A. Pendahuluan
Era
globalisasi dewasa ini dapat mempengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat
muslim Indonesia pada umumnya, atau pendidikan Islam khususnya pesantren.
Argumen panjang lebar tidak perlu dikemukakan lagi, bahwa masyarakat muslim
tidak bisa menghindarkan diri dari arus globalisasi tersebut, apalagi jika
ingin survive dan berjaya di
tengah perkembangan dunia yang kian kompetitif.[1]
Dengan demikian, pembaruan Islam harus dilakukan seiring dengan perkembangan
zaman.
Menurut
Fazlur Rahman, pembaruan Islam dalam bentuk apapun yang berorientasi pada
realisasi Islam yang asli dan modern harus bermula dari pendidikan[2]
Islam sangat
mementingkan pendidikan. Karena dengan pendidikan yang benar dan berkualitas,
akan terbentuk individu-individu yang beradab dan bermoral sehingga pada
akhirnya memunculkan kehidupan sosial yang sesuai dengan tujuan dari pendidikan
itu sendiri. Namun kenyataannya, meskipun sarana dan prasarana dalam sebuah
institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan fasilitas yang memadai, akan
tetapi institusi-institusi tersebut masih belum memproduksi individu- individu
yang beradab Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang mengarah kepada
terbentuknya manusia yang beradab terabaikan dalam proses pelaksanaan
pendidikan di berbagai institusi pendidikan.[3]
Tradisi
pendidikan islam pada masa itu, bergeser dari kota yang menjadi pusat ke ilmuan
ke lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pesantren, dayah, ataupun surau dan
meunasah, karena mengikuti perkembangan zaman dan iklim sosial dan politik Indonesia.
a) Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang diatas maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana peran Tradisi?
2. Bagaimana pembaruan islam?
b) Tujuan Penulis
Berdasarkan rumusan
masalah diatas maka penulis membuat tujuan
sebagai berikut:
1.
Untuk
mengetahui tentang pran Tradisi
2.
Untuk
mengetahui tentang pembaruan islam
B. PEMBAHASAN
1. Tradisi
Tradisi (Bahasa Latin: tradition, “diteruskan”) atau kebiasaan,
dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan
untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat,
biasannya dari suatu Negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adanya
informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun
(sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.[4]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tradisi
adalah adat kebiasaan turun temurun yang masih dijalankan dimasyarakat dengan
anggapan tersebut bahwa cara-cara yang ada merupakan yang paling baik dan benar.[5]
Tradisi adalah pertama, sesuatu yang
ditransferensikan kepada kita. Kedua, sesuatu yang dipahamkan kepada kita. Dan ketiga,
sesuatu yang mengarahkan perilaku kehidupan kita. Itu merupakan
tiga lingkaran yang didalamnya suatu tradisi tertentu ditransformasikan menuju
tradisi yang dinamis. Pada lingkaran pertama, tradisi menegakkan kesadaran
historis, pada
lingkaran kedua menegakkan kesadaran eidetis,
.[6]
Dalam konteks
pendidikan tinggi di Indonesia, Azra mencatat bahwa setelah mengalami masa
penjajahan yang sangat panjang, umat Islam
Indonesia mengalami keterbelakangan dan disintegrasi dalam berbagai aspek
kehidupan. Benturan antara tradisi pendidikan Islam ala pesantren dengan
pendidikan model Barat (Eropa dan Amerika) serta kemajuan-kemajuan yang mereka
capai melahirkan apa yang disebut dengan “intelektual baru” atau “cendekiawan
sekuler”. Kaum intelektual baru ini sebagian besar merupakan hasil pendidikan
Barat yang terlatih berpikir secara Barat. Hal ini terjadi seperti pendapat
Jansen yang dinukil oleh Azra karena
dalam proses pendidikan mereka mengalami pencucian otak (brainwashing)
dari hal-hal yang berbau Islam. Akibatnya mereka menjadi teraleanasi dari
ajaran-ajaran Islam dan masyarakat Muslim sendiri.
Tradisi dalam
pendidikan islam adalah persoalan Islamisasi ilmu. Pemikiran ini mengemuka
selain memang karena Islam sendiri tidak mengenal pembagian ilmu secara dikotomik, juga disebabkan oleh perubahan
sosial yang begitu cepat seolah tidak
dapat diakomodir oleh agama, karena dalam pengembangan pengetahuan agama itu
sendiri lebih banyak dilakukan dengan pendekatan doktriner, normatif dan
legalistik. Penerapan pendekatan seperti ini sesungguhnya tidaklah salah, tetapi apabila usaha pengembangan
sewajarnya tidak dilakukan, maka akan berimplikasi dengan terciptanya krisis
kesetiaan kepada agama, karena agama dipandang tidak mampu merespon realitas
sosial yang selalu berubah.
Dikotomi ilmu
ini telah menimbulkan beberapa masalah dalam pendidikan Islam seperti munculnya
ambivalensi dalam sistem pendidikan Islam.Lembaga pendidikan yang berbasis
agama senantiasa mencitrakan diri sebagai lembaga pendidikan dengan corak tafaqquh fil al Din yang menganggap
persoalan mu’amalat bukan menjadi
domain lembaga ini. Sementara itu, modernisasi sistem pendidikan dengan
memasukan kurikulum pendidikan umum ke dalam lembaga tersebut sebagai lembaga taffaquh fil Adin tersebut.Akibatnya,
terjadi pergeseran makna bahwa mata pelajaran agama hanya menjadi “stempel”
yang dicapkan untuk mencapai tujuan sistem pendidikan modern yang sekuler.
Ini terjadi
sebagai akibat dari ajaran Islam yang secara ideologis diyakini universal,
ternyata pada tataran implementasi justru diposisikan marginal dan dipandang
kurang memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peradaban umat manusia.
Guna mengantisipasi pemandangan seperti ini maka mengharuskan adanya pendekatan
proses pembelajaran yang lebih intergral, salah satunya adalah dengan merubah
cara pandang terhadap agama (ad-din) dan ilmu (al-‘ilm) yang
semula bersifat dikotomik menjadi lebih berpadu.[7]
2. Pembaharuan
Azyumardi Azra berpendapat bahwa modernisasi atau
pembaharuan Islam merupakan upaya untuk mengaktualisasikan ajaran Islam agar
sesuai dengan perkembangan sosial yang terjadi.(Kurniawan 2013: 293) dari
konteks ini menegaskan bahwa ajaran Islam dapat disesuaikan dengan tuntutan
sosial, sehingga dengan perubahan pemikiran-pemikiran atau kebiasaan lama yang
mengandung nilai muamalah di sesuaikan dengan perkembangan zaman dan tidak
mengubah ajaran Islam yang di ajarkan oleh Rasulullah. Di sisi lain di tegaskan
lagi oleh pendapat Harun Nasution yang mengatakan pembaharuan atau modernisasi
mengandung pemikiran, aliran, gerakan, usaha untuk mengubah paham-paham,
adat-istiadat, intitusi-intituisi lama, dan sebagainya untuk disesuaikan dengan
suasana baru yang di timbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern.( Kurniawan 2013: 293).
Dalam
bukunya Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay yang berjudul Sejarah Pertumbuhan dan
Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, mengungkapkan beberapa landasan
pengembangan IAIN menjadi UIN yang dianggap sebagai modal dasar adalah:
a)
Landasan filosofis dan
konstitusional
Bangsa
Indonesia yang menjadikan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai
pandangan hidup dan landasan filosofis, tepatnya tercantum pada sila pertama
yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa dan pada pasal 29 sebagai bukti bahwa
bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung ketuhanan dan agama sehingga
menempatkannya pada posisi yang terhormat. Sehingga pemerintah Indonesia
sebagai pihak yang mengambil keputusan harus mengimplikasikan landasan
konstitusional dan filosofis ke dalam seluruh kebijakan.
b) Sosiologis
Indonesia
adalah negara yang memiliki banyak jumlah penduduknya dan Islam adalah agama
yang paling banyak dianut oleh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia
adalah negara yang memiliki masyarakat yang religius dan menginginkan pelayanan
beragama dalam beribadah maupun sosial kegamaan.
c)
Edukatif
Pendidikan
agama di Indonesia sudah ada sejak lama seperti yang telah tercatat sejarah
bahwa pendidikan diselenggarakan di mesjid, surau, meunasah, rangkang, dayah
maupun pesantren. Selanjutnya mengalami perkembangan, pendidikan agama menjadi
pendidikan yang tergolong ke dalam pendidikan formal.
Dengan perubahan yang di sesuaikan dengan suasana
sosial dan kemajuan ilmu pengetahuan tersebut, maka akan dapat menghasilkan
lulusan yang mampu bersaing dengan pasar global di zaman modern ini. Untuk itu,
para pendidik dan tenaga kependidikan juga harus ditingkatkan baik kuantitas
maupun kualitasnya dengan cara pengiriman ke universitas-universitas besar di
Barat dimana mereka akan mendapat pelatihan dalam pengajaran dan metodologi
penelitian, interpretasi dan analisis. Sehingga setelah mereka menggali ilmu di
Negara-negara yang pengetahuannya lebih maju, mereka dapat memberikan atau
membagikan ilmu yang telah mereka dapat ke dunia pendidikan Indonesia.
Pendidikan Islam dalam pandangan Azyumardi haruslah
melakukan perubahan secara signifikan. Adapun untuk mencapai perubahan
pendidikan Islam itu, dengan cara perubahan dalam pemikiran dan kelembagaan.
Pemikirannya harus bebas, rasional, modern, demokratis dan toleran
(Sebagaimana Puncak Kejayaan/ Keemasan Islam di Zaman Klasik. Pada masa
kejayaan Islam di dinasti Umayyah. Masyarakat Islam pada saat itu sangat
menjunjung tinggi Ilmu pengetahuan dan tingkat toleransi Ilmuan pada masa itu
sangat tinggi, sehingga banyak pemikiran-pemikiran yang dapat di aplikasikan berdampak kepada
ilmu pengetahuan pada saat itu yang berkiblat kepada tokoh pemikir-prmikir
Islam.
Namun terjadi kesenjangan antara masa dimana Islam
menjadi salah satu pusat keilmuan dengan Islam pada Negara-negara yang
berkembang. Biasanya bangsa-bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam di
negeri-negeri yang sedang berkembang, menghadapi persoalan- persoalan yang
disebabkan antara lain, ledakan penduduk dan meningkatnya tuntunan-tuntunan
keperluan dari penduduk. Negeri-negeri berkembang menyadari ketertinggalan
mereka dari negeri-negeri yang telah maju, terutama dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dewasa in, dunia Islam merupakan kawasan yang paling
terbelakang di antara defevpenganut agama besar lain. Dengan kata lain, di
antara semua penganut agama besar di muka bumi ini, para pemeluk Islamlah yang
paling rendah dan lemah dalam hal sain dan teknologi (madjid, 1990: 21). Hal
ini disebabkan antara lain, karena pendidikan Islam di negeri muslim hingga
akhir abad ke-20 masih menekankan aspek teologis, kurang memperhatikan aspek
pengembangan ilmiyah. System pendidikan islam masih disibukan dengan persoalan
teologis, yang menganggap aspek sain dan teknologi menjadi tidak penting dan
tidak sempat terpikirkan. Pendidikan Islam, hingga saat ini lebih cenderung
pada aspek yang berkaitan dengan normatifitas, mengakibatkan tuntutan
historisitas. Akibatnya, umat Islam berada di garis paling belakang dalam hal
penguasaan IPTEK.(kurniawan, 2013 :295).
Pendidikan Islam jelas mempunyai peranan penting dalam
peningkatan SDM. Dalam kerangka fungsi idealnya untuk peningkatan
kualitas SDM, sistem pendidikan Islam haruslah senantiasa mengorientasikan diri
untuk menjawab kebutuhan dan tantangan dalam masyarakat sebagai konsekuensi
logis dari perubahan. Namun, pendidikan Islam hingga saat ini kelihatan masih terlambat
merumuskan diri merespon perubahan dan kecenderungan perkembangan masyarakat
sekarang dan masa akan datang. Sistem pendidikan Islam tetap lebih cenderung
berorientasi ke masa silam ketimbang berorientasi ke masa depan, atau kurang
bersifat future-orinted.[8] Oleh
karena itu, perlu adanya usaha pembaruan dan pengembangan dalam sistem
pendidikan Islam.
Kata pembaruan dalam Kamus Bahasa Indonesia, berarti
proses, cara, perbuatan membarui.[9]
Adapun menurut Muljono Damopolii, pembaruan mengandung prinsip dinamika yang
selalu ada dalam gerak langkah kehidupan manusia yang menuntut adanya perubahan
secara terus menerus (kontinuitas).[10] Sedangkan menurut Azyumardi Azra, upaya untuk
menata kembali struktur-struktur sosial, politik, pendidikan dan keilmuan
yang mapan dan ketinggalan zaman (out dated), termasuk struktur
pendidikan Islam, adalah bentuk pembaruan dalam pemikiran dan kelembagaan
Islam.[11]
Menurut Azra, dalam pendidikan Islam perlu dikembangkan
strategi pendekatan ganda dengan tujuan memadukan pendekatan-pendekatan
situasional jangka pendek dengan pendekatan konseptual jangka panjang. Sebab,
pendidikan Islam adalah suatu usaha mempersiapkan muslim agar dapat mengahadapi
dan menjawab tuntutan kehidupan dan perkembangan zaman secara manusiawi. Karena
itu, hubungan usaha pendidikan Islam dengan kehidupan dan tantangan itu
haruslah merupakan hubungan yang prinsipal dan bukan hubungan insidental dan
tidak menyeluruh. Karena itu, diperlukan pendekatan dan inovasi yang objektif
dan kreatif agar dengan demikian tercipta usaha-usaha pendidikan berdasarkan
kepentingan peserta didik, masyarakat Islam dan umat manusia secara
keseluruhan.[12]
Searah dengan pendapat Azra dan Ramayulis
mengemukakan, bahwa pada saat ini dituntut kemampuan proyektif dan inovatif
dari semua personil pendidikan Islam dalam menagkap kecenderungan-kecenderungan
yang terjadi di masa depan berdasarkan kondisi dan situasi yang terjadi di
dalam masyarakat pada masa sekarang.[13]
Oleh karena itu, pendidikan Islam harus direformasi, direstrukturisasi, dan
diinovasi agar dapat menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat dan dapat
memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat era pasar bebas.[14]
Lebih lanjut Ramayulis memaparkan lima hal yang harus diperhatikan
untuk menghadapi pasar bebas, yaitu:
1.
Lembaga
pendidikan Islam harus meningkatkan daya saing dengan sungguh-sungguh dan
terencana, sehingga layak bersaing dalam pergaulan internasional.
2.
Lembaga
pendidikan Islam membuka program studi yang bervariasi.
3.
Lembaga
pendidikan Islam harus memperkuat fungsi-fungsi kritis dan berorientasi ke masa
depan (future oriented).
4.
Lembaga
pendidikan Islam harus melaksanakan akuntabilitas.
5.
Lembaga
pendidikan Islam harus melaksanakan evaluasi secara terus menerus dan berkelanjutan
agar jaminan kualitas dapat dipertanggungjawabkan.[15]
Hasil
penalaran Azra, bahwa usaha pembaruan dan pengembangan sistem pendidikan Islam
selama ini belum maksimal atau tidak komprehensif dan menyeluruh. Karena,
sebagian besar sistem pendidikan Islam belum dikelola secara profesional.
Kebanyakan lembaga pendidikan Islam masih dikelola dengan semangat
“keikhlasan”, sehingga tidak terjadi esensial dalam pendidikan Islam. Tetapi
menurutnya, tanpa harus mengorbankan semangat keikhlasan dan jiwa pengabdian,
sudah waktunya sistem dan lembaga pendidikan Islam dikelola secara profesional,
bukan hanya dalam soal penggajian, pemb;erian honor, tunjangan atau pengelolaan
administrasi dan keuangan. Profesionalisme mutlak pula diwujudkan dalam
perencanaan, penyiapan tenaga pengajar, kurikulum dan pelaksanaan pendidikan
itu sendiri.[16]
Demikian
juga menurut Harun Nasution, tidaklah mesti pembaruan itu baru akan terjadi kalau
agama sudah ditinggalkan. Pembaruan dapat dilaksanakan dengan tidak
meninggalkan agama. Yang perlu ditinggalkan dalam pembaruan adalah tradisi yang
bertentangan dengan perkembangan zaman. Islam tidak menghalangi pembaruan
selama tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang dibawa wahyu.[17]
Jadi,
pembaruan pendidikan Islam mesti dilakukan tidak hanya sekedar survive di
tengah persaingan global yang semakin tajam dan ketat, tetapi juga berharap
mampu tampil di depan. Oleh karena itu, pembaruan pendidikan Islam dimulai dari
sistem dan kelembagaan pendidikan Islam. Tegasnya adalah pembaruan pendidikan
Islam yang didasarkan pada prinsip modern.
C. Kesimpulan
Tradisi adalah
pertama, sesuatu yang ditransferensikan kepada kita. Kedua, sesuatu yang
dipahamkan kepada kita. Dan ketiga, sesuatu yang mengarahkan perilaku kehidupan kita. Itu merupakan
tiga lingkaran yang didalamnya suatu tradisi tertentu ditransformasikan menuju
tradisi yang dinamis. Pada lingkaran pertama, tradisi menegakkan kesadaran
historis, pada lingkaran kedua menegakkan kesadaran eidetis, dan pada lingkaran
ketiga menegakkan kesadaran praksis.
Azyumardi Azra berpendapat bahwa modernisasi atau
pembaharuan Islam merupakan upaya untuk mengaktualisasikan ajaran Islam agar
sesuai dengan perkembangan sosial yang terjadi.(Kurniawan 2013: 293) dari
konteks ini menegaskan bahwa ajaran Islam dapat disesuaikan dengan tuntutan
sosial, sehingga dengan perubahan pemikiran-pemikiran atau kebiasaan lama yang
mengandung nilai muamalah di sesuaikan dengan perkembangan zaman dan tidak mengubah
ajaran Islam yang di ajarkan oleh Rasulullah.
DAFTAR
PUSTAKA
Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam,
1998
Azyumardi
Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium
III, 2012
Azyumardi
Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Cet.
IV; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002)
Azyumardi
Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,
2002
Azyumardi
Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,
1999
Departement
Pendidikan Indonesia. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Fazlur Rahman, Islam (Cet. III; Bandung:
Pustaka, 1997)
Hanafi,
Hasan. 2004. Islamologi 2 dari Rasionalisme ke Empirisme.
Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.
Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan gerakan (Cet.
IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1992)
Hasan
Hanafi, Islamologi 2 dari Rasionalisme ke Empirisme, ( Yogyakarta: LkiS
Yogyakarta, 2004)
Kamus Besar
Bahasa Indonesia,( Jakarta: Balai Pustaka, 2007)
Martunis Hanafiah,skripsi, Konsep Pendidikan Islam dalam Perspektif
Malik Fadjar,(Banda Aceh
[1] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi
dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Cet. IV; Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
2002), h. 43
[2] Fazlur Rahman, Islam (Cet. III;
Bandung: Pustaka, 1997), h.
84.
[3]
Martunis
Hanafiah,skripsi, Konsep Pendidikan Islam dalam Perspektif Malik Fadjar,(Banda
Aceh
[4] http://id.m.wikipedia.org/wiki/tradisi.2013.
tgl 02 Desember 2013, pm.O9.02
[5] Kamus Besar
Bahasa Indonesia,( Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm. 1208.
[6] Hasan Hanafi, Islamologi 2 dari Rasionalisme ke
Empirisme, ( Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2004). Cet. 1.hlm. 5
[7] Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi
Menuju Meilenium Baru. Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999.
[8] Azyumardi
Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium
III, 2012, h. 67.
[9] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, ., h. 109.
[10] Muljono Damopolii, Pesantren Modern IMMIM: Pencetak
Muslim Modern, h. 34.
[11] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan
Modernisasi Menuju Milenium Baru, 1999, h. xv.
[12] Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan
Pendidikan Islam, 1998, h. 23.
[13] Ramayulis., h. 346.
[14] Ibid., h. 350.
[15] Ibid., h.
351-352.
[16] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan
Modernisasi Menuju Milenium Baru, 2002, h. 59-60.
[17] Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan gerakan (Cet.
IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 209.
0 komentar:
Posting Komentar