Beranda

Selasa, 02 April 2019

Kehidupan Guru dan Murid


PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Pendidikan merupakan aspek penting yang dimiliki oleh setiap manusia, karena dengan pendidikan dapat menciptakan perubahan sikap yang baik apda diri seseorang. Pendidikan memiliki dua komponen penting yaitu guru atau pendidik dan murid atau peserta didik.

       Guru adalah orang yang memberikan pengetahuan kepada murid, sedangkan murid adalah setiap orang yang mendapatkan pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Guru dan murid merupakan unsur paling vital dalam dunia belajar mengajar. Sebab, seluruh proses aktivitas orientasi serta relasi-relasi lain yang terjalin untuk menjalankan pendidikan selalu melibatkan keberadaan pendidik dan peserta didik sebagai aktor pelaksana.

       Hubungan guru dan murid dalam proses belajar mengajar merupakan factor yang sangat menentukan keberhasilan proses pembelajaran. Guru dapat dikatakan sebagai orangtua murid di sekolah dan merupakan orangtua kedua setelah orangtua siswa di dalam keluarga. Sehingga seorang guru harus memiliki kedekatan dengan murid. Hubungan baik guru dan murid ini dapat mendorong murid untuk rajin belajar.

B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah karakteristik guru atau pendidik?
2.      Bagaimanakah karakteristik murid atau peserta didik?
3.      Bagaimanakah hubungan antara guru dan murid?
4.      Bagaimanakah kehidupan guru dan murid di masa klasik?

C.    TUJUAN
Berdasarkan pada rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka makalah ini bertujuan:
1.      Mengetahui pengertian dan karakteristik guru atau pendidik.
2.      Mengetahui pengertian dan karakteristik murid atau peserta didik.
3.      Mengetahui hubungan guru dan murid.
4.      Mengetahui kehidupan guru dan murid di masa klasik.


PEMBAHASAN
A.    Pengertian Guru atau Pendidik
Secara Etimologi Pendidik (Guru) adalah orang yang melakukan bimbingan. Pengertian ini memberi kesan bahwa pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam pendidikan.[1]Dalam pendidikan Islam, guru mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berat sekaligus mulia, karena guru mengemban keprcayaan yang diberikan olh masyarakat guna mlaksanakan fungsi pendidikan.
       Dalam literatur kependidikan Islam, guru biasa disebut sbagai berikut:
1.      Ustadz yaitu sorang pendidik dituntut untuk komitmen terhadap profsinya.
2.      Mu’allim yaitu pendidik adalah orang yang dituntut untuk mampu menjelaskan hakekat dalam pengetahuan yang dijelaskannya.
3.      Murabbiy yaitu guru adalah orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, sekaligus mengatur dan memelihara hasil krasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitar.
4.      Mursyid yaitu seorang pendidik yang berusaha menularkan penghayatan akhlak atau kepribadian kepada peserta didiknya.
5.      Mudarris yaitu pendidik adalah orang yang mencerdaskan peserta didiknya, menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas kebodohan, serta melatih keterampilan peserta didik sesuai dengan bakat dan minatnya.
6.      Muadin yaitu pendidik memiliki peran dan fungsi untuk membangun peradaban yang bekualitas dimasa depan.[2]
       Sedangkan didalam Undang-Undang RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa pendidik merupakan tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran,  memiliki hasil pembelajaran melakukan pembimbingan dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama pada pendidik di Perguruan Tinggi.[3]
       Pengertian pendidik yang dimaksud diatas adalah pengertian pendidik secara umum sedangkan pengertian pendidik agama Islam adalah orang yang melaksanakan bimbingan terhadap peserta didik secara islami, dalam suatu situasi pendidikan Islam untuk mencapat tujuan yang diharapkan sesuai dengan ajaran Islam.
B.     Karakteristik Guru atau Pendidik
Pendidik menempati peranan kunci dalam mengelola kegiatan pembelajaran. Peranan kunci ini dapat diemban apabila pendidik memiliki tingkat kemampuan yang tinggi dan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
1.      Tingkah laku dan pola pikir guru bersifat Rabbani yakni hendaknya dapat mentaati, mengabdi dan mengikuti syariat Allah.
2.      Guru harus ikhlas. Sebagai seorang guru hendaknya profesi guru dijadikan sebagai wahana untuk semata-mata mengharapkan ridho Allah.
3.      Guru sabar dalam mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan kepada anak-anak. Hal ini memerlukan latihan yang berulang kali serta variasi metode yang tidak mudah membosankan.
4.      Guru jujur dalam menyampaikan apa yang diserukanNya. Tanda kejujuran itu ialah menerapkan anjuranNya pertama-tama pada dirinya sendiri.
5.      Guru senantiasan membekali dirinya dengan ilmu pengetahuan dan bersedia untuk meningkatkan kualitas pribadinya.
6.      Guru mampu menggunakan berbagai metode mengajar secara bervariasi dan mampu memilik metode sesuai dengan kebutuhan anak.
7.      Guru mampu mengelola siswa, tegas bertindak serta meletakkan berbagai permasalahan secara professional.
8.      Guru mempelajari kehidupan psikis anak selaras dengan tingkat usia perkembangannya.
9.      Guru tanggap terhadap berbagai kondisi dan perkembangan dunia yang mempengaruhi perkembangan jiwa anak.
10.  Guru bersikap adil kepada semua anak didiknya, tidak membedakan antara satu dengan yang lainnya.[4]
11.  Guru harus menyayangi muridya dan memperlakukan mereka seperti menyayangi dan memperlakukan anak sendiri.
12.  Hendaklah guru memberi nasihat kepada muridnya seperti melarang mereka menduduki suatu tingkat sebelum berhak mendudukinya.[5]
C.    Pengertian Murid atau Peserta Didik
       Peserta didik merupakan sumberdaya utama dan terpenting dalam proses pendidikan formal, tidak ada peserta didik maka tidak ada guru dan tidak akan berjalan proses pembelajaran. Peserta didik bias belajar tanpa guru, tetapi guru tidak bias mengajar tanpa peserta didik.
       Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, peserta didik didefinisikan sebagai setiap manusia yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal, pada jenjang pendidikan dan jenis pendidikan tertentu.[6] Peserta didik juga dapat didefinisikan sebagai orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi dafar yang masih perlu dikembangkan. Potensi yang dimaksud umumnya terdiri dari tiga kategori yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor.[7]
       Peserta didik dalam pandangan Islam diarahkan pada sifat aktif  bukan pasif. Islam menganjurkan peserta didik untuk belajar agama, ilmu jiwa, dan ilmu alam, sejarah, botani, zologi, perkembangan dan proses kejanian manusia dan alam, ilmu falak, matematika, fisika dan kimia, geologi dan geografi, dan tentang manusia serta alam.[8] Semua itu sebagai bukti bahwa peserta didik dalam konsep Islami haruslah aktif dan dinamis dalam berfikir, belajar, merenungkan meneliti, mencoba, menemukan, mengamalkan, dan menyebarluaskan aktivitasnya.
D.    Karakteristik Murid atau Peserta Didik
Karakteristik peserta didik adalah totalitas kemampuan dan perilaku yang ada pada pribadi mereka sebagai hasil dari interaksi antara pembawaan dengan lingkungan sosialnya, sehingga menentukan pola aktivitasnya dalam mewujudkan harapan dan meraih cita-cita. Ada empat hal dominan dari karakteristik peserta didik yaitu sebagai berikut:
1.      Kemampuan dasar, misalnya kemampuan kognitif atau intelektual, efektif, dan psikomotor.
2.      Latar belakang kultural local, status social, status ekonomi, agama, dan sebagainya.
3.      Perbedaan-perbedaan kepribadian seperti sikap, perasaan, minat, dan lain-lain.
4.      Cita-cita, pandangan ke depan, keyakinan diri, daya tahan, dan lain-lain.[9]
       Terdapat banyak sebutan yang berkaitan dengan peserta didik. Misalnya, sebutan siswa, pelajar, atau murid popular untuk mereka yang belajar di sekolah menengah ke bawah. Santri adalah istilah bagi siswa pada jalur pendidikan pesantren. Mahasiswa untuk mereka yang belajar di perguruan tinggi. Apapun sebutannya, ada hal-hal yang esensial mengenai hakikat peserta didik:
a.       Peserta didik merupakan manusia yang memiliki diferensiasi potensi dasar.
b.      Peserta didik merupakan manusia yang memiliki diferensiasi priodesasi perkembangan dan pertumbuhan, meski memiliki pola yang relatif sama.
c.       Peserta didik memiliki imajinasi, persepsi, dan dunianya sendiri, bukan sekedar miniature orang dewasa.
d.      Peserta didik merupakan manusia yang memiliki diferensiasi kebutuhan yang harus dipenuhi, baik jasmani maupun rohani, meski dalm hal-hal tertentu banyak kesamaannya.
e.       Peserta didik merupakan manusi bertangung jawab bagi proses belajar pribadi dan menjadi pembelajar sejati, sesuai dengan wawasan pendidikan sepanjang hayat.
f.       Peserta didik memiliki daya adabtabilitas di dalam kelompok sekaligus mengembangkan dimensi individualitasnya sebagai insan yang unik.
g.      Peserta didik memerlukan pembinaan dan pengembangan secara individual dan kelompok, serta mengharapkan perlakuan yang manusiawi dari orang dewasa termasuk gurunya.
h.      Peserta didik merupakan insan yang visioner dan proaktif dalam menghadapi lingkungannya.
i.        Peserta didik sejatinya berprilaku baik dan lingkunganlah yang paling dominan untuk membuatnya lebih baik lagi atau menjadi lebih buruk.
j.        Peserta didik merupaka makhluk Tuhan yang meski memiliki aneka keungulan, namun tidak akan mungkin bias berbuat atau dipaksa melakukan sesuatu melebihi kapasitasnya.[10]

       Ketika memasuki satuan pendidikan formal atau sekolah, peserta didik memiliki hak atau kewajiban tertentu. Hak dan kewajiban itu antara lain diatur dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas bahwa peserta didik pada satuan pendidikan berhak:
a.       Mendapat pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
b.      Mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
c.       Mendapat beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya.
d.      Mendapat biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya.
e.       Pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara.
f.       Menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.[11]
       Sebagai peserta didik harus memahami kewajiban, etika dan melaksanakannya. Namun, itu semua tidak terlepas dari keterlibatan pendidik, karena seorang pendidik harus memahami dan memberikan pemahaman tentang aspek-aspek yang terdapat didalam diri peserta didik terhadap peserta didik itu sendiri, kalau seorang pendidik tidak mengetahui aspek tersebut, maka potensi yang dimiliki oleh peserta didik tersebut akan sulit dikembangkan dan peserta didikpun  juga sulit mengenali potensi yang dimilikinya.
E.     Hubungan antara Guru dan Murid
Belajar adalah suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan untuk mendapatkan kemampuan baru dimana kemampuan tersebut dapat bertahan untuk jangka waktu yang begitu lama, dapat juga dikatakan bahwa belajar merupakan proses dasar dari perkembangan hidup manusia melakukan perubahan-perubahan kualitatif individu sehingga tingkah lakunya berkembang.[12]
       Proses pembelajaran tidak terlepas dari guru yang memegang peranan penting didalamnya. Oleh karena itu, mereka harus memiliki berbagai kompetensi yang diperlukan dalam memberikan arahan, bimbingan dan pendampingan terhadap para siswanya. Bentuk relasi dan interaksi yang diharapkan adalah adanya suasana yang menyenangkan, akrab, penuh pengertian dan ingin memahami sehingga peserta didik merasa bahwa dirinya telah di didik dengan penuh cinta dan tangung jawab.
Interaksi atau hubungan antara guru dan murid merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses belajar mengajar. Interaksi dalam proses belajar mengajar mempunyai arti yang lebih luas, yaitu tidak hanya sekedar hubungan guru dan siswa, tetapi berupa interaksi edukatif. Dalam hal ini tugas seorang guru bukan hanya menyampaikan pesan berupa materi pelajaran melainkan pemahaman sikap dan nilai pada diri siswa yang sedang belajar.[13]Oleh karena itu, guru harus melaksanakan tugasnya dengan baik, tugas itu antara lain:
1.      Menularkan (menyampaikan) pengetahuan dan kebudayaan kepada orang lain (bersifat kognitif).
2.      Melatih keterampilan jasmani kepada orang lain (Psikomotorik)
3.      Menanamkan nilai dan keyakinan kepada orang lain (afektif).[14]
       Hubungan guru dan murid bukan lagi terikat kepada hubungan hirarkis antara atasan dan bawahan dalam memperlajari suatu ilmu, tetapi terdapat proses belajar dan mengajar, terdapat adanya guru yang potensial dan murid yang potensial, sehingga proses belajar mengajar ini tinggal mengefektifkan guru potensial dan murid potensial.Hubungan guru dan  murid mempunyai sifat yang relatif stabil. Ciri khas dari hubungan ini, terdapat status yang tidak sama antara guru dan murid. Guru secara umum diakui mempunyai status yang lebih tinggi dan karena itu dapat menuntut murid untuk menunjukkan kelakuan yang sesuai dengan sifat hubungan itu.[15]
       Hubungan guru dan murid tidak hanya terjadi saat proses pembelajaran atau selama proses pelayanan pendidikan, meski guru sedang tidak menjalankan tugas atau sudah lama meninggalkan tugas, hubungan dengan siswanya relatif masih terjaga. Meski secara formal tidak lagi menjalankan tugas-tugas keguruannya, tetapi hubungan batiniah antara guru dan muridnya masih relatif kuat dan siswa pun berusaha menjalankan segala sesuatu yang diajarkan gurunya.


F.     Kehidupan Guru dan Murid dalam Pendidikan Islam
1.      Kehidupan Guru Pada Masa Klasik
a.       Kompetensi Mengajar Guru Pada Masa Klasik
       Kompetensi adalah kekuasaan, wewenang, atau hak yang didasarkan pada peraturan tertentu. Sedangkan kompetensi mengajar adalah wewenang guru untuk melaksanakan tugas mengajar berdasarkan persyaratan-persyaratan tertentu, diantaranya adalah syarat yang berkaitan dengan fisik dan nonfisik.
       Syarat untuk bisa menjadi seorang guru pada masa klasik secara umum dapat digolongkan menjadi dua syarat, yaitu:
1)      Syarat fisik
a)      Bentuk badannya bagus
b)      Manis muka (selalu berserk-seri)
c)      Lebar dahinya
d)     Bermuka bersih
2)      Syarat psikis
a)      Berakal sehat
b)      Hatinya beradab
c)      Tajam pemahamannya
d)     Adil terhadap siswa
e)      Bersifat perwira
f)       Sabar dan tidk mudah marah
g)      Bila berbicara menggambarkan keluasan ilmunya
h)      Perkataannya jelas, mudah dipahami
i)        Dapat memilih perkataan yang baik dan mulia
j)        Menjauhi perbuatan yang tidak terpuji[16]
b.      Pranata Sosial dan Guru
Guru pada masa klasik dapat diklasifikasikan kedalam tiga golongan yaitu:
1)      Guru-guru yang mengajar sekolah kanak-kanak (mu’allim al-Kuttab)
       Guru sekolah kanak-kanak mempunyai status social yang rendah. Hal ini disebabkan oleh kualitas mereka yang dangkal dan kurang berbobot. Mereka dituduh menyebabkan lahirnya kesan yang kurang baik terhadap profesi guru. Di kota Palermo terdapat kurang lebih 300 orang guru kanak-kanak yang kebanyakan diantara mereka menderita sakit sawan, ceroboh, dan bodoh. Namun demikian, tidak semua guru kanak-kanak ceroboh dan bodoh. Ada sebagian diantara mereka yang ahli dalam bidang sastra, ahli khat dan fuqaha’. Mereka inilah golongan guru kanak-kanak yang dihormati dan dihargai seperti, Al-Hajaja, Al-Kumait, Abdul Hamid Al-Katib, dan Atha’ bin Abi Rabah.[17]
2)      Para guru yang mengajar para putera mahkota (Muaddib)
Para muaddib mempunyai status social yang tinggi bahkan tidak sedikit para ulama yang mndapat kesempatan untuk menjadi muaddib. Hal ini disebabkan karena untuk menjadi muaddib diperlukan beberapa syarat, diantaranya adalah alim, berakhlak mulia, dan dikenal masyarakat.
3)      Para guru yang memberikan pelajaran di masjid-masjid dan sekolah-sekolah
       Guru-guru dari golongan ini telah beruntung mendapat kehormatan dan penghargaan yang tinggi dihadapan masyarakat. Hal ini disebabkan penguasaan mereka terhadap ilmu pengetahuan yang begitu mendalam (rasikh) dan berbobot.
c.       Peranan guru dalam kehidupan masyarakat
       Guru-guru pada masa klasik selalu dikelilingin oleh para siswa yang datang dari berbagai pelosok wilayah dunia yang bertujuan mendengarkan langsung kajian yang dibawakan oleh gurunya. Tokoh-tokoh istimewa tertentu, yang telah mempelajari hadis dan membangun system teologi serta hokum yang berlaku dikalangan mereka, senantiasa menarik perhatian murid-murid dari daerah yang jauh dan dekat untuk menuntut ilmu pengetahuan dari mereka. Maka ciri utama pada masa ini adalah pentingnya peranan individu guru.
       Guru atau pendidik setelah memberikan pelajaran seluruhnya, secara pribadi memberikan amanat secara lisan kepada muridnya agar menyampaikan ilmunya kepada siapa yang membutuhkannya.[18] Baru kemudian tradisi memberikan ijazah sebagai bukti atas selesainya pelajaran yang telah diikuti oleh para murid pada masa itu. Syaikh ‘Allamah Agha Buzurk, seoraang ulama di al-Najaf telah mencurahkan tenaganya guna mengumpulkan, mencatat dan menyusun sejumlah syahadah-syahadah yang pernah dikeluarkan oleh atau untuk ulama-ulama terkenal. Dokumen ijazah yang terkenal paling tua dalam sejarah pendidikan Islam adalah ijazah yang dikeluarkan pada bulan Shafar tahun 304 Hijriah, diberikan oleh Muhammad Ibnu Abdullah Ibnu Ja’far Al-Himyari kepada Abu Amir Said Ibnu ‘Amr, karena telah menyelesaikan kitab Qurbul Isnad.
       Secara sosiologis guru mempunyai tanggungjawab terhadap masyarakat yang berada disekitar madrasah. Karena keberadaan madrasah akan mempunyai dampak yang positif bagi masyarakat manakala madrasah dapat membantu memainkan peranan dalam pembangunan masyarakat. Selain itu, guru mempunyai tanggung jawab untuk memantau perkembangan anak didik yang berada dilingkungan massyarakat sekitar madrasah. Bagaimana pergaulan anak dan peranan apa yang dimainkan anak. Guru mempunyai tugas mengontrolnya sekalipun guru sendiri secara sosiologis punya kewajiban untuk menjadi dinamisator dalam kehidupan masyarakat.
        Para muaddib, muallim, dan ustad pada masa klasik, mereka mampu memainkan peran dalam kehidupan masyarakat dengan cara bergabung dalam intitusi-intitusi keilmuan dan perkumpulan-perkumpulan pribadi yang mereka bangun. Mereka melakukan transformasi keilmuan secara ekstensif melalui dialog dan praktik-praktik secara terbuka guna mendidik tenaga professional dalam bidangnya.[19]
d.      Organisasi guru pada masa klasik
       Keberadaan guru mempunyai pengaruh yang penting dalam suatu pemerintahan, bahkan kekuasaannya mempunyai andil yang besar dalam kekuasaan khalifah. Hal ini tampaknya tidak terlalu berlebihan, karena guru terhimpun dalam suatu organisasi yang mempunyai kekuatan yang dapat mengendalikan kepentingan khalifah, khususnya dalam hal pengangkatan dan pemberian izin untuk menjadi pengajar di suatu masjid dan madrasah. Abu Syamah menyatakan “Syarikat gurulah yang berhak untuk menentukan dan memberikan izin kepada seorang guru untuk menjadi pengajar disebuah masjid walaupun khalifah mempunyai kekuasaan. Namun, dalam hal pemberian izin khalifah meminta pertimbangan dan persetujuan kepada syarikat guru”.
       Sekalipun organisasi pada masa itu belum tertata rapi sedemikian rupa sebagaimana lazimnya sebuah organisasi, tapi keberadaannya mempunyai andil yang besar dalam sebuah pemerintahan, dan bahkan organisasi guru dapat dijadikan corong untuk menyebarkan ajaran atau aliran yang dianut oleh para penguasa.  Hal ini sebagaimana yang terjadi pada masa Daulah Fatimiyah, organisasi guru “Dai Daulah” mampu memainkan peran membantu pemerintah dalam menyebarkan aliran atau ajaran yang diyakini penguasa pada masa itu.
2.      Kehidupan Murid Pada Masa Klasik
       Murid merupakan salah satu komponen pendidikan yang berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendidikan. Untuk keberhasilan pencapaian tujuan pengajaran khususnya, dan pendidikan pada umumnya, murid harus diperlakukan sebagai subjek dan objek.[20]
a.       Batasan Murid
       Diawal perkembangan Islam, para penuntut ilmu tidak ada perbedaan. Ketika Rasulullah saw masih hidup, semua sahabat diberi kesempatan yang sama untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman tentang ajaran Islam dari Rasulullah saw. Dalam kenyataannya, tidak semua sahabat dapat memanfaatkan kesempatan untuk menimba ilmu dari beliau. Hal ini bisa dipahami karena para sahabat mempunyai pekerjaan dan aktivitas yang beraneka ragam.
       Kegiatan pendidikan pada permulaan Islam di rumah Al-Arqam bin Abi Al-Arqam. Selanjutnya berpindah ke masjid. Dalam perkembanganya kemudian, kaum Muslim memerlukan tempat khusus untuk kegiatan belajar anak-anak mereka. Mereka menjadikan kuttab sebagai tempat pendidikan dasar.
       Di kuttab, para murid mendapat pengajaran berupa keterampilan dasar, seperti membaca dan menulis Alquran dan dasar-dasar agama. Pada abad pertama hijriah, pelajaran difokuskan pada pelajaran membaca dan menulis. Kemudian pada abad berikutnya, pelajaran berkembang dengan diajarkannya ilmu keagamaan, aritmatika, tata bahasa, syair dan sejarah.[21]
       Dari gambaran diatas, dapat dilihat bahwa perkembangan mata pelajaran yang diberikan sesuai dengan kebutuhan pada waktu itu. Pada permulaan Islam, belajar membaca dan menulis adalah kebutuhan penting. Karena itu, fokus pemberian pelajaran adalah keterampilan membaca dan menulis. Setelah Islam berkembang dan kontak dengan dunia luar semakin intens, pelajaran dasar tidak cukup dengan membaca dan menulis, tetapi pelajaran barupun dimasukkan.
       Pada masa klasik, tidak ada ketentuan pasti tentang batasan umur bagi seseorang yang mau belajar di kuttab. Para murid yang memasuki lembaga pendidikan dasar ini bervariasi. Ada murid yang mulai memasuki kuttab berumur lima tahun, ada yang berumur tujuh tahun, dan bahkan ada yang berumur sepuluh tahun. Bervariasinya umur murid yang memasuki kuttab, tampaknya terkait dengan kesiapan mereka. Kesiapan itu bukan saja dari fisik dan mental, tetapi juga dari segi ekonomi.
b.      Biaya dan Lama Belajar
Biaya selama belajar di kuttab pada dasarnya dibebeankan kepada keluarga murid. Orang tua murid membayar dengan sejumlah uang yang dibayar pada setiap minggu atau setiap bulan. Terkadang pembayaran itu dilakukan dengan sejumlah bahan makanan sebagai pengganti uang. Bagi murid dari keluarga miskin, diberikan kesempatan belajar dengan cuma-cuma. Selain itu, ada pula orang tua yang menitipkan anaknya kepada seorang guru, dan untuk biaya selama anaknya belajar, dia memberikannya kepada guru tersebut sejumlah harta/biaya. [22]
       Lama belajar di kuttab bergantung pada kemampuan anak didik. Murid yang cerdas dan rajin dapat menyelesaikan belajarnya dalam waktu relatif singkat. Sebaliknya, anak yang kurang cerdas dan malas memakan waktu agak lama untuk menyelesaikan pelajarannya. Meskipun demikian, umumnya masa belajar di kuttab kurang lebih lima tahun. Ukuran yang dijadikan dasar untuk kelulusan adalah kemampuan murid menghafal Alqur’an.[23]
c.       Keadaan Murid
       Para murid di kuttab belajar enam hari dalam seminggu. Pelajaran dimulai pada hari Sabtu dan berakhir pada hari Kamis. Waktu belajar dimulai pada pagi hari setelah selesai sholat ashar. Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa murid pada siang hari lebih banyak bergaul dengan guru dan para  murid lainnya di kuttab. Adapun murid yang berada dalam pemeliharaan seorang guru, pergaulannya dengan seorang guru lebih lama dari murid-murid lain yang harus pulang ke rumah setelah pelajaran selesai. Karena itu, dapat diasumsikan bahwa guru yang mengajar di kuttab adalah orang yang terdekat selain orang tua.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil makalah yang telah dipaparkan, maka dapat diambil kesimpulan:
1.      Guru atau pendidik merupakan tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran,  memiliki hasil pembelajaran melakukan pembimbingan dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama pada pendidik di Perguruan Tinggi.
2.      Murid atau Peserta didik didefinisikan sebagai setiap manusia yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal, pada jenjang pendidikan dan jenis pendidikan tertentu.
3.      Hubungan guru dan murid tidak hanya terjadi saat proses pembelajaran atau selama proses pelayanan pendidikan, meski guru sedang tidak menjalankan tugas atau sudah lama meninggalkan tugas, hubungan dengan siswanya relatif masih terjaga. Meski secara formal tidak lagi menjalankan tugas-tugas keguruannya, tetapi hubungan batiniah antara guru dan muridnya masih relatif kuat dan siswa pun berusaha menjalankan segala sesuatu yang diajarkan gurunya.
4.      Kehidupan guru pada masa klasik sangat didasarkan pada sifat alim, berakhlak mulia dan dikenal masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

-----. Paradigma Pendidikan Islam (Kapita Selekta Pendidikan Islam). Jakarta: PT Grasindo, 2001.

-----.Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Abuddin Nata. Sejarah Pendidian Islam pada Periode Klasik dan Pertengahan. Jakarta: Rajawali Pers: 2010.

Abd Ranchman Assegaf. Filsafat Pendidikan Islam Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011.

Ahmad Nabawi, “Etika Hubungan Guru Dan Siswa Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Di SD Muhammadiyah Demangan Yogyakarta”, diunduh pada 13 September 2017.

Ahmad Tafsir. Ilmu Pendidikan Dalam Perspertif Islam. Bandung: Rosdakarya, 1994.


Nanang Hanafiah dan Cucu Suhana, Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung: Refika Aditama, 2012

Ramayullis. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2005.

Sudarwan Danim. Perkembangan Peserta Didik. Bandung: ALFABETA, 2011.

Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2013.

UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendiikan Nasional
Zakiah Daradjat, dkk. Metodik Khusus Pengajaran Agma Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

.





[1]Ramayullis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), h.49.
[2]Ibid.,49-50.
[3] UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendiikan Nasional
[4]Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta: Rajawali Pers: 2010), h. 145-146.
[5]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspertif Islam, (Bandung: Rosdakarya, 1994), h. 83.
[6]Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentan Sistem Pendidikan Nasional.
[7]Sudarwan Danim, Perkembangan Peserta Didik, (Bandung: ALFABETA, 2011), h. 2.
[8]Abd Ranchman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h. 113-114.
[9]Sudarwan Danim, Perkembangan Peserta Didik, (Bandung: Alfbeta, 2011), h. 4.
[10]Ibid., h. 2-3.
[11]Ibid., h. 5.
[12]Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2013), h. 38.
[13]Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam (Kapita Selekta Pendidikan Islam), (Jakarta: PT Grasindo, 2001)., h. 202.
[14]Ahmad Nabawi, “Etika Hubungan Guru Dan Siswa Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Di SD Muhammadiyah Demangan Yogyakarta”, diunduh pada 13 September 2017.
[15]Ibid.,
[16]Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010)., h. 144
[17]Ibid., h. 147
[18]Hal ini sebagaimana dialami oleh Abu Yusuf, ketika ia sakit berat lalu dijenguk oleh gurunya yakni Imam Abu Hanifah Al-Nu’man seraya berkata:”Aku berharap engkau untuk mengajara kaum Muslimin sesudahku”.
[19]Seperti Zakia Al-Razi yang mendidik para tenaga professional sambil melakukan praktik kedokteran dan menangani pasien di rumah sakit. Hal ini untuk melatih tebaga muda professional agar dapat mengabdikan dirinya dalam kehidupan bermasyarakat.
[20]Maksud murid sebagai subjek dan objek adalah anak didik tidak hanya pasif menerima segala yang diberikan guru, tetapi murid juga aktif mengolah dan mencari informasi dari berbagai sumber.
[21]Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam., h. 131
[22]Ibid., h. 133
[23]Ibid.,

0 komentar:

Posting Komentar