Beranda

Selasa, 02 April 2019

KURIKULUM, SISTEM DAN METODE PENDIDIKAN ISLAM KLASIK


BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Proses Pendidikan sebenarnya telah berlangsung sepanjang sejarah dengan perkembangan sosial budaya manusia dipermiukaan bumi. Pendidikan Islam telah tumbuh dan berkembang sejalan dengan adanya dakwah Islam yang telah dilakukan Nabi Muhammad SAW. Pendidikan Islam memiliki corak dan karakteristik yang berbeda sejalan dengan perubahan zaman, upaya pembaharuan dalam perjalanan selanjutnya pendidikan Islam terus mengalami perubahan baik dari segi kurikulum, sistem dan metode.
Secara eksplisit, pendidikan mempunyai fungsi yang strategis dan urgen dalam pembentukan suatu bangsa. Untuk menjadikan pendidikan yang berarti harus menyediakan kurikulum pendidikan yang baik tentunya kepada peserta didik. Sebagaimana halnya dengan faktor-faktor pendidikan lainnya, maka kurikulum pun memainkan peranan penting dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Kurikulum mengalami perkembangan mengikuti perkembangan kebudayaan dan peradaban masyarakat. Dalam perkembangannya, tentu saja kurikulum mengalami pembaruan dalam isinya, sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.
Munculnya pendidikan Islam bersamaan dengan lahirnya Islam itu sendiri. Pendidikan pada awalnya dilakukan dari rumah ke rumah, di masjid-masjid dan sebagainya. Ini dilakukan dengan peralatan yang sederhana sekali. Pendidikan Islam sebagai suatu sistem merupakan sistem tersendiri di antara sistem pendidikan di dunia ini, kendatipun memiliki banyak persamaan. Dikatakan sistem tersendiri karena cakupannya dan kesadarannya terhadap detak jantung, karsa dan karya manusia.
Kurikulum pendidikan Islam klasik merupakan suatu sistem pendidikan klasik yang berbeda dengan sistem pendidikan Islam yang ada pada saat ini. Kalau ditinjau dari aspek tujuan, guru, murid, kurikulum, metode, fasilitas, dan sarana prasarana, jelas terlihat perbedaannya. Sudah banyak terjadi perkembangan-perkembangan dalam dunia pendidikan Islam.
Istilah pendidikan Islam klasik dalam tulisan ini adalah suatu proses kegiatan belajar mengajar yang dilakukan individu, kelompok tertentu atau pemerintah/lembaga pemerintah, formal atau non-formal dalam periode tertentu pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam. Kegiatan itu dilakukan di rumah-rumah, majlis, masjid/halaqah dengan jenjang pendidikan dasar (kuttab), menengah (masjid/masjid khan, zawiyah) sampai tingkat tinggi (madrasah/al-Jamiah).
Karena pendidikan memiliki nilai yang sangat strategis dan urgen dalam pembentukan suatu bangsa, maka pada kesempatan ini penulis akan membahas tentang Kurikulum, Sistem dan Metode Islam Klasik.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi pokok pembahsan pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apakah lembaga pendidikan Islam klasik memiliki semacam kurikulum?
2.      Bagaimana bentuk kurikulum pada masa pendidikan Islam Klasik?
3.      Bagaimana sistem dan metode pendidikan Islam?









BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Kurikulum
Kata “Kurikulum” mulai dikenal sebagai istilah dalam dunia pendidikan lebih kurang sejak satu abad yang lalu. Istilah kurikulum muncul untuk pertama kalinya dalam kamus Webster tahun 1856. Pada tahun itu kata kurikulum digunakan dalam bidang olahraga, yakni suatu alat yang membawa orang dari star sampai kefinish. Barulah pada tahun 1955 istilah kurikulum dipakai dalam bidang pendidikan dengan arti sejumlah mata pelajaran disuatu perguruan.[1]
Istilah kurikulum berasal dari bahasa Latin  yakni ‘curriculae’  artinya jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari. Pada waktu itu pengbertian kurikulum adalah jangka waktu pendidikan yang harus ditempuh olehg siswa yang bertujuan untuyk memperoleh ijazah. [2] Maka dalam dunia pendidikan kurikulum  dapat diartikan sebagi : sejumlah pelajaran di sekolah atau mata kuliyah di perguruan tinggi yang harus ditempuh untuk  mendapatkan ijazah.[3]
Pada masa klasik pakar pendidikan Islam menggunakan kata ‘al maddah’  untuk pengertian kurikulum. Karena pada masa itu lebih identik dengan serangkaian mata pelajaran yang harus diberikan kepada murid pada tingkat tertentu.[4] Adapun pada masa sekarng ini kurikulum dipandang sebagai suatu rencana yang disusun untuk  melancarkan proses belajar mengajar dibawah bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf dan pengajarnya.[5]
Dengan kata lain, kurikulum mencakup baik kegiatan yang dilakukan pada jam belajar maupun di luar jam belajar, sepanjang hal itu berlangsung di lembaga pendidikan. Karena itu ada istilah ekstra-kurikuler, yaitu berbagai kegiatan yang dilakukan di luar jam tatap muka di ruangan kelas. Akan tetapi, tentu saja kurikulum dalam pengertian seperti itu baru dikenal pada sistem pendidikan modern, baik sekolah maupun madrasah. Pada masa sebelumnya, meskipun sudah dikenal, muatan kurikulum tidak seketat pengertian tersebut.
Pada hakikatnya kurikulum pendidikan Islam klasik berbeda-beda menurut wilayah masing-masing. Tidak ada pembakuan kurikulum yang dilakukan oleh Negara. Perbedaan kurikulum antara tempat yang satu dengan tempat lainnya bukan didasarkan daerahnya akan tetapi perbedaan tersebut didasarkan kepada guru yang memberikannya.
Di Mesir misalnya kurikulum dititik beratkan kepada fiqih, sedangkan di Madinah lebih menitik beratkan kepada kajian hadis. Meskipun perbedaan kurikulum berbeda dengan tempat yang satu dengan yang lainnya, akan tetapi disepakati bahwa kitab suci al-Qur’an dijadikan sebagai sumber pokok ilmu-ilmu agama dan umum. Pada awalnya kurikulum yang diajarkan berkisar pada belajar membaca al-Qur’an, menulis, keimanan, ibadah, akhlak, dasar-dasar ekonomi dan politik yang semuanya bersumber kepada al-Qur’an.[6]
Penentuan kurikulum terletak pada ulama, kelompok orang-orang berpengetahuan dan diterima sebagai otoratif dalam soal agama dan hukum. Sebagai persiapan untuk belajar ilmu-ilmu agama dan fiqih seseorang mempelajari bahasa Arab, yang mencakup gramatika dan komposisi serta pengenalan dasar-dasar prosa dan puisi.
Pada perkembangan berikutnya kurikulum pendidikan Islam merujuk kepada al-Qur’an dan hadis. Secara umum materi yang diajarkan adalah ilmu naqliyah dan aqliyah. Maka kurikulum pendidikan Islam klasik cukup variatif berdasarkan jenjang pendidikannya. Berikut perkembangan kurikulum menurut jenjangnya:

1. Kurikulum tingkat rendah
Kurikulum tingkat rendah meliputi Membaca Al qur’an dan menghafalnya, pokok-pokok agama Islam seperti ilmu fiqih yang berupa cara wudhu, sholat puasa dan sebaginya, mendengarkan kisah atau riwayat orang-orang besar Islam, Membaca dan menghafal syair-syair atau nasar, berhitung, serta mempelajari pokok-pokok ilmu nahwu dan shorof alakadarnya. [7] Sedangkan khusus untuk putra-putri raja dan penguasa ditegaskan pentingnya pelajaran khitabah (pidato), ilmu sejarah, cerita perang, cara-cara pergaulan, di samping ilmu-ilmu pokok seperti al-Qur’an, sya’ir dan fiqih.  
Penekanan kurikulum berbeda antara negara yang satu dengan yang lainnya. Di Andalusia misalnya, untuk tingkat rendah diajarkan al-Qur’an,  riwayat sya’ir-sya’ir, prosa, berhitung, dan pembelaan negara sehingga kemampuan anak-anak dalam tulis menulis dan khat sangat menonjol. Kemudian kemampuan menemukan (discovery) serta kemampuan menghubungkan cabang-cabang ilmu dalam mengintegrasikan antara ilmu-ilmu naqli dan aqli lebih unggul dibandingkan negeri Islam yang lain.
Kurikulum tingkat rendah ini biasanya diajarkan pada tingkatan kuttab. Meskipun kuttab atau maktab ini memiliki arti menulis atau tempat menulis, tidak berarti yang diajarkan hanyalah menulis. Tapi di kuttab diajarkan banyak hal sebagaimana diatas.[8]

2. Kurikulum tingkat menengah
Kurikulum tingkat menengahpun tidak ada keseragaman diseluruh negara Islam. Namun, pada umumnya kurikulum tingkat menengah meliputi: Al-qur’an, Bahasa arab dan kesusastraan, Fikih, Tafsir, Hadis, Nahwu, Sharaf, Balaghoh, Ilmu-ilmu pasti, Mantiq, Ilmu falak, Tarikh, Ilmu-ilmu alam, Kedokteran, musik, dan ada beberapa mata pelajaran yang bersifat kejuruan.
Selain dari belajar bahasa, murid disini harus belajar tentang surat-menyurat, pidato, diskusi,berdebat, serta tulisan indah.
3. Kurikulum tingkat atas
Kurikulum pendidikan tingkat atas meliputi ilmu fiqih, nahwu, ilmu kalam, aljabar dan ilmu hitung.[9]  Dalam sumber lain dikatakan pula kurikulum tingkat atas atau pendidikan tingggi ini meliputi :
a.       jurusan ilmu-ilmu agama dan bahasa serta sastra Arab yang juga disebut sebagai ilmu-ilmu naqliyah diantaranya (tafsir Al-Qur’an, Hadis, Fiqh dan Ushul Fiqh, Nahwu, shorof, Balaghah, bahas Arab dan kesusastraannya).
b.      Jurusan ilmu-ilmu umum, yang disebut sebagai ilmu aqliyah diantaranya (mantiq, ilmu-ilmu alam dan kimia, musik, ilmu-ilmu pasti, ilmu ukur, ilmu falak, ilmu ilahiyah, ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan, dan kedokteran).
    Namun sama halnya dengan tingkat rendah dan tingkat menengah kurikulum tingkat atas tidak sama antara negara yang satu dengan yang lainnya. Setiap negara mempunyai kurikulum yang khas dalam pendidikannya. Namun para pelajar tidak terikat untuk kurikulumnya, dan guru-gurunya juga tidak terikat dengan kurikulum yang ditentukan untuk dijadikan sumbur pegangan dalam pengajarannya.
Walaupun ilmu-ilmu naqliyah cukup menonjol, namun ilmu-ilmu aqliyah mempunyai peranan penting. Ini terlihat dalam hubungan yang kokoh antara ilmu-ilmu keagamaan dengan ilmu-ilmu bahasa, kebudayaan sampai kepada abad ke 2 hijriyah.
Menurut Makdisi tentang kurikulum pendidikan, Makdisi menggambarkan secara garis besar tentang kurikulum itu sendiri yang diajarkan dimadrasah. Ilmu-ilmu agama jelas mendominasi madrasah, seperti juga lembaga-lembaga sebelumnya, masjid dan masjid-khan.
Sejauh pengetahuan kita sekarang, tidak ada dokumen tertulis yang berisi rincian kurikulum satu madrasah. Hal ini  memang sulit untuk diharapkan mengingat sifat-sifat dasar madrasah.
 Pertama, tidak adanya ikatan organisatoris antara satu madrasah dengan yang lain. Setiap madrasah bebas menentukan materi dan sistem pengajarannya sendiri sesuai dengan keinginan pemberi wakaf ( waqif ) yang mendukung operasinya.
 Kedua, setiap syaikh atau mudarris bebas memilih bidang yang dia ajarkan. Sekali lagi, dia hanya terikat dengan waqfiyyah dari lembaga tempatnya mengajar. Jadi apa yang dikatakan adalah suatu kesimpulan umum yang tingkat kebenarannya pasti akan sangat bervariasi dari satu kasus kekasus yang lain yaitu bahwa kurikulum madrasah terdiri dari:[10]
1. Ilmu-ilmu agama seperti: ilmu al-Qur’an, hadis, tafsir, fiqih, ushul fiqih, ilmu kalam, dan disiplin-disiplin lain yang tergolong dalam kelompok ini.
2. Ilmu-ilmu sastra yang dibutuhkan untuk mendukung kajian ilmu-ilmu agama juga diajarkan di madrasah, tetapi bukan menjadi bagian utama dari kurikulum.

Jadi, sebagai kesimpulan umum, kurikulum madrasah terdiri dari ilmu-ilmu agama seperti: ilmu al-Qur’an, hadist, tafsir, ushul fiqh, ilmu kalam dan lain-lain yang tergolong kelompok ilmu-ilmu keagamaan Islam ini. Ilmu-ilmu sastra yang dibutuhkan untuk mendukung ilmu-ilmu agama juga diajarkan di madrasah, tetapi tidak menjadi bagian utama dari kurikulum.
Deskripsi madrasah terdahulu menunjukkan bahwa ahli bahasa arab (nahwi) adalah bagian dari staf di beberapa madrasah, namun posisinya jelas tidak sepenting posisi mudarris yang mengajar ilmu-ilmu agama. Ilmu-ilmu klasik belum diajarkan kecuali Filsafat, Kedokteran dan Astronomi, tetapi tidak begitu dominan, karena pelajaran ini memiliki lembaga pengajaran tersendiri (khusus).




B. Pengertian Sistem Pendidikan
Sistem pendidikan adalah suatu pola menyeluruh dalam lembaga-lembaga formal, agen-agen dan organisasi yang memindahkan pengetahuan dan warisan kebudayaan yang mempengaruhi pertumbuhan sosial, spiritual dan intelektual individu manusia. Sistem pendidikan Islam merupakan satu kesatuan yang terdiri dari beberapa unsur pendukung terlaksananya kegiatan pendidikan Islam, seperti lembaga pendidikan, kurikulum, media, guru, anak didik (peserta didik) dan metode pembelajaran yang digunakan. Masing-masing unsur tersebut saling terkait dan saling mendukung demi terlaksananya kegiatan sistem pendidikan Islam adalah :

1)       Lembaga Pendidikan
Pada masa klasik ada lembaga pendidikan Islam yang digunakan sebagai tempat penyelenggaraan kegiatan pendidikan Islam. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut antara lain :

a)      Maktab atau Kuttab
Maktab, atau tempat-tempat untuk mengajar menulis, terdapat didunia Arab bahkan sebelum Islam. Maktab sesungguhnya merupakan sebuah tempat untuk belajar membaca maupun menulis, yang terletak di rumah guru di mana para murid berkumpul untuk menerima pelajaran. Dengan berjalannya waktu, kuttab berkembang menjadi lembaga pendidikan dasar yang bersifat formal.

b)      Masjid dan Jami’
Pada masa Islam klasik, mesjid mempunyai fungsi yang jauh lebih besar dan bervariasi dibanding fungsinya yang sekarang. Dulu, disamping sebagai tempat ibadah, masjid juga menjadi pusat kegiatan sosial dan politik umat Islam. Jami’ adalah mesjid yang digunakan sebagai tempat melaksanakan ibadah sholat Jum’at, sedangkan Mesjid adalah mesjid yang lebih kecil yang hanya digunakan sebagai tempat ibadah harian yang lain, kecuali sholat dan khutbah Jum’at.
Mesjid Jami’ termasuk lembaga pendidikan tertua di dunia Islam yang digunakan sebagai tempat pengajaran humaniora dan ilmu-ilmu agama.

c)      Darul Hikmah / Darul Ilmi
Darul al-Hikmah ini muncul pada waktu bercampurnya berbagai bangsa dan peradaban pada masa Daulah Abbasiyyah dan pada masa bangkitnya gerakan intelektual yang mendorong orang-orang Islam untuk memperoleh ilmu pengetahuan zaman kuno.

d)      Madrasah
Langkah perkembangan lembaga pendidikan tinggi Islam berikutnya di bawah patronase wazir Nidham al-mulk, sekitar tahun 1064. Bangunan baru yang disebut madrasah ini mengambil masjid Khan sebagai model. Madrasah (dalam bentuk klasiknya) dapat disebut sebagai akademi (college) sebagaimana kita kenal sekarang. Madrasah mempunyai perpustakaan yang tergabung dalam bangunan yang sama. Walaupun perpustakaan telah terdapat di istana dan rumah-rumah bangsawan dan hartawan, perpustakaan sebagai bagian dari masjid-akademi adalah hal yang jarang. Madrasah merupakan satu jenis lain dari lembaga pendidikan Islam, dan mulai muncul pada akhir abad ke IV Hijriah.[11]
Madrasah merupakan hasil evolusi dari mesjid sebagai lembaga pendidikan dan Khan sebagai tempat tinggal mahasiswa.Madrasah menempati langkah ketiga dari satu garis perkembangan, dengan urutan: masjid, ke masjid-Khan, kemudian ke madrasah.[12]
Madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam per excellence sampai pada priode modern dengan diperkenalkannya lembaga-lembaga pendidikan modern, seperti universitas.[13]


2)      b) Lembaga-lembaga Pendidikan lain,
seperti : Dar al-Qur’an al Hadits, Daaru Kutab (perpustakaan), Al- Bimaristan ( tempat mempelajari ilmu kedokteran secara praktis) dan lembaga pendidikan Sufi.

B.     Pengertian Metode Pendidikan
Metode pendidikan Islam merupakan unsur dari sistem pendidikan Islam, keberadaannya penting dan memang harus diperhatikan oleh setiap orang yang terlibat dalam kegiatan pendidikan, baik itu guru maupun murid sebagai peserta didik. Secara sederhana kata metode dipahami sebagai suatu cara yang dapat ditempuh untuk mencapai tujuan. Dengan demikian dapat disebutkan bahwa metode pendidikan Islam adalah segala cara dan usaha yang sistematis dan pragmatis untuk mencapai tujuan pendidikan Islam, dengan melalui berbagai aktivitas yang melibatkan guru sebagai pendidik dan murid sebagai anak didik.
Dalam perjalanan sejarah pendidikan Islam, metode pembelajaran yang diterapkan telah mengalami berbagai perubahan dan pengembangan. Di antara perkembangan yang terjadi pada metode pendidikan Islam,adalah yang terjadi diterapkan pada masa Islam klasik. Ahli sejarah mencatat, setidaknya ada beberapa bentuk metode pendidikan yang diterapkan yaitu : halaqah, hafalan, munazarah, ,mudzakarah, Imla’dan rihlah ilmiah.

1. Halaqah
Bentuk yang paling sederhana pendidikan muslim pada masa awal adalah duduk melingkar. Ini merupakan pengalaman pendidikan yang khas dalam Islam dikenal dengan nama Halaqah, yang arti harfiahnya sebuah perkumpulan yang melingkar (pengkajian yang dilakukan dengan duduk melingkar). Dinamakan demikian, karena guru duduk di tengah-tengah sebuah mimbar atau bantal yang membelakangi tembok atau tiang, dan para pelajar duduk dengan membentuk setengah lingkaran di depan guru.
Lingkaran tersebut dibentuk menurut tingkatnya, semakin tinggi tingkat seseorang pelajar,atau pelajar pengunjung, maka ia duduk paling dekat dengan gurunya. Dalam kegiatan berbentuk halaqah, murid yang lebih tinggi, pengetahuannya duduk dekat dengan Syeikh, sedangkan murid yang level pengetahuannya lebih rendah duduk sedikit lebih jauh dan mereka berusaha dengan keras untuk dapat mengubah posisi lebih dekat dengan Syeikhnya.
Kegiatan perkuliahan di Halaqah, secara singkat berlangsung dalam rangkaian kegiatan berikut : Syeikh membuka perkuliahan dengan membaca basmallah, mengucap shalawat dan salam bagi Rasulullah. Disertai dengan memberikan dorongan kepada murid supaya menuntut ilmu, bersifat rendah hati dalam menuntut ilmu, dan berusaha menjalani hidup yang baik serta berbudi luhur.
Kemudian dilanjutkan dengan memberikan penjelasan tentang materi pelajaran sambil menghubungkannya dengan topik yang telah dibahas sebelumnya. Dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran. Syeikh biasanya mendiktekan bahan pelajaran (al-Qur’an dan Hadits) kepada para murid, kemudian menjelaskannya serta menafsirkannya terutama pada bagian-bagian yang dipandang sukar dari hadits dan al-Qur’an. Sementara Syeikh memberikan penjelasan, para murid aktif menulis semua keterangan yang diberikan oleh Syeikh.
 Sebelum mengakhiri pembelajaran, Syeikh biasanya mengulang kembali apa yang telah dibacakan dan dijelaskan serta disesuaikan dengan catatan para murid dengan cara menyuruh seorang murid untuk membaca catatannya. Kemudian mengakhiri pelajaran dengan membaca do’a.
Kurikulum lingkaran studi (halaqah) sesuai dengan pengetahuan dan minat seorang Syekh, tergantung pada pengalamannya, dan biasa juga pada ijazah (pengakuan) dalam bidang keahliannya. Masa keterkaitan seorang murid dengan sebuah lingkaran studi (halaqah) tergantung kepada ketekunan dan target-targetnya sendiri. Ketika sudah tidak mencapai titik maksimal dalam belajar pada seorang guru, murid tersebut dapat beralih kepada guru lain. Sehingga seorang murid bisa saja menghabiskan masa hidupnya dalam perjalanan, beralih dari seoran guru (Syekh) ke guru(Syekh) lain yang terkenal.

2. Hafalan
Pada masa Islam klasik hafalan memiliki peranan penting dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini selain dikarenakan daya hafal bangsa Arab yang, juga dikarenakan memang hanya hafalanlah yang efektif digunakan pada masa itu. Ditambah lagi pada masa itu media simpan ilmu pengetahuan belum memadai jumlah dan penyediaannya. Kondisi ini mempengaruhi metode pembelajaran yang diterapkan dalam kegiatan pendidikan Islam pada masa itu. Dalam catatan sejarah ditemukan bahwa anak-anak mulai belajar dengan menghafal bebeapa surat dari al-Qur’an dan kewajiban agama seperti sembahyang dan puasa.
Hafalan merupakan cara yang harus ditempuh seseorang untuk dapat menguasai secara utuh berbagai tradisi yang diriwayatkan dari orang Arab terdahulu melintasi abad demi abad, termasuk dua naskah suci Islam al-Qur’an dan Sunnah, dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya.
Diya al-Din Ibn –‘Athir mengemukakan pentingnya penghafalan dalam ingatan agar dapat menemukan kembali unsur-unsur yang penting pada waktu dibutuhkan. Pengingatan kembali hanya mungkin terjadi dengan melakukan pengulangan- pengulangan dan praktek-praktek tertentu untuk memastikan bahwa materi-materi yang sudah dihafalkan tetap lekat dalam ingatan dan dapat berfungsi pada waktu yang dibutuhkan.
Menghafal sangat penting dalam hal pembelajaran, seseorang dapat menghafal apabila ada pemahaman terhadap konteks yang dihafal. Untuk memudahkan cara menghafal, al-Khatib menganjurkan agar murid selalu duduk pada posisi yang dapat mendengar secara jelas terhadap apa yang diucapkan guru.
Selain itu suasana haruslah tenang dan mendengarkan dengan seksama apa yang diucapkan guru. Pentingnya metode hafalan ini juga dirasakan para ilmuan sebagaimana komentar yang mereka utarakan berikut ini :
1. Qatada as-Sadusi mengatakan ia tidak pernah mendengar sesuatu tanpa
menghafalnya.
2. Al-Hasan Ibn Zin Nun al-Shaghri mengatakan jika kamu tidak mengulangi sesuatu lima puluh kali, ia tidak akan tersimpan dalam ingatan.
3. Al-Ghazali merasakan betapa pentingnya menghafal ketika ia mengalami buku-bukunya dirampas perampok dalam perjalanan. Ia mengatakan ambillah semua hartaku, tapi jangan ambil buku-buku itu. Kejadian ini membuat beliau menghabiskan waktunya selama tiga tahun untuk menghafal. Melalui hafalannya itu ia tidak takut lagi untuk bepergian.
4. Ibn al-‘Allaf mengatakan bahwa kertas (buku) adalah tempat yang tidak baik untuk menyimpan ilmu pengetahuan. Memang diakui betapa berharganya ilmu pengetahuan, tapi disisi lain dikatakan bahwa hapalan labih penting lagi.
5. Abu Bakar Ibn al-Anbari mengatakan bahwa ia tidak pernah mengerti dari
buku tapi selalu dari hafalan.
6. Ibn at-Tabban adalah seorang yang buta huruf namun ia melakukan dakwahnya melalui hafalan.
7. Ibn al-Munna pada usia 40 tahun cidera buta namun lancar pendengarannya sehingga ia mengajar dari apa yang diperolehnya lewat hafalan.

3. Mudzakarah
Dalam kajian ilmu-ilmu humaniora, istilah mudzakarah paling sering dalam arti diskusi ilmiah. Dalam suatu mudzakarah beberapa orang terlibat dalam suatu percakapan tentang suatu tema atau pelajaran tertentu ; mereka saling bertukar pendapat dan pengetahuan, agar setiap cendikia yang terlibat memperoleh manfaat, begitu pula orang yang hadir untuk mendengarkan saja.[14]
Istilah mudzakarah tidak hanya digunakan dalam satu aspek saja, tetapi juga sering digunakan sebagai petunjuk percakapan yang dapat memberikan pertukaran ilmu pegetahuan (seperti seminar).Mudzakarah juga digunakan sebagai metode mempelajari dan mengahafal materi studi sastra khususnya ilmu qawa’id an-nahwu.



4. Munazharah                             
Munazharah merupakan suatu metode pendidikan Islam pada masa klasik, yaitu dengan cara berdiskusi. Makdisi menjelaskan bahwa munazharah merupakan suatu cara untuk menambah ilmu pengetahuan dengan cara mengundang orang lain dan memperdebatkan masing-masing pendapat yang disertai dengan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam munazharah, kepasihan lidah berbicara dan memiliki ilmu yang luas sangat dihandalkan. Perdebatan (munazharah) juga merupakan alat untuk mencapai kemajuan ilmu pengetahuan.
Salah satu contoh ulama yang dicatat sebagai ahli munazarah adalah Imam Syafi’i yang terkenal sebagai seorang yang suka melakukan munazarah untuk mencari kebenaran tentang satu soal tertentu.
Ada fungsi dari munazarah ini yang sangat mendasar yaitu mengenai pemanfaatan orang yang memiliki keilmuan yang tinggi yang bisa dijadikan rujukan khususnya bidang keilmuan mulai dari zaman klasik sampai modern.

5. Metode Dikte (Imla’)
Metode ini dilaksanakan oleh guru dengan cara memberikan pelajaran dari hafalan, atau dari catatan yang telah ditulisnya lebih dahulu untuk dibacakan kepada para murid. Pendiktean dilakukan dengan lambat, yaitu satu-satu alinea atau satusatu hadits, disertai dengan menyebutkan sanadnya, dan para murid menuliskan apa yang di diktekan guru mereka. Setelah guru selesai mendiktekan materi pelajaran dan memberikan penjelasan atau penafsiran terhadap materi tersebut serta murid telah selesai mencatatnya dengan baik.
Guru seringkali membacakan apa-apa yang telah didiktekannya. Atau disuruhnya salah seorang murid untuk membacakannya, lalu diberikan pembetulan-pembetulan jika terdapat kesalahan-kesalahan atau kekurangan-kekurangan pada penulisan para murid.




6. Rihlah Ilmiyah
Rihlah Ilmiyah digunakan untuk setiap perjalanan guna menuntut ilmu, mencari tempat belajar yang baik, mencari guru yang lebih bisa memimpin pelajaran dengan baik pula, atau juga perjalanan seseorang ilmuan ke berbagai tempat, apakah dia secara formal melakukan aktivitas akademis atau sebaliknya.
Dengan demikian rihlah‘ilmiyah bisa saja mencakup sebuah perjalanan yang memang direncanakan untuk tujuan ilmiah (belajar, mengajar, diskusi, mencari kitab dan lain sebagainya), atau sekedar perjalanan biasa yang dilakukan oleh orang-orang yang terlihat dalam kegiatan keilmuan.Selanjutnya Hasan Asari juga menjelaskan tentang praktek Rihlah Ilmiyah dapat juga ditemukan dalam nas-nas dasar-dasar dasar agama Islam, baik dalam al-Qur’an maupun hadits. Abu Hamid al-Ghazali, misalnya, menganjurkan rihlah ilmiyah dan bahkan memandangnya sebagai pendukung penting yang dapat membantu keberhasilan seseorang dalam kegiatan menuntut ilmu pengetahuan. Begitu pula dengan Ibn Khaldun, dia melihat manfaat yang sangat besar dari praktek ini. Al-Khatib al-Baghdadi juga memandang rihlah ilmiyah memiliki relevansi yang sangat tinggi,khususnya dalam bidang hadis, sehingga ia menulis sebuah buku khusus membahas tema tersebut.
Ibn ‘Abd al-Barr juga menyisipkan sebuah pembahasan mengenai praktek rihlah ilmiyah. Perkembangan rihlah ilmiyah ini juga ternyata tidak diketahui secara jelas kapan dimulainya, namun sejarah menunjukkan bahwasanya pada masa Rasulullah juga sudah ada karena beliau pernah mengutus sahabat Muaz Ibn Jabal ke negeri Yaman dengan tujuan sebagai guru. Rihlah Ilmiyah ini juga memiliki fungsi dalam peradaban intelektual Islam klasik.








BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Kurikulum pada zaman klasik secara garis besar sudah ada walau tidak ada bukti tertulis tentang kurikulum tersebut, nyatanya yang lebih mendominasi pada sebuah madrasah adalah kurikulum yang didalamnya adalah muatan tentang agama. Adapun yang biasa yang menentukan kurikulum adalah orang-orang yang mempunyai otoritas atau penyusun perencanaan mata pelajaran pendidikan Islam klasik adalah ulama yang menguasai bidangnya masing-masing.
Pada perkembangan berikutnya kurikulum pendidikan Islam merujuk kepada al-Qur’an dan hadis. Secara umum materi yang diajarkan adalah ilmu naqliyah dan aqliyah. Maka kurikulum pendidikan Islam klasik cukup variatif berdasarkan jenjang pendidikannya. Berikut perkembangan kurikulum menurut jenjangnya: Kurikulum tingkat rendah, kurikulum tingkat menengah  dan kurikulum tingkat atas.
Sistem pendidikan adalah suatu pola menyeluruh dalam lembaga-lembaga formal, agen-agen dan organisasi yang memindahkan pengetahuan dan warisan kebudayaan yang mempengaruhi pertumbuhan sosial, spiritual dan intelektual individu manusia.
a)      Lembaga Pendidikan antara lain: Maktab atau Kuttab, Masjid dan Jami’, Darul Hikmah Darul Ilmi, dan  Madrasah.
b)      Lembaga-lembaga Pendidikan lain, seperti : Dar al-Qur’an al Hadits, Daaru Kutab(perpustakaan) , Al- Bimaristan ( tempat mempelajari ilmu kedokteran secara praktis) dan lembaga pendidikan Sufi.

Metode pendidikan Islam adalah segala cara dan usaha yang sistematis dan pragmatis untuk mencapai tujuan pendidikan Islam, dengan melalui berbagai aktivitas yang melibatkan guru sebagai pendidik dan murid sebagai anak didik. Ahli sejarah mencatat, setidaknya ada beberapa bentuk metode pendidikan yang diterapkan yaitu : halaqah, hafalan, munazarah, ,mudzakarah, Imla’ dan rihlah ilmiah.

B.     Saran
Sejak zaman dahulu, lembaga pendidikan islam klasik telah menerapkan kurikulum serta menjalankan berbagai metode dan setrategi dalam proses pendidikan Islam.  Maka kita yang hidup pada era globalisasi ini hendaklah meniru berbagai metode dan setrategi proses pendidikan tersebut, tentunya dengan mengkombinasikan dengan perkembangan imtek dan kemajuan zaman saat ini, serta mengembangkan segi kreatifitas kita sebagai tenaga pendidik. 



[1] Bukhori Umar, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta : Amzah, 2010) , h.162
[2] Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, ( Cet. 14 Jakarta: Bumi Aksara, 2014), h.16.
[3] Kunandar , Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 122.
[4] Abbudin Nata (Ed), Sejarah Pendidikan Islam Pada Priode Klasik dan Pertengahan, (Cet2 April 2010 ),h. 115.
[5] Nasution, Kurikulum dan Pengajaran, ( Jakarta, Bumi Aksara , 2008 ), h. 5.

                                                                                                                                                                               
[6] Ali Al Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam,( Jakarta: Rineka Cipta, 1994 ), h. 58.

[7] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, ( Jakarta: Bumi Aksara, 1985), h. 102.
[8] Ibid. h. 89.

[9] Ali Al-Jumbulati, Perbandingan Pendidikan ......., h.68.1

[10] Hasan Asari, Menyikap Zaman Keemasan Islam, (Bandung: Citapustaka Media, 2007),h. 109-110.

[11]. Ibid, h.10.
[12] . Maksidi, dalam Hasan Asari, ibid, h. 51.
[13] . Hasan Asari, Ibid, h.51.

[14] . George A. Makdisi,Cita Humanisme Islam Panorama,….h. 315-316


0 komentar:

Posting Komentar