Pendahuluan
Awal abad ke-20 sering
dikatakan sebagai masa kebangkitanpendidikan Islam di Indonesia, ditandai
dengan munculnya ide-ide dan usaha pembaruan pendidikan Islam, baik oleh pribadi-pribadi
maupun organisasi-organisasi keagamaan yang concerndi bidang ini.
Tujuannya untuk
memperbaiki kondisi pendidikan kaum musliminyang semakin
terpuruk di wilayah ini, sejak diperkenalkannya sistemkelembagaan pendidikan
baru oleh pemerintah kolonial, dalam rangkamenghadapi berbagai tuntutan dan
kebutuhan hidup masyarakat dimasa modern. Ide dasarnya adalah bahwa memperbarui
sistem-kelembagaan pendidikan Islam merupakan keniscayaan yang tak
bisaditunda-tunda, jika kaum muslimin tidak ingin mengalamiketertinggalan
dengan Barat.
Salah seorang yang
memiliki perhatianbesar dan aktif dalam usaha ini adalah KH. Hasyim Asy’ari
(1871-1947),pendiri pesantren Tebuireng yang juga salah satu arsitek
berdirinyaNahdlatul Ulama (NU), organisasi keagamaan terbesar di tanah air.Melalui
aktifitas pendidikan di pesantren Tebuirengnya, iamelancarkan serangkaian
pembaruan pendidikannya sebagai upayamemberikan landasan dasar bagi modernisasi
sistem kelembagaanpendidikan Islam Indonesia di awal abad ke-20, yang
pengaruhnya sangatkuat mewarnai corak perkembangan dan sistem kelembagaan
pendidikan Islam, khususnya pesantren, di tanah air bahkan hingga kini.
Kondisi
Pesantren Awal Abad ke-20
Sejak awal abad ke-16 telah terdapat
banyak pesantren mashur,menjadi pusat pendidikan Islam, yang mengajarkan
berbagai kitabklasik, dalam bidang fiqh, teologi, dan tasawuf.Meski demikian,
tidak berarti pesantren dalam perkembangannya terus dalam keadaanstatis.
Usahanya mengadakan semacam “pemurnian” gunamelepaskan ajarannya dari berbagai
unsur luar Islam terus dilakukan,dan mulai memperlihatkan hasilnya sejak menerima
kyai-kyai bergelarhaji pada awal abad ke-18.
Secara kelembagaan pesantren kurun
inimemang belum mengalami perubahan. Tetapi dari segi kandunganisinya, terjadi
perubahan mendasar, seperti terlihat dari diajarkan didalamnya ilmu-ilmu
keislaman klasik, mencakup fiqh, tafsîr, târîkh,tauhîd, dan sebagainya.Hal ini
terjadi terutama, sejak kepulanganpara pemuda kita setelah menetap beberapa
lama di Mekkah untukmenimba ilmu, dan selanjutnya mendirikan pesantren,
sepulangmereka di kampung halaman masing-masing kira-kira seabadkemudian.
Sejak diangkatnya Kyai Ma’shum,
menantu KH. Hasyim sendiri, sebagai pimpinan pondok pada 1916, pembaruan tahap
pertama di pesantren Tebuireng dimulai dengan memperkenalkan sebuah model
kelembagaan baru berbentuk madrasah, yang diberi nama Madrasah Salafiyah.
Hingga 1919 madrasah ini sepenuhnya masih berkurikulum diniyah, yang hanya
mengajarakan ilmu-ilmu agama saja. Yang diperbarui adalah sistem
pembelajarannya, yang disusun secara bertingkat dalam 7 kelas, dibagi ke dalam
dua jenjang. Tahun pertama dan kedua dinamakan sifr awwâl dan sifr tsânî,
sebagai madrasah persiapan sebelum memasuki jenjang kedua, madrasah 5 tahun
berikutnya. Untuk memudahkan penguasaan bahasa Arab, karena bahasa ini sebagai
bahasa sumber pelajaran, Kyai Ma’shum mengembangkan pendekatan pembelajaran
baru, disebut pendekatan morfologi (sharaf), yang dengannya pemahaman formasi
kosakata sebagai basis pemahaman teks bahasa Arab, mendapatkan perhatian. Buku
karangnya mengenai hal ini hingga kini masih menjadi pegangan utama dalam
pembelajaran bahasa Arab di pesantren.
Kesediaan KH. Hasyim mengadakan
perombakan kurikulum madrasahnya dengan memasukkan pengetahuan umum ke
dalamnya, sepertinya bukan karena mengikuti trend, yang ketika itu dunia
pendidikan Islam di tanah air memang tengah menyaksikan gelora pembaruan.
Perombakan kurikulum tersebut sudah diantisipasi sebelumnya dengan
dimasukkannya guru-guru muda, seperti Kyai Ma’shum yang berlatar belakang
pendidikan Mekkah dan Kyai Ilyas yang berlatar belakang HIS, untuk menjadi guru
sekaligus pimpinan administratifnya. Tindakan seperti ini dapat diartikan
sebagai kritik internal atas praktek pendidikan di pesantren/madrasah yang
selama ini hanya menggeluti ilmu-ilmu keagamaan saja, melenjutkan tradisi
madrasah di masa lampau, yang tentu saja sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi
dan kebutuhan pendidikan modern.
Dalam soal metode pembelajaran,
khususnya bahasa Arab,sebagai bahasa materi ajar, KH. Hasyim Asy’ari juga
merasa perlu melakukan koreksi dengan memperkenalkan model pembelajaran aktif
di madrasahnya. Pendekatan baru ini memungkinkan santri menguasai bahasa Arab
secara tulisan dan lisan, selain kepandaian membaca kitab-kitab berbahasa Arab
dan menerjemahkannya ke dalam bahasa daerah (Jawa), seperti selama ini ditekankan.Model
pembelajaran bahasa secara aktif pada saat itu memang belum lazim berlaku di
lingkungan pesantren.
Bahwa pembaruan pendidikan (Islam)
yang dilancarkan KH. Hasyim Asy’ari tetap menggunakan basis pesantrensebagai
titik pijaknya, tidak seperti yang digalakkan kalangan muslim reformis yang
dengan tegas menolak keberadaan pesantren. Pembaruan Hasyim Asy’ari bahkan
dapat dikatakan tidak menggeser sedikitpun fondasi kelembagaan pesantren
sebagai lembaga pendidikan Islam
tradisional, kecuali dalam hal perbaikan sistem pengelolaan dan perluasan
kelembagaan serta materi pendidikannya. Pengajian model lama, yang menjadi
salah satu kekuatan dan kekhasan pesantren sebagai lembaga tafaqquh fi al-dîn,
bahkan hingga kini, yang berorientasi pada penguasaan materi kitab-kitab
klasik, di sampingaktifitas keagamaan lainnya dalam kehidupan pesantren, tetap
berlangsung seperti sediakala. Subjek materinya masih seperti sediakala
mengenai fiqh, tafsîr, dan ilmu hadîs, dengan mana KH.Hasyim sendiri memang
dikenal sebagai ahlinya dalam ilmu-ilmu tersebut. Namun, penting untuk
diperhatikan bahwa pengajaran KH.Hasyim khusus untuk tafsîr dan hadîs
sesungguhnya merupakan hal baru di lingkungan pesantren, yang pada awal abad
ke-20 kedua cabang ilmu ini tengah dipromosikan dan lebih banyak diminati
kalangan reformis, karena slogan mereka yang menginginkan kembali kepada kedua
sumber utama ajaran Islam tersebut. Pada bulan puasa KH. Hasyim
menyelenggarakan kuliah khusus mengenai hadis
Bukhârî dan Muslim, dua kitab hadis yang paling banyak digunakan sebagai
referensi kaum muslimin. Pesertanya kebanyakan para kyai dan alumni sendiri.
Tujuannya, selain mengambil berkah (tabarruk), juga untuk menjalin silaturahim
dengan sang guru dan almamater.
Yang sangat menonjol dari pemikiran
pendidikan Hasyim adalahketeguhannya untuk menempatkan “unsur pokok bersifat
ilahiyah”di atas segala-galanya dalam seluruh aktifitas pendidikan.
Pendekatanseperti ini, walaupun elaborasinya belum tuntas, sejauh ini telah
menjadi kekuatan tersendiri dari konsep modernism pendidikan IslamHasyim,
dibedakan dengan tokoh-tokoh pemburu lain yang sama-sama mengusung tema
pemburuan pendidikan Islam. Inilahsumbangan terpenting dari usaha pembaruan
pendidikan Hasyim,selain pengembangan sistem dan model kelembagaan pesantren,
yangdengannya pendidikan Islam, khususnya Madrasah, bisa memilikilandasan yang
kokoh serta arah yang jelas, yang secara langsung dapatdigunakan dalam usaha
memecahkan apa yang disebut Azyumardi Azra dengan problem epistemologi, sejak
pendidikan berkenalandengan unsur-unsur baru dari luar (Barat), termasuk
ilmu-ilmu umum,akibat desakan dan tuntutan modernisasi.Dengan
menempatkanbeberapa ilmu agama sebagai farÌu ‘aindalam posisi teratas
dalamhirarki keilmuan yang harus diajarkan dalam kurikulum,artinyaHasyim
menolak adanya dominasi “ilmu-ilmu luar” dan berusaha memposisikan “ilmu-ilmu
luar” tersebut di bawah dan menjadi bagiantak terpisahkan dari kurikulum agama.
Dengan integrasi ini, tidakdikenal lagi apa yang sering diistilahkan dengan
pemisahan (dikotomi)ilmu, antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum, karena
padadasarnya agama hanya menyediakan satu tempat saja untuk mereka,seperti
diterapkan di pesantrennya Tebuireng. Seperti dikatakanHasyim sendiri, dengan
mengutip pendapat ulama salaf: hadhâ al-‘ilmu dînun fanÐurû ‘amman
ta’khudhûna dînakum, “Ilmu adalah agama,maka hendaklah kalian melihat
(mempertimbangkan dahulu) kepadasiapa kalian mengambil agama kalian itu.
0 komentar:
Posting Komentar