Beranda

Selasa, 02 April 2019

ORGANISASI PEMBARU PENDIDIKAN ISLAM: NAHDLATUL ULAMA


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Perkembangan organisasi gerakan Islam di Indonesia tumbuh dan berkembang sejak dari negeri ini belum mencapai kemerdekaan secara fisik sampai pada masa reformasi sekarang ini. Perkembangannya semakin pesat dengan dilakukannya dalam pembaharuanya seperti Nahdlatul Ulama. Nahdlatul ulama adalah organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan jumlah massa yang banyak. 
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Munculnya Organisasi Pembaharu Islam: Nahdlatul Ulama?
2.      Pembaharuan apa saja yang telah dilakukan oleh Nahdlatul Ulama di bidang Pendidikan?
C.    Tujuannya
1.      Mengetahui Munculnya Organisasi Pembaharu Islam: Nahdlatul Ulama.
2.      Mengetahui Pembaharuan yang telah dilakukan oleh Nahdlatul Ulama di bidang Pendidikan.

  
BAB II

PEMBAHASAN



A.    Latar Belakang berdirinya Nahdlatul Ulama
Jauh sebelum organisasi Nahdlatul Ulama didirikan pada tahun 1926, di Indonesia sudah terdapat banyak kelompok-kelompok kaum muslimin di bawah binaan kiai atau ulama. Kelompok-kelompok itu cenderung independen, berdiri sendiri, dibawah binaan kiai atau ulama panutan mereka masing-masing. Di antara mereka terdapat banyak kesamaan dalam berbagai hal, seperti paham keagamaan yang mengikuti Ahlu Sunah Wal Jamaah, mengikuti mahzab Syafi’i, kecenderungan bertasawuf, sampai kepada pola dan ciri tingkah laku sehari-hari, seperti kepatuhan yang tinggi kepada pribadi kiai atau ulama panutannya. Kesamaan-kesamaan ini tumbuh dan berkembang karena kiai atau ulama panutan ini merupakan alumni dari perguruan atau pesantren yang satu. Mereka semua merupakan sebuah jamaah yang solid.
Sementara itu komunikasi antara para kiai atau ulama panutan ini dilakukan melalui jalur tradisional, seperti pertemuan haul, imtihahan yaitu acara akhir masa belajar di pesantren atau madrasah, walimah, dan sebagainya. Seringkali juga komunikasi dilangsungkan dengan “besanan”, yaitu saling mengambil menantu di antara kiai atau ulama. Lama kelamaan timbullah keinginan untuk meningkatkan peranan para kiai atau ulama dalam melaksanakan tugas kekhalifahan dalam bidang-bidang keagamaan, sosial, maupun politik dengan wahana organisasi yang lebih rasional.
Maka untuk pertama kalinya dibentuklah Tashwirul Afkar sebagai wadah bagi pengembangan pemikiran dan penalaran. Disusul kemudian dengan mendirikan Nahdlatu Tujjar sebagai wadah kegiatan bersama dalam perdagangan. Dan tidak dilupakan pula mendirikan wadah bagi kegiatan pendidikan dengan nama Nahdlatul Wathan, dan kepemudaan dengan nama Nahdlatuls Syubhan.[1] 
Pada suatu peristiwa pemerintah Saudia Arabia menyelenggarakan pertemuan antar alim ulama sedunia atau muktamar Alam Islami di Mekah. Ternyata delegasi alim ulama yang mewakili Indonesia tidak mengikutsertakan mereka yang dari pondok-pondok pesantren, yang kemudian dikenal sebagai Nahdlatul Ulama. Nama-nama mereka ditolak oleh penguasa Saudi, karena tidak mewakili suatu organisasi atau tidak mencantumkan nama organisasi mereka. Hal itu sangat mengejutkan dan merisaukan para kiai atau ulama dan dianggap sebagai tantangan serius. Yang lebih mengecewakan mereka adalah karena para kiai atau ulama itu sangat berkepentingan untuk menyampaikan proses atau keberatan atas kebijakan penguasa Saudi untuk menggusur semua makam semua pejuang pada masa sahabat maupun tabiin, terutama makam Nabi Muhammad di samping itu pemerintahan Saudi juga melarang berbagai amalan kaum muslimin, seperti membaca berzanji, yang dianggap tidak sesuai dengan pandangan aliran Wahabi, yang dianut oleh penguasa Saudi.
Hal inilah yang menyebabkan para kiai atau ulama bertekad bulat untuk mengirim sendiri utusan menghadap Raja Saud, tanpa ada kaitannya dengan delegasi umat Islam Indonesia itu. Maka dibentuklah sebuah panitia aksi yang disebut komite hijaz. Mereka terdiri dari Penasihat: K.H. Abdul Wahab Hasbullah, K.H. Masyhuri (Lasem), K.H. Khalil (Lasem), Ketua: H. Hasan Gipto. Wakil Ketua:  H. Saleh Syamil, Sekretaris: Muhammad Sodiq, Pembantu: K.H. Abdul Halim. Tugas utama komite hijaz adalah mempersiapkan delegasi yang akan dikirim ke Muktamar Alam Islami di Mekah.
Atas undangan yang disampaikan oleh komite hijaz, maka berkumpulah para ulama pada tanggal 31 Januari 1926 di kampung kertopaten Surabaya, yaitu di rumah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Di antara mereka itu antara lain sebagai berikut:
1.      K.H.M. Hasyim Asyari (Tebuireng Jombang)
2.      K.H. Abdul Wahab Hasbullah (Tambakberas Jombang)
3.      K.H. Bisri Syamsuri (Denanyar Jombang)
4.      K.H. Asnawi (Kudus)
5.      K.H. Nawawi (Sidogiri Pasuruan)
6.      K.H. Ridwan (Semarang)
7.      K.H. Masum (Lasem)
8.      K.H. Nahrawi (Malang)
9.      K.H. Munthaha (bangkalan Madura Menantu K.H.M. Khalid)
10.  K.H. Abdul Hamid faqih (Sedayu Gersik)
11.  K.H. Abdul Halim (Lewimunding Cirebon)
12.  K.H. Ridwan Abdullah (Surabaya)
13.  K.H. Mas Alwi (Surabaya)
14.  K.H. Abdullah Ubaid (Surabaya)
Syeh Ahmad Ghanaim Al-Misri (Mesir), dan ulama-ulama lain yang tidak tercatat namanya ternyata misi komite tersebut berhasi. Usulan mereka ke Raja Saud berhasil. Dan Nahdlatul Ulama berhasil pula didirikan.
Pada tahun ini juga, yaitu 1926, NU didirikan di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344, bertepatan dengan 31 Januari 1926 M. Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari, dengan serta merta beberapa daerah segera membentuk cabang NU, seperti di Malang dan Blora. Namun demikian sejumlah besar ulama dari Tuban dan Pasuruan, masih bersikap hati-hati. Mereka tidak segera bertindak bahkan sebagian beranggapan bahwa berorganisasi sebagai tindakan bidah dan tidak berguna.[2]
Latar belakang organisasi ini tidak dilepaskan dari faktor sosial, politik, dan keagamaan yang terjadi pada saat itu. Setidaknya ada dua latar belakang yang melatar belakangi berdirinya organisasi ini yaitu latar belakang kebangsaan atau nasionalisme dan agama.[3]

1.      Ide Dasar Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari
K.H. Hasyim Asy’ari menganut paham Ahlussunah waljama’ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skipturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur’an, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti madhzab imam Syafi’i dan mengakui 3 madzhab yang lain yaitu imam Hanafi, imam Maliki, imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.[4]
Tentang pendidikan adalah mendefinisikan pendidikan Islam sebagai upaya untuk mengeluarkan rakyat Indonesia dari cengkraman penjajah dan mendefinisikan pendidikan Islam sebagai upaya penyadaran bahwa betapa petingnya pendidikan sebagai sarana untuk memperluas khazanah keilmuan rakyat Indonesia dan umat Islam.
Bahwasanya pendidikan Islam upaya menyelamatkan umat Islam dari jurang kebodohan, yang mampu berfikir dinamis untuk kemudian mengetahui jati dirinya sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan.
2.      Peranan K.H. Hasyim Asy’ari dalam Kemerdekaan
Selain mencintai umatnya KH. Hasyim Asy’ari juga mencintai bangsanya. Pada masa penjajahan Jepang, yang berlangsung pada tahun 1942-1945, beliau juga mengadakan perlawanan sebagaimana yang beliau lakukan terhadap penjajah belanda, bentuk perjuangan nasioalisme religius KH. Hasyim Asy’ari antara lain dengan memberikan fatwa haram dan penolakan terhadap pemaksaan seikeirei jepang, yaitu membungkukkan badan keistana kaisar serupa dengan ruku dalam shalat, untuk menghidari kemusyrikan. Sikapnya yang keras sehingga membuat dirinya ditangkap dan dipenjarakan oleh jepang selama empat bulan. 
3.      Menteladani Sikap Intelektual dan Semangat Ke Islaman K.H. Hasyim Asy’ari
Beberapa hal yang dapat diteladani dari K.H. Hasyim Asy’ari antara lain:
a.       Semangat menuntut ilmu dan dakwah yang ditekuninya sejak kecil sampai akhir hayatnya.
b.      Keuletannya dan kegigihan perjuangannya dalam menentang pemerintahan kolonial dengan kecerdasannya mendirikan pesantren dan keuletannya dalam mendakwahkan ajaran Islam.
c.       Belajar berbagai lembaga pendidikan pesantren sampai ke negeri mekkah, menunjukkan semangat yang terus menggelora dalam meningkatkan kecerdasan dan intelektual.
d.      Membangun lembaga pendidikan pesantren sebagai basis perjuangan dalam menciptakan intelektual muslim yang berwawasan Islam baik dalam menumbuhkan sikap jihad dan ijtihad yang tidak pernah selesai.
e.       Berdakwah tidak hanya dengan secara lisan diapun semangat berdakwah melalui tulisan-tulisan.[5]
Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-27 tahun 1984 di situbondo, Jawa Timur telah memutuskan kembali ke khittah 1926, dan menerima Pancasila sebagai satu-satunya atas organisasi. Keputusan ini mengandung arti bahwa sejak muktamar tersebut, NU secara organisatoris menyatakan menyatakan menarik diri dari peraturan politik praktis, dan kembali pada garis perjuangan (Khittah) yang pernah disepakati para pendiri organisasi tersebut pada awal kelahirannya tahun 1926. Khittah tersebut mengisyaratkan bahwa NU merupakan organisasi sosial keagamaan dan pemberdayaan masyarakat.
Meskipun putusan muktamar tersebut cukup mengejutkan banyak kalangan karena alasan-alasan tertentu, tetapi sesungguhnya hal itu tidak lebih dari rangkaian mata rantai perjalanan sejarah NU yang cukup panjang. Berawal dari ketidakpuasan politis pada tahun 1953 yang ditandai dengan pengunduran diri dari partai masyumi, NU terus menunjukkan kemandirian politiknya yang semakin mapan. Bahkan sepanjang periode 1970-an, sikap dan perilaku politik NU sendiri tampak cukup kritis terhadap pemerintah. Setelah muncul sebagai partai peraih suara terbanyak kedua Golkar dalamPemilu 1971, NU tampak semakin yakin bahwa dirinya telah mampu mengambil alih kebesaran Masyumi yang telah dibubarkan Soekarno pada tahun 1960. Kenyataan seperti inilah yang telah merangsang partisipasi NU secara lebih intens dalam perjalanan politik Orde Baru. Kondisi seperti ini terus berlanjut hingga sampai pada suatu waktu di mana ia menemukan hambatan politis yang cukup tajam, terutama setelah menghadapi kenyataan semakin tergususrnya peran politik NU dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Sedangkan dipandang cukup mengejutkan banyak kalangan, paling tidak karena dua alasan. Pertama, karena NU merupakan ormas Islam yang pertama menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas di satu pihak, dan kedua, di pihak lain secara formal sesungguhnya belum ada ketentuan bagi ormas yang mengharuskan untuk menerima Pancasila karena kewajiban itu baru berlaku bagi organisasi politik. Dengan kata lain, saat itu belum ada satu perangkat aturan yang mewajibkan ormas untuk berasakan Pancasila.
Namun demikian dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara, NU pada hakikatnya senantiasa berhadapan dengan kenyataan dilematis, sehingga dengan mudah dapat melahirkan kesan adanya sikap mendua dan tidak konsisten. Kenyataan tersebut disebabkan oleh sekurang-kurangnya dua hal. Pertama, karena adanya tuntunan eksterna, di mana NU dan juga ormas-ormas lainnya di Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari lingkaran sistem politik Indonesia yang melingkupnya. Kedua, karena adanya faktor internal di mana secara individual, warga NU juga tidak bisa melepaskannya diri dari keterlibatan dalam peraturan politik praktis yang ada. Artinya, kesepakatan kembali pada khittah 1926, secara praktis, tidak bisa seutuhnya diwujudkan. Di sinilah prilaku politik NU dapat dipetakan, khususnya dalam kerangka mensiasati setiap perubahan dan kecenderungan berlangsung.[6]     
B.     Pembaharuan di Bidang Pendidikan
Dalam rangka memajukan masyarakat yang masih terkebelakang dikarenakan kurangnya pendidikan yang memadai, dan untuk membentuk masyarakat yang mempunyai akhlak yang mulia, maka NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang lahirnya dari pesantren mencoba untuk memajukan masyarakat melalui jalur pendidikan.
Tidaklah mengherankan apabila dengan kehadiran pesantren sebagai basis atau sumber yang mampu menyediakan tenaga-tenaga untuk mempunyai dua fungsi yaitu ulama dan pilitisi.
Santri-santri tamatan pesantren pada umumnya mengikuiti jejak politik para ulamanya yang mana perkembangan pesantren tersebut terus maju. Dibeberapa pesantren selain mengajarkan pendidikan model lama, juga mendirikan sekolah-sekolah agamamisalnya: Madrasah Ibtidaiyah, MTs, dan MA serta sekolah-sekolah umum yang didirikan NU, yang berfungsi menjadi benteng ajaran Ahlussunnah Waljam’ah praktis hanya ia mata pelajaran agama.
Dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia. Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi masa keagamaan yang cukup andil besar. NU mempunyai jaringan kekuatan yang berpengaruh di Indonesia, di samping organisasi-organisasi masa keagamaan yang lain seperti: Muhammadiyyah, Al-Irsyad, Persatuan Umat Islam  (PUI), Perti (Persatuan Tarbiyah Islam), Syarikat Islam, Al-Wasliyyah, Persis, dan Mathlaul Anwar.
Peran NU tersebut bisa dilihat dari berbagai lembaga pendidikan yang dikelola oleh NU dan juga oleh para warganya dalam mengelola lembaga pendidikan di lingkungan NU baik berupa pondok pesantren, madrasah maupun sekolah-sekolah.
NU merupakan keagamaan yang mengurusi bidang-bidang sosial, pendidikan, dakwah termasuk ekonomi. Sejak awal berdirinya, Nutelah terlibat dalam penanganan pendidikan. Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari tokoh pendiriNU, dikenal sebagai pendiri Pesantren Tebuireng Jombang, yang mengelola pendidikan dengan jumlah santri yang cukup banyak dan pada waktu itu dijadikan sebagai kiblat dari pesantren-pesantren di Indonesia.
Demikian pula KH. Wahab Hasbullah, salah seorang pendiri NU, juga dikenal sebagai pengasuh Pesantren Tambakberas Jombang yang mengelola lembaga pendidikan melalui pesantren maupun melalui lembaga pendidikan madrasah maupun sekolah.
Pada awal periodenya, kegiatan NU lebih banyak dilakukan dalam rangka menjada kemurnian faham yang diyakininya menyebarkan pandangan-pandangan yang benar, mengambil bagian dalam membina masyarakat di bidang sosial, bidang pendidika dan bidang perekonomian.
Dalam perkembangan berikutnya, NU yang didirikan pada tahun 1926 ini menjadi organisasi keagamaan yang terbesar di Indonesia yang memiliki kontribusi besar dalam dunia pendidikan. Banyak tokoh-tokoh NU yang cukup berjasa bukan hanya di bidang pendidikan saja, tetapi juga dalam berbagai aspek antara lain: KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim (mantan Menteri Agama), KH. Zainul Arising (Mantan ketua DPR-GR), KH. Zainal Mustafa (tokoh pejuang terhadap belanda di Tasikmalaya), KH. Saifuddin Zuhri, KH. Dr. Idham Chalid (mantan ketua DPR/MPR RI) bahkan KH. Abdurraahman Wahid (Mantan RI ke-4), nama-nama tersebut pemerintah RI diakui sebagai pahlawan nasional.  
Dalam salah satu keputusan dari suatu kongres besar Al-Ma’arif NU seluruh Indonesia yang berlangsung pada tanggal 23-26 februari 1945, ditetapkan susunan sekolah atau madrasah Nahdlatul Ulama sebagai berikut:
1.      Raudatul-Atfal (Taman Kanak-kanak) lamanya 3 Tahun
2.      SR (Sekolah Rendah) / SD sampai sekarang lamanya 6 Tahun
3.      SMP NU lamanya 3 Tahun
4.      SMA NU lamanya 3 Tahun
5.      SGB NU lamanya 4 Tahun
6.      SGA NU (SPG sampai sekarang) lamanya 3 Tahun
7.      MMP NU (Madrasah Menengah Pertama) lamanya 3 Tahun
8.      MMA NU (Madrasah Menengah Atas) lamanya 3 Tahun
9.      Mu’allimin/Mu’allimat NU lamanya 5 Tahun[7]
Selanjutnya sekitar akhir Tahun 1938 (1356 H), komisi perguruan Nu berhasil melahirkan Reglemenet tentang susunan madrasah-madrasah NU yang harus di jalankan muali tanggal 2 Muharram 1357 H.
Adapun susunan madrasah-madrasah NU, tersebut adalah:
1.      Madrasah Awaliyah dengan lama belajar 2 Tahun
2.      Madrasah Ibtidiyah dengan lama belajar 3 Tahun
3.      Madrasah Tsanawiyah dengan lama belajar 3 Tahun
4.      Madrasah Mu’allimin Wustha 2 Tahun
5.      Madrasah Mu’allimin Ulya 3 Tahun[8]
Perjalanan selanjutnya setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, dimana NU tampil kemuka dengan resolusi jihadnya, tanggal 22 oktober 1945. Isinya mengajak umat Islam untuk mempertahankan tanah air Indonesia yang telah merdeka. Dalam resolusi tersebut bahwa berjihad hukumnya Fardhu ‘ain. Kenyataannya hal ini mendapat sambutan yang baik dari kalangan umat Islam.
Dengan ini NU bergerak di bidang pendidikan agama menurut ahlussunnah waljama’ah. Dengan usaha-usaha ini, maka NU mempunyai banyak sekali pondok pesantren dan madrasah yang tersebar diseluruh pelososk tanah air, terutama di daerah-daerah perdesaan yang pada umumnya mereka mempunyai tradisi keagamaan yang sangat kuat. Di samping itu NU juga mempunyai sekolah-sekolah umum dari tingkat TK sampai perguruan tinggi.
Dalam bidang pendidikan pengajaran formal ini NU membentuk satu bagian khusus yang menanganinya yaitu yang disebut Ma’arif, dimana tugasnya adalah perundangan dan program pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah yang diberada di bawah naungan NU.
Berdasarkan hasil rapat kerja Ma’arif yang diselenggarakan pada Tahun 1978, disebutkan tentang program-program kerja Ma’arif, antara lain:
1.      Pemantapan sistem pendidikan Ma’arif.
2.      Peningkatan organisasi Ma’arif
3.      Penyediaan data dan Informasi tentang sekolah – sekolah Ma’arif
4.      Penerbitan
5.      Peningkatan mutu guru Ma’arif[9] 
Usaha-usaha NU di bidang pendidikan Islam memang cukup menggembirakan. NU mempunyai banyak pondok pesantren madrasah yang tersebar diseluruh pelosok tanah air, terutama didaerah pedesaan pada umumnya mereka mempunyai tradisi keagamaan yang kuat. Disamping itu juga NU memiliki sekolah-sekolah umum dari tingkat kanak-kanak sampai pergururan tinggi.
Berdasarkan data pada tahun 1981, jumlah lembaga pendidikan yang di kelolah NU adalah sebagai berikut:
1.      Pondok pesantren 3.745 buah
2.      Madrasah 18.932
3.      Sekolah umum 3.102
Dari data tersebut belum termasuk perguruan tingginya, dan untuk pesantren pun yang tercatat hanya di jawa. Padahal tidak sedikit pesantren-pesantren NU yang berada di luar jawa. Sedangkan untuk kondisi sekarang tentu saja lembaga-lembaga pendidikan NU ini terus bertambah.[10]

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dengan demikian diharapkan pendidikan di lingkuangan NU, disamping menyiapkan kader-kader di bidang agama (moralitas) juga menyiapkan tenaga-tenaga siap pakai diberbagai bidang untuk menjawab tuntunan zaman yang dibutuhkan masyarakat. Sehingga pendidikan NU tidak ditinggalkan masyarakat tetapi malah dicari masyarakat karena kontribusinya yang besar terhadap masyarakat tersebut.





















DAFTAR PUSTAKA


Abu Su’ud,  Islamologi (Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam  Peradaban Umat Islam), Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2013.

Achmad Hasyim  Muzadi dkk, Profil dan Direktori Nahdlatul Ulama dari Masa ke Masa, Jakarta: PT. Yellow Multi Media, 2009.

Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual, Yogyakarta: PT LkiS Pelangi Aksara, 2004.

Cik Hasan dan Eva Rufaidah, Model Peneitian Agama dan Dinamika Sosial (Himpunan rencana Penelitian), Jakarta: PT Raja Grafido Persada, 2002.

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya, Jakarta: Raja Grafido Persada, 1995.

Rusli Ishaq, Sejarah  Kebdayaan Islam, Sukamaju Depok: Arya Duta, 2007.

Zuhairini Mucktarom, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2008.



[1]Abu Su’ud,  Islamologi (Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam  Peradaban Umat Islam), (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2013), h. 250.
[2] Ibid, h. 252.
[3] Achmad Hasyim  Muzadi dkk, Profil dan Direktori Nahdlatul Ulama dari Masa ke Masa, (Jakarta: PT. Yellow Multi Media, 2009), h. 34.
[4] Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual, (Yogyakarta: PT LkiS Pelangi Aksara, 2004), h. 15
[5]Rusli Ishaq, Sejarah  Kebdayaan Islam, (Sukamaju Depok: Arya Duta, 2007), h. 94.
[6] Cik Hasan dan Eva Rufaidah, Model Peneitian Agama dan Dinamika Sosial (Himpunan rencana Penelitian), (Jakarta: PT Raja Grafido Persada, 2002), h. 45-46
[7] Zuhairini Mucktarom, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 184-186.
[8] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya, (Jakarta: Raja Grafido Persada, 1995), h. 109.
[9]  Ibid, h. 110-112.
[10] Ibid, h. 113.

0 komentar:

Posting Komentar