BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Proses Pendidikan sebenarnya telah
berlangsung sepanjang sejarah dengan perkembangan sosial budaya manusia
dipermiukaan bumi. Pendidikan Islam telah tumbuh dan berkembang sejalan dengan
adanya dakwah Islam yang telah dilakukan Nabi Muhammad SAW. Pendidikan Islam
memiliki corak dan karakteristik yang berbeda sejalan dengan perubahan zaman,
upaya pembaharuan dalam perjalanan selanjutnya pendidikan Islam terus mengalami
perubahan baik dari segi kurikulum, sistem dan metode.
Secara
eksplisit, pendidikan mempunyai fungsi yang strategis dan urgen dalam pembentukan
suatu bangsa. Untuk menjadikan pendidikan yang berarti harus menyediakan
kurikulum pendidikan yang baik tentunya kepada peserta didik. Sebagaimana
halnya dengan faktor-faktor pendidikan lainnya, maka kurikulum pun memainkan
peranan penting dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Kurikulum mengalami
perkembangan mengikuti perkembangan kebudayaan dan peradaban masyarakat. Dalam
perkembangannya, tentu saja kurikulum mengalami pembaruan dalam isinya, sesuai
dengan kebutuhan masyarakatnya.
Munculnya pendidikan Islam
bersamaan dengan lahirnya Islam itu sendiri. Pendidikan pada awalnya dilakukan
dari rumah ke rumah, di masjid-masjid dan sebagainya. Ini dilakukan dengan peralatan
yang sederhana sekali. Pendidikan Islam sebagai suatu sistem merupakan sistem
tersendiri di antara sistem pendidikan di dunia ini, kendatipun memiliki banyak
persamaan. Dikatakan sistem tersendiri karena cakupannya dan kesadarannya
terhadap detak jantung, karsa dan karya manusia.
Kurikulum pendidikan Islam klasik
merupakan suatu sistem pendidikan klasik yang berbeda dengan sistem pendidikan
Islam yang ada pada saat ini. Kalau ditinjau dari aspek tujuan, guru, murid,
kurikulum, metode, fasilitas, dan sarana prasarana, jelas terlihat perbedaannya.
Sudah banyak terjadi perkembangan-perkembangan dalam dunia pendidikan Islam.
Istilah
pendidikan Islam klasik dalam tulisan ini adalah suatu proses kegiatan belajar mengajar
yang dilakukan individu, kelompok tertentu atau pemerintah/lembaga pemerintah,
formal atau non-formal dalam periode tertentu pada masa pertumbuhan dan perkembangan
Islam. Kegiatan itu dilakukan di rumah-rumah, majlis, masjid/halaqah dengan
jenjang pendidikan dasar (kuttab), menengah (masjid/masjid khan, zawiyah) sampai
tingkat tinggi (madrasah/al-Jamiah).
Karena
pendidikan memiliki nilai yang sangat strategis dan urgen dalam pembentukan
suatu bangsa, maka pada kesempatan ini penulis akan membahas tentang Kurikulum,
Sistem dan Metode Islam Klasik.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas,
maka yang menjadi pokok pembahsan pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah lembaga pendidikan Islam klasik memiliki semacam kurikulum?
2. Bagaimana bentuk kurikulum pada masa pendidikan Islam Klasik?
3. Bagaimana sistem dan metode pendidikan Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kurikulum
Kata “Kurikulum” mulai
dikenal sebagai istilah dalam dunia pendidikan lebih kurang sejak satu abad
yang lalu. Istilah kurikulum muncul untuk pertama kalinya dalam kamus Webster tahun
1856. Pada tahun itu kata kurikulum digunakan dalam bidang olahraga, yakni
suatu alat yang membawa orang dari star sampai kefinish.
Barulah pada tahun 1955 istilah kurikulum dipakai dalam bidang pendidikan
dengan arti sejumlah mata pelajaran disuatu perguruan.[1]
Istilah
kurikulum berasal dari bahasa Latin yakni ‘curriculae’ artinya jarak yang harus ditempuh oleh
seorang pelari. Pada waktu itu
pengbertian kurikulum adalah jangka waktu pendidikan yang harus ditempuh olehg
siswa yang bertujuan untuyk memperoleh ijazah. [2]
Maka dalam dunia pendidikan kurikulum
dapat diartikan sebagi : sejumlah pelajaran di sekolah atau mata kuliyah
di perguruan tinggi yang harus ditempuh untuk mendapatkan ijazah.[3]
Pada masa klasik pakar pendidikan Islam menggunakan
kata ‘al maddah’ untuk pengertian
kurikulum. Karena pada masa itu lebih identik dengan serangkaian mata pelajaran
yang harus diberikan kepada murid pada tingkat tertentu.[4]
Adapun pada masa sekarng ini kurikulum dipandang sebagai suatu rencana yang
disusun untuk melancarkan
proses belajar mengajar dibawah bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau
lembaga pendidikan beserta staf dan pengajarnya.[5]
Dengan kata lain, kurikulum mencakup baik kegiatan yang
dilakukan pada jam belajar maupun di luar jam belajar, sepanjang hal itu
berlangsung di lembaga pendidikan. Karena itu ada istilah ekstra-kurikuler,
yaitu berbagai kegiatan yang dilakukan di luar jam tatap muka di ruangan kelas.
Akan tetapi, tentu saja kurikulum dalam pengertian seperti itu baru dikenal
pada sistem pendidikan modern, baik sekolah maupun madrasah. Pada masa
sebelumnya, meskipun sudah dikenal, muatan kurikulum tidak seketat pengertian
tersebut.
Pada hakikatnya kurikulum pendidikan Islam klasik berbeda-beda
menurut wilayah masing-masing. Tidak ada pembakuan kurikulum yang dilakukan
oleh Negara. Perbedaan kurikulum antara tempat yang satu dengan tempat lainnya bukan
didasarkan daerahnya akan tetapi perbedaan tersebut didasarkan kepada guru yang
memberikannya.
Di Mesir misalnya kurikulum dititik beratkan kepada fiqih, sedangkan
di Madinah lebih menitik beratkan kepada kajian hadis. Meskipun perbedaan
kurikulum berbeda dengan tempat yang satu dengan yang lainnya, akan tetapi
disepakati bahwa kitab suci al-Qur’an dijadikan sebagai sumber pokok ilmu-ilmu agama
dan umum. Pada awalnya kurikulum yang diajarkan berkisar pada belajar membaca
al-Qur’an, menulis, keimanan, ibadah, akhlak, dasar-dasar ekonomi dan politik
yang semuanya bersumber kepada al-Qur’an.[6]
Penentuan kurikulum terletak pada ulama, kelompok orang-orang berpengetahuan
dan diterima sebagai otoratif dalam soal agama dan hukum. Sebagai persiapan
untuk belajar ilmu-ilmu agama dan fiqih seseorang mempelajari bahasa Arab, yang
mencakup gramatika dan komposisi serta pengenalan dasar-dasar prosa dan puisi.
Pada perkembangan berikutnya kurikulum pendidikan Islam merujuk kepada
al-Qur’an dan hadis. Secara umum materi yang diajarkan adalah ilmu naqliyah dan
aqliyah. Maka kurikulum pendidikan Islam klasik cukup variatif berdasarkan
jenjang pendidikannya. Berikut perkembangan kurikulum menurut jenjangnya:
1. Kurikulum tingkat rendah
Kurikulum tingkat rendah meliputi Membaca Al qur’an dan
menghafalnya, pokok-pokok agama Islam seperti ilmu fiqih yang berupa cara
wudhu, sholat puasa dan sebaginya, mendengarkan kisah atau riwayat orang-orang
besar Islam, Membaca dan menghafal syair-syair atau nasar, berhitung, serta mempelajari
pokok-pokok ilmu nahwu dan shorof alakadarnya. [7]
Sedangkan khusus untuk putra-putri raja dan penguasa ditegaskan pentingnya
pelajaran khitabah (pidato), ilmu sejarah, cerita perang, cara-cara pergaulan,
di samping ilmu-ilmu pokok seperti al-Qur’an, sya’ir dan fiqih.
Penekanan kurikulum berbeda antara negara yang satu dengan yang lainnya.
Di Andalusia misalnya, untuk tingkat rendah diajarkan al-Qur’an, riwayat sya’ir-sya’ir, prosa, berhitung, dan
pembelaan negara sehingga kemampuan anak-anak dalam tulis menulis dan khat
sangat menonjol. Kemudian kemampuan menemukan (discovery) serta kemampuan menghubungkan
cabang-cabang ilmu dalam mengintegrasikan antara ilmu-ilmu naqli dan aqli lebih
unggul dibandingkan negeri Islam yang lain.
Kurikulum tingkat rendah ini biasanya diajarkan pada tingkatan
kuttab. Meskipun kuttab atau maktab ini memiliki arti menulis atau tempat
menulis, tidak berarti yang diajarkan hanyalah menulis. Tapi di kuttab
diajarkan banyak hal sebagaimana diatas.[8]
2. Kurikulum tingkat menengah
Kurikulum
tingkat menengahpun tidak ada keseragaman diseluruh negara Islam. Namun, pada
umumnya kurikulum tingkat menengah meliputi: Al-qur’an, Bahasa arab dan
kesusastraan, Fikih, Tafsir, Hadis, Nahwu, Sharaf, Balaghoh, Ilmu-ilmu pasti,
Mantiq, Ilmu falak, Tarikh, Ilmu-ilmu alam, Kedokteran, musik, dan ada beberapa
mata pelajaran yang bersifat kejuruan.
Selain dari belajar bahasa, murid disini harus belajar tentang
surat-menyurat, pidato, diskusi,berdebat, serta tulisan indah.
3. Kurikulum tingkat atas
Kurikulum pendidikan tingkat atas meliputi ilmu fiqih, nahwu,
ilmu kalam, aljabar dan ilmu hitung.[9] Dalam
sumber lain dikatakan pula kurikulum tingkat
atas atau pendidikan tingggi ini meliputi :
a. jurusan ilmu-ilmu agama dan bahasa serta
sastra Arab yang juga disebut sebagai ilmu-ilmu naqliyah diantaranya (tafsir
Al-Qur’an, Hadis, Fiqh dan Ushul Fiqh, Nahwu, shorof, Balaghah, bahas Arab dan
kesusastraannya).
b. Jurusan ilmu-ilmu umum, yang disebut
sebagai ilmu aqliyah diantaranya (mantiq, ilmu-ilmu alam dan kimia, musik,
ilmu-ilmu pasti, ilmu ukur, ilmu falak, ilmu ilahiyah, ilmu hewan, ilmu
tumbuh-tumbuhan, dan kedokteran).
Namun sama
halnya dengan tingkat rendah dan tingkat menengah kurikulum tingkat atas tidak
sama antara negara yang satu dengan yang lainnya. Setiap negara mempunyai
kurikulum yang khas dalam pendidikannya. Namun para pelajar tidak terikat untuk
kurikulumnya, dan guru-gurunya juga tidak terikat dengan kurikulum yang
ditentukan untuk dijadikan sumbur pegangan dalam pengajarannya.
Walaupun ilmu-ilmu naqliyah cukup menonjol, namun ilmu-ilmu
aqliyah mempunyai peranan penting. Ini terlihat dalam hubungan yang kokoh
antara ilmu-ilmu keagamaan dengan ilmu-ilmu bahasa, kebudayaan sampai kepada
abad ke 2 hijriyah.
Menurut Makdisi tentang kurikulum pendidikan, Makdisi menggambarkan
secara garis besar tentang kurikulum itu sendiri yang diajarkan dimadrasah.
Ilmu-ilmu agama jelas mendominasi madrasah, seperti juga lembaga-lembaga sebelumnya,
masjid dan masjid-khan.
Sejauh pengetahuan kita sekarang, tidak ada dokumen tertulis
yang berisi rincian kurikulum satu madrasah. Hal ini memang sulit untuk diharapkan mengingat
sifat-sifat dasar madrasah.
Pertama, tidak adanya ikatan organisatoris antara satu madrasah dengan
yang lain. Setiap madrasah bebas menentukan materi dan sistem pengajarannya
sendiri sesuai dengan keinginan pemberi wakaf ( waqif ) yang mendukung
operasinya.
Kedua, setiap syaikh atau mudarris bebas memilih bidang yang dia ajarkan.
Sekali lagi, dia hanya terikat dengan waqfiyyah dari lembaga tempatnya
mengajar. Jadi apa yang dikatakan adalah suatu kesimpulan umum yang tingkat
kebenarannya pasti akan sangat bervariasi dari satu kasus kekasus yang lain
yaitu bahwa kurikulum madrasah terdiri dari:[10]
1. Ilmu-ilmu agama seperti: ilmu al-Qur’an, hadis, tafsir,
fiqih, ushul fiqih, ilmu kalam, dan disiplin-disiplin lain yang tergolong dalam
kelompok ini.
2. Ilmu-ilmu sastra yang dibutuhkan untuk mendukung kajian
ilmu-ilmu agama juga diajarkan di madrasah, tetapi bukan menjadi bagian utama dari
kurikulum.
Jadi, sebagai kesimpulan umum, kurikulum madrasah terdiri dari
ilmu-ilmu agama seperti: ilmu al-Qur’an, hadist, tafsir, ushul fiqh, ilmu kalam
dan lain-lain yang tergolong kelompok ilmu-ilmu keagamaan Islam ini. Ilmu-ilmu
sastra yang dibutuhkan untuk mendukung ilmu-ilmu agama juga diajarkan di
madrasah, tetapi tidak menjadi bagian utama dari kurikulum.
Deskripsi madrasah terdahulu menunjukkan bahwa ahli bahasa arab
(nahwi) adalah bagian dari staf di beberapa madrasah, namun posisinya jelas
tidak sepenting posisi mudarris yang mengajar ilmu-ilmu agama. Ilmu-ilmu klasik
belum diajarkan kecuali Filsafat, Kedokteran dan Astronomi, tetapi tidak begitu
dominan, karena pelajaran ini memiliki lembaga pengajaran tersendiri (khusus).
B.
Pengertian Sistem Pendidikan
Sistem pendidikan adalah suatu pola menyeluruh dalam
lembaga-lembaga formal, agen-agen dan organisasi yang memindahkan pengetahuan
dan warisan kebudayaan yang mempengaruhi pertumbuhan sosial, spiritual dan
intelektual individu manusia. Sistem pendidikan Islam merupakan satu kesatuan
yang terdiri dari beberapa unsur pendukung terlaksananya kegiatan pendidikan
Islam, seperti lembaga pendidikan, kurikulum, media, guru, anak didik (peserta
didik) dan metode pembelajaran yang digunakan. Masing-masing unsur tersebut
saling terkait dan saling mendukung demi terlaksananya kegiatan sistem
pendidikan Islam adalah :
1) Lembaga Pendidikan
Pada
masa klasik ada lembaga pendidikan Islam yang digunakan sebagai tempat penyelenggaraan
kegiatan pendidikan Islam. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut antara lain :
a)
Maktab atau Kuttab
Maktab,
atau tempat-tempat untuk mengajar menulis, terdapat didunia Arab bahkan sebelum
Islam. Maktab sesungguhnya merupakan sebuah tempat untuk belajar membaca maupun
menulis, yang terletak di rumah guru di mana para murid berkumpul untuk
menerima pelajaran. Dengan berjalannya waktu, kuttab berkembang menjadi lembaga
pendidikan dasar yang bersifat formal.
b) Masjid dan Jami’
Pada
masa Islam klasik, mesjid mempunyai fungsi yang jauh lebih besar dan bervariasi
dibanding fungsinya yang sekarang. Dulu, disamping sebagai tempat ibadah,
masjid juga menjadi pusat kegiatan sosial dan politik umat Islam. Jami’ adalah
mesjid yang digunakan sebagai tempat melaksanakan ibadah sholat Jum’at,
sedangkan Mesjid adalah mesjid yang lebih kecil yang hanya digunakan sebagai
tempat ibadah harian yang lain, kecuali sholat dan khutbah Jum’at.
Mesjid Jami’ termasuk lembaga pendidikan tertua di dunia Islam
yang digunakan sebagai tempat pengajaran humaniora dan ilmu-ilmu agama.
c)
Darul Hikmah / Darul Ilmi
Darul al-Hikmah ini muncul pada waktu bercampurnya berbagai
bangsa dan peradaban pada masa Daulah Abbasiyyah dan pada masa bangkitnya
gerakan intelektual yang mendorong orang-orang Islam untuk memperoleh ilmu
pengetahuan zaman kuno.
d) Madrasah
Langkah perkembangan lembaga pendidikan tinggi Islam berikutnya
di bawah patronase wazir Nidham al-mulk, sekitar tahun 1064. Bangunan baru yang
disebut madrasah ini mengambil masjid Khan sebagai model. Madrasah (dalam bentuk
klasiknya) dapat disebut sebagai akademi (college) sebagaimana kita kenal sekarang.
Madrasah mempunyai perpustakaan yang tergabung dalam bangunan yang sama.
Walaupun perpustakaan telah terdapat di istana dan rumah-rumah bangsawan dan
hartawan, perpustakaan sebagai bagian dari masjid-akademi adalah hal yang
jarang. Madrasah merupakan satu jenis lain dari lembaga pendidikan Islam, dan
mulai muncul pada akhir abad ke IV Hijriah.[11]
Madrasah merupakan hasil evolusi dari mesjid sebagai lembaga
pendidikan dan Khan sebagai tempat tinggal mahasiswa.Madrasah menempati langkah
ketiga dari satu garis perkembangan, dengan urutan: masjid, ke masjid-Khan,
kemudian ke madrasah.[12]
Madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam per excellence
sampai pada priode modern dengan diperkenalkannya lembaga-lembaga pendidikan
modern, seperti universitas.[13]
2)
b) Lembaga-lembaga Pendidikan lain,
seperti
: Dar al-Qur’an al Hadits, Daaru Kutab (perpustakaan), Al- Bimaristan ( tempat
mempelajari ilmu kedokteran secara praktis) dan lembaga pendidikan Sufi.
B.
Pengertian Metode Pendidikan
Metode pendidikan Islam merupakan unsur dari sistem pendidikan
Islam, keberadaannya penting dan memang harus diperhatikan oleh setiap orang
yang terlibat dalam kegiatan pendidikan, baik itu guru maupun murid sebagai
peserta didik. Secara sederhana kata metode dipahami sebagai suatu cara yang
dapat ditempuh untuk mencapai tujuan. Dengan demikian dapat disebutkan bahwa metode
pendidikan Islam adalah segala cara dan usaha yang sistematis dan pragmatis
untuk mencapai tujuan pendidikan Islam, dengan melalui berbagai aktivitas yang
melibatkan guru sebagai pendidik dan murid sebagai anak didik.
Dalam perjalanan sejarah pendidikan Islam, metode pembelajaran
yang diterapkan telah mengalami berbagai perubahan dan pengembangan. Di antara
perkembangan yang terjadi pada metode pendidikan Islam,adalah yang terjadi
diterapkan pada masa Islam klasik. Ahli sejarah mencatat, setidaknya ada
beberapa bentuk metode pendidikan yang diterapkan yaitu : halaqah, hafalan, munazarah, ,mudzakarah,
Imla’dan rihlah ilmiah.
1. Halaqah
Bentuk yang paling sederhana pendidikan muslim pada masa awal
adalah duduk melingkar. Ini merupakan pengalaman pendidikan yang khas dalam
Islam dikenal dengan nama Halaqah, yang arti harfiahnya sebuah perkumpulan yang
melingkar (pengkajian yang dilakukan dengan duduk melingkar). Dinamakan demikian,
karena guru duduk di tengah-tengah sebuah mimbar atau bantal yang membelakangi
tembok atau tiang, dan para pelajar duduk dengan membentuk setengah lingkaran
di depan guru.
Lingkaran tersebut dibentuk menurut tingkatnya, semakin tinggi
tingkat seseorang pelajar,atau pelajar pengunjung, maka ia duduk paling dekat dengan
gurunya. Dalam kegiatan berbentuk halaqah, murid yang lebih tinggi,
pengetahuannya duduk dekat dengan Syeikh, sedangkan murid yang level pengetahuannya
lebih rendah duduk sedikit lebih jauh dan mereka berusaha dengan keras untuk
dapat mengubah posisi lebih dekat dengan Syeikhnya.
Kegiatan perkuliahan di Halaqah, secara singkat berlangsung
dalam rangkaian kegiatan berikut : Syeikh membuka perkuliahan dengan membaca
basmallah, mengucap shalawat dan salam bagi Rasulullah. Disertai dengan
memberikan dorongan kepada murid supaya menuntut ilmu, bersifat rendah hati
dalam menuntut ilmu, dan berusaha menjalani hidup yang baik serta berbudi
luhur.
Kemudian dilanjutkan dengan memberikan penjelasan tentang materi
pelajaran sambil menghubungkannya dengan topik yang telah dibahas sebelumnya.
Dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran. Syeikh biasanya mendiktekan bahan pelajaran
(al-Qur’an dan Hadits) kepada para murid, kemudian menjelaskannya serta
menafsirkannya terutama pada bagian-bagian yang dipandang sukar dari hadits dan
al-Qur’an. Sementara Syeikh memberikan penjelasan, para murid aktif menulis
semua keterangan yang diberikan oleh Syeikh.
Sebelum mengakhiri
pembelajaran, Syeikh biasanya mengulang kembali apa yang telah dibacakan dan
dijelaskan serta disesuaikan dengan catatan para murid dengan cara menyuruh
seorang murid untuk membaca catatannya. Kemudian mengakhiri pelajaran dengan
membaca do’a.
Kurikulum lingkaran studi (halaqah) sesuai dengan pengetahuan
dan minat seorang Syekh, tergantung pada pengalamannya, dan biasa juga pada
ijazah (pengakuan) dalam bidang keahliannya. Masa keterkaitan seorang murid
dengan sebuah lingkaran studi (halaqah) tergantung kepada ketekunan dan
target-targetnya sendiri. Ketika sudah tidak mencapai titik maksimal dalam
belajar pada seorang guru, murid tersebut dapat beralih kepada guru lain.
Sehingga seorang murid bisa saja menghabiskan masa hidupnya dalam perjalanan,
beralih dari seoran guru (Syekh) ke guru(Syekh) lain yang terkenal.
2. Hafalan
Pada masa Islam klasik hafalan memiliki peranan penting dalam
kegiatan pembelajaran. Hal ini selain dikarenakan daya hafal bangsa Arab yang,
juga dikarenakan memang hanya hafalanlah yang efektif digunakan pada masa itu. Ditambah
lagi pada masa itu media simpan ilmu pengetahuan belum memadai jumlah dan
penyediaannya. Kondisi ini mempengaruhi metode pembelajaran yang diterapkan
dalam kegiatan pendidikan Islam pada masa itu. Dalam catatan sejarah ditemukan
bahwa anak-anak mulai belajar dengan menghafal bebeapa surat dari al-Qur’an dan
kewajiban agama seperti sembahyang dan puasa.
Hafalan merupakan cara yang harus ditempuh seseorang untuk dapat
menguasai secara utuh berbagai tradisi yang diriwayatkan dari orang Arab
terdahulu melintasi abad demi abad, termasuk dua naskah suci Islam al-Qur’an dan
Sunnah, dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya.
Diya al-Din Ibn –‘Athir mengemukakan pentingnya penghafalan
dalam ingatan agar dapat menemukan kembali unsur-unsur yang penting pada waktu dibutuhkan.
Pengingatan kembali hanya mungkin terjadi dengan melakukan pengulangan-
pengulangan dan praktek-praktek tertentu untuk memastikan bahwa materi-materi
yang sudah dihafalkan tetap lekat dalam ingatan dan dapat berfungsi pada waktu
yang dibutuhkan.
Menghafal sangat penting dalam hal pembelajaran, seseorang dapat
menghafal apabila ada pemahaman terhadap konteks yang dihafal. Untuk memudahkan
cara menghafal, al-Khatib menganjurkan agar murid selalu duduk pada posisi yang
dapat mendengar secara jelas terhadap apa yang diucapkan guru.
Selain itu suasana haruslah tenang dan mendengarkan dengan
seksama apa yang diucapkan guru. Pentingnya metode hafalan ini juga dirasakan
para ilmuan sebagaimana komentar yang mereka utarakan berikut ini :
1.
Qatada as-Sadusi mengatakan ia tidak pernah mendengar sesuatu tanpa
menghafalnya.
2. Al-Hasan Ibn Zin Nun al-Shaghri mengatakan jika kamu tidak
mengulangi sesuatu lima puluh kali, ia tidak akan tersimpan dalam ingatan.
3. Al-Ghazali merasakan betapa pentingnya menghafal ketika ia
mengalami buku-bukunya dirampas perampok dalam perjalanan. Ia mengatakan
ambillah semua hartaku, tapi jangan ambil buku-buku itu. Kejadian ini membuat
beliau menghabiskan waktunya selama tiga tahun untuk menghafal. Melalui hafalannya
itu ia tidak takut lagi untuk bepergian.
4. Ibn al-‘Allaf mengatakan bahwa kertas (buku) adalah tempat
yang tidak baik untuk menyimpan ilmu pengetahuan. Memang diakui betapa
berharganya ilmu pengetahuan, tapi disisi lain dikatakan bahwa hapalan labih
penting lagi.
5.
Abu Bakar Ibn al-Anbari mengatakan bahwa ia tidak pernah mengerti dari
buku
tapi selalu dari hafalan.
6. Ibn at-Tabban adalah seorang yang buta huruf namun ia
melakukan dakwahnya melalui hafalan.
7.
Ibn al-Munna pada usia 40 tahun cidera buta namun lancar pendengarannya sehingga
ia mengajar dari apa yang diperolehnya lewat hafalan.
3. Mudzakarah
Dalam kajian ilmu-ilmu humaniora, istilah mudzakarah paling
sering dalam arti diskusi ilmiah. Dalam suatu mudzakarah beberapa orang
terlibat dalam suatu percakapan tentang suatu tema atau pelajaran tertentu ;
mereka saling bertukar pendapat dan pengetahuan, agar setiap cendikia yang
terlibat memperoleh manfaat, begitu pula orang yang hadir untuk mendengarkan
saja.[14]
Istilah mudzakarah tidak hanya digunakan dalam satu aspek saja,
tetapi juga sering digunakan sebagai petunjuk percakapan yang dapat memberikan
pertukaran ilmu pegetahuan (seperti seminar).Mudzakarah juga digunakan sebagai
metode mempelajari dan mengahafal materi studi sastra khususnya ilmu qawa’id
an-nahwu.
4.
Munazharah
Munazharah merupakan suatu metode pendidikan Islam pada masa
klasik, yaitu dengan cara berdiskusi. Makdisi menjelaskan bahwa munazharah
merupakan suatu cara untuk menambah ilmu pengetahuan dengan cara mengundang
orang lain dan memperdebatkan masing-masing pendapat yang disertai dengan argumentasi
yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam munazharah, kepasihan lidah berbicara
dan memiliki ilmu yang luas sangat dihandalkan. Perdebatan (munazharah) juga
merupakan alat untuk mencapai kemajuan ilmu pengetahuan.
Salah satu contoh ulama yang dicatat sebagai ahli munazarah
adalah Imam Syafi’i yang terkenal sebagai seorang yang suka melakukan munazarah
untuk mencari kebenaran tentang satu soal tertentu.
Ada fungsi dari munazarah ini yang sangat mendasar yaitu
mengenai pemanfaatan orang yang memiliki keilmuan yang tinggi yang bisa
dijadikan rujukan khususnya bidang keilmuan mulai dari zaman klasik sampai
modern.
5. Metode Dikte (Imla’)
Metode ini dilaksanakan oleh guru dengan cara memberikan
pelajaran dari hafalan, atau dari catatan yang telah ditulisnya lebih dahulu
untuk dibacakan kepada para murid. Pendiktean dilakukan dengan lambat, yaitu
satu-satu alinea atau satusatu hadits, disertai dengan menyebutkan sanadnya,
dan para murid menuliskan apa yang di diktekan guru mereka. Setelah guru
selesai mendiktekan materi pelajaran dan memberikan penjelasan atau penafsiran
terhadap materi tersebut serta murid telah selesai mencatatnya dengan baik.
Guru seringkali membacakan apa-apa yang telah didiktekannya.
Atau disuruhnya salah seorang murid untuk membacakannya, lalu diberikan
pembetulan-pembetulan jika terdapat kesalahan-kesalahan atau
kekurangan-kekurangan pada penulisan para murid.
6. Rihlah Ilmiyah
Rihlah Ilmiyah digunakan untuk setiap perjalanan guna menuntut
ilmu, mencari tempat belajar yang baik, mencari guru yang lebih bisa memimpin
pelajaran dengan baik pula, atau juga perjalanan seseorang ilmuan ke berbagai
tempat, apakah dia secara formal melakukan aktivitas akademis atau sebaliknya.
Dengan demikian rihlah‘ilmiyah bisa saja mencakup sebuah
perjalanan yang memang direncanakan untuk tujuan ilmiah (belajar, mengajar,
diskusi, mencari kitab dan lain sebagainya), atau sekedar perjalanan biasa yang
dilakukan oleh orang-orang yang terlihat dalam kegiatan keilmuan.Selanjutnya
Hasan Asari juga menjelaskan tentang praktek Rihlah Ilmiyah dapat juga
ditemukan dalam nas-nas dasar-dasar dasar agama Islam, baik dalam al-Qur’an
maupun hadits. Abu Hamid al-Ghazali, misalnya, menganjurkan rihlah ilmiyah dan
bahkan memandangnya sebagai pendukung penting yang dapat membantu keberhasilan
seseorang dalam kegiatan menuntut ilmu pengetahuan. Begitu pula dengan Ibn
Khaldun, dia melihat manfaat yang sangat besar dari praktek ini. Al-Khatib
al-Baghdadi juga memandang rihlah ilmiyah memiliki relevansi yang sangat
tinggi,khususnya dalam bidang hadis, sehingga ia menulis sebuah buku khusus
membahas tema tersebut.
Ibn ‘Abd al-Barr juga menyisipkan sebuah pembahasan mengenai
praktek rihlah ilmiyah. Perkembangan rihlah ilmiyah ini juga ternyata tidak
diketahui secara jelas kapan dimulainya, namun sejarah menunjukkan bahwasanya
pada masa Rasulullah juga sudah ada karena beliau pernah mengutus sahabat Muaz
Ibn Jabal ke negeri Yaman dengan tujuan sebagai guru. Rihlah Ilmiyah ini juga
memiliki fungsi dalam peradaban intelektual Islam klasik.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kurikulum pada zaman klasik secara garis besar sudah ada walau
tidak ada bukti tertulis tentang kurikulum tersebut, nyatanya yang lebih
mendominasi pada sebuah madrasah adalah kurikulum yang didalamnya adalah muatan
tentang agama. Adapun yang biasa yang menentukan kurikulum adalah orang-orang
yang mempunyai otoritas atau penyusun perencanaan mata pelajaran pendidikan
Islam klasik adalah ulama yang menguasai bidangnya masing-masing.
Pada perkembangan berikutnya kurikulum pendidikan Islam merujuk kepada
al-Qur’an dan hadis. Secara umum materi yang diajarkan adalah ilmu naqliyah dan
aqliyah. Maka kurikulum pendidikan Islam klasik cukup variatif berdasarkan
jenjang pendidikannya. Berikut perkembangan kurikulum menurut jenjangnya:
Kurikulum tingkat rendah, kurikulum tingkat menengah dan kurikulum tingkat atas.
Sistem pendidikan adalah suatu pola menyeluruh dalam
lembaga-lembaga formal, agen-agen dan organisasi yang memindahkan pengetahuan
dan warisan kebudayaan yang mempengaruhi pertumbuhan sosial, spiritual dan
intelektual individu manusia.
a)
Lembaga Pendidikan antara lain: Maktab atau Kuttab, Masjid dan
Jami’, Darul Hikmah Darul Ilmi, dan Madrasah.
b)
Lembaga-lembaga Pendidikan lain, seperti : Dar al-Qur’an al
Hadits, Daaru Kutab(perpustakaan) , Al- Bimaristan ( tempat mempelajari ilmu
kedokteran secara praktis) dan lembaga pendidikan Sufi.
Metode pendidikan Islam adalah segala cara dan usaha yang
sistematis dan pragmatis untuk mencapai tujuan pendidikan Islam, dengan melalui
berbagai aktivitas yang melibatkan guru sebagai pendidik dan murid sebagai anak
didik. Ahli sejarah mencatat, setidaknya ada beberapa bentuk metode pendidikan yang
diterapkan yaitu : halaqah, hafalan, munazarah, ,mudzakarah, Imla’ dan rihlah ilmiah.
B. Saran
Sejak zaman dahulu, lembaga pendidikan islam
klasik telah menerapkan kurikulum serta menjalankan berbagai metode dan
setrategi dalam proses pendidikan Islam. Maka kita yang hidup pada era
globalisasi ini hendaklah meniru berbagai metode dan setrategi proses
pendidikan tersebut, tentunya dengan mengkombinasikan dengan perkembangan imtek
dan kemajuan zaman saat ini, serta mengembangkan segi kreatifitas kita sebagai
tenaga pendidik.
[1] Bukhori Umar, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta :
Amzah, 2010) , h.162
[2] Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, ( Cet. 14
Jakarta: Bumi Aksara, 2014), h.16.
[3] Kunandar , Guru Profesional Implementasi Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru,(Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 122.
[4] Abbudin Nata (Ed), Sejarah Pendidikan Islam Pada Priode Klasik
dan Pertengahan, (Cet2 April 2010 ),h. 115.
[6] Ali Al Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam,( Jakarta:
Rineka Cipta, 1994 ), h. 58.
[10] Hasan Asari, Menyikap Zaman Keemasan Islam, (Bandung:
Citapustaka Media, 2007),h. 109-110.
[11]. Ibid, h.10.
[12] . Maksidi, dalam Hasan
Asari, ibid, h. 51.
[13] . Hasan Asari, Ibid,
h.51.
[14] . George A. Makdisi,Cita
Humanisme Islam Panorama,….h. 315-316
0 komentar:
Posting Komentar