BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diskursus
tentang pengembangan sistem pendidikan Islam yang diprakarsai para pakar
pendidikan Islam serta para pengambil kebijakan selama ini telah memperkaya
khazanah keilmuan dan bisa memberikan kontribusi pemikiran dalam pengembangan
pendidikan Islam di Indonesia.Namun dalam realisasinya, kebijakan pemerintah
dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan belum mampu memberikan hasil yang
memuaskan, khususnya dalam membentuk moral bangsa. Meskipun bangsa Indonesia
terdiri dari mayoritas Islam, pelaksanaan pendidikan agama Islam tampaknya
belum menyentuh pada jiwa kaum muslim.
Dalam upaya menjawab dan mengantisipasi berbagai tantangan pendidikan Islam
saat ini, perlu dikaji konsep pendidikan yang telah diterapkan oleh tokoh
pendidikan terdahulu yang eksis pada masanya seperti Ibn Miskawaih. Dia merupakan tokoh pendidikan Islam yang memiliki concern cukup
tinggi terhadap nilai-nilai etika dan moral.
B. Rumusan Masalah
1.
Siapa
tokoh Ibnu miskawaih?
2.
Apa
dasar pemikiran Ibnu Miskawaih?
3.
Bagaimana
konsep pendidikan Ibnu Miskawaih?
4.
Bagaimana
relevansinya dengan konteks pendidikan mutakhir?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Singkat Ibn Miskawaih
(320-412 H/932-1030 M)
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad ibn
Muhammad ibn ya'qub ibn Miskawaih, ada yang menyebutnya "Miskawaih"
(tanpa ibn).[1] Ia lahir pada tahun 320 H/932 M. di Rayy dan meninggal di
Isfahan pada tanggal 9 Shafar 412 H/ 16 Februari 1030 M. Kedua orang tuanya
berasal dan berkebangsaan Persia.[1]
Soal kemajusiannya sebelum Islam, banyak
dipersoalkan oleh para pengarang buku sejarah. Jurji Zaydan misalnya
berpendapat bahwa ia adalah majusi lalu memeluk Islam.[2]Sedangkan Yaqut pengarang
Dairah al-Ma'arif al-Islamiyah kurang sepakat akan hal itu. Menurutnya, nenek
Miskawaih yang Majusi kemudian memeluk Islam.[3]Artinya Ibn Miskawaih
sendiri lahir dalam keluarga Islam, sebagaimana terlihat dari nama ayahnya
Muhammad.
Ibn Miskawaih hidup pada masa pemerintahan
Dinasti Buwaihi (320-450 H/932-1062 M) yang sebagian besar pemukanya bermadzhab
Syi'ah. Sehingga ia diduga beraliran Syi'ah,[4] karena sebagian besar
usianya dihabiskan untuk mengabdi kepada pemerintah dinasti Buwaihi.[5]Kemudian ia hijrah ke Baghdad dan belajar sastra Arab dan Persi
kepada menteri al-Mahlabi pada tahun 348 M. dan menetap di sana bersama ahli
sastra lainnya sampai gurunya meninggal dunia pada tahun 352 H.
Setelah itu dia kembali ke Rayy dan mengaji kepada ibn al-'Amid,
seorang intelektual profesional di bidang arsitek bangunan, ahli filsafat, logika
dan ahli bahasa dan sastra Arab, serta penyair dan penulis terkenal. Kurang
lebih tujuh tahun ia belajar sampai ibn al-'Amid meninggal dunia pada tahun 359
H.Di beberapa sumber yang lain menyebutkan bahwa ibn Miskawaih juga mempelajari
sejarah dari Abu Bakr Ahmad ibn Kamil al-Qadli, belajar filsafat ke ibn
al-Akhman, dan mempelajari kimia dari Abu Tahyyib al-Razy. Ia juga pernah
bekerja sebagai bendahara, sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para
pemuka dinasti Buwaihi. Ayahnya seorang pegawai pemerintahan, dengan demikian
ia memiliki kesempatan untuk bergaul dengan kalangan terhormat dan para
birokrat.[6]
Ibn Miskawaih sangat tertarik kepada masalah
sejarah, filsafat dan etika.Pemikirannya dipengaruhi oleh pemikiran Plato,
Aristoteles.Pemikiran filsafatnya dapat dijumpai dalam bukunya al-Fauz
al-Asghar. Dalam buku tersebut, ia membahas
ide-ide filosofisnya ke dalam tiga bagian, yaitu : pembuktian tentang
eksistensi Tuhan, tentang jiwa, dan tentang kenabian. Ia mencoba melakukan
rekonsiliasi antara pemikiran Yunani dengan ajaran Islam.
Kendatipun disiplin ilmunya meliputi bahasa,
sejarah dan filsafat, namun ia lebih populer sebagai filosof akhlak
(al-Falsafah al 'Amaliyah), ketimbang sebagai filosof ketuhanan (al-Falsafah
al-Nadzariyyah al-'Amaliyah).[7] Agaknya hal itu dimotivasi
oleh situasi masyarakat yang kacau pada saat itu. Hal itu terbukti banyaknya karya-karya yang berbicara masalah
pendidikan, pengajaran, etika yang utama dan metode-metode yang baik bagi semua
masalah tersebut. Adapun karya-karyanya adalah:
1. Tahdzîb al-Akhlaq wa Tathîr al-A'raq (tentang etika)
2. Kitab al-Sa'âdah (etika
politik)
3. Kitab al-Fawz al-Kabîr (etika)
4. Kitab al-Fawz al-Shaghîr (mengenai ketuhanan, kejiwaan dan kenabian /
metafisika)
5. Kitab Jawidan Khard / al-Aql al-Azalî (ungkapan bijak dari para filosof)[8]
6. Tajrib al-Umam (kitab sejarah)
7. Kitab Uns al-Farîd (berisi anekdot, syair, pribahasa dan kata-kata
mutiara)
8. Laqz Qabis (kumpulan risalah)
9. Badi’al-zaman al-hamazani (kaidah sya’ir)
10. Al Muqaddimah al Zikr (petuah-petuah)
12. Kitab al-Musthafâ
13. Kitab al-Adawiyah al-Mufradah, dan lain-lain.
Namun dari sekian banyak karya tersebut, yang paling
terkenal adalah:[10]
1. Al-Uns al-Farid (berisi anekdot, syair, pribahasa dan kata-kata
mutiara).
2. Tajarrib al-Umam (tentang sejarah)
3. Al Fauz al Ashghar (metafisika)
4. Al Fauz al-Akbar (etika)
5. Tahzib al Akhlaq wa That hir
al ‘Araq (etika / moral)
6. Tartib al Sa’adah (etika politik).
B.
Dasar Pemikiran Ibn Miskawaih
Sebagaimana para filosof Islam pada umumnya, Ibn Miskawaih mencoba
menyatukan konsep filsafat Yunani dengan syari'at Islam, hanya saja upayanya
lebih terfokus pada masalah moral. Sehingga
pemikiran pendidikannya tidak terlepas dari konsep tentang manusia dan
akhlak.Ibn Miskawaih memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki
bermacam-macam daya. Dia membaginya kepada tiga komponen:
1.
Daya
bernafsu (al-afs al-bâhimiyyah)
2.
Daya
berani (al-nafs al-sabû'iyyah)
3.
Daya
berfikir (al-nafs al-nâthiqah)[11]
Daya yang
pertama merupakan daya terendah yang dimiliki oleh manusia sedangkan daya
tersebut merupakan unsur ruhani manusia yang asal kejadiannya berbeda-beda.Jika
daya yang pertama dan kedua merupakan unsur rohani yang berasal dari unsur
materi, maka daya yang ketiga itu sebagai daya tertinggi yang berasal dari ruh
Tuhan. Karena itu dia berpendapat bahwa kedua nafs yang berasal dari materi itu
suatu saat akan hancur seiring dengan hancurnya badan, sedangkan al-nafs
al-nâtiqah tidak akan mengalami kehancuran.[12]
Selanjutnya Ibn Maskawaih mengatakan bahwa hubungan jiwa
alsyahwiyyah/al-bahîmiyyah dan jiwa al-sabûiyyah al-ghadlabiyyah dengan jasad
pada hakikatnya saling mempengaruhi. Artinya
baik/buruknya kondisi tubuh mempengaruhi terhadap kuat atau lemahnya kedua jiwa
tersebut. Oleh karena itu, kedua macam jiwa tersebut tidak akan sempurna
menjalankan profesinya tanpa diberi sarana yaitu alat badani yang terdapat
dalam tubuh manusia, dengan begitu ia menilai bahwa manusia terdiri dari unsur
jasad dan rohani yang mana antara keduanya saling berhubungan.
Selain membahas
konsep manusia, ia juga membahas konsep akhlak sebagai salah satu yang
mendasari pemikirannya dalam bidang pendidikan. Konsep akhlak yang
ditawarkannya berdasarkan pada doktrin jalan tengah. Seperti halnya Plato
(427-347 SM), Aristoteles (384-322 SM) dan filosof muslim seperti al-Kindi dan
Ibn Sina juga memiliki paham demikian.[13]
Secara umum ia
memberi pengertian jalan tengah tersebut antara lain dengan keseimbangan,
moderat, harmoni, utama, mulia atau posisi tengah antara dua posisi yang
ekstrim. Namun tampaknya ia lebih cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak
secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrim kelebihan dan
ekstrim kekurangan masing-masing jiwa yang dimiliki manusia. Dengan begitu
kelihatan bahwa Ibn Miskawaih lebih menitikberatkan pada pembentukan
pribadi.Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa jiwa manusia ada tiga,
yaitu jiwa al-bâhimiyyah, al-sabû'iyyah dan alnâthiqah.Posisi tengah yang
dimaksud oleh Ibn Miskawaih di sini adalah al-‘iffah jika dalam jiwa
al-bâhimiyah, dan al-syajâ'ah dalam jiwa alghadabiyah.Sedangkan posisi tengah
dari jiwa al-nâthiqah adalah alhikmah (kebijaksanaan).Adapun perpaduan dari
ketiga posisi tengah tersebut yaitu ‘adalah (keadilan atau keseimbangan).[14]
Dan keempat akhlak tersebut merupakan induk akhlak mulia yang melahirkan
berbagai macam akhlak-akhlak mulia lainnya yang tak terhitung jumlahnya. Jadi, pribadi yang diidealkan oleh Ibn Miskawaih ialah pribadi yang
mampu memposisikan dirinya secara proporsional dan profesional dalam rangka
keseimbangan dan senantiasa menempatkan posisi tengah di antara ekstrimitas
kehidupan.Selain itu juga harus memiliki kepekaan intelektual (intelectual
ability) dan kepedulian emosional (emotional majority) terhadap kehidupan
dirinya, masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Konsep jalan
tengah tersebut sesuai dengan ajaran Islam yang diredaksikan dalam al-Qur'an
bahwa manusia tidak boleh berlebihan dalam membelanjakan hartanya dan tidak
pula kikir.[15]Doktrin
jalan tengah di sini bisa dipahami sebagai doktrin yang memberikan nuansa
dinamika.Sebagai makhluk sosial maka manusia selalu berada dalam gerak
(dinamis), mengikuti gerak zaman seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan
dan teknologi, sehingga ukurannya bisa berubah-berubah/fleksibel) tanpa
menghilangkan nilai-nilai esensial dari pokok keutamaan akhlak itu sendiri.
Jadi dengan menggunakan doktrin jalan tengah tersebut, manusia tidak akan
kehilangan arah dalam kondisi apapun.
C.
Konsep Pendidikan Ibn Miskawaih
Ibn Miskawaih membangun konsep
pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak. Tampaknya ia memiliki concern
yang cukup tinggi terhadap nilai-nilai etika dan moral. Pendidikan
diorientasikan kepada pembentukan pribadi manusia yang memiliki etika dan
moral.Ibn Miskawaih berpandangan bahwa pendidikan merupakan media bagi potensi
yang dimiliki manusia seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ada jiwa
al-bâhimiyyah, al-sabû'iyyah dan al-nâthiqah. Sehingga ia merumuskan beberapa
konsep pendidikannya seperti berikut :
1.
Tujuan
pedidikan akhlak
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan oleh Ibnu
Miskawaih adalah terwujudnya sikap batin yang mapu mendorong secara spontan
untuk melahirkan semua perbuatan yang berilai baik sehingga mencapai
kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna.[16]
2. Materi pendidikan akhlak
Ibn Miskawaih menyebutkan tiga hal pokok yang dapat
dipahami sebagai ateri pedidikan akhlaknya: (1) hal-hal yang wajib bagi
kebutuhan manusia, (2) hal-hal yang wajib bagi jiwa, (3) hal-hal yang wajib
bagi hubungannya dengan sesama manusia.[17]
Ketiga materi tersebut secara garis besar dapat diperoleh dari dua jenis
ilmu yang dijelaskan dalam kitab Tahdzîb al-Akhlâk, yakni al-ulûm al-fikriyyah
(ilmu-ilmu penalaran) dan al-ulûm al-hissiyyah (ilmu-ilmu inderawi).[18] Hal tersebut berbeda
dengan al-Ghazali yang membedakan antara ilmu agama dan ilmu non-agama serta
hukum mempelajarinya.
Tampaknya Ibn Miskawaih di sini tidak memperinci materi pendidikan yang
wajib bagi kebutuhan manusia.Secara sepintas memang agak ganjil.Untuk materi
pendidikan akhlak yang wajib bagi kebutuhan manusia disebutnya adalah shalat,
puasa dan sa'i.[19]Di sini dia tidak memberi penjelasan lebih lanjut mengenai contoh
tersebut. Ada kemungkinan ia mengira kita sudah bisa memahami maksudnya. Selanjutnya
materi pendidikan akhlak yang wajib bagi kebutuhan jiwa dicontohkan dengan
pembahasan tentang akidah yang benar, mengesakan Allah SWT dengan segala
kebesaran-Nya, serta motivasi untuk senang kepada ilmu.Adapun materi yang
terkait dengan kebutuhan manusia terhadap sesamanya dicontohkan dengan materi
dalam ilmu muamalat, pertanian, perkawinan, saling menasihati, peperangan dan
lain-lain.[20]
3.
Pendidik
dan anak didik
Pendidik
dalam hal ini yaitu guru, instruktur, ustadz atau dosen yang memiliki peran penting
dalam berlangsungnya kegiatan pembelajaran atau pedidikan untuk mencapai
kopetensi yang diinginkan.Sedangkan anak didik yaitu siswa, murid, peserta
didik atau mahasiswa merupakan sasaran dari kegiatan pengajaran dan pendidikan
yang perlu mendapatkan perhatian seksama.
Pendidik
sejati menurut Ibn Miskawaih adalah manusia ideal seperti yang terdapat pada
konsepsinya tentang manusia yang ideal.[21]
4.
Lingkungan
pendidikan
Ibn
Miskawaih berpendapat bahwa sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kondisi
yang baik dari luar dirinya. Selanjutnya ia menyatkan bahwa sebaik-baik manusia
adalah orang yang berbuat baik terhadap keluarga dan orang-orang yang masih ada
kaitan dengannya mulai dari saudara, anak, atau orang yag masih ada hubungannya
dengan atau anak, kerabat, keturunan, rekan tetangga, kawan,atau kekasih.[22]
5.
Metodologi
Pendidikan
Terdapat
beberapa metode yang diajukan Ibn Miskawaih dalam mencapai akhlak yang
baik.Pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus-menerus
dan menahan diri untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya
sesuai dengan keutamaan jiwa. Kedua dengan menjadikan semua pengetahuan dan
pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya.[23]
Selain dua hal tersebut, menurutnya untuk mengubah akhlak menjadi baik maka
dalam pendidikannya ia menawarkan metode yang efektif yang terfokus pada dua
pendekatan yaitu melalui pembiasaan dan pelatihan, serta peneladanan dan
peniruan.
Pembiasaan bisa
dilakukan sejak usia dini yaitu dengan sikap dan berprilaku yang baik, sopan
dan menghormati orang lain. Sedangkan pelatihan dapat diaplikasikan dengan
menjalankan ibadah bersama keluarga seperti sholat, puasa dan latihan-latihan
yang lainnya. Peneladanan dan peniruan bisa dilakukan oleh orang yang dianggap
sebagai panutan baik orang tuanya sendiri, guru-gurunya ataupun tokoh lain yang
layak dijadikan figur. Model pendidikan moral dan karakter seperti itulah
sampai sekarang perlu diperhatikan dan tidak bisa diabaikan begitu saja.
D.
Relevansi dengan Konteks Pendidikan Mutakhir
Pendidikan
akhlak yang diintrodusir pertama kali oleh Ibn Miskawaih memiliki urgensi nilai
yang cukup signifikan dalam membentuk kepribadian bangsa ke depan. Sebagaimana
kita ketahui bahwa semua krisis yang terjadi dewasa ini baik ekonomi, politik
dan sosial budaya itu disebabkan karena akhlak tidak lagi menjadi kerangka atau
bingkai kehidupan.Perilaku korupsi, kolusi, perjudian, perzinahan, narkoba, dan
kekerasan yang terjadi selama ini disebabkan hancurnya pendidikan moral dan
akhlak.
Cukup beralasan jika ibn Miskawaih menekankan pendidikan moral (moral
education) bagi pembangunan manusia.Karena sejatinya pembangunan manusia adalah
pembangunan jiwa dengan keutamaan (ahsan taqwîm) harus berbanding lurus dengan
kenikmatan jasmani, harta dan kekuasaan.Kehidupan manusia bukanlah kehidupan
zuhud dan penolakan, melainkan kompromi dan penyesuaian antara tuntutan jasad
dan ruh (jasmani dan rohani). Orang bijak bukanlah orang yang meninggalkan
kenikmatan dunia sepenuhnya akan tetapi menghubungkannya dengan kenikmatan
spiritual dengan etika sebagai kontrolnya.
Hal ini cukup relevan jika kita jadikan acuan di era masa kini, agar kita
tidak hanya mementingkan kehidupan duniawi saja ataupun sebaiknya, melainkan
kita harus mengkombinasikan keduanya dan mengaturnya sedemikian rupa agar
segala yang kita kerjakan di dunia ini semata-mata hanyalah untuk kehidupan
akhirat kelak yang sifatnya lebih kekal.
Nilai-nilai
pendidikan seperti itu harus mulai ditanamkan sejak usia dini. Karena hal itu
tidak bersifat alami dalam diri manusia tapi harus diusahakan jadi merupakan
suatu kewajiban untuk mengajarkan dasar-dasar pengetahuan dan etika pergaulan
dalam proses pembelajaran dan pendidikan.
Dari dua metode yang ditawarkan oleh Ibn Miskawaih yaitu melalui pembiasaan
dan pelatihan secara kontinyu serta peneladanan dan peniruan dari orang yang
ada di sekitarnya. Dapat dilihat perlu adanya upaya dari para pendidik baik
orang tua maupun guru-guru yang patut dijadikan panutan bagi peserta
didiknya.Karena peran yang mulia itulah agama menempatkan orang tua sebagai
manusia yang harus di taati setelah Allah SWT dan rasulnya.Selain orang tua
yang memiliki peran yang sangat urgen, guru juga tidak kalah penting peranannya
sebagai wakil dari orang tuanya.Apalagi saat ini tidak sedikit orang tua yang
sibuk dengan aktifitasnya di luar rumah sehingga anak-anaknya lebih banyak
menghabiskan waktunya dengan guru dan teman-temannya di sekolah. Dari situ guru di tuntut untuk profesional dibidangnya selain itu
juga ia harus memiliki kasih sayang sebagaimana yang dimiliki oleh para orang
tua. Oleh sebab itu, seorang guru diharapkan tidak hanya melakukan transfer of
knowledge tetapi harus melakukan transformasi keilmuan dan kependidikan bagi
anak didiknya. Apapun sistem ataupun pendidikan etika yang diajarkannya,
menurut Ibn Miskawaih guru merupakan centre of learning yang menentukan
berhasil tidaknya proses pendidikan. Namun eksistensinya tidak bertumpu pada
ilmu yang dimilikinya, melainkan pada perilakunya yang baik dan strategi
ataupun metodologi yang digunakannya dalam pendidikan.
Tampaknya teori pendidikan Ibn Miskawaih didasarkan pada teori pendidikan
Aristoteles yang menekankan pada segi intelektual, kejiwaan dan pendidikan
moral yang diarahkan pada upaya melahirkan manusia yang baik menurut pandangan
masyarakat serta untuk mencapai kebahagiaan hidup yang abadi dan mengamalkan
dalam kehidupannya.
Seperti halnya
Plato dan Aristoteles, Ibn Miskawaih percaya bahwa pendidikan harus berkaitan
dengan keahliannya.Karena menurutnya tujuan pendidikan adalah mengkombinasikan
keinginan manusia dengan keinginan Tuhan.
Jika diamati, perspektif pendekatannya lebih mengarah kepada kecakapan
hidup (life skill), baik secara personal maupun sosial, yang
kompetensi-kompetensi tersebut tercakup ke dalam desain Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) yang diterapkan di sekolah/madrasah saat ini. Karena itu, sebelum melaksanakan pendidikan seorang pendidik harus
melakukan identifikasi kompetensi dengan menetapkan dan mendeskripsikan
ciri-ciri, jenis dan mutu kompetensi.Hal itu dilakukan agar pendidikan kita
tepat sasaran dan sesuai dengan karakter peserta didik.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dasar pemikiran Ibn Miskawaih adalah
membangun konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak.Tujuan
pendidikan yang dirumuskan adalah untuk mewujudkan sikap batin yang mampu
mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik,
karena sejatinya pendidikan itu adalah membangun karakter atau watak peserta
didik.Dengan begitu diharapkan integritas keilmuan seseorang sejalan dengan
integritas keimanan dan akhlaknya.
Selanjutnya guru dituntut untuk profesional di bidangnya, harus memiliki
kasih sayang sebagaimana yang dimiliki oleh para orang tua.Seorang guru
diharapkan tidak hanya melakukan transfer of knowledge tetapi harus melakukan
transformasi keilmuan dan kependidikan bagi peserta didiknya.Ada dua metode
yang ditawarkan oleh Ibn Miskawaih untuk mencapai pendidikan akhlak yaitu
melalui pembiasaan dan pelatihan secara kontinyu serta peneladanan dan peniruan
dari orang yang ada di sekitarnya termasuk guru. Karena
guru merupakan centre of learning yang menentukan berhasil tidaknya proses
pendidikan.
Namun eksistensi guru tidak bertumpu pada ilmu yang dimilikinya, melainkan
pada perilakunya yang baik dan strategi ataupun metodologi yang digunakannya
dalam pendidikan. Wa Allâh a’lam bial-Shawâb.
DAFTAR PUSTAKA
Alavi, Ziauddin. 2003. Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik
dan Pertengahan. Bandung: Angkasa
Hasan, Muhammad Thalhah. 2006. Dinamika Pemikiran tentang
Pendidikan Islam. Jakarta: Lantabora Press
karyanya.html,
diakses pada 17 Maret 10:26
karyanya.html, diakses pada 17 Maret 10:26
Ibn. 1398. Tahdzîb al-Akhlâk. Beirut: Mansyurat Dar Maktobat
Al-Hayat
Khursyid,
Ibrahim Zaky. tt. Dâirah al-Ma'ârif al-Islâmiyah Vol. I. Kairo: al-Sya'ab
Mahmud, Abd al-Halim. 1982. Tafkîr al-Falsafî fî al-Islâm. Beirut:
Dar al-Kitab al-Lubrani
Miskawaih, Ibn. al-Fauz
al-Ashghâr dalam Kajian Filsafat Pendidikan Islam
Musa, Muhammad Yusuf. tt. Falsafah al-Akhlâq fî al-Islâm. Kairo:
Muassat al-Khaniji
Nasution, Hasyimsyah. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Meadia
Pratama
Nata, Abuddin. 2000. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam.
Jakarta: Raja Grafindo Persada
Tholhah, Imam. 2004. Membuka
Jendela Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004
[1]Imam Tholhah,
et.al., Membuka Jendela Pendidikan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004),
hlm. 338.
[2]Muhammad Yusuf Musa, Falsafah al-Akhlâq fî al-Islâm (Kairo: Muassat
al-Khaniji, tt), hlm. 388.
[3]Ibrahim Zaky Khursyid, et al, Dâirah al-Ma'ârif
al-Islâmiyah Vol. I (Kairo: al-Sya'ab, tt), hlm. 388.
[4]Abuddin Nata,
Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000),
hlm. 20.
[6]Ziauddin Alavi,
Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengahan (Bandung: Angkasa,
2003), hlm. 42.
[9]http://www.elsaelsi.com/2012/09/ibn-miskawaih-dan-karya-karyanya.html
diakses pada 17 Maret 10:26
[10]http://www.elsaelsi.com/2012/09/ibn-miskawaih-dan-karya-karyanya.html
diakses pada 17 Maret 10:26
[11]Lihat Ibn Miskawaih, Tahdzîb al-Akhlâk (Beirut: Mansyurat Dar Maktobat
Al-Hayat, 1398 H), Cet. II, hlm. 62.
[13]Abd al-Halim
Mahmud, Tafkîr al-Falsafî fî al-Islâm (Beirut: Dar al-Kitab al-Lubrani, 1982),
hlm. 323-325.
[14]Lihat Ibn Miskawaih, Tahdzîb al-Akhlâk, hlm.38.
[18]Lihat Ibn Miskawaih, Tahdzîb al-Akhlâk, hlm. 81, Lihat juga Ibn Miskawaih,
Kitâb as-Sa'âdat, hlm. 54.
0 komentar:
Posting Komentar