Beranda

Selasa, 02 April 2019

TRADISI DAN PEMBAHARUAN



A.      Pendahuluan
Era globalisasi dewasa ini dapat mempengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia pada umumnya, atau pendidikan Islam khususnya pesantren. Argumen panjang lebar tidak perlu dikemukakan lagi, bahwa masyarakat muslim tidak bisa menghindarkan diri dari arus globalisasi tersebut, apalagi jika ingin survive dan berjaya di tengah perkembangan dunia yang kian kompetitif.[1] Dengan demikian, pembaruan Islam harus dilakukan seiring dengan perkembangan zaman.
Menurut Fazlur Rahman, pembaruan Islam dalam bentuk apapun yang berorientasi pada realisasi Islam yang asli dan modern harus bermula dari pendidikan[2]
Islam sangat mementingkan pendidikan. Karena dengan pendidikan yang benar dan berkualitas, akan terbentuk individu-individu yang beradab dan bermoral sehingga pada akhirnya memunculkan kehidupan sosial yang sesuai dengan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Namun kenyataannya, meskipun sarana dan prasarana dalam sebuah institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan fasilitas yang memadai, akan tetapi institusi-institusi tersebut masih belum memproduksi individu- individu yang beradab Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab terabaikan dalam proses pelaksanaan pendidikan di berbagai institusi pendidikan.[3]
Tradisi pendidikan islam pada masa itu, bergeser dari kota yang menjadi pusat ke ilmuan ke lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pesantren, dayah, ataupun surau dan meunasah, karena mengikuti perkembangan zaman dan iklim sosial dan politik Indonesia.
a)      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis membuat rumusan  masalah  sebagai berikut:
1.      Bagaimana peran Tradisi?
2.      Bagaimana pembaruan islam?
b)     Tujuan Penulis
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka penulis membuat tujuan  sebagai berikut:
1.         Untuk mengetahui tentang pran Tradisi
2.         Untuk mengetahui tentang pembaruan islam





B.     PEMBAHASAN
1.      Tradisi
Tradisi (Bahasa Latin: tradition, “diteruskan”) atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasannya dari suatu Negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.[4]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tradisi adalah adat kebiasaan turun temurun yang masih dijalankan dimasyarakat dengan anggapan tersebut bahwa cara-cara yang ada merupakan yang paling baik dan benar.[5]
Tradisi adalah pertama, sesuatu yang ditransferensikan kepada kita. Kedua, sesuatu yang dipahamkan kepada kita. Dan ketiga, sesuatu yang mengarahkan perilaku kehidupan kita. Itu merupakan tiga lingkaran yang didalamnya suatu tradisi tertentu ditransformasikan menuju tradisi yang dinamis. Pada lingkaran pertama, tradisi menegakkan kesadaran historis, pada lingkaran kedua menegakkan kesadaran eidetis,  .[6]
Dalam konteks pendidikan tinggi di Indonesia, Azra mencatat bahwa setelah mengalami masa penjajahan  yang sangat panjang, umat Islam Indonesia mengalami keterbelakangan dan disintegrasi dalam berbagai aspek kehidupan. Benturan antara tradisi pendidikan Islam ala pesantren dengan pendidikan model Barat (Eropa dan Amerika) serta kemajuan-kemajuan yang mereka capai melahirkan apa yang disebut dengan “intelektual baru” atau “cendekiawan sekuler”. Kaum intelektual baru ini sebagian besar merupakan hasil pendidikan Barat yang terlatih berpikir secara Barat. Hal ini terjadi seperti pendapat Jansen yang dinukil oleh Azra  karena dalam proses pendidikan mereka mengalami pencucian otak (brainwashing) dari hal-hal yang berbau Islam. Akibatnya mereka menjadi teraleanasi dari ajaran-ajaran Islam dan masyarakat Muslim sendiri.
Tradisi dalam pendidikan islam adalah persoalan Islamisasi ilmu. Pemikiran ini mengemuka selain memang karena Islam sendiri tidak mengenal pembagian ilmu secara  dikotomik, juga disebabkan oleh perubahan sosial yang begitu cepat  seolah tidak dapat diakomodir oleh agama, karena dalam pengembangan pengetahuan agama itu sendiri lebih banyak dilakukan dengan pendekatan doktriner, normatif dan legalistik. Penerapan pendekatan seperti ini sesungguhnya tidaklah  salah, tetapi apabila usaha pengembangan sewajarnya tidak dilakukan, maka akan berimplikasi dengan terciptanya krisis kesetiaan kepada agama, karena agama dipandang tidak mampu merespon realitas sosial yang selalu berubah.
Dikotomi ilmu ini telah menimbulkan beberapa masalah dalam pendidikan Islam seperti munculnya ambivalensi dalam sistem pendidikan Islam.Lembaga pendidikan yang berbasis agama senantiasa mencitrakan diri sebagai lembaga pendidikan dengan corak tafaqquh fil al Din yang menganggap persoalan mu’amalat bukan menjadi domain lembaga ini. Sementara itu, modernisasi sistem pendidikan dengan memasukan kurikulum pendidikan umum ke dalam lembaga tersebut sebagai lembaga taffaquh fil Adin tersebut.Akibatnya, terjadi pergeseran makna bahwa mata pelajaran agama hanya menjadi “stempel” yang dicapkan untuk mencapai tujuan sistem pendidikan modern yang sekuler.
Ini terjadi sebagai akibat dari ajaran Islam yang secara ideologis diyakini universal, ternyata pada tataran implementasi justru diposisikan marginal dan dipandang kurang memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peradaban umat manusia. Guna mengantisipasi pemandangan seperti ini maka mengharuskan adanya pendekatan proses pembelajaran yang lebih intergral, salah satunya adalah dengan merubah cara pandang terhadap agama (ad-din) dan ilmu (al-‘ilm) yang semula bersifat dikotomik menjadi lebih berpadu.[7]
2.      Pembaharuan
Azyumardi Azra berpendapat bahwa modernisasi atau pembaharuan Islam merupakan upaya untuk mengaktualisasikan ajaran Islam agar sesuai dengan perkembangan sosial yang terjadi.(Kurniawan 2013: 293) dari konteks ini menegaskan bahwa ajaran Islam dapat disesuaikan dengan tuntutan sosial, sehingga dengan perubahan pemikiran-pemikiran atau kebiasaan lama yang mengandung nilai muamalah di sesuaikan dengan perkembangan zaman dan tidak mengubah ajaran Islam yang di ajarkan oleh Rasulullah. Di sisi lain di tegaskan lagi oleh pendapat Harun Nasution yang mengatakan pembaharuan atau modernisasi mengandung pemikiran, aliran, gerakan, usaha untuk mengubah paham-paham, adat-istiadat, intitusi-intituisi lama, dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang di timbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.( Kurniawan 2013: 293).
Dalam bukunya Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay yang berjudul Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, mengungkapkan beberapa landasan pengembangan IAIN menjadi UIN yang dianggap sebagai modal dasar adalah:
a)      Landasan filosofis dan konstitusional
Bangsa Indonesia yang menjadikan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai pandangan hidup dan landasan filosofis, tepatnya tercantum pada sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa dan pada pasal 29 sebagai bukti bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung ketuhanan dan agama sehingga menempatkannya pada posisi yang terhormat. Sehingga pemerintah Indonesia sebagai pihak yang mengambil keputusan harus mengimplikasikan landasan konstitusional dan filosofis ke dalam seluruh kebijakan.
b)   Sosiologis
Indonesia adalah negara yang memiliki banyak jumlah penduduknya dan Islam adalah agama yang paling banyak dianut oleh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia adalah negara yang memiliki masyarakat yang religius dan menginginkan pelayanan beragama dalam beribadah maupun sosial kegamaan.
c)      Edukatif
Pendidikan agama di Indonesia sudah ada sejak lama seperti yang telah tercatat sejarah bahwa pendidikan diselenggarakan di mesjid, surau, meunasah, rangkang, dayah maupun pesantren. Selanjutnya mengalami perkembangan, pendidikan agama menjadi pendidikan yang tergolong ke dalam pendidikan formal.
Dengan perubahan yang di sesuaikan dengan suasana sosial dan kemajuan ilmu pengetahuan tersebut, maka akan dapat menghasilkan lulusan yang mampu bersaing dengan pasar global di zaman modern ini. Untuk itu, para pendidik dan tenaga kependidikan juga harus ditingkatkan baik kuantitas maupun kualitasnya dengan cara pengiriman ke universitas-universitas besar di Barat dimana mereka akan mendapat pelatihan dalam pengajaran dan metodologi penelitian, interpretasi dan analisis. Sehingga setelah mereka menggali ilmu di Negara-negara yang pengetahuannya lebih maju, mereka dapat memberikan atau membagikan ilmu yang telah mereka dapat ke dunia pendidikan Indonesia.
Pendidikan Islam dalam pandangan Azyumardi haruslah melakukan perubahan secara signifikan. Adapun untuk mencapai perubahan pendidikan Islam itu, dengan cara perubahan dalam pemikiran dan kelembagaan. Pemikirannya  harus bebas, rasional, modern, demokratis dan toleran (Sebagaimana Puncak Kejayaan/ Keemasan Islam di Zaman Klasik. Pada masa kejayaan Islam di dinasti Umayyah. Masyarakat Islam pada saat itu sangat menjunjung tinggi Ilmu pengetahuan dan tingkat toleransi Ilmuan pada masa itu sangat tinggi, sehingga banyak pemikiran-pemikiran  yang dapat di aplikasikan berdampak kepada ilmu pengetahuan pada saat itu yang berkiblat kepada tokoh pemikir-prmikir Islam.
Namun terjadi kesenjangan antara masa dimana Islam menjadi salah satu pusat keilmuan dengan Islam pada Negara-negara yang berkembang. Biasanya bangsa-bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam di negeri-negeri yang sedang berkembang, menghadapi persoalan- persoalan yang disebabkan antara lain, ledakan penduduk dan meningkatnya tuntunan-tuntunan keperluan dari penduduk. Negeri-negeri berkembang menyadari ketertinggalan mereka dari negeri-negeri yang telah maju, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dewasa in, dunia Islam merupakan kawasan yang paling terbelakang di antara defevpenganut agama besar lain. Dengan kata lain, di antara semua penganut agama besar di muka bumi ini, para pemeluk Islamlah yang paling rendah dan lemah dalam hal sain dan teknologi (madjid, 1990: 21). Hal ini disebabkan antara lain, karena pendidikan Islam di negeri muslim hingga akhir abad ke-20 masih menekankan aspek teologis, kurang memperhatikan aspek pengembangan ilmiyah. System pendidikan islam masih disibukan dengan persoalan teologis, yang menganggap aspek sain dan teknologi menjadi tidak penting dan tidak sempat terpikirkan. Pendidikan Islam, hingga saat ini lebih cenderung pada aspek yang berkaitan dengan normatifitas, mengakibatkan tuntutan historisitas. Akibatnya, umat Islam berada di garis paling belakang dalam hal penguasaan IPTEK.(kurniawan, 2013 :295).
Pendidikan Islam jelas mempunyai peranan penting dalam peningkatan SDM.  Dalam kerangka fungsi idealnya untuk peningkatan kualitas SDM, sistem pendidikan Islam haruslah senantiasa mengorientasikan diri untuk menjawab kebutuhan dan tantangan dalam masyarakat sebagai konsekuensi logis dari perubahan. Namun, pendidikan Islam hingga saat ini kelihatan masih terlambat merumuskan diri merespon perubahan dan kecenderungan perkembangan masyarakat sekarang dan masa akan datang. Sistem pendidikan Islam tetap lebih cenderung berorientasi ke masa silam ketimbang berorientasi ke masa depan, atau kurang bersifat future-orinted.[8] Oleh karena itu, perlu adanya usaha pembaruan dan pengembangan dalam sistem pendidikan Islam.
Kata pembaruan dalam Kamus Bahasa Indonesia, berarti proses, cara, perbuatan membarui.[9] Adapun menurut Muljono Damopolii, pembaruan mengandung prinsip dinamika yang selalu ada dalam gerak langkah kehidupan manusia yang menuntut adanya perubahan secara terus menerus (kontinuitas).[10] Sedangkan menurut Azyumardi Azra, upaya untuk menata kembali struktur-struktur  sosial, politik, pendidikan dan keilmuan yang mapan dan ketinggalan zaman (out dated), termasuk struktur pendidikan Islam, adalah bentuk pembaruan dalam pemikiran dan kelembagaan Islam.[11]
Menurut Azra, dalam pendidikan Islam perlu dikembangkan strategi pendekatan ganda dengan tujuan memadukan pendekatan-pendekatan situasional jangka pendek dengan pendekatan konseptual jangka panjang. Sebab, pendidikan Islam adalah suatu usaha mempersiapkan muslim agar dapat mengahadapi dan menjawab tuntutan kehidupan dan perkembangan zaman secara manusiawi. Karena itu, hubungan usaha pendidikan Islam dengan kehidupan dan tantangan itu haruslah merupakan hubungan yang prinsipal dan bukan hubungan insidental dan tidak menyeluruh. Karena itu, diperlukan pendekatan dan inovasi yang objektif dan kreatif agar dengan demikian tercipta usaha-usaha pendidikan berdasarkan kepentingan peserta didik, masyarakat Islam dan umat manusia secara keseluruhan.[12]
Searah dengan pendapat Azra dan Ramayulis mengemukakan, bahwa pada saat ini dituntut kemampuan proyektif dan inovatif dari semua personil pendidikan Islam dalam menagkap kecenderungan-kecenderungan yang terjadi di masa depan berdasarkan kondisi dan situasi yang terjadi di dalam masyarakat pada masa sekarang.[13] Oleh karena itu, pendidikan Islam harus direformasi, direstrukturisasi, dan diinovasi agar dapat menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat dan dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat era pasar bebas.[14]
Lebih lanjut Ramayulis memaparkan lima hal yang harus diperhatikan untuk menghadapi pasar bebas, yaitu:
1.        Lembaga pendidikan Islam harus meningkatkan daya saing dengan sungguh-sungguh dan terencana, sehingga layak bersaing dalam pergaulan internasional.
2.        Lembaga pendidikan Islam membuka program studi yang bervariasi.
3.        Lembaga pendidikan Islam harus memperkuat fungsi-fungsi kritis dan berorientasi ke masa depan (future oriented).
4.        Lembaga pendidikan Islam harus melaksanakan akuntabilitas.
5.        Lembaga pendidikan Islam harus melaksanakan evaluasi secara terus menerus dan berkelanjutan agar jaminan kualitas dapat dipertanggungjawabkan.[15]
Hasil penalaran Azra, bahwa usaha pembaruan dan pengembangan sistem pendidikan Islam selama ini belum maksimal atau tidak komprehensif dan menyeluruh. Karena, sebagian besar sistem pendidikan Islam belum dikelola secara profesional. Kebanyakan lembaga pendidikan Islam masih dikelola dengan semangat “keikhlasan”, sehingga tidak terjadi esensial dalam pendidikan Islam. Tetapi menurutnya, tanpa harus mengorbankan semangat keikhlasan dan jiwa pengabdian, sudah waktunya sistem dan lembaga pendidikan Islam dikelola secara profesional, bukan hanya dalam soal penggajian, pemb;erian honor, tunjangan atau pengelolaan administrasi dan keuangan. Profesionalisme mutlak pula diwujudkan dalam perencanaan, penyiapan tenaga pengajar, kurikulum dan pelaksanaan pendidikan itu sendiri.[16]
Demikian juga menurut Harun Nasution, tidaklah  mesti pembaruan itu baru akan terjadi kalau agama sudah ditinggalkan. Pembaruan dapat dilaksanakan dengan tidak meninggalkan agama. Yang perlu ditinggalkan dalam pembaruan adalah tradisi yang bertentangan dengan perkembangan zaman. Islam tidak menghalangi pembaruan selama tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang dibawa wahyu.[17]
Jadi, pembaruan pendidikan Islam mesti dilakukan tidak hanya sekedar survive di tengah persaingan global yang semakin tajam dan ketat, tetapi juga berharap mampu tampil di depan. Oleh karena itu, pembaruan pendidikan Islam dimulai dari sistem dan kelembagaan pendidikan Islam. Tegasnya adalah pembaruan pendidikan Islam yang didasarkan pada prinsip modern.



C.    Kesimpulan
Tradisi adalah pertama, sesuatu yang ditransferensikan kepada kita. Kedua, sesuatu yang dipahamkan kepada kita. Dan ketiga, sesuatu yang mengarahkan perilaku kehidupan kita. Itu merupakan tiga lingkaran yang didalamnya suatu tradisi tertentu ditransformasikan menuju tradisi yang dinamis. Pada lingkaran pertama, tradisi menegakkan kesadaran historis, pada lingkaran kedua menegakkan kesadaran eidetis, dan pada lingkaran ketiga menegakkan kesadaran praksis.
Azyumardi Azra berpendapat bahwa modernisasi atau pembaharuan Islam merupakan upaya untuk mengaktualisasikan ajaran Islam agar sesuai dengan perkembangan sosial yang terjadi.(Kurniawan 2013: 293) dari konteks ini menegaskan bahwa ajaran Islam dapat disesuaikan dengan tuntutan sosial, sehingga dengan perubahan pemikiran-pemikiran atau kebiasaan lama yang mengandung nilai muamalah di sesuaikan dengan perkembangan zaman dan tidak mengubah ajaran Islam yang di ajarkan oleh Rasulullah.





DAFTAR PUSTAKA

Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, 1998

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, 2012

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Cet. IV; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002)

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, 2002

Azyumardi Azra,  Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, 1999
Departement Pendidikan Indonesia. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Fazlur Rahman, Islam (Cet. III; Bandung: Pustaka, 1997)      

Hanafi, Hasan. 2004. Islamologi 2 dari Rasionalisme ke Empirisme. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan gerakan (Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1992)

Hasan Hanafi, Islamologi 2 dari Rasionalisme ke Empirisme, ( Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2004)


Kamus Besar Bahasa Indonesia,( Jakarta: Balai Pustaka, 2007)

Martunis Hanafiah,skripsi, Konsep Pendidikan Islam dalam Perspektif Malik Fadjar,(Banda Aceh



[1]  Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Cet. IV; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), h. 43
[2]  Fazlur Rahman, Islam (Cet. III; Bandung: Pustaka, 1997), h. 84.          
[3] Martunis Hanafiah,skripsi, Konsep Pendidikan Islam dalam Perspektif Malik Fadjar,(Banda Aceh

[4] http://id.m.wikipedia.org/wiki/tradisi.2013. tgl 02  Desember 2013, pm.O9.02
[5] Kamus Besar Bahasa Indonesia,( Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm. 1208.
[6] Hasan Hanafi, Islamologi 2 dari Rasionalisme ke Empirisme, ( Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2004). Cet. 1.hlm. 5
[7]  Azra, Azyumardi.  Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Meilenium Baru. Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999.

[8] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, 2012, h. 67.
[9] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ., h. 109.
[10] Muljono Damopolii, Pesantren Modern IMMIM: Pencetak Muslim Modern, h. 34.
[11] Azyumardi Azra,  Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, 1999, h. xv.
[12] Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, 1998, h. 23.
[13] Ramayulis., h. 346.
[14] Ibid., h. 350.
[15] Ibid., h. 351-352.
[16] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, 2002, h. 59-60.
[17] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan gerakan (Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 209.


0 komentar:

Posting Komentar