelitian sendiri baik sanad atau matannya. Sedang ulama muta’akhirin (abad ke 4 H) cara periwayatan dan pembukuannya bereferensi dan mengutip dari kitab-kitab mutaqaddimin. Oleh karena itu tidak banyak penambahan hadits pada abad ini dan berikutnya kecuali hanya sedikit saja.[58] Adapun kitab-kitab karya ulama  abad keempat ini adalah:
a)      Mu’jam Al Kabir, yang ditulis oleh Imam Sulaiman bin Ahmad al-Thabrany
b)      Mu’jam Al-Ausaih, yang ditulis oleh Imam Sulaiman bin Ahmad al-Thabrany
c)      Mu’jam Al-Shaghir, yang ditulis oleh Imam Sulaiman bin Ahmad al-Thabrany.[59]
Pada abad ke-5 dan seterusnya merupakan periode pengklasifikasian dan pensistematisasian hadits. Para ulama pada periode ini mengklasifikasikan hadits dengan menghimpun hadits-hadits yang sejenis kandungannya atau sifat-sifat isinya dalam suatu kitab hadits. Mereka juga berupaya mensyarahkan (menguraikan maksud hadits dengan luas) dan ada pula yang mengikhtisarkan atau meringkaskan kitab-kitab hadits yang telah disusun para ulama terdahulu. Dengan usaha mereka maka muncullah kitab-kitab hadits seperti:
1)      Sunan al-Kubra, karya Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali Al-Baihaqy (384-458 H)
2)       Muntaqa al-Akhbar, karya Majdudin Al-Harrany (652 H)
3)      Nailul Authar, sebagai syarah kitab Muntaqa al-Akhbar karya Abu Muhammad bin Ali al-Syaukany (1172-1250 H)
Selain itu terdapat pula kitab hadits tentang targhib dan tarhib seperti:
1)      Al-Targhib wa al-Tarhib, karya Imam Zakiyuddin Abdu al-Adhim Al-Mundziry (656 H)
2)      Dalil al-Falihin, karya Muhammad Ibn Allan As-Shiddiqy  (1057 H) sebagai syarah kitab Riyadush Shalihin, karya Imam Muhyidin Abi Zakariya al-Nawawy (676 H).
Pada periode ini para ulama juga menciptakan kamus hadits untuk mencari pentakhrij suatu hadits atau untuk mengetahui dari kitab hadits apa suatu hadits didapatkan, misalnya :
1)   al-Jami’u al-Shaghir fi Ahaditsi al-Basyiri al-Nadzir, karya al-Imam Jalaluddina l-Suyuthy (849-911 H.) Kitab yang mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab enam dan lainnya ini disusun dengan alphabets dari awal hadits, dan selesai ditulis pada tahun 907 H.
2)   Dakhairu al-Mawarits fi Dalalati ‘Ala Mawadhi’i al-Ahadits, karya al-Imam al-‘Allamah al-Sayyid Abdul Ghani al-Maqdisy al-Nabulisy. Didalamnya terkumpul kibat athraf 7 (Shahih Bukhary dan Muslim, Sunan empat dan Muwattha’.
3)   Miftahu al-Kunuzi al-Sunnah, Karya Dr. A.J. Winsinc. berisikan hadits-hadits yang terdapat dalam 14 macam kitab hadits. Kitab tersebut disalin kedalam bahasa Arab oleh Ustadz Muhammad fuad abdu al-Baqy dan dicetak di Mesir pada tahun 1934 M.
4)   Al-Mu'jamu al-Mufahras Li al-Alfadzi al-Haditsi al-Nabawy, Karya Dr. A.J. Winsinc dan Dr. J.F. Mensing. keduanya adalah Dosen di Universitas Leiden. Kitab hadits yang mengandung hadits-hadits kitab enam, musnad al-Darimy, Muwattha’ Malik, dan Musnad Imam Ahmad, selesai dicetak di Leiden pada tahun 1936 M.[60]






[1] Qadir, Hasan, Ilmu Musthalah Hadits, (Bandung: Dipenegoro, 2007), h. 17
[2] Munzier, Supartam,  Ilmu Hadits,(Cet.3, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h.702.
[3] Qadir, Hasan, Ilmu Musthalah Hadits, (Bandung: Dipenegoro, 2007), h. 17
[4] A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, Edisi Kedua, (Surabaya: Pustaaka Progresif, 1997), h.242.
[5] Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits (terj), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h.16.
[6] Muhammad Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature, (Indianapolis: Islamic Teaching Centre, 1977), h. 1-2.
[7] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, h. 22.
[8]Ibid, 23.
[10] Ibid.
[11] M. Hasbi Ash shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, h. 24.
[12] Musthafa al- Siba`I al- Sunnah wa makanatuhu fi al- Tasyr` al- Islami, Beirut: Maktabah al- Islamiyat, 1978, hal. 47
[13] M.M. Azami, Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya (Terj), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 16-18.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] Shofiyyur Rohman, Al-Mubarokfuriy,ar-Rohiqul Makhtuk;bahtsun fi shiroh Nabawaiyyah ‘ala Shohiba afdolish Sholati was Salam (Riyadh:Darussalam,cet.I.1414 H), h. 35.
[24] Muhammad Musthofa ‘Azami, Hadits Nabawiy dan Sejarah Kondifikasinya (Pejaten Barat:Pustaka Firdaus,cet.IV, 2009), h. 20.
[25] Al-Imam Abdul Fuha’ Ismail Ibn Katsir  Ad-dinamsyiqi, Tafsirul Quranil ‘Adzim (Maktabah Syamilah), h. 53.
[26] Ibid. h.316
[27] Ibid. h.332
[28] Ibid. h.343
[29] Al-Bukhori, Shoheh Al-Bukhori Bab Tahajjud, (Maktabah Syamilah), h.35.
[30] Suryadilaga, Alfatih, dkk, Ulumul Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2010), h. 50
[31] Sumbullah, Umi, Kajian Kritik Ilmu Hadits, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), h. 37
[32] Ibid, h. 38
[33] Mana’ al-Qathan, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami (Kairo: Maktabah Wahbah, 1989), h. 106
[34] Majid, Abdul Khon, Ulumul Hadits, ( Jakarta: Grafika Offset, 2008), h. 46
[35] Mushtafa al-Suba’i,  Assunnah, (Kairo: Dar-Assalam. 2003), h. 67
[36]Muhaimin  dan Abdul Mujib, dkk,  Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Cet 1,Jakarta: Kencana, 2005), h. 148
[37] Zuhri, Muh, Hadits Nabi Telaah Historis dan Metodelogis, (Cet 11, Yogyakarta: Tiara wacana Yogya, 2003), h. 29
[39] Ibid.
[40] Zuhri, Muh., Hadis Nabi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997),  h. 37
[41] Ibid, h. 38
[42] Hasbi Ash-Shidiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Bulan Bintang, 1974), h. 67
[44] Ibid.
[46] Abu Abd Allah Muhammad ibn Abd Allah al-Naisaburi, Kitab Ma’rifat Ulum al-Hadis (Kairo: Maktabah al-Matnabi), h.25.
[47] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatann Ilmu Sejarah (Bandung :Bulan Bintang,1995), h.43.
[48] Lihat bukhari, kitab al-isti’dzan, hadits no. 5776.
[49] Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, (Bandung: Angkasa Bandung), h.99.
[50] Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, h.99-100.
[51] Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 66
[52] Khothib, Muhammad Ajjaj, Ushulu al-Hadits Ulumuhu Wa Mushthalahuhu,  (Daru al-Fikr: Beirut, tt), h. 170.
[53] Sohari, Sahrani, Ulumul, h. 65
[54] Ibid., h. 57
[55] Masjfuk, Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadist, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1998), h. 94
[56] Nata, Abudin, Al-Qur’an dan Hadis,  (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 199
[57] Atang, Abd. Hakim dan  Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam, (Bandnung:  Remaja Rosdakarya.,2006), h. 92
[58] Ibid, h. 58
[59] Nata, Abudin, Al-qur’an, h. 200
[60] Ibid,  h. 201.

0 komentar:

Posting Komentar