BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Perkembangan
organisasi gerakan Islam di Indonesia tumbuh dan berkembang sejak dari negeri
ini belum mencapai kemerdekaan secara fisik sampai pada masa reformasi sekarang
ini. Perkembangannya semakin pesat dengan dilakukannya dalam pembaharuanya
seperti Nahdlatul Ulama. Nahdlatul ulama adalah organisasi Islam terbesar di
Indonesia dengan jumlah massa yang banyak.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Munculnya Organisasi Pembaharu
Islam: Nahdlatul Ulama?
2. Pembaharuan apa saja yang telah
dilakukan oleh Nahdlatul Ulama di bidang Pendidikan?
C.
Tujuannya
1. Mengetahui Munculnya Organisasi Pembaharu
Islam: Nahdlatul Ulama.
2. Mengetahui Pembaharuan yang telah
dilakukan oleh Nahdlatul Ulama di bidang Pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang berdirinya Nahdlatul Ulama
Jauh
sebelum organisasi Nahdlatul Ulama didirikan pada tahun 1926, di Indonesia
sudah terdapat banyak kelompok-kelompok kaum muslimin di bawah binaan kiai atau
ulama. Kelompok-kelompok itu cenderung independen, berdiri sendiri, dibawah
binaan kiai atau ulama panutan mereka masing-masing. Di antara mereka terdapat
banyak kesamaan dalam berbagai hal, seperti paham keagamaan yang mengikuti Ahlu Sunah Wal Jamaah, mengikuti mahzab
Syafi’i, kecenderungan bertasawuf, sampai kepada pola dan ciri tingkah laku
sehari-hari, seperti kepatuhan yang tinggi kepada pribadi kiai atau ulama
panutannya. Kesamaan-kesamaan ini tumbuh dan berkembang karena kiai atau ulama
panutan ini merupakan alumni dari perguruan atau pesantren yang satu. Mereka
semua merupakan sebuah jamaah yang solid.
Sementara
itu komunikasi antara para kiai atau ulama panutan ini dilakukan melalui jalur
tradisional, seperti pertemuan haul, imtihahan yaitu acara akhir masa belajar
di pesantren atau madrasah, walimah, dan sebagainya. Seringkali juga komunikasi
dilangsungkan dengan “besanan”, yaitu saling mengambil menantu di antara kiai
atau ulama. Lama kelamaan timbullah keinginan untuk meningkatkan peranan para
kiai atau ulama dalam melaksanakan tugas kekhalifahan dalam bidang-bidang
keagamaan, sosial, maupun politik dengan wahana organisasi yang lebih rasional.
Maka
untuk pertama kalinya dibentuklah Tashwirul
Afkar sebagai wadah bagi pengembangan pemikiran dan penalaran. Disusul
kemudian dengan mendirikan Nahdlatu
Tujjar sebagai wadah kegiatan bersama dalam perdagangan. Dan tidak
dilupakan pula mendirikan wadah bagi kegiatan pendidikan dengan nama Nahdlatul Wathan, dan kepemudaan dengan nama Nahdlatuls Syubhan.[1]
Pada
suatu peristiwa pemerintah Saudia Arabia menyelenggarakan pertemuan antar alim
ulama sedunia atau muktamar Alam Islami di Mekah. Ternyata delegasi alim ulama
yang mewakili Indonesia tidak mengikutsertakan mereka yang dari pondok-pondok pesantren,
yang kemudian dikenal sebagai Nahdlatul Ulama. Nama-nama mereka ditolak oleh
penguasa Saudi, karena tidak mewakili suatu organisasi atau tidak mencantumkan
nama organisasi mereka. Hal itu sangat mengejutkan dan merisaukan para kiai
atau ulama dan dianggap sebagai tantangan serius. Yang lebih mengecewakan
mereka adalah karena para kiai atau ulama itu sangat berkepentingan untuk
menyampaikan proses atau keberatan atas kebijakan penguasa Saudi untuk
menggusur semua makam semua pejuang pada masa sahabat maupun tabiin, terutama
makam Nabi Muhammad di samping itu pemerintahan Saudi juga melarang berbagai
amalan kaum muslimin, seperti membaca berzanji, yang dianggap tidak sesuai
dengan pandangan aliran Wahabi, yang dianut oleh penguasa Saudi.
Hal
inilah yang menyebabkan para kiai atau ulama bertekad bulat untuk mengirim
sendiri utusan menghadap Raja Saud, tanpa ada kaitannya dengan delegasi umat
Islam Indonesia itu. Maka dibentuklah sebuah panitia aksi yang disebut komite
hijaz. Mereka terdiri dari Penasihat:
K.H. Abdul Wahab Hasbullah, K.H. Masyhuri (Lasem), K.H. Khalil (Lasem), Ketua: H. Hasan Gipto. Wakil Ketua: H. Saleh Syamil, Sekretaris: Muhammad Sodiq, Pembantu:
K.H. Abdul Halim. Tugas utama komite hijaz adalah mempersiapkan delegasi yang
akan dikirim ke Muktamar Alam Islami di Mekah.
Atas
undangan yang disampaikan oleh komite hijaz, maka berkumpulah para ulama pada
tanggal 31 Januari 1926 di kampung kertopaten Surabaya, yaitu di rumah K.H.
Abdul Wahab Hasbullah. Di antara mereka itu antara lain sebagai berikut:
1. K.H.M. Hasyim Asyari (Tebuireng Jombang)
2. K.H. Abdul Wahab Hasbullah (Tambakberas
Jombang)
3. K.H. Bisri Syamsuri (Denanyar Jombang)
4. K.H. Asnawi (Kudus)
5. K.H. Nawawi (Sidogiri Pasuruan)
6. K.H. Ridwan (Semarang)
7. K.H. Masum (Lasem)
8. K.H. Nahrawi (Malang)
9. K.H. Munthaha (bangkalan Madura Menantu
K.H.M. Khalid)
10. K.H. Abdul Hamid faqih (Sedayu Gersik)
11. K.H. Abdul Halim (Lewimunding Cirebon)
12. K.H. Ridwan Abdullah (Surabaya)
13. K.H. Mas Alwi (Surabaya)
14. K.H. Abdullah Ubaid (Surabaya)
Syeh
Ahmad Ghanaim Al-Misri (Mesir), dan ulama-ulama lain yang tidak tercatat
namanya ternyata misi komite tersebut berhasi. Usulan mereka ke Raja Saud
berhasil. Dan Nahdlatul Ulama berhasil pula didirikan.
Pada
tahun ini juga, yaitu 1926, NU didirikan di Surabaya pada tanggal 16 Rajab
1344, bertepatan dengan 31 Januari 1926 M. Organisasi ini dipimpin oleh KH.
Hasyim Asy’ari, dengan serta merta beberapa daerah segera membentuk cabang NU,
seperti di Malang dan Blora. Namun demikian sejumlah besar ulama dari Tuban dan
Pasuruan, masih bersikap hati-hati. Mereka tidak segera bertindak bahkan
sebagian beranggapan bahwa berorganisasi sebagai tindakan bidah dan tidak
berguna.[2]
Latar
belakang organisasi ini tidak dilepaskan dari faktor sosial, politik, dan
keagamaan yang terjadi pada saat itu. Setidaknya ada dua latar belakang yang
melatar belakangi berdirinya organisasi ini yaitu latar belakang kebangsaan
atau nasionalisme dan agama.[3]
1.
Ide Dasar Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari
K.H.
Hasyim Asy’ari menganut paham Ahlussunah waljama’ah, sebuah pola pikir yang
mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim
naqli (skipturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur’an,
Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas
empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu
Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian
dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti madhzab imam Syafi’i dan mengakui
3 madzhab yang lain yaitu imam Hanafi, imam Maliki, imam Hanbali sebagaimana
yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang
tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang
mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.[4]
Tentang
pendidikan adalah mendefinisikan pendidikan Islam sebagai upaya untuk
mengeluarkan rakyat Indonesia dari cengkraman penjajah dan mendefinisikan
pendidikan Islam sebagai upaya penyadaran bahwa betapa petingnya pendidikan
sebagai sarana untuk memperluas khazanah keilmuan rakyat Indonesia dan umat
Islam.
Bahwasanya
pendidikan Islam upaya menyelamatkan umat Islam dari jurang kebodohan, yang
mampu berfikir dinamis untuk kemudian mengetahui jati dirinya sebagai makhluk
yang diciptakan oleh Tuhan.
2.
Peranan K.H. Hasyim Asy’ari dalam Kemerdekaan
Selain
mencintai umatnya KH. Hasyim Asy’ari juga mencintai bangsanya. Pada masa
penjajahan Jepang, yang berlangsung pada tahun 1942-1945, beliau juga
mengadakan perlawanan sebagaimana yang beliau lakukan terhadap penjajah
belanda, bentuk perjuangan nasioalisme religius KH. Hasyim Asy’ari antara lain
dengan memberikan fatwa haram dan penolakan terhadap pemaksaan seikeirei
jepang, yaitu membungkukkan badan keistana kaisar serupa dengan ruku dalam
shalat, untuk menghidari kemusyrikan. Sikapnya yang keras sehingga membuat
dirinya ditangkap dan dipenjarakan oleh jepang selama empat bulan.
3.
Menteladani Sikap Intelektual dan Semangat Ke
Islaman K.H. Hasyim Asy’ari
Beberapa
hal yang dapat diteladani dari K.H. Hasyim Asy’ari antara lain:
a. Semangat menuntut ilmu dan dakwah yang
ditekuninya sejak kecil sampai akhir hayatnya.
b. Keuletannya dan kegigihan perjuangannya
dalam menentang pemerintahan kolonial dengan kecerdasannya mendirikan pesantren
dan keuletannya dalam mendakwahkan ajaran Islam.
c. Belajar berbagai lembaga pendidikan
pesantren sampai ke negeri mekkah, menunjukkan semangat yang terus menggelora
dalam meningkatkan kecerdasan dan intelektual.
d. Membangun lembaga pendidikan pesantren
sebagai basis perjuangan dalam menciptakan intelektual muslim yang berwawasan
Islam baik dalam menumbuhkan sikap jihad dan ijtihad yang tidak pernah selesai.
e. Berdakwah tidak hanya dengan secara
lisan diapun semangat berdakwah melalui tulisan-tulisan.[5]
Muktamar
Nahdlatul Ulama (NU) ke-27 tahun 1984 di situbondo, Jawa Timur telah memutuskan
kembali ke khittah 1926, dan menerima Pancasila sebagai satu-satunya atas
organisasi. Keputusan ini mengandung arti bahwa sejak muktamar tersebut, NU
secara organisatoris menyatakan menyatakan menarik diri dari peraturan politik
praktis, dan kembali pada garis perjuangan (Khittah) yang pernah disepakati
para pendiri organisasi tersebut pada awal kelahirannya tahun 1926. Khittah
tersebut mengisyaratkan bahwa NU merupakan organisasi sosial keagamaan dan
pemberdayaan masyarakat.
Meskipun
putusan muktamar tersebut cukup mengejutkan banyak kalangan karena
alasan-alasan tertentu, tetapi sesungguhnya hal itu tidak lebih dari rangkaian
mata rantai perjalanan sejarah NU yang cukup panjang. Berawal dari
ketidakpuasan politis pada tahun 1953 yang ditandai dengan pengunduran diri
dari partai masyumi, NU terus menunjukkan kemandirian politiknya yang semakin
mapan. Bahkan sepanjang periode 1970-an, sikap dan perilaku politik NU sendiri
tampak cukup kritis terhadap pemerintah. Setelah muncul sebagai partai peraih
suara terbanyak kedua Golkar dalamPemilu 1971, NU tampak semakin yakin bahwa
dirinya telah mampu mengambil alih kebesaran Masyumi yang telah dibubarkan
Soekarno pada tahun 1960. Kenyataan seperti inilah yang telah merangsang
partisipasi NU secara lebih intens dalam perjalanan politik Orde Baru. Kondisi
seperti ini terus berlanjut hingga sampai pada suatu waktu di mana ia menemukan
hambatan politis yang cukup tajam, terutama setelah menghadapi kenyataan
semakin tergususrnya peran politik NU dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Sedangkan
dipandang cukup mengejutkan banyak kalangan, paling tidak karena dua alasan.
Pertama, karena NU merupakan ormas Islam yang pertama menerima Pancasila
sebagai satu-satunya asas di satu pihak, dan kedua, di pihak lain secara formal
sesungguhnya belum ada ketentuan bagi ormas yang mengharuskan untuk menerima
Pancasila karena kewajiban itu baru berlaku bagi organisasi politik. Dengan
kata lain, saat itu belum ada satu perangkat aturan yang mewajibkan ormas untuk
berasakan Pancasila.
Namun
demikian dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara, NU pada hakikatnya
senantiasa berhadapan dengan kenyataan dilematis, sehingga dengan mudah dapat
melahirkan kesan adanya sikap mendua dan tidak konsisten. Kenyataan tersebut
disebabkan oleh sekurang-kurangnya dua hal. Pertama, karena adanya tuntunan
eksterna, di mana NU dan juga ormas-ormas lainnya di Indonesia tidak bisa
melepaskan diri dari lingkaran sistem politik Indonesia yang melingkupnya.
Kedua, karena adanya faktor internal di mana secara individual, warga NU juga
tidak bisa melepaskannya diri dari keterlibatan dalam peraturan politik praktis
yang ada. Artinya, kesepakatan kembali pada khittah 1926, secara praktis, tidak
bisa seutuhnya diwujudkan. Di sinilah prilaku politik NU dapat dipetakan,
khususnya dalam kerangka mensiasati setiap perubahan dan kecenderungan
berlangsung.[6]
B.
Pembaharuan di Bidang Pendidikan
Dalam
rangka memajukan masyarakat yang masih terkebelakang dikarenakan kurangnya
pendidikan yang memadai, dan untuk membentuk masyarakat yang mempunyai akhlak
yang mulia, maka NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang lahirnya dari
pesantren mencoba untuk memajukan masyarakat melalui jalur pendidikan.
Tidaklah
mengherankan apabila dengan kehadiran pesantren sebagai basis atau sumber yang
mampu menyediakan tenaga-tenaga untuk mempunyai dua fungsi yaitu ulama dan
pilitisi.
Santri-santri
tamatan pesantren pada umumnya mengikuiti jejak politik para ulamanya yang mana
perkembangan pesantren tersebut terus maju. Dibeberapa pesantren selain
mengajarkan pendidikan model lama, juga mendirikan sekolah-sekolah
agamamisalnya: Madrasah Ibtidaiyah, MTs, dan MA serta sekolah-sekolah umum yang
didirikan NU, yang berfungsi menjadi benteng ajaran Ahlussunnah Waljam’ah
praktis hanya ia mata pelajaran agama.
Dalam
dunia pendidikan Islam di Indonesia. Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi
masa keagamaan yang cukup andil besar. NU mempunyai jaringan kekuatan yang
berpengaruh di Indonesia, di samping organisasi-organisasi masa keagamaan yang
lain seperti: Muhammadiyyah, Al-Irsyad, Persatuan Umat Islam (PUI), Perti (Persatuan Tarbiyah Islam),
Syarikat Islam, Al-Wasliyyah, Persis, dan Mathlaul Anwar.
Peran
NU tersebut bisa dilihat dari berbagai lembaga pendidikan yang dikelola oleh NU
dan juga oleh para warganya dalam mengelola lembaga pendidikan di lingkungan NU
baik berupa pondok pesantren, madrasah maupun sekolah-sekolah.
NU
merupakan keagamaan yang mengurusi bidang-bidang sosial, pendidikan, dakwah
termasuk ekonomi. Sejak awal berdirinya, Nutelah terlibat dalam penanganan
pendidikan. Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari tokoh pendiriNU, dikenal sebagai
pendiri Pesantren Tebuireng Jombang, yang mengelola pendidikan dengan jumlah
santri yang cukup banyak dan pada waktu itu dijadikan sebagai kiblat dari
pesantren-pesantren di Indonesia.
Demikian
pula KH. Wahab Hasbullah, salah seorang pendiri NU, juga dikenal sebagai
pengasuh Pesantren Tambakberas Jombang yang mengelola lembaga pendidikan
melalui pesantren maupun melalui lembaga pendidikan madrasah maupun sekolah.
Pada
awal periodenya, kegiatan NU lebih banyak dilakukan dalam rangka menjada
kemurnian faham yang diyakininya menyebarkan pandangan-pandangan yang benar,
mengambil bagian dalam membina masyarakat di bidang sosial, bidang pendidika
dan bidang perekonomian.
Dalam
perkembangan berikutnya, NU yang didirikan pada tahun 1926 ini menjadi
organisasi keagamaan yang terbesar di Indonesia yang memiliki kontribusi besar
dalam dunia pendidikan. Banyak tokoh-tokoh NU yang cukup berjasa bukan hanya di
bidang pendidikan saja, tetapi juga dalam berbagai aspek antara lain: KH.
Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim (mantan Menteri Agama), KH. Zainul Arising
(Mantan ketua DPR-GR), KH. Zainal Mustafa (tokoh pejuang terhadap belanda di
Tasikmalaya), KH. Saifuddin Zuhri, KH. Dr. Idham Chalid (mantan ketua DPR/MPR
RI) bahkan KH. Abdurraahman Wahid (Mantan RI ke-4), nama-nama tersebut
pemerintah RI diakui sebagai pahlawan nasional.
Dalam
salah satu keputusan dari suatu kongres besar Al-Ma’arif NU seluruh Indonesia
yang berlangsung pada tanggal 23-26 februari 1945, ditetapkan susunan sekolah
atau madrasah Nahdlatul Ulama sebagai berikut:
1. Raudatul-Atfal (Taman Kanak-kanak)
lamanya 3 Tahun
2. SR (Sekolah Rendah) / SD sampai sekarang
lamanya 6 Tahun
3. SMP NU lamanya 3 Tahun
4. SMA NU lamanya 3 Tahun
5. SGB NU lamanya 4 Tahun
6. SGA NU (SPG sampai sekarang) lamanya 3
Tahun
7. MMP NU (Madrasah Menengah Pertama)
lamanya 3 Tahun
8. MMA NU (Madrasah Menengah Atas) lamanya
3 Tahun
9. Mu’allimin/Mu’allimat NU lamanya 5 Tahun[7]
Selanjutnya
sekitar akhir Tahun 1938 (1356 H), komisi perguruan Nu berhasil melahirkan
Reglemenet tentang susunan madrasah-madrasah NU yang harus di jalankan muali
tanggal 2 Muharram 1357 H.
Adapun
susunan madrasah-madrasah NU, tersebut adalah:
1. Madrasah Awaliyah dengan lama belajar 2
Tahun
2. Madrasah Ibtidiyah dengan lama belajar 3
Tahun
3. Madrasah Tsanawiyah dengan lama belajar
3 Tahun
4. Madrasah Mu’allimin Wustha 2 Tahun
5. Madrasah Mu’allimin Ulya 3 Tahun[8]
Perjalanan
selanjutnya setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan tanggal 17 Agustus
1945, dimana NU tampil kemuka dengan resolusi jihadnya, tanggal 22 oktober
1945. Isinya mengajak umat Islam untuk mempertahankan tanah air Indonesia yang
telah merdeka. Dalam resolusi tersebut bahwa berjihad hukumnya Fardhu ‘ain.
Kenyataannya hal ini mendapat sambutan yang baik dari kalangan umat Islam.
Dengan
ini NU bergerak di bidang pendidikan agama menurut ahlussunnah waljama’ah.
Dengan usaha-usaha ini, maka NU mempunyai banyak sekali pondok pesantren dan
madrasah yang tersebar diseluruh pelososk tanah air, terutama di daerah-daerah
perdesaan yang pada umumnya mereka mempunyai tradisi keagamaan yang sangat
kuat. Di samping itu NU juga mempunyai sekolah-sekolah umum dari tingkat TK
sampai perguruan tinggi.
Dalam
bidang pendidikan pengajaran formal ini NU membentuk satu bagian khusus yang
menanganinya yaitu yang disebut Ma’arif, dimana tugasnya adalah perundangan dan
program pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah yang diberada di
bawah naungan NU.
Berdasarkan
hasil rapat kerja Ma’arif yang diselenggarakan pada Tahun 1978, disebutkan
tentang program-program kerja Ma’arif, antara lain:
1. Pemantapan sistem pendidikan Ma’arif.
2. Peningkatan organisasi Ma’arif
3. Penyediaan data dan Informasi tentang
sekolah – sekolah Ma’arif
4. Penerbitan
5. Peningkatan mutu guru Ma’arif[9]
Usaha-usaha
NU di bidang pendidikan Islam memang cukup menggembirakan. NU mempunyai banyak
pondok pesantren madrasah yang tersebar diseluruh pelosok tanah air, terutama
didaerah pedesaan pada umumnya mereka mempunyai tradisi keagamaan yang kuat.
Disamping itu juga NU memiliki sekolah-sekolah umum dari tingkat kanak-kanak
sampai pergururan tinggi.
Berdasarkan
data pada tahun 1981, jumlah lembaga pendidikan yang di kelolah NU adalah
sebagai berikut:
1. Pondok pesantren 3.745 buah
2. Madrasah 18.932
3. Sekolah umum 3.102
Dari
data tersebut belum termasuk perguruan tingginya, dan untuk pesantren pun yang
tercatat hanya di jawa. Padahal tidak sedikit pesantren-pesantren NU yang
berada di luar jawa. Sedangkan untuk kondisi sekarang tentu saja lembaga-lembaga
pendidikan NU ini terus bertambah.[10]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dengan
demikian diharapkan pendidikan di lingkuangan NU, disamping menyiapkan
kader-kader di bidang agama (moralitas) juga menyiapkan tenaga-tenaga siap
pakai diberbagai bidang untuk menjawab tuntunan zaman yang dibutuhkan
masyarakat. Sehingga pendidikan NU tidak ditinggalkan masyarakat tetapi malah
dicari masyarakat karena kontribusinya yang besar terhadap masyarakat tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abu
Su’ud, Islamologi (Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam
Peradaban Umat Islam), Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2013.
Achmad
Hasyim Muzadi dkk, Profil dan Direktori Nahdlatul Ulama dari Masa ke Masa, Jakarta:
PT. Yellow Multi Media, 2009.
Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual, Yogyakarta: PT LkiS
Pelangi Aksara, 2004.
Cik
Hasan dan Eva Rufaidah, Model Peneitian
Agama dan Dinamika Sosial (Himpunan rencana Penelitian), Jakarta: PT Raja
Grafido Persada, 2002.
Hasbullah,
Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia: Lintasan
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya, Jakarta: Raja Grafido Persada,
1995.
Rusli Ishaq, Sejarah Kebdayaan Islam, Sukamaju
Depok: Arya Duta, 2007.
Zuhairini
Mucktarom, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:
Bumi Aksara, 2008.
[1]Abu Su’ud, Islamologi (Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam
Peradaban Umat Islam), (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2013), h. 250.
[2] Ibid, h. 252.
[3] Achmad
Hasyim Muzadi dkk, Profil dan Direktori Nahdlatul Ulama dari Masa ke Masa, (Jakarta:
PT. Yellow Multi Media, 2009), h. 34.
[4] Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual, (Yogyakarta: PT
LkiS Pelangi Aksara, 2004), h. 15
[5]Rusli Ishaq, Sejarah
Kebdayaan Islam, (Sukamaju Depok: Arya Duta, 2007), h. 94.
[6] Cik Hasan dan Eva
Rufaidah, Model Peneitian Agama dan
Dinamika Sosial (Himpunan rencana Penelitian), (Jakarta: PT Raja Grafido
Persada, 2002), h. 45-46
[7] Zuhairini Mucktarom, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2008), h. 184-186.
[8] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia:
Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya, (Jakarta: Raja Grafido
Persada, 1995), h. 109.
[10] Ibid, h. 113.
0 komentar:
Posting Komentar