Beranda

Selasa, 02 April 2019

PENDIDIKAN ISLAM DAN POLITIK



A.    Latar Belakang Masalah
Tahun 1989 di Perancis Lima Wanita bersikeras mengenakan kerudung dilarang mengikuti kelas “secara alami”, kerudung merupakan ajakan beragama dan memberi tekanan bagi muslim lainnya yang tak mengenakan kerudung. Pemerintah secara formal, meskipun barangkali hanya di permukaan, menyesuaikan kebijakan Negara menciptakan badan umum yang memiliki kewenangan memadai.[1]Kejadian di atas salah satu contoh bagaimana peran Negara dalam pendidikan yang memiliki kuasa dalam moral maupun etika pelaksanaan pendidikan.
Setiap masyarakat membutuhkan negara untuk melaksanakan fungsi-fungsi penting seperti mempertahankan kedaulatan dari ancaman luar, menjaga perdamaian dan keamanan publik dalam wilayahnya, menyelesaikan perselisihan antarwarga serta menyediakan pelayanan yang dibutuhkan untuk kebaikan mereka. Agar negara bisa menjalankan fungs-fungsi tersebut, ia harus memilih salah satu dari sejumlah kebijakan yang saling bertentangan dan mempunyai monopoli yang efektif untuk menggunakan kekuatannya dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan tersebut. Oleh karena itu tujuan pendidikan di tiap-tiap Negara, tidak selalu tetap sepanjang masa, tetapi sering mengalami perombakan, perubahan atau penggantian, sesuai dengan perkembangan zaman.[2]
Hubungan antara pendidikan dan politik bukanlah suatu hal yang baru.Sejak zaman Plato dan Aristoteles, para filsuf dan pemikir politik telah memberikan perhatian cukup intens kepada masalah ini.Kanyataan ini misalnya ditegaskan dengan ungkapan “As is the state, so is the school” (“Sebagaimana Negara, seperti itulah sekolah”), atau “What you want in the state, you must put into the school” (Ápa yang anda inginkan dalam Negara, harus anda masukkan ke sekolah”)[3]
Ada perbedaan fundamental antara kualitas pemimpin politik dan pemimpin agama yang notabene adalah memiliki otoritas pendidikan Islam dalam cara penunjukkan atau pemilihan mereka dan bentuk serta jangkauan otoritasnya terhadap pengikutnya. Mungkin saja beberapa pemimpin politik juga memiliki kesalehan dalam beragama dan pengetahuan. Begitupun pemimpin agama, mereka bisa memiliki keterampilan berpolitik dan kemampuan untuk menggunakan kekuasaan kursif. Bahkan nampaknya umat Islam mengharapkan masing-masing pemimpin memiliki kualitas yang lain. Seorang pemimpin politik misalnya diharapkan memiliki tingkat kesalehan dan pengetahuan tertentu, sementara pemimpin agama juga diharuskan memiliki keterampilan berpolitik untuk bisa memenuhi peran mereka dalam masyarakat. Namun, penguasa manapun tidak akan mengijinkan adanya penilaian independen terhadap tingkat kesalehan dan pengetahuannya, apalagi jika itu dikaitkan dengan klaim legitimasi mereka atas kekuasaan. Sebaliknya, keterampilan politik pemimpin agama bisa dinilai melalui interaksi inter-personal yang damai dan tanpa kekerasan. Suatu hal yang tidak realistis untuk mengharapkan penguasa melepaskan kekuasaan kursifnya karena masyarakat menilai tingkat kesalehan dan pengetahuan mereka tidak cukup. Sama tidak realistisnya mengharapkan pemimpin agama melepaskan otoritas mereka hanya karena kualitas dan keterampilan politiknya tidak memuaskan. Namun, membiarkan orang yang sama untuk memiliki kedua otoritas ini pun merupakan hal yang berbahaya dan kontra produktif, karena tidak mungkin memecatnya tanpa resiko terjadinya kekacauan sipil dan kekerasan.
Karena legitimasi keagamaan merupakan hal yang penting bagi penguasa untuk mempertahankan otoritas politiknya terhadap ummat Islam, tak heran jika kecenderungan mengklaim bahwa mereka memiliki otoritas keagamaan, penguasa harus menyeimbangkan kontrol mereka terhadap pemimpin agama dengan membiarkan mereka tetap mempertahankan otonomi relatifnya. Otonomi inilah yang justru menjadi sumber kekuatan untuk memberikan legitimasi bagi otoritas penguasa. Tapi, penguasa juga tidak bisa memberikan kebebasan sepenuhnya kepada pemimpin agama, karena mereka mungkin menggunakan kebebasan itu untuk melemahkan otoritas politik negara. Pemimpin agama, memang, harus bersikap kritis kepada negara karena dengan cara demikian, mereka bisa mempertahankan otoritas keagamaan mereka di tengah-tengah komunitas dan juga mendorong negara untuk mengontrol mereka.Dengan demikian, semakin besar otonomi pemimpin agama, semakin besar pulalah tantangan mereka bagi otoritas politik negara. Tetapi, jika mereka dianggap dikontrol oleh negara, semakin kecil pulalah kemungkinan masyarakat menerima penilaian mereka bahwa negara sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan kata lain, sejarah memperlihatkan bahwa institusi agama dan negara memang harus dipisahkan, namun dalam praktiknya keadaan ini sulit untuk dipertahankan.
Karena kuatnya kaitan antara masalah pendidikan dan politik serta aspek-aspek publik lainnya, setiap kebijakan pemerintah di bidang pendidikan pada umumnya merefleksikan pandangan tentang masyarakat dan keyakinan politiknya.Dalam pendidikan tersalur kemauan-kemauan politik atau kemauan kekuasaan dalam suatu Negara atau masyarakat.Dari waktu ke waktu pemerintah membuat kebijakan-kebijakan pendidikan atas dasar pertimbangan-pertimbangan politik.Terbentuknya suatu kebijakan pendidikan pada dasarnya merupakan hasil dari suatu perjuangan politik dari berbagai kelompok kepentingan.Kesepakatan politik yang diperoleh adalah landasan bagi para pengambil keputusan untuk menetapkan kebijakan dalam pembangunan pendidikan.Perjuangan politik ini wujudnya adalah perjuangan untuk meyakinkan berbagai kelompok kepentingan (interest group) dan kelompok penekan (pressure groups) dalam suatu tatanan politik Negara. Maka dari itu, dalam menentukan arah kebijakan pendidikan, Negara mempunyai peranan yang sangat strategis dalam dalam proses pendidikan dan telah menjadikan pendidikan sebagai upaya untuk melestarikan status-quo kekuasaan.
Keberhasilan pendidikan bagi sebuah bangsa atau sangat tergantung dengan keseriusan politik pemerintah, apabila sistem politik yang dipergunakan oleh Negara tersebut stabil, maka kualitas outcome pendidikanpun lebih baik dan sebaliknya.Peningkatan kualitas pendidikan bukanlah tugas yang ringan, karena tidak hanya berkaitan dengan permasalahan teknis, tetapi mencakup berbagai persoalan yang rumit dan kompleks, sehingga menuntut manajemen pendidikan saat ini belum mendapat perhatian yang maksimal dari pelaksana politik pendidikan atau pemerintah.Lemahnya kepedulian dan kebijakan pendidikan yang belum memihak kepada manajemen pendidikan memberikan dampak yang signifikan, terhadap pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia (SDM) di masyarakat.Belum berfungsi secara maksimal mesin politik formal sehingga berpengaruh terhadap politik pendidikan di Negara ini.Oleh karena itu, pemahaman politik pendidikan dalam perspektif Islam mutlak diperlukan.
Politik penyelenggaraan pendidikan dalm suatu masyarakat selalu dilatarbelakangi oleh pertimbangan-pertimbangan subjektif masing-masing masyarakat, misalnya filosofi, politik, sosial, dan lain-lainnya. Apabila pertimbangan-pertimbangan tersebut dimengerti secara utuh akan mendukung pendidikan secara mantap, karena proses dan praktik pendidikan merupakan bentuk aktualisasi keinginan warga negara atau masyarakat. Manakala keinginan masyarakat adalah merupakan sebuah cita-cita sosial ( social ideals). Untuk mewujudkan cita-cita sosial tersebut memerlukan politik pendidikan yang kokoh dan integrated atau komprehensif.




B.     Hakekat Politik
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Pengertian politik tinjauan terminology sering dikaitkan dengan bermacam-macam kegiatan sampai dalam sistim politik ataupun negara yang menyangkut proses penentuan tujuan sampai dalam melaksanakan tujuan tersebut. Disamping itu, juga menyangkut pengambilan keputusan (Decision Making) tentang apakah yang menjadi tujuan sistim politik yang menyangkut seleksi antara beberapa alternatif serta penyusunan untuk membuat skala prioritas dalam menentukan tujuan-tujuan kekuasaan.Konsepsi kekuasaan diartikan “distribusi penguasaan kekuatan” dan inilah inti dari politik.[4]
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
1.       Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
2.       Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
3.       Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat.
4.       Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik.
C.    Hubungan Politik dan Pendidikan
Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam system sosial politik disetiap Negara, Baik Negara maju maupun Negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian – bagian yang terpisah, yang satu sama lain tidak memiliki hubungan apa – apa. Padahal, keduanya bahu membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat disuatu Negara. Lebih dari itu, keduanya saling menunjang dan saling mengisi lembaga – lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat di Negara tersebut. Ada hubungan erat dan dinamis antara pendidikan dan politik disetiap Negara.Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuan.
Banyak sekali para pemikir yang merumuskan dan mengajarkan tentang, misalnya hak kewajiban timbal balik antara penguasa dan rakyat.Bahkan para pemikir semacam ini menerbitkan kitab-kitab panduan, termasuk karya al-Gahzali Nashihah al-Mulk, yang diperuntukan bagi para penguasa dalam menjalankan kekuasaannya.[5]
Pendidikan sering dijadikan media dan wadah untuk menanamkan ideology Negara atau tulang yang menopang kerangka politik. Di Negara – Negara barat kajian tentang hubungan antara pendidikan dan politk dimulai oleh Plato dalambukunya Republic yang membahas hubungan antara ideology dan institusi Negara dengan tujuan dan metode pendidikan.
Plato mendemonstrasikan dalam buku tersebut bahwa dalam budaya Helenik, sekolah adalah salah satu aspek kehidupan yang terkait dengan lembanga – lembaga politik.Plato menggambarkan adanya hubungan dinamis antara aktivitas kependidikan dan aktivitas politik.Keduanya sakan dua sisi dari satu koin, tidak mungkin terpisahkan.Analisis Plato tersebut telah meletakkan fundamental bagi kajian hubungan politik dan pendidikan di kalangan generasi ilmuwan generasi berikutnya.
Dalam ungkapan Abernethy dan Coombe, education and politics are inextricably linked (pendidikan dan politik terikat tanpa bisa dipisahkan). Hubungan timbal balik antara politik dan pendidikan dapat terjadi melalui tiga aspek, yaitu pembentukan sikap kelompok (group attitudes), masalah pengangguran (employment), dan peranan politik kaum cendikia (the political role of the intelligentsia).
Dalam masyarakat yang lebih maju dan berorientasi teknologi, dan mengadopsi nilai – nilai dan lembaga barat, pola hubungan antara pendidikan dan politik berubah dari pola tradisional ke pola modern.Dibanyak Negara berkembang, dimana pengaruh modernisasi sangat kuat.   Jika politik dipahami sebagai praktik kekuatan, kekuasan, dan otoritas dalam masyarakat dan pembuatan keputusan – keputusan otoritatif tentnag alokasi sumber daya dan nilai – nilai sosial, maka jelaslah bahwa pendidikan tidak lain adalah sebuah bisnis politik.
Seperti halnya Konstitusi Madinah telah membentuk kaum muslimin Madinah menjadi satu Kesatuan social politik berdaulat.Materi pokok social dan kewarganegaraan Islam pada masa itu adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Konstitusi Madinah, yang dalam prakteknya diperinci lebih lanjtu dan disempurnakan dengan ayat-ayat yang turun selama periode Madinah.[6]
Hal tersebut menegaskan bahwa pendidikan dan politik adalah dua hal yang berhubungan erat dan saling mempengaruhi. Dengan kata lain, berbagai aspek pendidikan senantiasa mengandung unsur – unsur politik. Begitu juga sebaliknya, setiap aktivitas politik ada kaitannya dengan aspek – aspek kependidikan.

D.    Kontrol Negara terhadap Pendidikan
             Sebagai suatu proses yang banyak menentukan corak dan kualitas kehidupan individu dan masyarakat, tidak mengherankan apabila semua pihak memandang pendidikan sebagai wilayah strategis bagi kehidupan manusia sehingga program – program dan proses yang ada di dalamnya dapat dirancang, diatur, dan diarahkan sedemikian  rupa untuk mendapatkan output yang diinginkan. Ini yang menjadi salah satu alasan mengapa suatu Negara sangat pedulu dan menyediakan anggaran dalam jumlah yang besar untuk bidang pendidikan.Semua itu dilakukan dalam rangka membangun suatu system pendidikan yang memiliki kharakteristik, kualitas, arah, dan output yang diinginkan.Untuk memastikan terwujudnya keinginan tersebut, banyak Negara yang menerapkan control yang sangat ketat terhadap program – program pendidikan, baik yang diselenggarakan sendiri oleh Negara maupun yang diselenggarakan oleh masyarakat.
             Pemerintah adalah bagian dari Negara yang paling kasat mata dan dapat juga menjadi bagian paling penting dan paling aktif dari Negara, tetapi pemerintah bukanlah keseluruhan dari Negara. Negara terdiri dari berbagai institusi yang masing masing memiliki fungsi dan peran tersendiri dalam tatanan kehidupan kenegaraan.
             Menurut Dale, control Negara terhadap pendidikan umunnya dilakukan melalui empat cara. Pertama, system pendidkan diatur secara legal.Kedua, system pendidikan dijalankan sebagai birokrasi, menekankan ketaatan pada aturan dan objektivitas.Ketiga, penerapan wajib pendidikan (compulsory education).Keempat, reproduksi politik dan ekonomi yang berlangsung disekolah berlangsung dalam konteks tertentu. Dale (1989 : 59) menambahkan bahwa perangkat Negara dalam bidang pendidikan, sepeti sekolah dan administrasi pendidikan memiliki efek tersendiri terhadap pola, proses, dan praktik pendidikan.  
            Signifikansi dan implikasi politik dan pengembangan pendidikan Islam umumnya bagi para penguasa muslim sudah jelas. Madrasah didirikan untuk menunjang kepentingan politik tertentu dari penguasa muslim, di antaranya: mencuptakan dan memperkukuh citra penguasa sebagai orang yang mempunyai kesalehan, minat dan kepedulian kepada kepentingan umat.[7]

E.     PENUTUP
1.      Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
2.      pendidikan dan politik adalah dua hal yang berhubungan erat dan saling mempengaruhi. Dengan kata lain, berbagai aspek pendidikan senantiasa mengandung unsur – unsur politik. Begitu juga sebaliknya, setiap aktivitas politik ada kaitannya dengan aspek – aspek kependidikan.     
3.      Kontrol Negara terhadap pendidikan umunnya dilakukan melalui empat cara. Pertama, system pendidkan diatur secara legal. Kedua, system pendidikan dijalankan sebagai birokrasi, menekankan ketaatan pada aturan dan objektivitas. Ketiga, penerapan wajib pendidikan (compulsory education). Keempat, reproduksi politik dan ekonomi yang berlangsung disekolah berlangsung dalam konteks tertentu.





DAFTAR PUSTAKA

Sirozi, M., Politik Pendidikan, (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2005).
http://jawabali.com/pendidikan/politik-pendidkan-557
Eickelman, Dale F. ,Politik Muslim Wacana Kekuasaan dan Hegemoni dalam Masyarakat Muslim, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998).
A. Soedomo Hadi, Pendidikan (Suatu Pengantar), (Solo: LPP dan UNS Press, 2008).
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Di Tengah Tantangan Milenium III, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2012).
Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010).


[1] Eickelman, Dale F. , Politik Muslim Wacana Kekuasaan dan Hegemoni dalam Masyarakat Muslim, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998), h. 1
[2] A. Soedomo Hadi, Pendidikan (Suatu Pengantar), (Solo: LPP dan UNS Press, 2008), h. 97
[3] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Di Tengah Tantangan Milenium III, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2012), H. 69
[4] Eickelman, Dale F. , Politik Muslim Wacana Kekuasaan dan Hegemoni dalam Masyarakat Muslim, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998), h. 6
[5] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Di Tengah Tantangan Milenium III, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2012), H. 70
[6] Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 43
[7] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Di Tengah Tantangan Milenium III, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2012), H. 70

0 komentar:

Posting Komentar