BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Idealnya ilmu pengetahuan bebas
asumsi. Ini dikarenakan ilmu pengetahuan sebenarnya berasal dari kritik
terhadap filsafat idealisme yang selalu terjebak dalam asumsi. Ilmu pengetahuan
ingin membuang asumsi-asumsi yang tak berdasar dan menggantikannya dengan
sebuah pemikiran yang murni Induksi. Berasal dari pengamatan yang jelas tanpa
terjebak dengan teori-teori lalu yang bisa salah. Semua pernyataan harus
dibuktikan secara empiris. Sayangnya hal semacam ini sangat tidak mungkin. Ilmu
pengetahuan akan selalu menyimpan asumsi di dalamnya. Dalam sebuah percobaan
seorang ilmuan tidak bisa tidak terperangkap dalam sebuah kondisi
sosio-historis-kultural.
Dalam mendapatkan pengetahuan
seorang ilmuwan/peneliti harus membuat bermacam asumsi mengenai objek-objek
empiris karena dalam menentukan asumsi hanya bisa dilakukan oleh si
ilmuwan/peneliti sendiri sebelum melakukan kegiatan penelitian, apakah
sebenarnya yang ingin dipelajari dari suatu ilmu yang akan ditelitinya. Semakin
banyak asumsi akan semakin sempit ruang gerak penelitiannya. Asumsi diperlukan
karena pernyataan asumtif inilah yang memberi arah dan landasan bagi kegiatan
penelaahan. Suriasumantri menyatakan bahwa sebuah pengetahuan baru dianggap
benar selama bisa menerima asumsi yang dikemukakan, Semua ilmu mempunyai
asumsi-asumsi ini, baik yang dinyatakan secara tersirat maupun secara tersurat.
Dalam mengembangkan ilmu, kita harus bertolak dengan mempunyai asumsi/anggapan
yang sama. Untuk itu, kami akan membahas makalah tentang asumsi-asumsi dasar
proses keilmuan manusia.
B.
Rumusan Masalah
Dari pendahuluan di atas tentunya banyak pertanyaan
yang muncul mengenai asumsi-asumsi dasar proses keilmuan manusia, diantaranya
adalah:
1.
Apa
pengertian asumsi-asumsi dasar proses keilmuan manusia ?
2.
Bagaimana asumsi-asumsi dasar proses keilmuan manusia dari segi
rasionalisme dan empirisisme?
3.
Bagaimana asumsi-asumsi dasar proses keilmuan manusia dari segi
kritisisme dan intuisionisme?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
asumsi-asumsi dasar proses keilmuan manusia
Dalam sebuah
percobaan beberapa orang ilmuan mencoba mengetahui apa saja yang mempengaruhi
titik didih sebuah benda. Dia kemudian meletakkan air di sebuah teko besi dan
merebus benda itu dengan api. Kemudian berturut-turut mereka memakai teko
perunggu, teko emas, teko perak. Ini untuk menentukan apakah wadah
mempengaruhi titik didih air. Salah seorang filsuf lewat sambil mengorek-orek
hidungnya. “Eh, kenapa kalian merebus benda itu?”. Ilmuan-ilmuan itu kemudian
menjawab “Eh, kami sedang mengadakan percobaan dengan merebus benda itu?” Sang
filsuf kemudian bertanya “Tidakkah kalian pikir bahwa warna juga mempengaruhi,
bagaimana kalau kalian coba wadah dengan berbagai warna”. Para ilmuan tertawa
“Mana mungkin warna mempengaruhi titik didih”. Ini menunjukkan bahwa sebelum
melakukan penelitian ilmuan sudah memiliki asumsi. Asumsi itu adalah bahwa beda
jenis wadah akan mempengaruhi titik didih api, bukan warna. Mereka juga tidak
memilih penelitian dalam berbagai bentuk wadah. Ini artinya sebelum penelitian
dilakukan, mereka sudah memiliki asumsi sehingga akan berpengaruh dengan
penelitian.
Dari cerita
di atas, asumsi dapat diartikan sebagai dugaan yang diterima sebagai dasar atau
landasan berfikir karena dianggap benar. Sedangkan pengertian asumsi dalam
filsafat ilmu ini merupakan anggapan/ andaian dasar tentang realitas suatu
objek yang menjadi pusat penelaahan atau pondasi bagi penyusunan pengetahuan
ilmiah yang diperlukan dalam pengembangan ilmu. Tanpa asumsi anggapan orang
atau pihak tentang realitas bisa berbeda, tergantung dari sudut pandang dan
kacamata apa. Ernan McMullin seorang Professor Emeritus filsafat di Universitas
of Notre Dame, USA (2002) pun menyatakan tentang pentingnya keberadaan asumsi
dalam suatu ilmu pengetahuan, ia mengatakan bahwa hal yang mendasar yang harus
ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan adalah menentukan asumsi pokok (the
standard presumption) keberadaan suatu objek sebelum melakukan penelitian.
Secara garis
besar kita mengambil contoh dua bidang ilmu yang berbeda yaitu antara ilmu social
dan sains.Petama, dalam ilmu ekonomi (salah satu cabang ilmu social),
asumsi dikenal dengan istilah Cateris Paribus, istilah ini seringkali
digunakan sebagai suatu asumsi yang menyederhanakan beragam formulasi dan
deskripsi dari berbagai anggapan ekonomi, contohnya asumsi akan harga suatu
barang, dinyatakan bahwa harga barang akan meningkat ketika permintaan terhadap
barang tersebut meningkat. Kedua, dalam ilmu sains, asumsi
disebut dengan istilah Kausalitas, yaitu suatu asumsi dasar yang
dibangun oleh hubungan antara suatu kejadian (sebab) dan kejadian kedua
(akibat/dampak) yang mana kejadian kedua dipahami sebagai konsekuensi dari yang
pertama, contohnya asumsi tentang hujan, dinyatakan bahwa adanya awan
tebal dan langit gelap/mendung merupakan pertanda akan turun hujan, hal
tersebut bukanlah suatu kebetulan tetapi memang polanya sudah demikian,
kejadian tersebut akan terus berulang dengan pola yang sama.
B.
Asumsi-asumsi
dasar proses keilmuan manusia dari segi rasionalisme dan empirisisme
1. Rasionalisme
Rasionalisme
merupakan salah satu paham filsafat yang lahir pada abad ke 17. Yang
memberi alas aliran ini adalah Rene Descartes, yang disebut juga bapak filsafat
Modern, meskipun gagasan ini senyatanya sudah muncul saat Plato.
Rasionalisme
berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat dipercaya adalah
rasio atau akal. Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi
syarat yang dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah dan akan sampai pada
pengetahuan yang sebenarnya, sejati dan tak pernah salah. Konsekuensinya
menolak anggapan bahwa pengetahuan yang sebenarnya diperoleh melalui pengalaman
atau panca indera. Bagi mereka, akal saja sudah cukup memberi pemahaman tentang
sesuatu.
Dalam rasio
terdapat ide-ide, dengan itu orang dapat membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa
menghiraukan realitas di luar rasio. Dalam memahami aliran rasionalisme, kita
harus memperhatikan dua masalah utama yang keduanya diwarisi dari Descartes.
Pertama, masalah subtansi, kedua, masalah hubungan antara jiwa dan
tubuh.
Descartes
menyimpulkan bahwa selain dari Allah ada dua subtansi, pertama, jiwa
yang hakikatnya adalah pemikiran. Kedua, materi yang hakikatnya adalah
kaluasan. Bagi Descartes, satu-satunya alasan menerima adanya dunia material
adalah bahwa Allah akan menipu saya kalau sekiranya ia memberi saya ide
keluasan, sedangkan di luar tidak ada sesuatu pun yang sesuai denganya. Nah,
tidak mungkin bahwa wujud yang sempurna menipu saya. Jadi, diluar saya sungguh-
sungguh ada suatu dunia material.
Descartes
memandang manusia sebagai makhluk dualitas. Manusia terdiri dari dua subtansi:
jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan.
Sebenarnya tubuh tidak lain dari pada mesin yang dijalankan oleh jiwa. Karena
setiap subtansi yang satu sama sekali terpisah dari subtansi yang lain, maka
kiranya sudah nyata bahwa Descartes menganut suatu dualisme tentang manusia.
Itulah sebabnya Descartes mempunyai banyak kesulitan untuk mengartikan pengaruh
tubuh atas jiwa, dan sebaliknya, pengaruh jiwa atas tubuh. Satu kali ia
mengatakan bahwa kontak antara tubuh dengan jiwa berlangsung dalam grandula
pincalis(sebuah kelenjar kecil yang letaknya dibawah otak kecil). Tetapi,
akhirnya pemecahan ini tidak memadai bagi Descartes sendiri.
Metode yang
diterapkan adalah deduktif. Teladan yang dikemukakan adalah ilmu pasti. metode
penalaran deduksi, yaitu proses penalaran yang bertolak dari premis mayor, yang
universal, yang sudah diyakini dan atau dibuktikan kebenarannya. Pengetahuan
yang didapatkan dari penalaran deduksi ini pasti akan menghasilkan ilmu yang
apriori. Dikatakan apriori karena manusia sebenarnya sudah mengetahui
pengetahuan itu sebelum dan mendahului pengalaman. Apriori sendiri berarti dari
yang dahulu atau sebelumnya. Jadi pengetahuan apriori adalah pengetahuan yang
bersal dari pernyataan atau proposisi awal yang sudah dibuktikan kebenarannya.
Dengan
metode “keragu-raguan”, pemikir Rene Descartes (1596-1650) ingin mencapai
kepastian. Jika orang ragu-ragu, maka tampaklah bahwa ia berfikir, dan juga
tampak dengan segera adanya sebab pemikir itu. Oleh karena itu, dari metode keraguan
ini muncul kepastian tentang adanya sendiri. Dirumuskan olehnya dengan istilah ogitoergosum,
artinya: saya berfikir, saya ada”
2. Empirisisme
Yang
berlawanan dengan rasionalisme adalah empirisisme. Paham ini idenya dari
Aristoteles, yang kemudian dikonkretkan oleh John Locke dan di antara
pengikutnya adalah David Hume dan Barkeley.
Bagaimana
telah disinggung terdahulu bahwa empirisme telah memberi tekanan pada empiric
atau pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Istilah ini berasal dari kata
Yunani, emperia yang berarti pengalaman inderawi. Oleh sebab itu,
empirisme dinisbatkan kepada paham yang memilih pengalaman sebagai sumber utama
pengenalan yang dimaksudkan denganya ialah baik pengalaman lahiriah yang
menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi manusia
saja. Akal bukan jadi sumber pengetahuan, tetapi akal mendapat tugas untuk
mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman. Yang termasuk dalam
pengalaman di sini adalah pengalaman yang terjadi dan berkat bantuan panca
indera atau disebut pengalaman fisik dan pengalaman psichis
Penganut
empirisisme berpandangan bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahuan bagi
manusia, yang jelas-jelas mendahului rasio. Tanpa pengalaman, rasio tidak
memiliki kemampuan untuk memberikan gambaran tertentu, kalaupun menggambarkan
sedemikian rupa, tanpa pengalaman, hanyalah khayalan belaka.
Kaum
rasionalisme berpendapat bahwa manusia sejak lahir telah dikaruniai idea
oleh Tuhan yang dinamakan ideainnatae (idea terang benderang atau idea
bawaan), maka pendapat kaum empiris berlawanan. Mereka mengatakan bahwa waktu
lahir jiwa manusia adalah putih bersih (tabularasa), tidak ada bekal
dari siapapun yang merupakan ideainnatea,
Hasil
pengetahuan yang diperoleh melalui induksi akan menghasilkan ilmu aposteriori.
Aposteriori sendiri berarti dari apa yang sesudahnya. Jadi pengetahuan
aposteriori adalah pengetahuan hasil dari pengalaman atau pengamatan terlebih
dahulu,
John Locke
(1632-1704), salah seorang penganut empirisisme, yang juga “Bapak Empirisisme”
mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan, keadaan akalnya masih bersih
ibarat kertas yang kosong yang belum bertuliskan apapun (tabularasa). Pengetahuan
baru muncul ketika indra manusia menimba pengalaman dengan cara melihat dan
mengamati berbagai kejadian dalam kehidupan. Kertas tersebut mulai bertuliskan
berbagai pengalaman indrawi. Seluruh sisa pengetahuan diperoleh dengan jalan
menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari pengindraan
serta refleksi yang pertama dan sederhana.
Akal semacam
tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil pengindraan. Hal ini
berarti bahwa semua pengetahuan manusia –betapapun rumitnya- dapat dilacak
kembali sampai pada pengalaman-pengalaman indrawi yang telah tersimpan rapi di
dalam akal. Jika terdapat pengalaman yang tidak tergali oleh daya ingatan akal,
itu berarti merupakan kelemahan akal, sehingga hasil pengindraan yang menjadi pengalaman
manusia tidak lagi dapat diaktualisasikan. Dengan demikian, bukan lagi sebagai
ilmu pengetahuan yang faktual.
Selain John
Locke, pada era modern, muncul pula George Barkeley (1685-1753) yang
berpandangan bahwa seluruh gagasan dalam pikiran atau ide datang dari
pengalaman dan tidak ada jatah ruang bagi gagasan yang lepas begitu saja dari
pengalaman. Oleh karena itu, ide tidak bersifat independen. Pengalaman konkret
adalah “mutlak” sebagai sumber pengetahuan utama bagi manusia, karena penalaran
bersifat abstrak dan membutuhkan rangsangan dari pengalaman. Berbagai gejala
fisikal akan ditangkap oleh indra dan dikumpulkan dalam daya ingat manusia,
sehingga pengalaman indrawi menjadi akumulasi pengetahuan yang berupa
fakta-fakta. Kemudian, upaya faktualitasnya dibutuhkan akal. Dengan demikian,
fungsi akal tidak sekedar menjelaskan dalam bentuk-bentuk khayali semata-mata,
melainkan dalam konteks yang realistik,
C.
Asumsi-asumsi
dasar proses keilmuan manusia dari segi kritisisme dan intuisionisme
1. Kritisisme
Harus diakui
bahwa kedua aliran rasionalisme dan empirisisme sama-sama bersifat ekstrim dan
eksklusif. Yang satu hanya mengakui akal atau rasio, sedangkan yang lainnya
hanya mengakui pengalaman atau empiri. Keduanya sama-sama menafikan keberadaan
yang lain.
Immanuel
Kant adalah filosof yang paling berjasa mendamaikan dua kutub ekstrim ini. Bagi
kant bahwa kendatipun pengetahuan berasal dari pengalaman panca indera, namun
dalam rasio manusia sesungguhnya telah ada kategori-kategori, bentuk, atau
forma sebagai wadah setelah kita menangkap benda-benda itu secara inderawi.
Dengan demikian menurut Kant sumber ilmu adalah rasio dan pengalaman.
Adapun untuk
mencapai pengetahuan yang sebenarnya menurut Kant adalah melalui daya
pengenalan dari tingkat terendah yang berasal dari pengamatan inderawi sampai
meningkat menuju yang lebih tinggi yaitu akal (verstand), untuk kemudian
sampai pada intelek atau rasio (vernunft), Tahapannya adalah sebagai
berikut:
a.
Benda-benda
ada pada dirinya sendiri, an sich, tentu saja ada, tetapi tidak dapat
diselidiki. Yang bisa diamati adalah benda-benda sejauh mereka menjadi obyek
yang diselidiki
b.
Yang diamati
oleh panca indera itu gejala-gejalanya saja. Keliru sekali bila ada yang
mengira bahwa antara gejala dan bendanya an sich adalah sama.
c.
Gejala dari
benda yang diamati masuk ke dalam dua bentuk apriori ruang dan waktu. Ruang dan
waktu ini adanya mendahului pengalaman atau adanya sudah terpatri di akal.
d.
Dari
pengamatan masuk ke dalam bidang akal (verstand). Di akal ada 12
kategori, yaitu: kuantitas (kesatuan, kebanyakan, keseluruhan), kualitas
(realitas, negasi, limitasi), relasi (subtansi dan aksidensi, sebab an akibat,
interaksi), modalitas (mungkin/tidak mungkin, ada/tiada, keperluan/ kebetulan).
e.
Di belakang
akal, ada tiga ide, yaitu ide kosmologis yang mengtur penghayatan manusia
tentang adanya jiwa, tempat pengalaman batin, dan ide teologis yang mewadahi
pengalaman lahir dan batin. Tiga ide ini ada di bidang intelek atau rasio.
f.
Seluruh
analisa ini mengandaikan suatu subyek, suatu “aku” yang sedang berfikir.
Analisa ini mengandaikan seorang “pemilik” bentuk-bentuk apriori ruang dan
waktu, kategori-kategori, dan ide-ide.
Sedangkan
cara-cara mengompromisasikan anatara kedaulatan akal budi dengan pengalaman
adalah sebagai berikut: “Bagaimana, fungsi akal adalah yang pertama dan utama,
namun akal harus mengakui persoalan-persoalan yang ada di luar jangkauannya.
Pada waktu akal tidak mampu meraih pengetahuan, di sinilah batas-batas di mana
ketentuan-ketentuan akal itu tidak berlaku lagi, dan sejak itulah fungsi
pengalaman tampil sebagai suatu cara pencapaian pengetahuan.
Dalam kritik
atas Rasio Murni, I. Kant membedakan tiga macam pengatahuan.
a)
Pengetahuan
analitis: predikat sudah termuat dalam subjek. Predikat diketahui melalui suatu
analisis subjek. Misal, lingkaran itu bulat.
b)
Pengetahuan
sintesis aposteriori: predikat dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman
indrawi. Misal, kalimat “hari ini sudah hujan”, merupakan suatu hasil observasi
indrawi “sesudah” observasi saya, saya bisa mengatakan bahwa S adalah P.
c)
Pengetahuan
sintesis apriori: akal budi dan pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Ilmu
pasti, ilmu pesawat, ilmu alam bersifat sintesis apriori.
2. Intuisionisme
Menurut
aliran ini bahwa intuisi merupakan salah satu sarana untuk mengetahui secara
langsung dan seketika, disamping pengalaman oleh akal. Sumber pengetahuan
adalah pengalaman pribadi.
Pelopor
aliran ini adalah Henry Bergson. Bagi Bergson, pengetahuan dibagi menjadi 2
(dua), yaitu pengetahuan mengenai (knowledge about) dan pengetahuan
tentang (knowlegde of). Pengetahuan yang pertama disebut pengetahuan
diskursif atau simbolis dan pengetahuan kedua disebut pengetahuan langsung atau
pengetahuan intuitif.
Atas dasar
perbedaan ini, Bergson menjelaskan bahwa pengetahuan diskursif diperoleh
melalui simbol-simbol yang mencoba menyatakan kepada kita mengenai sesuatu
dengan jalan berlaku terjemahan bagi sesuatu itu. Oleh karenanya, dia
tergantung pada pemikiran dari sudut pandang atau kerangka acuan tertentu yang
dipakai dan sebagai akibat maupun kerangka acuan yang digunakan itu. Sebaliknya
pengetahuan intuitif adalah merupakan pengetahuan yang nisbi ataupun lewat perantara.
Dia mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis yang pada dasarnya bersifat
analitis dan memberikan pengetahuan simbolis yang pada dasarnya bersifat
analitis dan memberikan pengetahuan tentang obyek secara keseluruhan. Maka dari
itu, menurut Bergson, intuisi adalah sesuatu sarana untuk mengetahui secara
langsung dan seketika.
Lebih lanjut
Bergson menyatakan bahwa intuisi adalah naluri (instinc) yang menjadi
kesadaran diri sendiri dan dapat menuntun kita kepada kehidupan batin. Jika
intuisi dapat meluas maka dia dapat memberi petunjuk dalam hal-hal yang vital.
Jadi, dengan intuisi kita dapat menemukan elan vital atau dorongan yang vital
dari dunia langsung, bukan melalui indera atau akal.
Harodl H.
Titus menyatakan bahwa intuisi adalah suatu jenis pengetahuan yang lebih
tinggi, wataknya berbeda dengan pengetahuan yang diungkapkan oleh indera dan
akal, dan bahwa intuisi yang ditemukan orang dalam penjabaran-penjabaran mistik
memungkinkan kita untuk mendapatkan pengetahuan langsung yang mengatasi pengetahuan
kita yang diperoleh melalui indera dan akal.
Dalam
tradisi Islam, pengetahuan intuitif dikenal dalam sufisme yang mana para sufi
menyebut pengetahuan ini hasil dari perasaan yang mendalam atau dzauq
yang berkaitan dengan persepsi batin. Pengetahuan ini di anugrahkan Tuhan
kepada seseorang yang dipilih-Nya sehingga tersingkapkah olehnya sebagai
rahasia dan tampak olehnya sebagai realitas yang tak bisa diketahui melalui
rasio ataupun indera.
Perolehan
pengetahuan ini bukan dengan jalan penyimpulan logis sebagaimana pengetahuan
rasional melainkan dengan kesalehan sehingga seseorang yang memiliki
pengetahuan ini, memiliki juga kejernihan jiwa dan wawasan spiritual yang
prima.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat
disimpulkan bahwasannya asumsi dapat diartikan sebagai dugaan yang diterima
sebagai dasar atau landasan berfikir karena dianggap benar. Sedangkan
pengertian asumsi dalam filsafat ilmu merupakan anggapan/andaian dasar tentang realitas
suatu objek yang menjadi pusat penelaahan atau pondasi bagi penyusunan
pengetahuan ilmiah yang diperlukan dalam pengembangan ilmu.
Asumsi-asumsi dasar proses keilmuan
manusia dari segi rasionalisme pelopor utamanya Rene Descartes, bahwa
sumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat dipercaya adalah rasio atau akal.
Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat yang
dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah dan akan sampai pada pengetahuan yang
sebenarnya, sejati dan tak pernah salah. Sedangkan Yang berlawanan dengan
rasionalisme adalah empirisisme. Paham ini idenya dari Aristoteles yang
kemudian dikonkretkan oleh John Locke, bahwa pengalaman merupakan sumber
pengetahuan bagi manusia, yang jelas-jelas mendahului rasio. Tanpa pengalaman,
rasio tidak memiliki kemampuan untuk memberikan gambaran tertentu, kalaupun
menggambarkan sedemikian rupa, tanpa pengalaman, hanyalah khayalan belaka.
Asumsi-asumsi dasar proses keilmuan
manusia dari segi kritisisme dipelopori oleh Immanuel Kant bahwa kendatipun
pengetahuan berasal dari pengalaman panca indera, namun dalam rasio manusia
sesungguhnya telah ada kategori-kategori, bentuk, atau forma sebagai wadah
setelah kita menangkap benda-benda itu secara inderawi. Dengan demikian menurut
Kant sumber ilmu adalah rasio dan pengalaman. Sedangkan asumsi-asumsi dasar
proses keilmuan manusia dari segi Intuisionisme dipelopor Henry Bergson,
menurut aliran ini bahwa intuisi merupakan salah satu sarana untuk mengetahui
secara langsung dan seketika, disamping pengalaman oleh akal. Sumber
pengetahuan adalah pengalaman pribadi.Dalam tradisi Islam, pengetahuan intuitif
dikenal dalam sufisme yang mana para sufi menyebut pengetahuan ini hasil dari
perasaan yang mendalam atau dzauq yang berkaitan dengan persepsi batin.
DAFTAR PUSTAKA
Beni Ahmad Saebani. 2009. Filsafat
Ilmu (Kontemplasi filosofis tentang seluk beluk, sumber, dan tujuan ilmu
pengetahuan).CV Pustaka Setia: Bandung
Harun Hadiwijono. 1980. Sari
Filsafat Barat. Yayasan Kanisius: Yogyakarta
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Cateris_paribus, diunduh
selasa, 25 Febuari 2014
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Kausalitas, diunduh selasa, 25 Febuari
2014
http://naomiputri.blogspot.com/2009/01/asumsi.html, diunduh
selasa, 25 Feb 2014
Juhaya S. Praja. 2003. Aliran-Aliran
Filsafat & Etika. Prenada Media: Bogor
Jujun S. Suriasumantri. 2003. Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer. PT Total Grafika Indonesia: Jakarta
K. Bertens. 1983. Ringkasan
Sejarah Filsafat. Yayasan Kanisius : Yogyakarta
Suparlan Suhartono. 2004.Dasar-Dasar
Filsafat.Ar-Ruzz: Yogyakarta
Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat
Suatu Pengantar.PT Bumi Aksara: Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar