A.
Latar Belakang Masalah
Tahun 1989 di
Perancis Lima Wanita bersikeras mengenakan kerudung dilarang mengikuti kelas
“secara alami”, kerudung merupakan ajakan beragama dan memberi tekanan bagi
muslim lainnya yang tak mengenakan kerudung. Pemerintah secara formal, meskipun
barangkali hanya di permukaan, menyesuaikan kebijakan Negara menciptakan badan
umum yang memiliki kewenangan memadai.[1]Kejadian
di atas salah satu contoh bagaimana peran Negara dalam pendidikan yang memiliki
kuasa dalam moral maupun etika pelaksanaan pendidikan.
Setiap
masyarakat membutuhkan negara untuk melaksanakan fungsi-fungsi penting seperti
mempertahankan kedaulatan dari ancaman luar, menjaga perdamaian dan keamanan
publik dalam wilayahnya, menyelesaikan perselisihan antarwarga serta
menyediakan pelayanan yang dibutuhkan untuk kebaikan mereka. Agar negara bisa
menjalankan fungs-fungsi tersebut, ia harus memilih salah satu dari sejumlah
kebijakan yang saling bertentangan dan mempunyai monopoli yang efektif untuk
menggunakan kekuatannya dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan tersebut.
Oleh karena itu tujuan pendidikan di tiap-tiap Negara, tidak selalu tetap
sepanjang masa, tetapi sering mengalami perombakan, perubahan atau penggantian,
sesuai dengan perkembangan zaman.[2]
Hubungan antara
pendidikan dan politik bukanlah suatu hal yang baru.Sejak zaman Plato dan
Aristoteles, para filsuf dan pemikir politik telah memberikan perhatian cukup
intens kepada masalah ini.Kanyataan ini misalnya ditegaskan dengan ungkapan “As
is the state, so is the school” (“Sebagaimana Negara, seperti itulah
sekolah”), atau “What you want in the state, you must put into the school” (Ápa
yang anda inginkan dalam Negara, harus anda masukkan ke sekolah”)[3]
Ada perbedaan fundamental antara kualitas
pemimpin politik dan pemimpin agama yang
notabene adalah memiliki otoritas pendidikan Islam dalam cara penunjukkan atau pemilihan mereka
dan bentuk serta jangkauan otoritasnya terhadap pengikutnya. Mungkin saja
beberapa pemimpin politik juga memiliki kesalehan dalam beragama dan
pengetahuan. Begitupun pemimpin agama, mereka bisa memiliki keterampilan
berpolitik dan kemampuan untuk menggunakan kekuasaan kursif. Bahkan nampaknya
umat Islam mengharapkan masing-masing pemimpin memiliki kualitas yang lain.
Seorang pemimpin politik misalnya diharapkan memiliki tingkat kesalehan dan
pengetahuan tertentu, sementara pemimpin agama juga diharuskan memiliki
keterampilan berpolitik untuk bisa memenuhi peran mereka dalam masyarakat.
Namun, penguasa manapun tidak akan mengijinkan adanya penilaian independen
terhadap tingkat kesalehan dan pengetahuannya, apalagi jika itu dikaitkan
dengan klaim legitimasi mereka atas kekuasaan. Sebaliknya, keterampilan politik
pemimpin agama bisa dinilai melalui interaksi inter-personal yang damai dan
tanpa kekerasan. Suatu hal yang tidak realistis untuk mengharapkan penguasa
melepaskan kekuasaan kursifnya karena masyarakat menilai tingkat kesalehan dan
pengetahuan mereka tidak cukup. Sama tidak realistisnya mengharapkan pemimpin
agama melepaskan otoritas mereka hanya karena kualitas dan keterampilan
politiknya tidak memuaskan. Namun, membiarkan orang yang sama untuk memiliki
kedua otoritas ini pun merupakan hal yang berbahaya dan kontra produktif,
karena tidak mungkin memecatnya tanpa resiko terjadinya kekacauan sipil dan
kekerasan.
Karena legitimasi keagamaan merupakan hal yang penting
bagi penguasa untuk mempertahankan otoritas politiknya terhadap ummat Islam,
tak heran jika kecenderungan mengklaim bahwa mereka memiliki otoritas
keagamaan, penguasa harus menyeimbangkan kontrol mereka terhadap pemimpin agama
dengan membiarkan mereka tetap mempertahankan otonomi relatifnya. Otonomi
inilah yang justru menjadi sumber kekuatan untuk memberikan legitimasi bagi
otoritas penguasa. Tapi, penguasa juga tidak bisa memberikan kebebasan
sepenuhnya kepada pemimpin agama, karena mereka mungkin menggunakan kebebasan
itu untuk melemahkan otoritas politik negara. Pemimpin agama, memang, harus
bersikap kritis kepada negara karena dengan cara demikian, mereka bisa
mempertahankan otoritas keagamaan mereka di tengah-tengah komunitas dan juga
mendorong negara untuk mengontrol mereka.Dengan demikian, semakin besar otonomi
pemimpin agama, semakin besar pulalah tantangan mereka bagi otoritas politik
negara. Tetapi, jika mereka dianggap dikontrol oleh negara, semakin kecil
pulalah kemungkinan masyarakat menerima penilaian mereka bahwa negara sesuai
dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan kata lain, sejarah memperlihatkan bahwa
institusi agama dan negara memang harus dipisahkan, namun dalam praktiknya
keadaan ini sulit untuk dipertahankan.
Karena kuatnya kaitan antara masalah pendidikan
dan politik serta aspek-aspek publik lainnya, setiap kebijakan pemerintah di
bidang pendidikan pada umumnya merefleksikan pandangan tentang masyarakat dan
keyakinan politiknya.Dalam pendidikan tersalur kemauan-kemauan politik atau
kemauan kekuasaan dalam suatu Negara atau masyarakat.Dari waktu ke waktu
pemerintah membuat kebijakan-kebijakan pendidikan atas dasar
pertimbangan-pertimbangan politik.Terbentuknya suatu kebijakan pendidikan pada
dasarnya merupakan hasil dari suatu perjuangan politik dari berbagai kelompok
kepentingan.Kesepakatan politik yang diperoleh adalah landasan bagi para
pengambil keputusan untuk menetapkan kebijakan dalam pembangunan
pendidikan.Perjuangan politik ini wujudnya adalah perjuangan untuk meyakinkan
berbagai kelompok kepentingan (interest group) dan kelompok penekan (pressure
groups) dalam suatu tatanan politik Negara. Maka dari itu, dalam menentukan
arah kebijakan pendidikan, Negara mempunyai peranan yang sangat strategis dalam
dalam proses pendidikan dan telah menjadikan pendidikan sebagai upaya untuk
melestarikan status-quo kekuasaan.
Keberhasilan pendidikan bagi sebuah bangsa atau
sangat tergantung dengan keseriusan politik pemerintah, apabila sistem politik
yang dipergunakan oleh Negara tersebut stabil, maka kualitas outcome
pendidikanpun lebih baik dan sebaliknya.Peningkatan kualitas pendidikan
bukanlah tugas yang ringan, karena tidak hanya berkaitan dengan permasalahan
teknis, tetapi mencakup berbagai persoalan yang rumit dan kompleks, sehingga
menuntut manajemen pendidikan saat ini belum mendapat perhatian yang maksimal
dari pelaksana politik pendidikan atau pemerintah.Lemahnya kepedulian dan
kebijakan pendidikan yang belum memihak kepada manajemen pendidikan memberikan
dampak yang signifikan, terhadap pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia (SDM)
di masyarakat.Belum berfungsi secara maksimal mesin politik formal sehingga
berpengaruh terhadap politik pendidikan di Negara ini.Oleh karena itu,
pemahaman politik pendidikan dalam perspektif Islam mutlak diperlukan.
Politik penyelenggaraan pendidikan dalm suatu
masyarakat selalu dilatarbelakangi oleh pertimbangan-pertimbangan subjektif
masing-masing masyarakat, misalnya filosofi, politik, sosial, dan lain-lainnya.
Apabila pertimbangan-pertimbangan tersebut dimengerti secara utuh akan
mendukung pendidikan secara mantap, karena proses dan praktik pendidikan
merupakan bentuk aktualisasi keinginan warga negara atau masyarakat. Manakala
keinginan masyarakat adalah merupakan sebuah cita-cita sosial ( social ideals).
Untuk mewujudkan cita-cita sosial tersebut memerlukan politik pendidikan yang
kokoh dan integrated atau komprehensif.
B.
Hakekat Politik
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Pengertian
politik tinjauan terminology sering dikaitkan dengan bermacam-macam kegiatan
sampai dalam sistim politik ataupun negara yang menyangkut proses penentuan
tujuan sampai dalam melaksanakan tujuan tersebut. Disamping itu, juga
menyangkut pengambilan keputusan (Decision Making) tentang apakah yang
menjadi tujuan sistim politik yang menyangkut seleksi antara beberapa
alternatif serta penyusunan untuk membuat skala prioritas dalam menentukan
tujuan-tujuan kekuasaan.Konsepsi kekuasaan diartikan “distribusi penguasaan kekuatan” dan inilah
inti dari politik.[4]
Politik adalah seni dan
ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda,
yaitu antara lain:
1.
Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan
bersama (teori klasik Aristoteles)
2.
Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan
negara
3.
Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan
mempertahankan kekuasaan di masyarakat.
Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan
politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik.
C.
Hubungan Politik dan Pendidikan
Pendidikan
dan politik adalah dua elemen penting dalam system sosial politik disetiap
Negara, Baik Negara maju maupun Negara berkembang. Keduanya sering dilihat
sebagai bagian – bagian yang terpisah, yang satu sama lain tidak memiliki
hubungan apa – apa. Padahal, keduanya bahu membahu dalam proses pembentukan
karakteristik masyarakat disuatu Negara. Lebih dari itu, keduanya saling
menunjang dan saling mengisi lembaga – lembaga dan proses pendidikan berperan
penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat di Negara tersebut. Ada
hubungan erat dan dinamis antara pendidikan dan politik disetiap Negara.Hubungan
tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan
peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuan.
Banyak
sekali para pemikir yang merumuskan dan mengajarkan tentang, misalnya hak
kewajiban timbal balik antara penguasa dan rakyat.Bahkan para pemikir semacam
ini menerbitkan kitab-kitab panduan, termasuk karya al-Gahzali Nashihah
al-Mulk, yang diperuntukan bagi para penguasa dalam menjalankan
kekuasaannya.[5]
Pendidikan
sering dijadikan media dan wadah untuk menanamkan ideology Negara atau tulang
yang menopang kerangka politik. Di Negara – Negara barat kajian tentang
hubungan antara pendidikan dan politk dimulai oleh Plato dalambukunya Republic
yang membahas hubungan antara ideology dan institusi Negara dengan tujuan dan
metode pendidikan.
Plato
mendemonstrasikan dalam buku tersebut bahwa dalam budaya Helenik, sekolah
adalah salah satu aspek kehidupan yang terkait dengan lembanga – lembaga
politik.Plato menggambarkan adanya hubungan dinamis antara aktivitas
kependidikan dan aktivitas politik.Keduanya sakan dua sisi dari satu koin,
tidak mungkin terpisahkan.Analisis Plato tersebut telah meletakkan fundamental
bagi kajian hubungan politik dan pendidikan di kalangan generasi ilmuwan
generasi berikutnya.
Dalam
ungkapan Abernethy dan Coombe, education and politics are inextricably
linked (pendidikan dan politik terikat tanpa bisa dipisahkan). Hubungan
timbal balik antara politik dan pendidikan dapat terjadi melalui tiga aspek,
yaitu pembentukan sikap kelompok (group attitudes), masalah pengangguran
(employment), dan peranan politik kaum cendikia (the political role
of the intelligentsia).
Dalam
masyarakat yang lebih maju dan berorientasi teknologi, dan mengadopsi nilai –
nilai dan lembaga barat, pola hubungan antara pendidikan dan politik berubah
dari pola tradisional ke pola modern.Dibanyak Negara berkembang, dimana
pengaruh modernisasi sangat kuat. Jika
politik dipahami sebagai praktik kekuatan, kekuasan, dan otoritas dalam
masyarakat dan pembuatan keputusan – keputusan otoritatif tentnag alokasi
sumber daya dan nilai – nilai sosial, maka jelaslah bahwa pendidikan tidak lain
adalah sebuah bisnis politik.
Seperti
halnya Konstitusi Madinah telah membentuk kaum muslimin Madinah menjadi satu
Kesatuan social politik berdaulat.Materi pokok social dan kewarganegaraan Islam
pada masa itu adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Konstitusi
Madinah, yang dalam prakteknya diperinci lebih lanjtu dan disempurnakan dengan
ayat-ayat yang turun selama periode Madinah.[6]
Hal
tersebut menegaskan bahwa pendidikan dan politik adalah dua hal yang
berhubungan erat dan saling mempengaruhi. Dengan kata lain, berbagai aspek
pendidikan senantiasa mengandung unsur – unsur politik. Begitu juga sebaliknya,
setiap aktivitas politik ada kaitannya dengan aspek – aspek kependidikan.
D.
Kontrol Negara terhadap Pendidikan
Sebagai suatu
proses yang banyak menentukan corak dan kualitas kehidupan individu dan
masyarakat, tidak mengherankan apabila semua pihak memandang pendidikan sebagai
wilayah strategis bagi kehidupan manusia sehingga program – program dan proses
yang ada di dalamnya dapat dirancang, diatur, dan diarahkan sedemikian rupa untuk mendapatkan output yang
diinginkan. Ini yang menjadi salah satu alasan mengapa suatu Negara sangat
pedulu dan menyediakan anggaran dalam jumlah yang besar untuk bidang
pendidikan.Semua itu dilakukan dalam rangka membangun suatu system pendidikan
yang memiliki kharakteristik, kualitas, arah, dan output yang diinginkan.Untuk
memastikan terwujudnya keinginan tersebut, banyak Negara yang menerapkan
control yang sangat ketat terhadap program – program pendidikan, baik yang
diselenggarakan sendiri oleh Negara maupun yang diselenggarakan oleh
masyarakat.
Pemerintah adalah
bagian dari Negara yang paling kasat mata dan dapat juga menjadi bagian paling
penting dan paling aktif dari Negara, tetapi pemerintah bukanlah keseluruhan
dari Negara. Negara terdiri dari berbagai institusi yang masing masing memiliki
fungsi dan peran tersendiri dalam tatanan kehidupan kenegaraan.
Menurut Dale,
control Negara terhadap pendidikan umunnya dilakukan melalui empat cara. Pertama, system pendidkan diatur secara
legal.Kedua, system pendidikan
dijalankan sebagai birokrasi, menekankan ketaatan pada aturan dan objektivitas.Ketiga, penerapan wajib pendidikan
(compulsory education).Keempat,
reproduksi politik dan ekonomi yang berlangsung disekolah berlangsung dalam
konteks tertentu. Dale (1989 : 59) menambahkan bahwa perangkat Negara dalam
bidang pendidikan, sepeti sekolah dan administrasi pendidikan memiliki efek
tersendiri terhadap pola, proses, dan praktik pendidikan.
Signifikansi dan implikasi politik
dan pengembangan pendidikan Islam umumnya bagi para penguasa muslim sudah
jelas. Madrasah didirikan untuk menunjang kepentingan politik tertentu dari
penguasa muslim, di antaranya: mencuptakan dan memperkukuh citra penguasa
sebagai orang yang mempunyai kesalehan, minat dan kepedulian kepada kepentingan
umat.[7]
E.
PENUTUP
1. Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
2.
pendidikan
dan politik adalah dua hal yang berhubungan erat dan saling mempengaruhi.
Dengan kata lain, berbagai aspek pendidikan senantiasa mengandung unsur – unsur
politik. Begitu juga sebaliknya, setiap aktivitas politik ada kaitannya dengan
aspek – aspek kependidikan.
3.
Kontrol
Negara terhadap pendidikan umunnya dilakukan melalui empat cara. Pertama, system pendidkan diatur secara
legal. Kedua, system pendidikan
dijalankan sebagai birokrasi, menekankan ketaatan pada aturan dan objektivitas.
Ketiga, penerapan wajib pendidikan
(compulsory education). Keempat,
reproduksi politik dan ekonomi yang berlangsung disekolah berlangsung dalam
konteks tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Sirozi, M., Politik
Pendidikan, (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2005).
http://jawabali.com/pendidikan/politik-pendidkan-557
Eickelman, Dale F. ,Politik Muslim Wacana Kekuasaan dan Hegemoni
dalam Masyarakat Muslim, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998).
A. Soedomo Hadi, Pendidikan (Suatu Pengantar), (Solo: LPP
dan UNS Press, 2008).
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Di
Tengah Tantangan Milenium III, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2012).
Zuhairini, dkk,
Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010).
[1]
Eickelman, Dale F. , Politik Muslim Wacana Kekuasaan dan Hegemoni dalam
Masyarakat Muslim, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998), h. 1
[2]
A. Soedomo Hadi, Pendidikan (Suatu Pengantar), (Solo: LPP dan UNS Press,
2008), h. 97
[3]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Di Tengah Tantangan
Milenium III, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2012), H. 69
[4]
Eickelman, Dale F. , Politik Muslim Wacana Kekuasaan dan Hegemoni dalam
Masyarakat Muslim, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998), h. 6
[5]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Di Tengah Tantangan
Milenium III, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2012), H. 70
[6]
Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010),
h. 43
[7]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Di Tengah Tantangan
Milenium III, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2012), H. 70
0 komentar:
Posting Komentar