PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pendidikan merupakan aspek penting yang dimiliki oleh setiap manusia,
karena dengan pendidikan dapat menciptakan perubahan sikap yang baik apda diri
seseorang. Pendidikan memiliki dua komponen penting yaitu guru atau pendidik
dan murid atau peserta didik.
Guru adalah orang yang
memberikan pengetahuan kepada murid, sedangkan murid adalah setiap orang yang
mendapatkan pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang yang menjalankan
kegiatan pendidikan. Guru dan murid merupakan unsur paling vital dalam dunia
belajar mengajar. Sebab, seluruh proses aktivitas orientasi serta relasi-relasi
lain yang terjalin untuk menjalankan pendidikan selalu melibatkan keberadaan
pendidik dan peserta didik sebagai aktor pelaksana.
Hubungan guru dan murid
dalam proses belajar mengajar merupakan factor yang sangat menentukan
keberhasilan proses pembelajaran. Guru dapat dikatakan sebagai orangtua murid
di sekolah dan merupakan orangtua kedua setelah orangtua siswa di dalam
keluarga. Sehingga seorang guru harus memiliki kedekatan dengan murid. Hubungan
baik guru dan murid ini dapat mendorong murid untuk rajin belajar.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah karakteristik guru atau
pendidik?
2. Bagaimanakah karakteristik murid atau
peserta didik?
3. Bagaimanakah hubungan antara guru dan
murid?
4. Bagaimanakah kehidupan guru dan murid di
masa klasik?
C. TUJUAN
Berdasarkan
pada rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka makalah ini bertujuan:
1. Mengetahui pengertian dan karakteristik
guru atau pendidik.
2. Mengetahui pengertian dan karakteristik
murid atau peserta didik.
3. Mengetahui hubungan guru dan murid.
4. Mengetahui kehidupan guru dan murid di masa
klasik.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Guru atau Pendidik
Secara Etimologi Pendidik (Guru) adalah orang
yang melakukan bimbingan. Pengertian ini memberi kesan bahwa pendidik adalah
orang yang melakukan kegiatan dalam pendidikan.[1]Dalam
pendidikan Islam, guru mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berat sekaligus
mulia, karena guru mengemban keprcayaan yang diberikan olh masyarakat guna
mlaksanakan fungsi pendidikan.
Dalam literatur kependidikan Islam, guru biasa disebut sbagai berikut:
1.
Ustadz yaitu sorang pendidik dituntut untuk komitmen terhadap
profsinya.
2.
Mu’allim yaitu pendidik adalah orang yang dituntut untuk mampu
menjelaskan hakekat dalam pengetahuan yang dijelaskannya.
3.
Murabbiy yaitu guru adalah orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik
agar mampu berkreasi, sekaligus mengatur dan memelihara hasil krasinya untuk
tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitar.
4.
Mursyid yaitu seorang pendidik yang berusaha menularkan
penghayatan akhlak atau kepribadian kepada peserta didiknya.
5.
Mudarris yaitu pendidik adalah orang yang mencerdaskan peserta
didiknya, menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas kebodohan, serta melatih
keterampilan peserta didik sesuai dengan bakat dan minatnya.
6.
Muadin yaitu pendidik memiliki peran dan fungsi untuk
membangun peradaban yang bekualitas dimasa depan.[2]
Sedangkan didalam Undang-Undang RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa pendidik merupakan tenaga professional
yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, memiliki hasil pembelajaran melakukan pembimbingan
dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat,
terutama pada pendidik di Perguruan Tinggi.[3]
Pengertian pendidik yang dimaksud diatas adalah pengertian pendidik
secara umum sedangkan pengertian pendidik agama Islam adalah orang yang
melaksanakan bimbingan terhadap peserta didik secara islami, dalam suatu
situasi pendidikan Islam untuk mencapat tujuan yang diharapkan sesuai dengan
ajaran Islam.
B.
Karakteristik Guru atau Pendidik
Pendidik menempati peranan kunci dalam
mengelola kegiatan pembelajaran. Peranan kunci ini dapat diemban apabila
pendidik memiliki tingkat kemampuan yang tinggi dan dapat melaksanakan tugasnya
dengan baik dan memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
1. Tingkah laku dan pola pikir guru bersifat Rabbani yakni hendaknya dapat mentaati,
mengabdi dan mengikuti syariat Allah.
2. Guru harus ikhlas. Sebagai seorang guru
hendaknya profesi guru dijadikan sebagai wahana untuk semata-mata mengharapkan
ridho Allah.
3. Guru sabar dalam mengajarkan berbagai ilmu
pengetahuan kepada anak-anak. Hal ini memerlukan latihan yang berulang kali
serta variasi metode yang tidak mudah membosankan.
4. Guru jujur dalam menyampaikan apa yang
diserukanNya. Tanda kejujuran itu ialah menerapkan anjuranNya pertama-tama pada
dirinya sendiri.
5. Guru senantiasan membekali dirinya dengan
ilmu pengetahuan dan bersedia untuk meningkatkan kualitas pribadinya.
6. Guru mampu menggunakan berbagai metode
mengajar secara bervariasi dan mampu memilik metode sesuai dengan kebutuhan
anak.
7. Guru mampu mengelola siswa, tegas bertindak
serta meletakkan berbagai permasalahan secara professional.
8. Guru mempelajari kehidupan psikis anak
selaras dengan tingkat usia perkembangannya.
9. Guru tanggap terhadap berbagai kondisi dan
perkembangan dunia yang mempengaruhi perkembangan jiwa anak.
10. Guru bersikap adil kepada semua anak
didiknya, tidak membedakan antara satu dengan yang lainnya.[4]
11. Guru harus menyayangi muridya dan
memperlakukan mereka seperti menyayangi dan memperlakukan anak sendiri.
12. Hendaklah guru memberi nasihat kepada
muridnya seperti melarang mereka menduduki suatu tingkat sebelum berhak
mendudukinya.[5]
C.
Pengertian Murid atau Peserta Didik
Peserta didik merupakan sumberdaya utama dan terpenting dalam proses
pendidikan formal, tidak ada peserta didik maka tidak ada guru dan tidak akan
berjalan proses pembelajaran. Peserta didik bias belajar tanpa guru, tetapi
guru tidak bias mengajar tanpa peserta didik.
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
peserta didik didefinisikan sebagai setiap manusia yang berusaha mengembangkan
potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan baik pendidikan
formal maupun pendidikan non formal, pada jenjang pendidikan dan jenis
pendidikan tertentu.[6]
Peserta didik juga dapat didefinisikan sebagai orang yang belum dewasa dan
memiliki sejumlah potensi dafar yang masih perlu dikembangkan. Potensi yang
dimaksud umumnya terdiri dari tiga kategori yaitu kognitif, afektif, dan
psikomotor.[7]
Peserta didik dalam pandangan Islam diarahkan pada sifat aktif bukan pasif. Islam menganjurkan peserta didik
untuk belajar agama, ilmu jiwa, dan ilmu alam, sejarah, botani, zologi,
perkembangan dan proses kejanian manusia dan alam, ilmu falak, matematika,
fisika dan kimia, geologi dan geografi, dan tentang manusia serta alam.[8]
Semua itu sebagai bukti bahwa peserta didik dalam konsep Islami haruslah aktif
dan dinamis dalam berfikir, belajar, merenungkan meneliti, mencoba, menemukan,
mengamalkan, dan menyebarluaskan aktivitasnya.
D.
Karakteristik Murid atau Peserta Didik
Karakteristik peserta didik adalah totalitas kemampuan dan perilaku
yang ada pada pribadi mereka sebagai hasil dari interaksi antara pembawaan
dengan lingkungan sosialnya, sehingga menentukan pola aktivitasnya dalam
mewujudkan harapan dan meraih cita-cita. Ada empat hal dominan dari karakteristik peserta didik
yaitu sebagai berikut:
1.
Kemampuan dasar, misalnya kemampuan kognitif atau intelektual, efektif,
dan psikomotor.
2.
Latar belakang kultural local, status social, status ekonomi, agama, dan
sebagainya.
3.
Perbedaan-perbedaan kepribadian seperti sikap, perasaan, minat, dan
lain-lain.
Terdapat banyak sebutan yang berkaitan dengan peserta didik. Misalnya,
sebutan siswa, pelajar, atau murid popular untuk mereka yang belajar di sekolah
menengah ke bawah. Santri adalah istilah bagi siswa pada jalur pendidikan
pesantren. Mahasiswa untuk mereka yang belajar di perguruan tinggi. Apapun
sebutannya, ada hal-hal yang esensial mengenai hakikat peserta didik:
a. Peserta didik merupakan manusia yang
memiliki diferensiasi potensi dasar.
b. Peserta didik merupakan manusia yang
memiliki diferensiasi priodesasi perkembangan dan pertumbuhan, meski memiliki
pola yang relatif sama.
c. Peserta didik memiliki imajinasi, persepsi,
dan dunianya sendiri, bukan sekedar miniature orang dewasa.
d. Peserta didik merupakan manusia yang
memiliki diferensiasi kebutuhan yang harus dipenuhi, baik jasmani maupun
rohani, meski dalm hal-hal tertentu banyak kesamaannya.
e. Peserta didik merupakan manusi bertangung
jawab bagi proses belajar pribadi dan menjadi pembelajar sejati, sesuai dengan
wawasan pendidikan sepanjang hayat.
f. Peserta didik memiliki daya adabtabilitas
di dalam kelompok sekaligus mengembangkan dimensi individualitasnya sebagai
insan yang unik.
g. Peserta didik memerlukan pembinaan dan
pengembangan secara individual dan kelompok, serta mengharapkan perlakuan yang
manusiawi dari orang dewasa termasuk gurunya.
h. Peserta didik merupakan insan yang visioner
dan proaktif dalam menghadapi lingkungannya.
i.
Peserta didik sejatinya berprilaku baik dan lingkunganlah yang paling
dominan untuk membuatnya lebih baik lagi atau menjadi lebih buruk.
j.
Peserta didik merupaka makhluk Tuhan yang meski memiliki aneka
keungulan, namun tidak akan mungkin bias berbuat atau dipaksa melakukan sesuatu
melebihi kapasitasnya.[10]
Ketika
memasuki satuan pendidikan formal atau sekolah, peserta didik memiliki hak atau
kewajiban tertentu. Hak dan kewajiban itu antara lain diatur dalam UU No. 20
tahun 2003 tentang Sisdiknas bahwa peserta didik pada satuan pendidikan berhak:
a. Mendapat pendidikan agama sesuai dengan
agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
b. Mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai
dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
c. Mendapat beasiswa bagi yang berprestasi
yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya.
d. Mendapat biaya pendidikan bagi mereka yang
orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya.
e. Pindah ke program pendidikan pada jalur dan
satuan pendidikan lain yang setara.
f. Menyelesaikan program pendidikan sesuai
dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan
batas waktu yang ditetapkan.[11]
Sebagai peserta didik harus memahami kewajiban, etika dan
melaksanakannya. Namun, itu semua tidak terlepas dari keterlibatan pendidik,
karena seorang pendidik harus memahami dan memberikan pemahaman tentang
aspek-aspek yang terdapat didalam diri peserta didik terhadap peserta didik itu
sendiri, kalau seorang pendidik tidak mengetahui aspek tersebut, maka potensi
yang dimiliki oleh peserta didik tersebut akan sulit dikembangkan dan peserta
didikpun juga sulit mengenali potensi
yang dimilikinya.
E.
Hubungan antara Guru dan Murid
Belajar adalah suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan untuk
mendapatkan kemampuan baru dimana kemampuan tersebut dapat bertahan untuk
jangka waktu yang begitu lama, dapat juga dikatakan bahwa belajar merupakan
proses dasar dari perkembangan hidup manusia melakukan perubahan-perubahan
kualitatif individu sehingga tingkah lakunya berkembang.[12]
Proses pembelajaran tidak terlepas dari
guru yang memegang peranan penting didalamnya. Oleh karena itu, mereka harus
memiliki berbagai kompetensi yang diperlukan dalam memberikan arahan, bimbingan
dan pendampingan terhadap para siswanya. Bentuk relasi dan interaksi yang
diharapkan adalah adanya suasana yang menyenangkan, akrab, penuh pengertian dan
ingin memahami sehingga peserta didik merasa bahwa dirinya telah di didik
dengan penuh cinta dan tangung jawab.
Interaksi atau hubungan antara guru dan
murid merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses belajar mengajar.
Interaksi dalam proses belajar mengajar mempunyai arti yang lebih luas, yaitu
tidak hanya sekedar hubungan guru dan siswa, tetapi berupa interaksi edukatif.
Dalam hal ini tugas seorang guru bukan hanya menyampaikan pesan berupa materi
pelajaran melainkan pemahaman sikap dan nilai pada diri siswa yang sedang
belajar.[13]Oleh
karena itu, guru harus melaksanakan tugasnya dengan baik, tugas itu antara
lain:
1. Menularkan (menyampaikan) pengetahuan dan kebudayaan
kepada orang lain (bersifat kognitif).
2. Melatih keterampilan jasmani kepada orang
lain (Psikomotorik)
3. Menanamkan nilai dan keyakinan kepada orang
lain (afektif).[14]
Hubungan guru dan murid bukan lagi terikat kepada hubungan hirarkis
antara atasan dan bawahan dalam memperlajari suatu ilmu, tetapi terdapat proses
belajar dan mengajar, terdapat adanya guru yang potensial dan murid yang
potensial, sehingga proses belajar mengajar ini tinggal mengefektifkan guru
potensial dan murid potensial.Hubungan guru dan
murid mempunyai sifat yang relatif stabil. Ciri khas dari hubungan ini,
terdapat status yang tidak sama antara guru dan murid. Guru secara umum diakui
mempunyai status yang lebih tinggi dan karena itu dapat menuntut murid untuk
menunjukkan kelakuan yang sesuai dengan sifat hubungan itu.[15]
Hubungan guru dan murid tidak hanya terjadi saat proses pembelajaran
atau selama proses pelayanan pendidikan, meski guru sedang tidak menjalankan
tugas atau sudah lama meninggalkan tugas, hubungan dengan siswanya relatif
masih terjaga. Meski secara formal tidak lagi menjalankan tugas-tugas
keguruannya, tetapi hubungan batiniah antara guru dan muridnya masih relatif
kuat dan siswa pun berusaha menjalankan segala sesuatu yang diajarkan gurunya.
F.
Kehidupan Guru dan Murid dalam Pendidikan
Islam
1. Kehidupan Guru Pada Masa Klasik
a. Kompetensi Mengajar Guru Pada Masa Klasik
Kompetensi adalah kekuasaan, wewenang, atau hak yang didasarkan pada
peraturan tertentu. Sedangkan kompetensi mengajar adalah wewenang guru untuk
melaksanakan tugas mengajar berdasarkan persyaratan-persyaratan tertentu,
diantaranya adalah syarat yang berkaitan dengan fisik dan nonfisik.
Syarat
untuk bisa menjadi seorang guru pada masa klasik secara umum dapat digolongkan
menjadi dua syarat, yaitu:
1) Syarat fisik
a) Bentuk badannya bagus
b) Manis muka (selalu berserk-seri)
c) Lebar dahinya
d) Bermuka bersih
2) Syarat psikis
a) Berakal sehat
b) Hatinya beradab
c) Tajam pemahamannya
d) Adil terhadap siswa
e) Bersifat perwira
f) Sabar dan tidk mudah marah
g) Bila berbicara menggambarkan keluasan
ilmunya
h) Perkataannya jelas, mudah dipahami
i)
Dapat memilih perkataan yang baik dan mulia
j)
Menjauhi perbuatan yang tidak terpuji[16]
b. Pranata Sosial dan Guru
Guru pada masa klasik dapat diklasifikasikan kedalam
tiga golongan yaitu:
1) Guru-guru yang mengajar sekolah kanak-kanak
(mu’allim al-Kuttab)
Guru
sekolah kanak-kanak mempunyai status social yang rendah. Hal ini disebabkan
oleh kualitas mereka yang dangkal dan kurang berbobot. Mereka dituduh
menyebabkan lahirnya kesan yang kurang baik terhadap profesi guru. Di kota
Palermo terdapat kurang lebih 300 orang guru kanak-kanak yang kebanyakan
diantara mereka menderita sakit sawan, ceroboh, dan bodoh. Namun demikian,
tidak semua guru kanak-kanak ceroboh dan bodoh. Ada sebagian diantara mereka
yang ahli dalam bidang sastra, ahli khat dan fuqaha’. Mereka inilah golongan
guru kanak-kanak yang dihormati dan dihargai seperti, Al-Hajaja, Al-Kumait,
Abdul Hamid Al-Katib, dan Atha’ bin Abi Rabah.[17]
2) Para guru yang mengajar para putera mahkota
(Muaddib)
Para muaddib mempunyai status social yang tinggi
bahkan tidak sedikit para ulama yang mndapat kesempatan untuk menjadi muaddib.
Hal ini disebabkan karena untuk menjadi muaddib diperlukan beberapa syarat,
diantaranya adalah alim, berakhlak mulia, dan dikenal masyarakat.
3) Para guru yang memberikan pelajaran di
masjid-masjid dan sekolah-sekolah
Guru-guru
dari golongan ini telah beruntung mendapat kehormatan dan penghargaan yang
tinggi dihadapan masyarakat. Hal ini disebabkan penguasaan mereka terhadap ilmu
pengetahuan yang begitu mendalam (rasikh) dan berbobot.
c. Peranan guru dalam kehidupan masyarakat
Guru-guru
pada masa klasik selalu dikelilingin oleh para siswa yang datang dari berbagai
pelosok wilayah dunia yang bertujuan mendengarkan langsung kajian yang
dibawakan oleh gurunya. Tokoh-tokoh istimewa tertentu, yang telah mempelajari
hadis dan membangun system teologi serta hokum yang berlaku dikalangan mereka,
senantiasa menarik perhatian murid-murid dari daerah yang jauh dan dekat untuk
menuntut ilmu pengetahuan dari mereka. Maka ciri utama pada masa ini adalah
pentingnya peranan individu guru.
Guru atau
pendidik setelah memberikan pelajaran seluruhnya, secara pribadi memberikan
amanat secara lisan kepada muridnya agar menyampaikan ilmunya kepada siapa yang
membutuhkannya.[18]
Baru kemudian tradisi memberikan ijazah sebagai bukti atas selesainya pelajaran
yang telah diikuti oleh para murid pada masa itu. Syaikh ‘Allamah Agha Buzurk,
seoraang ulama di al-Najaf telah mencurahkan tenaganya guna mengumpulkan,
mencatat dan menyusun sejumlah syahadah-syahadah yang pernah dikeluarkan oleh
atau untuk ulama-ulama terkenal. Dokumen ijazah yang terkenal paling tua dalam
sejarah pendidikan Islam adalah ijazah yang dikeluarkan pada bulan Shafar tahun
304 Hijriah, diberikan oleh Muhammad Ibnu Abdullah Ibnu Ja’far Al-Himyari
kepada Abu Amir Said Ibnu ‘Amr, karena telah menyelesaikan kitab Qurbul Isnad.
Secara
sosiologis guru mempunyai tanggungjawab terhadap masyarakat yang berada
disekitar madrasah. Karena keberadaan madrasah akan mempunyai dampak yang
positif bagi masyarakat manakala madrasah dapat membantu memainkan peranan
dalam pembangunan masyarakat. Selain itu, guru mempunyai tanggung jawab untuk
memantau perkembangan anak didik yang berada dilingkungan massyarakat sekitar madrasah.
Bagaimana pergaulan anak dan peranan apa yang dimainkan anak. Guru mempunyai
tugas mengontrolnya sekalipun guru sendiri secara sosiologis punya kewajiban
untuk menjadi dinamisator dalam kehidupan masyarakat.
Para
muaddib, muallim, dan ustad pada masa klasik, mereka mampu memainkan peran
dalam kehidupan masyarakat dengan cara bergabung dalam intitusi-intitusi
keilmuan dan perkumpulan-perkumpulan pribadi yang mereka bangun. Mereka
melakukan transformasi keilmuan secara ekstensif melalui dialog dan
praktik-praktik secara terbuka guna mendidik tenaga professional dalam
bidangnya.[19]
d. Organisasi guru pada masa klasik
Keberadaan guru mempunyai pengaruh yang penting dalam suatu
pemerintahan, bahkan kekuasaannya mempunyai andil yang besar dalam kekuasaan
khalifah. Hal ini tampaknya tidak terlalu berlebihan, karena guru terhimpun
dalam suatu organisasi yang mempunyai kekuatan yang dapat mengendalikan
kepentingan khalifah, khususnya dalam hal pengangkatan dan pemberian izin untuk
menjadi pengajar di suatu masjid dan madrasah. Abu Syamah menyatakan “Syarikat
gurulah yang berhak untuk menentukan dan memberikan izin kepada seorang guru
untuk menjadi pengajar disebuah masjid walaupun khalifah mempunyai kekuasaan.
Namun, dalam hal pemberian izin khalifah meminta pertimbangan dan persetujuan
kepada syarikat guru”.
Sekalipun
organisasi pada masa itu belum tertata rapi sedemikian rupa sebagaimana
lazimnya sebuah organisasi, tapi keberadaannya mempunyai andil yang besar dalam
sebuah pemerintahan, dan bahkan organisasi guru dapat dijadikan corong untuk
menyebarkan ajaran atau aliran yang dianut oleh para penguasa. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada masa
Daulah Fatimiyah, organisasi guru “Dai Daulah” mampu memainkan peran membantu
pemerintah dalam menyebarkan aliran atau ajaran yang diyakini penguasa pada
masa itu.
2. Kehidupan Murid Pada Masa Klasik
Murid
merupakan salah satu komponen pendidikan yang berpengaruh terhadap pencapaian
tujuan pendidikan. Untuk keberhasilan pencapaian tujuan pengajaran khususnya,
dan pendidikan pada umumnya, murid harus diperlakukan sebagai subjek dan objek.[20]
a. Batasan Murid
Diawal
perkembangan Islam, para penuntut ilmu tidak ada perbedaan. Ketika Rasulullah
saw masih hidup, semua sahabat diberi kesempatan yang sama untuk mendapatkan
pengetahuan dan pengalaman tentang ajaran Islam dari Rasulullah saw. Dalam kenyataannya,
tidak semua sahabat dapat memanfaatkan kesempatan untuk menimba ilmu dari
beliau. Hal ini bisa dipahami karena para sahabat mempunyai pekerjaan dan
aktivitas yang beraneka ragam.
Kegiatan
pendidikan pada permulaan Islam di rumah Al-Arqam bin Abi Al-Arqam. Selanjutnya
berpindah ke masjid. Dalam perkembanganya kemudian, kaum Muslim memerlukan
tempat khusus untuk kegiatan belajar anak-anak mereka. Mereka menjadikan kuttab
sebagai tempat pendidikan dasar.
Di
kuttab, para murid mendapat pengajaran berupa keterampilan dasar, seperti
membaca dan menulis Alquran dan dasar-dasar agama. Pada abad pertama hijriah,
pelajaran difokuskan pada pelajaran membaca dan menulis. Kemudian pada abad
berikutnya, pelajaran berkembang dengan diajarkannya ilmu keagamaan,
aritmatika, tata bahasa, syair dan sejarah.[21]
Dari
gambaran diatas, dapat dilihat bahwa perkembangan mata pelajaran yang diberikan
sesuai dengan kebutuhan pada waktu itu. Pada permulaan Islam, belajar membaca
dan menulis adalah kebutuhan penting. Karena itu, fokus pemberian pelajaran
adalah keterampilan membaca dan menulis. Setelah Islam berkembang dan kontak
dengan dunia luar semakin intens, pelajaran dasar tidak cukup dengan membaca
dan menulis, tetapi pelajaran barupun dimasukkan.
Pada masa klasik, tidak ada ketentuan pasti
tentang batasan umur bagi seseorang yang mau belajar di kuttab. Para murid yang
memasuki lembaga pendidikan dasar ini bervariasi. Ada murid yang mulai memasuki
kuttab berumur lima tahun, ada yang berumur tujuh tahun, dan bahkan ada yang
berumur sepuluh tahun. Bervariasinya umur murid yang memasuki kuttab, tampaknya
terkait dengan kesiapan mereka. Kesiapan itu bukan saja dari fisik dan mental,
tetapi juga dari segi ekonomi.
b. Biaya dan Lama Belajar
Biaya selama belajar di kuttab pada dasarnya
dibebeankan kepada keluarga murid. Orang tua murid membayar dengan sejumlah
uang yang dibayar pada setiap minggu atau setiap bulan. Terkadang pembayaran
itu dilakukan dengan sejumlah bahan makanan sebagai pengganti uang. Bagi murid
dari keluarga miskin, diberikan kesempatan belajar dengan cuma-cuma. Selain
itu, ada pula orang tua yang menitipkan anaknya kepada seorang guru, dan untuk
biaya selama anaknya belajar, dia memberikannya kepada guru tersebut sejumlah
harta/biaya. [22]
Lama
belajar di kuttab bergantung pada kemampuan anak didik. Murid yang cerdas dan
rajin dapat menyelesaikan belajarnya dalam waktu relatif singkat. Sebaliknya,
anak yang kurang cerdas dan malas memakan waktu agak lama untuk menyelesaikan
pelajarannya. Meskipun demikian, umumnya masa belajar di kuttab kurang lebih
lima tahun. Ukuran yang dijadikan dasar untuk kelulusan adalah kemampuan murid
menghafal Alqur’an.[23]
c. Keadaan Murid
Para murid di kuttab
belajar enam hari dalam seminggu. Pelajaran dimulai pada hari Sabtu dan
berakhir pada hari Kamis. Waktu belajar dimulai pada pagi hari setelah selesai
sholat ashar. Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa murid pada siang hari
lebih banyak bergaul dengan guru dan para
murid lainnya di kuttab. Adapun murid yang berada dalam pemeliharaan
seorang guru, pergaulannya dengan seorang guru lebih lama dari murid-murid lain
yang harus pulang ke rumah setelah pelajaran selesai. Karena itu, dapat
diasumsikan bahwa guru yang mengajar di kuttab adalah orang yang terdekat
selain orang tua.
KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil makalah yang telah dipaparkan, maka dapat diambil kesimpulan:
1.
Guru atau pendidik merupakan tenaga professional yang
bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, memiliki hasil pembelajaran melakukan
pembimbingan dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat, terutama pada pendidik di Perguruan Tinggi.
2.
Murid atau Peserta didik didefinisikan sebagai setiap
manusia yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran
pada jalur pendidikan baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal, pada
jenjang pendidikan dan jenis pendidikan tertentu.
3.
Hubungan guru dan murid tidak hanya terjadi saat
proses pembelajaran atau selama proses pelayanan pendidikan, meski guru sedang
tidak menjalankan tugas atau sudah lama meninggalkan tugas, hubungan dengan
siswanya relatif masih terjaga. Meski secara formal tidak lagi menjalankan
tugas-tugas keguruannya, tetapi hubungan batiniah antara guru dan muridnya
masih relatif kuat dan siswa pun berusaha menjalankan segala sesuatu yang
diajarkan gurunya.
4.
Kehidupan guru pada masa klasik sangat didasarkan pada
sifat alim, berakhlak mulia dan dikenal masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
-----. Paradigma
Pendidikan Islam (Kapita Selekta Pendidikan Islam). Jakarta: PT Grasindo,
2001.
-----.Sejarah
Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Abuddin Nata. Sejarah
Pendidian Islam pada Periode Klasik dan Pertengahan. Jakarta: Rajawali
Pers: 2010.
Abd Ranchman Assegaf. Filsafat Pendidikan Islam Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis
Integratif-Interkonektif. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011.
Ahmad Nabawi, “Etika
Hubungan Guru Dan Siswa Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Di SD
Muhammadiyah Demangan Yogyakarta”, diunduh pada 13 September 2017.
Ahmad Tafsir. Ilmu
Pendidikan Dalam Perspertif Islam. Bandung: Rosdakarya, 1994.
http://kompetensi.info/kompetensi-guru/empat-kompetensi-guru.html diunduh pada tanggal 07 September 2017
Nanang Hanafiah dan Cucu Suhana, Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung: Refika Aditama, 2012
Ramayullis. Metodologi Pendidikan Agama Islam.
Jakarta: Kalam Mulia, 2005.
Sudarwan
Danim. Perkembangan Peserta Didik.
Bandung: ALFABETA, 2011.
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2013.
UU No 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendiikan Nasional
Zakiah Daradjat, dkk. Metodik Khusus Pengajaran Agma Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
.
[1]Ramayullis,
Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta:
Kalam Mulia, 2005), h.49.
[3] UU No 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendiikan Nasional
[4]Abuddin
Nata, Sejarah Pendidikan Islam pada
Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta: Rajawali Pers: 2010), h. 145-146.
[5]Ahmad
Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspertif
Islam, (Bandung: Rosdakarya, 1994), h. 83.
[6]Undang-Undang
No 20 Tahun 2003 tentan Sistem Pendidikan Nasional.
[7]Sudarwan
Danim, Perkembangan Peserta Didik, (Bandung:
ALFABETA, 2011), h. 2.
[8]Abd
Ranchman Assegaf, Filsafat Pendidikan
Islam Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2011), h. 113-114.
[9]Sudarwan
Danim, Perkembangan Peserta Didik, (Bandung:
Alfbeta, 2011), h. 4.
[12]Syaiful
Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi
Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2013), h. 38.
[13]Abuddin
Nata, Paradigma Pendidikan Islam (Kapita
Selekta Pendidikan Islam), (Jakarta: PT Grasindo, 2001)., h. 202.
[14]Ahmad
Nabawi, “Etika Hubungan Guru Dan Siswa
Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Di SD Muhammadiyah Demangan
Yogyakarta”, diunduh pada 13 September 2017.
[16]Abuddin
Nata, Sejarah Pendidikan Islam,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2010)., h. 144
[18]Hal ini
sebagaimana dialami oleh Abu Yusuf, ketika ia sakit berat lalu dijenguk oleh
gurunya yakni Imam Abu Hanifah Al-Nu’man seraya berkata:”Aku berharap engkau
untuk mengajara kaum Muslimin sesudahku”.
[19]Seperti
Zakia Al-Razi yang mendidik para tenaga professional sambil melakukan praktik
kedokteran dan menangani pasien di rumah sakit. Hal ini untuk melatih tebaga
muda professional agar dapat mengabdikan dirinya dalam kehidupan bermasyarakat.
[20]Maksud
murid sebagai subjek dan objek adalah anak didik tidak hanya pasif menerima
segala yang diberikan guru, tetapi murid juga aktif mengolah dan mencari
informasi dari berbagai sumber.
[21]Abuddin
Nata, Sejarah Pendidikan Islam., h.
131
[23]Ibid.,
0 komentar:
Posting Komentar